Anda di halaman 1dari 27

BAB I

PENDAHULUAN

Ada tiga kategori utama anestesi yaitu anestesi umum, anestesi regional
dan anestesi lokal. Masing-masing memiliki bentuk dan kegunaan. Seorang ahli
anestesi akan menentukan jenis anestesi yang menurutnya terbaik dengan
mempertimbangkan keuntungan dan kerugian dari masing-masing tindakannya
tersebut.

Anestesi umum adalah suatu keadaan meniadakan nyeri secara sentral


yang dihasilkan ketika os diberikan obat-obatan untuk amnesia, analgesia,
kelumpuhan otot, dan sedasi. Pada os yang dilakukan anestesi dapat dianggap
berada dalam keadaan ketidaksadaran yang terkontrol dan reversibel. Anestesi
memungkinkan os untuk mentolerir tindakan pembedahan yang dapat
menimbulkan rasa sakit tak tertahankan, yang berpotensi menyebabkan perubahan
fisiologis tubuh yang ekstrim dan menghasilkan kenangan yang tidak
menyenangkan.

Anestesi umum menggunakan cara melalui intravena dan secara inhalasi


untuk memungkinkan akses bedah yang memadai ke tempat dimana akan
dilakukan operasi. Satu hal yang perlu dicatat adalah bahwa anestesi umum
mungkin tidak selalu menjadi pilihan terbaik, tergantung pada presentasi klinis os,
anestesi lokal atau regional mungkin lebih tepat.

1
BAB II

LAPORAN KASUS

IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. S
Jenis Kelamin : Perempuan
Usia : 33 tahun
Agama : Islam
Pekerjaan : PNS
Alamat : Ds. Lolu Dsn V

ANAMNESIS
Keluhan Utama : bengka dan nyeri pada lengan bawah sebelah kiri
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke RSU Anutapura Palu dengan keluhan bengkak dan nyeri
pada lengan bawah sebelah kiri sejak 5 hari yang lalu. Bengkak dan nyeri ini
diakibatkan karena pasien jatuh terpeleset di lantai di rumahnya akibat lantai yang
licin, pada saat pasien jatuh, dia menggunakan lengan kirinya untuk menopang
berat badannya. Pasien tidak pingsan setelah jatuh, tidak ada mual atau muntah.
Riwayat Penyakit Dahulu : riwayat HT (-), riwayat DM (-)
Riwayat Penyakit Keluarga : tidak ada riwayat penyakit sistemik pada keluarga
PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum : Tampak Sakit Sedang
Kesadaran : Composmentis
BB : 67 Kg
Panjang badan : 160 cm
Status gizi : BMI : 67/(1,6)2= 26,17 kg/m2 Kesan : overweight
- Primary survey
Airway : Patern, tidak ada obstruksi.
Breathing : Respirasi 20 kali/menit.
Circulation : Tekanan darah: 120/80 mmHg

2
Nadi: 78 kali/menit, reguler, kuat angkat.
- Secondary survey
Kepala
Bentuk : Normocephal
Rambut : Ikal, warna hitam distribusi padat.
Wajah : Simetris, paralisis fasial (-), afek serasi, deformitas (-).
Kulit : Sianosis (-), massa (-), turgor <2 detik.
Mata
Pupil : Bentuk isokor, bulat, diameter 2 mm/2 mm, refleks
cahaya langsung +/+.
Konjungtiva : anemis -/-
Sklera : ikterik (-)
Telinga
Keloid (-), kista epidermoid (-), serumen minimal, membrana timpani
normal.
Hidung & sinus
Rhinorrhea (-), epistaksis (-), nyeri tekan pada sinus (-)
Mulut & faring
Bibir : sianosis (-), pucat (-)
Gusi : gingivitis (-)
Gigi : karies dentis (+)
Lidah : deviasi lidah (-), lidah kotor (-), tremor (-)
Tonsil : T1/T1 hiperemis (-)
Mallampathy : kelas 1
Leher
Inspeksi : Jaringan parut (-), massa (-)
Palpasi : Pembengkakan kelenjar limfe (-), pembesaran pada
kelenjar tiroid (-), nyeri tekan (-)
Trakhea : Deviasi trakhea (-)
Paru
Inspeksi : Normochest, retraksi (-), massa (-).

3
Palpasi : Nyeri tekan (-), ekspansi paru simetris kiri dan kanan,
vocal fremitus kesan normal.
Perkusi : sonor (+) di seluruh lapang paru, batas paru hepar SIC VI
dextra.
Auskultasi : vesicular +/+, bunyi tambahan (-).
Jantung
Inspeksi : ictus cordis tidak tampak.
Palpasi : ictus cordis teraba pada SIC V linea axillaris anterior
sinistra.
Perkusi :
Batas atas : SIC II linea parasternal sinistra
Batas kanan : SIC V linea parasternal dextra
Batas kiri : SIC V linea axillaris anterior sinistra
Auskultasi : Bunyi jantung I/II murni reguler, murmur (-), gallop (-).
Abdomen
Inspeksi : Bentuk cembung terhadap thorax dan symphisis pubis.
Auskultasi : peristaltik (+) kesan normal ( 20 kali/menit) diseluruh
kuadran
abdomen , Bruit (-), friction rub (-)
Perkusi : Timpani (+), ascites (-)
Palpasi : Hepar/lien tidak teraba, nyeri tekan (-), ginjal tidak teraba.
Genitalia: tidak tampak kelainan.
Ekstremitas
Atas :
- Dextra: edema (-),akral dingin (-/-), ROM normal.
- Sinistra: edema (+), akral dingin (-/-), ROM terbatas karena nyeri
Bawah :
Dextra : edema (-), akral dingin (-/-), ROM normal.
Sinistra : edema (-), akral dingin (-/-), ROM normal

4
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan hematologi rutin 21 Oktober 2015
Parameter Hasil Satuan Range Normal
WBC 12,6 103/mm3 4,8 10,8
RBC 4,4 106/ mm3 4,7 6,1
HGB 11,6 g/dL 14 18
HCT 34,5 % 42 52
PLT 271 103/mm3 150 450

Pemeriksaan Radiologi :
Hasil foto forearm AP dan obliq, menunjukkan:
Fraktur pada 1/3 medial os radius dan os ulna sinistra

RESUME
Pasien usia 33 tahun masuk dengan keluhan bengkak dan nyeri pada lengan
bawah kiri sejak 5 hari yang lalu akibat jatuh di lantai dan menggunakan
lengan kirinya sebagai penopang tubuh.
Pemeriksaan fisik
Ekstremitas
Atas :
- Dextra: edema (-),akral dingin (-/-), ROM normal.
- Sinistra: edema (+), akral dingin (-/-), ROM terbatas karena nyeri
Status fisik : ASA I
Pemeriksaan Radiologi :
Hasil foto forearm AP dan obliq, menunjukkan:
Fraktur pada 1/3 medial os radius dan os ulna sinistra

DIAGNOSIS BEDAH
Fraktur close 1/3 medial os radius et ulna

5
PENATALAKSANAAN
Open reduction internal rotation (ORIF)
Inj. Ketorolac 30mg/8 jam/IV
Inj. Ranitidine 50mg/8 jam/IV
Inj. Ondansentron 4mg/8 jam/IV

DATA ANESTESI
Jenis anestesi : general anastesi
Teknik anestesi : semi close (LMA) laringeal mouth airway
Obat Anestesi : sevofluran + recovol
Mulai Anestesi : 11.15 WITA
Mulai Operasi : 11.55 WITA
Lama operasi : 2 jam 5 menit
Anesthesiologist : dr. Ajutor Donny T, Sp. An
Operator : dr. Sri Sikpiriani, Sp.OT
Premedikasi : miloz 5 mg
Pethidine 60 mg
Medikasi : Recovol 150 mg
Sevoflurane 30

a. Pre-operatif
- Pasien puasa 8 jam pre-operatif
- Infus RL 500 ml
- Keadaan umum dan tanda vital dalam batas normal

6
b. Intra-operatif

140

120

100

80
Sistol
60 Diastol
Nadi
40

20

0
11.25
11.15

11.35
11.45
11.55
12.05
12.15
12.25
12.35
12.45
12.55
13.05
13.15
13.25
13.35
13.45
13.55
Gambar 1: evaluasi tekanan darah sistol dan diastol serta nadi

c. Post-operatif
Pasien dipindahkan ke Recovery Room ke Ruangan bangsal dalam
keadaan sadar baik.

PROGNOSIS
Quo ad vitam : ad bonam
Quo ad Fungtionam : dubia ad bonam
Quo ad Sanationam : dubia ad bonam

7
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

I. DEFINISI ANASTESI UMUM


Anestesi umum adalah suatu keadaan meniadakan nyeri secara sentral
yang dihasilkan ketika os diberikan obat-obatan untuk amnesia, analgesia,
kelumpuhan otot, dan sedasi. Pada os yang dilakukan anestesi dapat dianggap
berada dalam keadaan ketidaksadaran yang terkontrol dan reversibel.
Anestesi memungkinkan os untuk mentolerir tindakan pembedahan yang
dapat menimbulkan rasa sakit tak tertahankan, yang berpotensi menyebabkan
perubahan fisiologis tubuh yang ekstrim dan menghasilkan kenangan yang
tidak menyenangkan. Komponen anestesi yang ideal terdiri dari:

1. Hipnotik

2. Analgetik

3. Relaksasi otot

Anestesi umum menggunakan cara melalui intravena dan secara inhalasi


untuk memungkinkan akses bedah yang memadai ke tempat dimana akan
dilakukan operasi. Satu hal yang perlu dicatat adalah bahwa anestesi umum
mungkin tidak selalu menjadi pilihan terbaik, tergantung pada presentasi
klinis os, anestesi lokal atau regional mungkin lebih tepat.

Metode pemberian anestesi umum dapat dulihat dari cara pemberian obat,
terdapat 2 cara pemberian obat pada anestesi umum:

1. Parenteral

Anestesi umum yang diberikan secara parentral baik intravena maupun


intramuskuler biasanya digunakan untuk tindakan operasi yang singkat
atau untuk induksi anestesi.

8
2. Perinhalasi

Obat anesthesia dihirup bersama udara pernafasan ke dalam paru-paru,


masuk ke darah dan sampai di jaringan otak mengakibatkan narkose.

Apabila obat anestesi inhalasi, dihirup bersama-sama udara inspirasi


masuk ke dalam saluran pernafasan, di dalam alveoli paru akan berdifusi masuk
ke dalam sirkulasi darah. Demikian pula yang disuntikkan secara intramuskuler,
obat tersebut akan diabsorbsi masuk ke dalam sirkulasi darah. Setelah masuk ke
dalam sirkulasi darah obat tersebut akan menyebar kedalam jaringan. Dengan
sendirinya jaringan yang kaya pembuluh darah seperti otak atau organ vital akan
menerima obat lebih banyak dibandingkan jaringan yang pembuluh darahnya
sedikit seperti tulang atau jaringan lemak. Tergantung obatnya, di dalam jaringan
sebagian akan mengalami metabolisme, ada yang terjadi di hepar, ginjal atau
jaringan lain.

Ekskresi bisa melalui ginjal, hepar, kulit atau paruparu. Ekskresi bisa
dalam bentuk asli atau hasil metabolismenya. N2O diekskresi dalam bentuk asli
lewat paru. Faktor yang mempengaruhi anestesi antara lain:

Faktor respirasi

Sesudah obat anestesi inhalasi sampai di alveoli, maka akan mencapai


tekanan parsiel tertentu, makin tinggi konsentrasi zat yang dihirup tekanan
parsielnya makin tinggi. Perbedaan tekanan parsiel zat anestesi dalam alveoli dan
di dalam darah menyebabkan terjadinya difusi. Bila tekanan di dalam alveoli lebih
tinggi maka difusi terjadi dari alveoli ke dalam sirkulasi dan sebaliknya difusi
terjadi dari sirkulasi ke dalam alveoli bila tekanan parsiel di dalam alveoli lebih
rendah (keadaan ini terjadi bila pemberian obat anestesi dihentikan.

Makin tinggi perbedaan tekanan parsiel makin cepat terjadinya difusi.


Proses difusi akan terganggu bila terdapat penghalang antara alveoli dan sirkulasi
darah misalnya pada udem paru dan fibrosis paru. Pada keadaan ventilasi alveoler

9
meningkat atau keadaan ventilasi yang menurun misalnya pada depresi respirasi
atau obstruksi respirasi.

Faktor sirkulasi

Aliran darah paru menentukan pengangkutan gas anestesi dari paru ke


jaringan dan sebaliknya. Pada gangguan pembuluh darah paru makin sedikit obat
yang dapat diangkut demikian juga pada keadaan cardiac output yang menurun.

Blood gas partition coefisien adalah rasio konsentrasi zat anestesi dalam
darah dan dalam gas bila keduanya dalam keadaan keseimbangan. Bila kelarutan
zat anestesi dalam darah tinggi/BG koefisien tinggi maka obat yang berdifusi
cepat larut di dalam darah, sebaliknya obat dengan BG koefisien rendah, maka
cepat terjadi keseimbangan antara alveoli dan sirkulasi darah, akibatnya penderita
mudah tertidur waktu induksi dan mudah bangun waktu anestesi diakhiri.

Faktor jaringan

Yang menentukan antara lain:

- Perbedaan tekanan parsiel obat anestesi di dalam sirkulasi darah dan di


dalam jaringan.

- Kecepatan metabolisme obat.

- Aliran darah dalam jaringan.

- Tissue/blood partition coefisien

Faktor zat anestesi

Tiap-tiap zat anestesi mempunyai potensi yang berbeda. Untuk mengukur


potensi obat anestesi inhalasi dikenal adanya MAC (minimal alveolar
concentration). Menurut Merkel dan Eger (1963), MAC adalah konsentrasi obat
anestesi inhalasi minimal pada tekanan udara 1 atm yang dapat mencegah gerakan
otot skelet sebagai respon rangsang sakit supramaksimal pada 50% os. Makin
rendah MAC makin tinggi potensi obat anestesi tersebut.

10
II. STADIUM ANASTESI
Kedalaman anestesi harus dimonitor terus menerus oleh pemberi anestesi,
agar tidak terlalu dalam sehingga membahayakan jiwa penderita, tetapi cukup
adekuat untuk melakukan operasi. Kedalaman anestesi dinilai berdasarkan
tanda klinik yang didapat. Guedel membagi kedalaman anestesi menjadi 4
stadium dengan melihat pernafasan, gerakan bola mata, tanda pada pupil,
tonus otot dan refleks pada penderita yang mendapat anestesi ether.

1. Stadium I

Disebut juga stadium analgesi atau stadium disorientasi. Dimulai sejak


diberikan anestesi sampai hilangnya kesadaran. Pada stadium ini operasi
kecil bisa dilakukan.

2. Stadium II

Disebut juga stadium delirium atau stadium exitasi. Dimulai dari


hilangnya kesadaran sampai nafas teratur. Dalam stadium ini penderita
bisa meronta ronta, pernafasan irregular, pupil melebar, refleks cahaya
positif gerakan bola mata tidak teratur, lakrimasi (+), tonus otot meninggi,
reflex fisiologi masih ada, dapat terjadi batuk atau muntah, kadang-kadang
kencing atau defekasi. Stadium ini diakhiri dengan hilangnya refleks
menelan dan kelopak mata dan selanjutnya nafas menjadi teratur. Stadium
ini membahayakan penderita, karena itu harus segera diakhiri. Keadaan ini
bisa dikurangi dengan memberikan premedikasi yang adekuat, persiapan
psikologi penderita dan induksi yang halus dan tepat. Keadaan emergency
delirium juga dapat terjadi pada fase pemulihan dari anestesi.

3. Stadium III

Disebut juga stadium operasi. Dimulai dari nafas teratur sampai paralise
otot nafas. Dibagi menjadi 4 plane:

- Plane I: Dari nafas teratur sampai berhentinya gerakan bola mata.


Ditandai dengan nafas teratur, nafas torakal sama dengan abdominal.

11
Gerakan bola mata berhenti, pupil mengecil, refleks cahaya (+),
lakrimasi meningkat, reflex faring dan muntah menghilang, tonus otot
menurun.

- Plane II: Dari berhentinya gerakan bola mata sampai permulaan


paralisa otot interkostal. Ditandai dengan pernafasan teratur, volume
tidak menurun dan frekuensi nafas meningkat, mulai terjadi depresi
nafas torakal, bola mata berhenti, pupil mulai melebar dan refleks
cahaya menurun, refleks kornea menghilang dan tonus otot makin
menurun.

- Plane III: Dari permulaan paralise otot interkostal sampai paralise


seluruh otot Interkostal. Ditandai dengan pernafasan abdominal lebih
dorninan dari torakal karena terjadi paralisis otot interkostal, pupil
makin melebar dan reflex cahaya menjadi hilang, lakrimasi negafif,
reflex laring dan peritoneal menghilang, tonus otot makin menurun.

- Plane IV: Dari paralise semua otot interkostal sampai paralise


diafragma. Ditandai dengan paralise otot interkostal, pernafasan
lambat, iregular dan tidak adekuat, terjadi jerky karena terjadi paralise
diafragma. Tonus otot makin menurun sehingga terjadi flaccid, pupil
melebar, refleks cahaya negatif refleks spincter ani negative.

4. Stadium IV

Dari paralisis diafragma sampai apneu dan kematian. Juga disebut stadium
over dosis atau stadium paralysis. Ditandai dengan hilangnya semua
refleks, pupil dilatasi, terjadi respiratory failure dan dikuti dengan
circulatory failure.

12
III. PERSIAPAN ANASTESI UMUM
1. Anamnesis
Adakah os pernah mendapatkan anestesia sebelumnya, kalau pernah
adakah hal yang perlu mendapat perhatian khusus seperti alergi, mual
muntah, nyeri otot, gatal-gatal atau sesak nafas pasca bedah.
2. Pemeriksaan fisik
Periksa keadaan gigi-geligi, tindakan buka mulut, lidah relatif besar
sangat penting untuk diketahui apakah akan menyulitkan tindakan
laringoskopi intubasi.
Leher pendek dan kaku akan menyulit laringoskopi intubasi.
3. Pemeriksaan laboratorium
Dilakukan pemeriksaan darah rutin seperti Hb, Leukosit, masa
pendarahan dan masa pembekuan .
Pada usia os di atas 50 tahun pemeriksaan EKG dan foto toraks
dianjurkan
4. Klasifikasi status fisik
Klasifikasi fisik ini bukan alat perkiraan risiko anestesia karena
dampak samping anestesia tidak dapat dipisahkan dari dampak samping
pembedahan .
Kelas I :Os sehat organik, fisiologik, psikiatrik, biokimia.
Kelas II : Os dengan penyakit sistemik ringan atau sedang
Kelas III : Os dengan penyakit sistemik berat , sehingga aktivitas rutin
terbatas.
Kelas IV : Os dengan penyakit sistemik berat tak dapat melakukan
aktivitas rutin
dan penyakitnya merupakan ancaman kehidupannya setiap saat.
Kelas V : os sekarat yang diperkirakan dengan atau tanpa pembedahan
hidupnya tidak akan lebih dari 24 jam.

13
5. Masukan oral
Refleks laring mengalami penurunan selama anestesia. Regurgitasi isi
lambung dan kotoran yang terdapat dalam jalan nafas merupakan
risiko utama pada os yang mengalami anestesia.
Untuk meminimalkan risiko, os harus berpuasa selama period tertentu
Dewasa : 6-8 jam , anak kecil : 4-6 jam , bayi : 3-4 jam.
6. Premedikasi
Merupakan pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anestesia dengan
tujuan melancarkan induksi, rumatan, dan bangun dari anestesia
diantaranya :
Meredakan kecemasan dan ketakutan
Memperlancar induksi anestesia
Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus
Meminimalkan jumlah obat anestetik
Mengurangi mual-muntah pasca bedah.
Menciptakan amnesia
Mengurangi isi cairan lambung
Mengurangi refleks yang membahayakan
7. Induksi dan Intubasi
Tindakan untuk membuat os dari sadar menjadi tidak sadar, sehingga
memungkinkan dimulainya anestesia dan pembedahan .
Untuk persiapan induksi anesthesia sebaiknya kita mengingat
singkatan dari STATICS:

14
S= SCOPE Stetoskop untuk mendengarkan suara paru dan
jantung
Laringoscope. Pilih bilah atau daun (blade)
yang sesuai dengan usia os.
Lampu harus cukup terang.
T=TUBES Pipa trakea. Pilih jenis dan ukuran sesuai usia.
Usia < 5 tahun tanpa balon dan > 5 tahun
dengan balon
A=AIRWAY Pipa mulut faring (Guedel,orotracheal
airway)atau pipa hidung faring (nasotracheal).
Pipa ini menahan lidah saat os tidak sadar
untuk menjaga supaya lidah tidak menyumbat
jalan nafas.
T=TAPE Plester untuk fiksasi pipa supaya tidak
terdorong atau tercabut.
I=INTRODUCER Mandrin atau stilet dari kawat dibungkus
plastik yang mudah dibengkokkan untuk
pemnadu supaya pipa trakea mudah
dimasukkan.
C=CONNECTOR Penyambung antara pipa dan peralatan
anestesia
S= SUCTION Penyedot lendir, saliva dll.

Dapat dikerjakan dengan secara intravena, inhalasi, intramuskular atau


rektal.
Induksi intravena :
Propofol intravena dengan kepekatan 1% menggunakan dosis 2-
3mg/kgBB. Ketamin intravena dengan dosis 1-2mg/kgBB. Pada
anestesia dengan ketamin sering menimbulkan halusinasi, jadi
sebelumnya dianjurkan menggunakan sedativa seperti midazolam,

15
Ketamin tidak dianjurkan pada os dengan tekanan darah tinggi.
Ketamin menyebabkan os tidak sadar tetapi dengan mata terbuka.
Induksi inhalasi :
Induksi inhalasi hanya dikerjakan dengan halotan (flluotan)
atau sevofluran. Cara induksi ini dikerjakan ada bayi atau anak
yang belum terpasang jalur vena atau pada dewasa yang takut
untuk disuntik.
Induksi dengan sevofluran lebih disenangi karena os jarang
batuk walaupun langsung diberikan dengan konsentrasi tinggi
sampai 8 vol%. Konsentrasi dipertahankan sesuai kebutuhan.
Induksi dengan enfluran, isofluran, atau desfluran jarang
dilakukakn, karena os sering batuk dan waktu induksi menjadi
lebih lama.
Induksi per rektal
Cara ini hanya untuk anak atau bayi menggunakan thiopental atau
midazolam.
8. Rumatan anestesia
Rumatan anestesi (maintenance) dapat dikerjakan dengan secara
intravena (anestesi intravena total) atau dengan inhalasi atau dengan
campuran intravena inhalasi.
Rumatan anesthesia biasanya mengacu pada trias anestesi yaitu tidur
ringan (hypnosis) sekedar tidak sadar, analgesia cukup, diusahakan
agar os selama dibedah tidak menimbulkan nyeri dan relaksasi otot
lurik yang cukup.
Rumatan intravena misalnya dengan menggunakan opioid dosis
tinggi, fentanil 10-59 microgram/kgBB.
Dosis tinggi opioid menyebabkan os tidur dengan analgesia cukup,
sehingga tinggal memberikan relaksasi pelumpuh otot.
Rumatan intravena dapat juga menggunakan opioid dosis biasa, tetapi
os ditidurkan dengan infuse propofol 4-12 mg/kgBB/jam. Bedah lama
dengan anesthesia total intravena menggunakan opioid, pelumpuh otot

16
dan ventilator. Untuk mengembangkan paru digunakan inhalasi
dengan udara + O2 atau N2O + O2.
Rumatan inhalasi biasanya menggunakan campuran N2O dan O2 3:1
ditambah halotan 0,5-2 vol% atau enfluran 2-4 vol% atau isofluran 2-
4vol% atau sefovluran 2-4vol% bergantung apakah os bernafas
spontan, dibantu (assisted), atau dikendalikan (controlled).

IV. ANESTESI INTRAVENA


Anestetik intravena selain untuk induksi juga dapat digunakan untuk
rumatan anestesi, tambahan pada analgesia regional atau untuk membantu
prosedur diagnostic misalnya thiopental, ketamin, dan propofol. Untuk
anestesi intravena total biasanya mengunakan propofol.
1. Propofol
Anestesi intravena non barbiturate, telah menggantikan barbiturate
dalam banyak praktik anestesia.
Penggunaan propofol lebih diegmari karena memiliki efek samping
seperti mual muntah setelah operasi lebih ringan dari agen induksi
anestesi intravena lain.
Propofol (diprivan, recofol) dikemas dalam cairan emulsi lemak
bewarna putih susu bersifat isotonic dengan kepekatan 1% (1ml=
10mg). suntikan intravena sering menyebabkan nyeri, sehingga
beberapa detik sebelumnya dapat diberikan lidokain 1-2 mg/kg
intravena.
Dosis bolus untuk induks 2-2,5 mg/kg,
dosis rumatan untuk anestesi intravena total 4-12 mg/kg/jam dan
dosis sedasi untuk perawatan intensif 0,2 mg/kg. pengenceran
propofol hanya boleh dengan dekstrosa 5%. Pada manula dosis harus
dikurangi, pada anak<3 tahun dan pada wanita hamil tidak
dianjurkan.

17
2. Ketamin
Ketamin (ketalar) kurang digemari untuk induksi anestesia, karena
sering menimbulkan takikardi, hipertensi, hipersalivasi, nyeri kepala
pasca anestesia dapat menimbulkan mual muntah, pandangan kabur,
dan mimpi buruk.
Kalau harus diberikan sebaiknya sebelumnya diberikan sedasi
midazolam (dormikum) atau diazepam (valium) dengan dosis 0,1
mg/kg intravena dan untuk mengurangi salvias diberikan sulfas
atropine 0,01 mg/kg
Dosis bolus untuk induksi intravena ialah 1-2mg/kg dan untuk
intramukular 3-10mg. ketamin dikemas dalam cairan bening
kepekatan 1% (1ml = 10mg), 5% (1ml= 50mg), dan 10%
(1ml=100mg).
3. Opiod
Opioid (morfin, petidin, fentanil, sufentanil) untuk induksi diberikan
dosis tinggi.
Opioid tidak mengganggu sistem kardiovaskular, sehinga banyak
digunakan untuk induksi os dengan kelainan jantung.
Untuk anestesia opioid digunakan fentanil dosis induksi 20-50 mg/kg
dilanjutkan dengan dosis rumatan 0,3-1mg/kg/menit.

V. ANESTESI INHALASI
Obat anestatik inhalasi yang pertama kali dikenal dan digunakan untuk
membatu pembedahan ialah N2O.Dalam dunia modern anestatik inhalasi yang
umum digunakan untuk praktek klinik ialah N2O,halotan, enfloran,isofluran
,desfluran dan sevofluran.
1. N2O (Nitrous Oksida)
Pemberian anestasia dengan gas ini harus disertai O2 minimal 25%. Gas
ini bersifat anestatik lemah tetapi analgesiknya kuat sering digunakan
untuk mengurangi nyeri menjelang persalinan.Pada anestatik inhalasi
jarang digunakan sendirian tetapi dikombinasi dengan salah satu cairan

18
anestatik lain seperti halotan dan sebagainya. Pada akhir anestatik setelah
N2O dihentikan, maka N2O akan cepat keluar mengisi alveoli sehingga
pengeceran O2 dan terjadilah hipoksia difusi.Untuk menghindari terjadinya
hipoksia difusi berikan O2 100% selama 5-10 menit.

2. HALOTAN
Halotan (fluotan) bukan turunan eter, melainkan turunan etan.
Baunya yang enak dan tidak merangsang jalan napas, maka sering
digunakan sebagai induksi anestesikombinasi dengan N2O. Halotan harus
disimpan dalam botol gelap (coklat tua) supaya tidak dirusak oleh cahaya
dan diawetkan oleh timol 0,01%.Selain untuk induksi dapat juga untuk
laringoskopi intubasi, asalkan anestesinya cukup dalam, stabil dan
sebelum tindakan dierikan analgesi semprot lidokain 4% atau10% sekitar
faring laring. Setelah beberapa menit lidokain kerja, umumnya
laringoskopintubasi dapat dikerjakan dengan mudah, karena relaksasi otot
cukup baik.Pada napas spontan rumatan anestesi sekitar 1-2 vol% dan
pada napas kendalisektar 0,5-1 vol% yang tentunya disesuaikan dengan
respon klinis os. Halotan menyebabkan vasodilatasi serebral, meninggikan
aliran darah otak yang sulit dikendalikan dengan teknik anestesia
hiperventilasi, sehingga tidak disukai untuk bedah otak.Kelebihan dosis
menyebabkan depresi napas, menurunnya tonus simpatis,depresi miokard dan
inhibisi refleks baroreseptor. Kebalikan dari N2O, halotan analgesinya
lemah, anestesinya kuat, sehingga kombinasi keduanya ideal
sepanjangtidak ada indikasi kontra.Kombinasi dengan adrenalin sering
menyebabkan disritmia, sehingga penggunaan adrenalin harus dibatasi.
Adrenalin dianjurkan dengan pengenceran1:200.000 (5 ug/kg).Pada bedah
sesar, halotan dibatasi maksimal 1 vol%, karena relaksasi uterusakan
menimbulkan perdarahan. Halotan menghambat pelepasan insulin,
meninggikankadar gula darah.

19
3. ENFLURAN
Enfluran (etran, aliran) merupakan halogenisasi eter dan cepat
populer setelah ada kecurigaan gangguan fungsi hepar oleh halotan pada
pengguanan berulang. Pada EEG menunjukkan tanda-tanda epileptik,
apalagi disertai hipokapnia, karena itu hindari penggunaannya pada os
dengan riwayat epilepsi, walaupun ada yang beranggapan bukan indikasi
kontra untuk dpakai pada kasus dengan riwayat epilepsi. Kombinasi
dengan adrenalin lebih aman 3 kali dibanding halotan.Enfluran yang
dimetabolisme hanya 2-8% oleh hepar menjadi produk non-volatil yang
dikeluarkan lewat urin. Ssisanya dikeluarkan lewat paru dalam bentuk
asli.Induksi dan pulih dari anestesia lebih cepat dibanding halotan.
Vasodlatasi serebralantara halotan dan isofluran.Efek depresi napas lebih
kuat dibanding halotan dan enfluran lebih iritatif dibanding halotan.
Depresi terhadap sirkulasi lebih kuat dibanding halotan, depresilebih
jarang menimbulkan aritmia. Efek relaksasi terhadap otot lurik lebih
baik dibanding halotan.

4. ISOFLURAN
Isofluran (foran, aeran) merupakan halogenasi eter yang pada dosis
anestetik atau subanestetik menurunkan laju metabolisme otak terhadap
oksigen, tetapi meninggikan aliran darah otak dan tekanan intrakranial.
Peninggian aliran darah otak dan tekanan intrakranial ini dapat dikurangi
dengan teknik anestesi hiperventilasi,sehingga isofluran banyak
digunakan untuk bedah otak.Efek terhadap depresi jantung dan curah
jantung minimal, sehingga digemariuntuk anestesi teknik hipotensi dan
banyak digunakan pada os dengan gangguankoroner. Isofluran dengan
konsentrasi > 1% terhadap uterus hamil menyebabkanrelaksasi dan kurang
responsif jika diantisipasi dengan oksitosin, sehingga dapatmenyebabkan
perdarahan pasca persalinan. Dosis pelumpuh otot dapat dikurangisampai
1/3 dosis biasa jika menggunakan isofluran

20
5. DESFLURAN
Desfluran (suprane) merupakan halogenasi eter yang rumus
bangun dan efek klinisnya mirip isofluran. Desfluran sangat mudah menguap
dibandingkan dengananestetik volatil lainnya, sehingga perlu
menggunakanvaporizer khusus (TEC-6). Titik didihnya mendekati suhu
ruangan (23.5C). potensinya rendah (MAC 6.0%). Ia bersifat
simpatomimetik menyebabkan takikardia dan hipertensi. Efek depres
napasnya sepertiisofluran dan etran. Desfluran merangsang jalan napas
atas, sehingga tidak digunakan untuk induksi anestesia.

6. SEVOFLURAN
Sevofluran (ultane) merupakan halogenasi eter. Induksi dan pulih
dari anestesi lebih cepat dibandingkan dengan isofluran. Baunya tidak
menyengat dan tidak merangsang jalan napas, sehingga digemari untuk
induksi anestesi inhalasi disamping halotan.Efek terhadap kardiovaskuler
cukup stabil, jarang mnyebabkan aritmia. Efek terhadap sistem saraf pusat
seperti isofluran dan belum ada laporan toksik terhadap hepar. Setelah
pemberian dihentikan sevofluran cepat dikeluarkan oleh badan.Walaupun
dirusak oleh kapur soda (soda lime, baralime), tetapi belum ada laporan
membahayakan terhadap tubuh manusia

VI. PELUMPUH OTOT


1. Pelumpuh otot depolarisasi
Pelumpuh otot depolarisasi (nonkompetitif, leptokurare) bekerja
seperti asetil kolin, tetapi di celah saraf otot tak dirusak oleh
kolinesterase, sehingga berada cukup lama dicelah sinaptik, akhirnya
terjadilah depolarisasi ditandai oleh fasikulasi yang disusul relakasai
otot lurik. Termasuk golongan pelumpuh otot depolarisasi ialah
suksinil-kolin (diasetil-kolin) dan dekametonium.
Didalam vena suksinil kolin dimetabolisir oleh kolin esterase plasma,
pseudokolin esterase, menjadi suksinil monokolin. Obat anti

21
kolinesterasi (prostigmin) dikontraindikasikan, karena menghambat
kerja pseudokolinesterase.
Efek samping suksinil ialah:
Nyeri otot pasca pemberian
Nyeri dapat dikurangi dengan memberikan pelumpuh otot
nondepolarisasi dosis kecil sebelumnya. Mialgia terjadi sampai
90%, selain itu terjadi mioglobinuria.
Peningkatan tekanan intraocular
Akibat kontraksi otot mata eksternal dan dapat dicegah seperti
nyeri otot.
Peningkatan tekanan intracranial
Peningkatan tekanan intragastrik
Peningkatan kadar kalium plasma
Aritmia jantung
Berupa bradikari atau ventricular premature beat.
Salivasi, akibat efek muskarinik
Alergi, anafilaksis. Akibat efek muskarinik.

2. Pelumpuh otot nondepolarisasi


Pelumpuh otot nondepolarisasi (inhibitor kompetitif, takikurare)
berikatan dengan reseptor nikotinik-kolinergik, teteapi tak
menyebabkan depolarisasi, hanya menghalangi asetil-kolin yang
menempatinya, sehingga asetilkolin tak dapat bekerja.
Berdasarkan susunan molekul, maka pelumpuh otot nondepolarisasi
digolongkan menjadi:
1. Bensiliso-kuinolinum: d-tubokurarin, metokurin, atrakurium,
doksakurium, mivakurium.
2. Sieroid: pankuronium, vekuronium, pipekuronium, ropakuronium,
rokuronium.
3. Eter fenolik: gallamin
4. Nortokseferin: alkuronium.

22
Penawar pelumpuh otot
Penawar pelumpuh otot atau antikolinesterasi bekerja pada sambungan
saraf-otot mencegah asetilkolin-esterase bekerja, sehingga asetilkolin dapat
bekerja. Antikolinesterasi yang paling sering digunakan ialah neostigmin
(prostigmin), piridostigmin, dan edrophonium. Physostigmine (eserin) hanya
untuk penggunaan per-oral.
Dosis neostigmin 0,04-0,08 mg/kg, piridostigmin 0,1-0,4 mg/kg,
edrophonium 0,5-1 mg/kg dan fisostigmin 0,01-,0,03 mg/kg. penawar pelumpuh
otot bersifat muskarinik menyebabkan hipersalivasi, berkeringat, bradikardia,
kejang bronkus, hipermotilitas usus, dan pandangan kabur, sehingga
pemberiannya harus disertai oleh obat vagolitik seperti atropine dosis 0,01-0,02
mg/kg atau glikopirolat 0,005-0,01 mg/kg sampai 0,2-0,3 mg pada dewasa.

VII. TATALAKSANA PASCA ANESTESIA


Pulih dari anestasi umum atau dari analgesia regional secara rutin
dikelola di kamar putih atau unit perawatan pasca anestasi ( RR, recovery
Room atau PACU post anesthesia care unit). Idealnya bangun dari anestasia
secara bertahap ,tanpa keluhan dan mulus. Pengawasan ketat di UPPA ( unit
perawatan pasca anestasi) harus seperti sewaktu berada di kamar bedah
sampai os bebas dari bahaya karena itu peralatan monitor yang baik harus
disediakan; tensimeter,oksimeter denyut ( pulse oxymeter ), EKG, peralatan
resusitasi jantung-paru dan obatnya harus disediakan tersendiri terpisah dari
kamar bedah.
Di ruang pulih sadar dimonitor jalan nafasnya apakah bebas atau
tidak, ventilasinya cukup atau tidak dan sirkulasinya sudah baik atau tidak.
Os dengan gangguan jalan nafas dan ventilasi harus ditangani secara dini.
Selain obstruksi jalan nafas karena lidah yang jatuh ke belakang atau
spasme laring, pasca bedah dini kemungkinan terjadi mual-muntah yang
dapat berakibat aspirasi. Anestesi yang masih dalam, dan sisa pengaruh obat
pelumpuh otot akan berakibat penurunan ventilasi.

23
Os yang belum sadar diberikan oksigen dengan kanul nasal atau
masker sampai os sadar betul. Os yang sudah keluar dari pengaruh obat
anestesi akan sadar kembali. Bila keadaan umum dan tanda-tanda vital os
normal dan stabil, maka os dapat dipindahkan ke ruangan dengan pemberian
instruksi pasca operasi.Tingkat perawatan pasca anestesi pada setiap os
tidak selalu sama, bergantung pada kondisi fisik os, teknik anestesi, dan
jenis operasi. Dilihat dan diobservasi :
Gangguan pernafasan.
Gangguan kardiovaskular
Os gelisah atau tidak
Nyeri
Mual muntah
Shivering ( mengigil )

Nilai pulih dari anestasi.

Criteria pemindahan os dari ruang observasi ke ruangan berdasarkan aldrete


score. Os dipindahkan apabila skornya >8.

24
BAB IV

PEMBAHASAN

Saat sebelum melalui pembedahan, pada pasien ini di lakukan anamnesis,


pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang, sehingga pasien digolongkan
sebagai ASA I karena pada pasien ini tidak dijumpai adanya faktor komorbid
seperti penyakit sistemik, metabolik dan riwayat penyakit alergi selain penyakit
yang akan dioperasi dan tidak ada keterbatasan fungsional.
Pada kasus ini jenis anestesi yang dipilih adalah general anastesi atau
anastesi umum. Anestesi umum adalah suatu keadaan meniadakan nyeri secara
sentral yang dihasilkan ketika os diberikan obat-obatan untuk amnesia, analgesia,
kelumpuhan otot, dan sedasi. Pada os yang dilakukan anestesi dapat dianggap
berada dalam keadaan ketidaksadaran yang terkontrol dan reversibel. Anestesi
memungkinkan os untuk mentolerir tindakan pembedahan yang dapat
menimbulkan rasa sakit tak tertahankan, Satu hal yang perlu dicatat adalah bahwa
anestesi umum mungkin tidak selalu menjadi pilihan terbaik. Karena tergantung
pada presentasi klinis pasien, anestesi lokal atau regional mungkin lebih tepat.
Pilihan anastesi umum pada pasien ini karena letak pembedahan yang akan
di lakukan yaitu berada pada ekstremitas atas, anestesi umum menggunakan cara
melalui intravena dan secara inhalasi untuk memungkinkan akses bedah yang
memadai ke tempat dimana akan dilakukan operasi.
Saat operasi berlangsung, pasien diberikan sedacum (midazolam) 3 mg
IV. Midazolam adalah obat dengan efek anxiolitik yang merupakan turunan dari
benzodiazepin. Pemberian obat ini bertujuan untuk mengurangi kecemasan yang
dirasakan pasien saat operasi dan memberikan efek amnesia enterograde sehingga
pasien tidak trauma dengan tindakan operasi. Midazolam bekerja mendepresi
sistem saraf pusat termasuk formatio retikularis dan limbik, serta juga
meningkatkan GABA.
Pemberian pethidin (golongan opioid) pada pasien ini adalah sebagai efek
analgesi pada anastesi umum, karena anastesi diinduksi oleh agen induksi
imtravena short acting lalu dipertahankan oleh opioid dengan dosis yang periodik.

25
Pemberian sevofluran pada pasien ini karena anastesi inhalasi sevofluran
bekerja cepat, tidak mengiritasi jalan napas, induksi lancar dan cepat serta
pemulihan yang cepat setelah obat dihentikan. Sevofluran dapat juga
menimbulkan depresi ventilasi namun tergantung dari dosis yang diberikan.
Sevofluran menurunkan konsumsi oksigen miokardial tanpa menurunkan aliran
darah miokardial. Sevofluran menyebabkan pelebaran pembuluh darah arteri
koroner. Efek samping dari sevoflurane adalah hipotensi, depresi napas,
laringospasme dan apneu pada induksi, mual dan muntah jika pemberian yang
berlebihan.
Pemberian propofol pada pasien ini karena efek sedatif dari propofol
melalui interaksi dengan asam Gamma Amino Butirat (GABA), terutama
menghambat neurotransmitter di system saraf pusat. Ketika reseptor GABA
diaktifkan, hantaran klorida transmembran meningkat, menyebabkan
hiperpolarisasi dari sel post sinaptik dan penghambatan secara fungsional dari
neuron post sinaptik.

26
DAFTAR PUSTAKA
1. Latief SA, Suryadi KA. Petunjuk Praktis Anestesiologi, Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia 2011
2. Dachlan, R.,dkk. 2002. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Bagian Anestesiologi
dan Terapi FK UI. Jakarta
3. Gwinnut CL. Catatan Kuliah Anestesi Klinis. Edisi 3. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC; 2008
4. Casey W. Spinal Anesthesia-a Practical Guide. Available at:
http://www.nda.ox.ac.uk/wfsa/html/u12/u1208_01.htm. access on
Wednesday, Juli 7, 2014
5. Desai AM, General Anesthesia. Accessed on July 07 2014. Available at
http://emedicine.medscape.com/article/1271543-overview#showall

27

Anda mungkin juga menyukai