Anda di halaman 1dari 40

BAB III

ANALISIS

A. Implementasi alih fungsi tanah pertanian menjadi tanah non pertanian

berdasarkan Undang-undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang

Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan di kota Pekanbaru;

Berdasarkan hasil penghitungan Badan Pusat Statistik (BPS), lembaga

statistik pemerintah, yang hanya melakukan penelitian menyeluruh pada struktur

populasi Indonesia sekali setiap dekade. Menurut studi terakhir (dirilis pada tahun

2010), Indonesia memiliki jumlah penduduk 237.6 juta orang. Namun, menurut

perkiraan-perkiraan belakangan ini (dari berbagai lembaga) Indonesia

diperkirakan memiliki lebih dari 260 juta penduduk pada tahun 2017.1

Pertumbuhan penduduk yang begitu cepat, serta aktivitas pembangunan

dalam berbagai bidang tentu saja akan menyebabkan ikut meningkatnya

permintaan akan lahan. Permintaan akan lahan tersebut terus bertambah,

sedangkan kita tahu bahwa lahan yang tersedia jumlahnya terbatas. Hal inilah

yang mendorong terjadinya alih fungsi (konversi) lahan pertanian ke non-

pertanian.

Alih fungsi lahan merupakan konsekuensi logis dari peningkatan aktivitas

dan jumlah penduduk serta proses pembangunan lainnya. Alih fungsi lahan pada

dasarnya merupakan hal yang wajar terjadi, namun pada kenyataannya alih fungsi

lahan menjadi masalah karena terjadi di atas lahan pertanian yang masih

produktif. Lahan pertanian dapat memberikan manfaat baik dari segi ekonomi,

1
https://www.indonesia-investments.com/id/budaya/penduduk/item67?

84
sosial maupun lingkungan. Oleh karena itu, semakin sempitnya lahan pertanian

akibat alih fungsi akan mempengaruhi segi ekonomi, sosial dan lingkungan

tersebut. Jika fenomena alih fungsi lahan pertanian ke non-pertanian terus terjadi

secara tak terkendali, maka hal ini akan menjadi ancaman tidak hanya bagi petani

dan lingkungan, tetapi hal ini bisa menjadi masalah nasional.

Tanah adalah sumber daya alam terpenting saat ini, dimana hampir setiap

kegiatan manusia berkaitan dan berhubungan dengan tanah, baik yang berfungsi

untuk tempat permukiman maupun sumber mata pencaharian. Pertumbuhan

penduduk yang terus bertambah dan perkembangan pembangunan yang terus

ditingkatkan khususnya juga terjadi di Kota pekanbaru, membuat banyak tanah

mengalami alih fungsi.

Fenomena alih fungsi tanah pertanian ke non pertanian sudah banyak

ditemukan di berbagai wilayah Indonesia termasuk di wilayah Kota Pekanbaru

sebagai Ibu Kota Provinsi Riau dan salah satu Kota terbesar. Tidak dapat

dipungkiri lagi, hampir setiap tahunnya penggunaan tanah yang tidak sesuai

dengan peruntukkannya (alihfungsi) tanah pertanian semakin meningkat.

Meningkatnya alihfungsi tanah pertanian diakibatkan karena beberapa faktor dan

tidak tanggung-tanggung tanah pertanian yang dialihfungsikan tidak jarang adalah

tanah yang masih sangat produktif untuk dijadikan pertanian.

Kota Pekanbaru yang merupakan ibukota Provinsi Riau yang terletak di

kawasan daratan pulau sumatera merupakan wilayah yang masih memiliki banyak

lahan pertanian yang produktif. Pola penggunaan lahan Kota Pekanbaru dapat

dibagi atas 2 kelompok utama, yaitu lahan terbangun (built up areas) dan lahan

85
belum terbangun (non-built up areas). Dari luas Kota Pekanbaru, yaitu 63.226 Ha

diperkirakan sekitar 23,55% merupakan areal yang telah terbangun. Luas lahan

terbangun sebagian besar didominasi oleh pembangunan Kawasan Perumahan

(73,29%), Kawasan Industri (12,05%) dan Kawasan Perdagangan (4,47%).

Sedangkan untuk lahan yang belum terbangun masih cukup luas dan pada

umumnya merupakan kawasan potensial untuk dikembangkan pada masa

mendatang. Luas lahan belum terbangun di Kota Pekanbaru diantaranya meliputi

24.733,49 Ha Kawasan Semak Belukar dan 18.372, 33 Ha merupakan kawasan

perkebunan Areal ini sebagian besar terdapat di wilayah utara Kota Pekanbaru,

yaitu pada Kecamatan Rumbai, Kecamatan Rumbai Pesisir, Kecamatan Tenayan

Raya dan sekitarnya.2

Berdasarkan kondisi geografis dan karakteristik wilayah Kota Pekanbaru,

dapat disimpulkan bahwa Kota Pekanbaru memiliki potensi untuk pengembangan

Kawasan Pendidikan, Kawasan Permukiman, Kawasan Perdagangan, Kawasan

Pertanian, Kawasan Lindung, Kawasan Industri, Kawasan Pergudangan dan

Kawasan Pariwasata dengan berpedoman pada Rencana Tata Ruang Wilayah

Kota Pekanbaru.3

Berkaca dari kondisi tanah pertanian Provinsi Riau sendiri, saat ini terjadi

laju penurunan lahan pertanian, tercatat dari data Dinas Pertanian dan Peternakan

Provinsi Riau menyatakan bahwa untuk luas pertanian pada lahan sawah di Riau

mengalami penyusutan hingga 100.891,19 hektare karena alih fungsi lahan. Data

yang diketahui bahwa luas baku dari lahan sawah pada tahun 2012 yaitu seluas

2
Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD) Kota Pekanbaru Tahun 2016 hlm. II-8
3
Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD) Kota Pekanbaru Tahun 2016 hlm. II-9

86
189.545 hektare dan tahun 2013 luasnya 88.653,81 hektare, namun pada tahun

2014 berkurang sebanyak 100.891,19 hektare.4 Faktor utama alih fungsi lahan

pertanian ini adalah karena masyarakat lebih memilih mengganti tanamannya

dengan perkebunan sawit, laju peningkatan lahan perkebunan sawit mengalami

peningkatan 7, 18 persen setiap tahunnya.

Hal ini mengakibatkan sampai saat ini Provinsi Riau belum bisa mencapai

program swasembada pangan. Hal ini disebabkan kurangnya perhatian pemerintah

terhadap pentingnya swasembada pangan. Riau tercatat kekurangan 415.000 ton

beras setiap tahun, dimana penduduk Riau membutuhkan sekitar 660.000 ton

beras setiap tahun namun hanya bisa menghasilkan sekitar 245.000 ton beras per

tahun yang artinya kurang lebih 60 persen beras Provinsi Riau itu tergantung pada

provinsi lain.5

Sementara Kota Pekanbaru sendiri yang memiliki luas wilayah 63,226

km2 dengan kepadatan penduduk tahun 2013 mencapai 15.034 orang /km2 hal ini

berdampak pada aspek kehidupan yang luas dan pembangunan. Kota Pekanbaru

sebagai Ibu Kota Provinsi Riau yang semakin laju kepadatan penduduknya

tuntutan terhadap kebutuhan dasar manusia seperti pangan, papan dan lahan

menjadi semakin meningkat. Kenyataan yang terjadi bahwa luas lahan cenderung

tetap, sementara itu pertumbuhan penduduk terus meningkat sehingga rasio

manusia dibandingkan dengan luas lahan nilainya lebih besar.

Perkembangan Kota Pekanbaru yang semakin pesat ditandai dengan

semakin meningkatnya perkembangan dan pertumbuhan serta dinamika kegiatan

4
Data statistic Kepala Bidang Pangan Dinas Pertanian dan Peternakan
5
http://m.situsriau.com/read-28700-2017-02-27-alih-fungsi-lahan-merajalela-riau-
kekurangan-415-ribu-ton-beras.html#sthash.oWsGBjJA.dpbs

87
sosial ekonomi yang berlangsung, seperti semakin banyaknya pusat-pusat

pelayanan jasa, sektor ekonomi, industri, transportasi, pendidikan, pariwisata, dan

ditunjang dengan akses jalan yang semakin baik. Hal tersebut terkait dengan

pertambahan penduduk Kota Pekanbaru setiap tahunnya yakni dari tahun 1990

sebanyak 398.694 orang dan meningkat sampai dengan 950.571 orang pada tahun

2013.

Pertumbuhan penduduk yang sangat tinggi di Kota Pekanbaru yakni

mengalami peningkatan sekitar 35 hingga 40 persen pertahunya menyebabkan

begitu banyak orang yang semakin membutuhkan tanah untuk berbagai keperluan.

Dapat dilihat fenomena pembangunan wilayah kota Pekanbaru pada hari ini

dampak semakin padatnya jumlah masyarakat yakni semakin lajunya

pembangunan infrastruktur di Kota Pekanbaru, seperti semakin maraknya

bangunan Hotel, Apartement, Mall, Pusat perbelanjaan, rumah sakit bertaraf

Internasional, Rumah Toko (Ruko), serta pembangunan perumahan berbagai tipe.

Kepadatan juga dapat terlihat semakin macetnya lalu lintas Kota Pekanbaru,

volume kendaraan yang semakin padat menuntut pembangunan akses jalan yang

lebih baik dan lebar.

Laju pembangunan infrastruktur khas kota besar di Kota Pekanbaru ini

tidak diiringi dengan pembangunan pertanian, padahal seperti yang sudah

dijelaskan sebelumnya bahwa kebutuhan pangan merupakan suatu hal pokok

keberlangsungan kehidupan manusia. Pemerintah Kota Pekanbaru dalam hal ini

tampak tidak memperhatikan sektor pertanian dalam pembangunan Kota, Kota

Pekanbaru memiliki lahan tidur (lahan yang belum termanfaatkan) setengah dari

88
luas wilayah Kota Pekanbaru. Dinas Pertanian dan Peternakan Kota Pekanbaru

mencatat wilayah Kota Pekanbaru saat ini masih memiliki potensi lahan tidur

yang bisa digarap menjadi lahan pertanian yang memiliki luas 45% dari 632,26

Km total luas wilayah Kota pekanbaru, menurut dinas Pertanian dan Peternakan

Kota Pekanbaru lahan tidur milik rakyat dan pemerintah ini berpotensi

dimanfaatkan untuk pertanian yang tersebar di semua Kecamatan.6

Selain hingga saat ini belum disahkannya RTRW terbaru mengenai lahan

Kota Pekanbaru, juga kurangnya program Pemerintah dalam menggalakkan sektor

pertanian menjadikan pertanian tidak berkembang di Kota Pekanbaru. Dari data

sensus pertanian 2013 Badan Pusat Statistik Pekanbaru mencatat, perbandingan

jumlah rumah tangga usaha pertanian dan jumlah perusahaan pertanian berbadan

hukum pada tahun 2003 dan tahun 2013 di Pekanbaru menurun. Bahkan rumah

tangga usaha pertanian di Pekanbaru memberikan kontribusi terkecil dibanding

Kabupaten/Kota lain, yaitu sebesar 1,94 persen terhadap total rumah tangga

pertanian di Provinsi Riau. Kabupaten dengan kontribusi terbesar adalah

Kabupaten Indragiri Hilir, sebesar 16,95 persen. Berdasarkan angka sementara

hasil pencacahan lengkap Sensus Pertanian 2013, jumlah rumah tangga usaha

pertanian di Kota Pekanbaru mengalami penurunan sebanyak 8.025 rumah tangga

dari 19.324 rumah tangga pada tahun 2003 menjadi 11.299 rumah tangga pada

tahun 2013, yang berarti menurun sebesar 41,53% selama sepuluh tahun.7

6
http://sumatra.bisnis.com/read/20150627/13/58686/pekanbaru-punya-lahan-tidur-hampir-
setengah-dari-luas-wilayah
7
Hasil Sensus pertanian 2013, badan pusat statistik Kota Pekanbaru, 2013. Hlm
10. http://st2013.bps.go.id/st2013esya/booklet/st1471.pdf

89
Target luas lahan pertanian yang sudah diatur dalam Peraturan Daerah kota

Pekanbaru Nomor 4 Tahun 1993 tentang Rencana Umum Tata Ruang Kota

Pekanbaru yakni direncanakan hingga akhir tahun 2015 adalah seluas 10.292

hektar atau sekitar 16,29% dari luas kota Pekanbaru masih belum dapat terealisasi,

bahkan pemilik lahan cenderung tidak tertarik untuk memanfaatkan lahan dalam

sektor pertanian, petani yang menggarap lahan pertanian Kota Pekanbaru menurut

data dari Dinas Pertanian dan Peternakan Kota Pekanbaru mayoritas petani

numpang atau menyewa lahan.8 Sementara dari hasil wawancara penulis terhadap

beberapa pemilik lahan yang lahannya dimanfaatkan oleh petani penyewa lahan

mayotiras pemilik lahan cenderung berencana akan mengalih fungsikan lahannya

dari sektor pertanian ke non pertanian untuk mendapatkan keuntungan secara

ekonomi.

Kurangnya perhatian pemerintah pada sektor pertanian ini serta semakin

lajunya perkembangan penduduk dan infrastruktur Kota Pekanbaru

mengakibatkan semakin seringnya terjadi alih fungsi lahan pertanian menjadi non

pertanian di Kota Pekanbaru, bukan menjadi suatu hal yang tabu melihat lahan

pertanian pada hari ini sudah berubah menjadi bangunan rumah, perumahan,

maupun ruko.

Pada dasarnya alih fungsi lahan pertanian dilarang berdasarkan UU No. 41

Tahun 2009 kecuali untuk kepentingan umum. Terjadinya alih fungsi lahan

pertanian harus memenuhi syarat berdasarkan peraturan perundang-undangan

yang berlaku. Pada Pasal 44 Ayat (3) UU Perlindungan Lahan Pertanian Pangan

8
http://sumatra.bisnis.com/read/20150627/13/58686/pekanbaru-punya-lahan-tidur-hampir-
setengah-dari-luas-wilayah

90
Berkelanjutan mengatur bahwa pengalihfungsian lahan yang sudah ditetapkan

sebagai Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan untuk kepentingan umum

sebagaimana dimaksud pada Ayat (2) hanya dapat dilakukan dengan syarat :

a. dilakukan kajian kelayakan strategis;

b. disusun rencana alih fungsi lahan;

c. dibebaskan kepemilikan haknya dari pemilik; dan

d. disediakan lahan pengganti terhadap Lahan Pertanian Pangan

Berkelanjutan yang dialihfungsikan.

Kajian kelayakan strategis sebagaimana dimaksud dalam huruf a di atas

berdasarkan Pasal 40 PP No. 1 Tahun 2011 paling sedikit mencakup:

a. luas dan lokasi yang akan dialihfungsikan;

b. potensi kehilangan hasil;

c. resiko kerugian investasi; dan

d. dampak ekonomi, lingkungan, sosial, dan budaya.

Rencana alih fungsi lahan sebagaimana dimaksud dalam huruf b

berdasarkan Pasal 41 PP No. 1 Tahun 2011 paling sedikit mencakup :

a. luas dan lokasi yang akan dialihfungsikan;

b. jadwal alih fungsi;

c. luas dan lokasi lahan pengganti;

d. jadwal penyediaan lahan pengganti; dan

e. pemanfaatan lahan pengganti.

Pembebasan tanah dalam huruf c, diatur mekanismenya dalam Pasal 42 PP

No. 1 Tahun 2011, sebagai berikut :

91
(1) Pembebasan kepemilikan hak atas tanah pada lahan dilakukan dengan

memberikan ganti rugi oleh pihak yang melakukan alih fungsi.

(2) Besaran ganti rugi dilakukan oleh Penilai yang ditetapkan oleh lembaga

pertanahan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(3) Pelaksanaan pembebasan kepemilikan hak atas tanah pada Lahan

Pertanian Pangan Berkelanjutan dilakukan sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan.

Lahan pertanian yang ditetapkan dialihfungsikan, wajib disediakan lahan

pengganti. Berdasarkan ketentuan umum PP No. 1 Tahun 2011 Tentang

Penetapan dan Alih Fungsi Lahan, yang dimaksud dengan Lahan Pengganti

adalah lahan yang berasal dari Lahan Cadangan Pertanian Pangan Berkelanjutan,

tanah telantar, tanah bekas kawasan hutan, dan/atau lahan pertanian yang

disediakan untuk mengganti Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan yang

dialihfungsikan. Pengertian lahan cadangan Pertanian Pangan Berkelanjutan

dalam ketentuan umum PP No. 1 Tahun 2011 adalah lahan potensial yang

dilindungi pemanfaatannya agar kesesuaian dan ketersediaannya tetap terkendali

untuk dimanfaatkan sebagai Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan pada masa

yang akan datang.

Lahan pengganti ini harus ditetapkan pemerintah bahkan sebelum lahan

pertanian pangan berkelanjutan ditetapkan dialihfungsikan, sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 46 Ayat (2) UU No. 41 Tahun 2009 yang mengatur bahwa

Penyediaan lahan pertanian pangan sebagai pengganti Lahan Pertanian Pangan

Berkelanjutan sudah harus dimasukkan dalam penyusunan Rencana Program

92
Tahunan, Rencana Program Jangka Menengah (RPJM) maupun Rencana Program

Jangka Panjang (RPJP) instansi terkait pada saat alih fungsi direncanakan.

Berdasarkan Pasal 46 Ayat (3) UU No. 41 Tahun 2009 Penyediaan lahan

pertanian pangan sebagai lahan pengganti dapat dilakukan dengan:

a. pembukaan lahan baru pada Lahan Cadangan Pertanian Pangan

Berkelanjutan;

b. pengalihfungsian lahan dari nonpertanian ke pertanian sebagai Lahan

Pertanian Pangan Berkelanjutan, terutama dari tanah telantar dan tanah

bekas kawasan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 Ayat (2);

atau

c. penetapan lahan pertanian sebagai Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan.

Adapun tata cara penetapan lahan pengganti ini diatur dalam Pasal 49 UU

No. 41 Tahun 2009 bahwa Lahan pengganti Lahan Pertanian Pangan

Berkelanjutan ditetapkan dengan:

a. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota dalam hal lahan pengganti terletak di

dalam satu Kabupaten/kota pada satu provinsi;

b. Peraturan Daerah Provinsi dalam hal lahan pengganti terletak di dalam dua

Kabupaten/kota atau lebih pada satu provinsi; dan

c. Peraturan Pemerintah dalam hal lahan pengganti terletak di dalam dua

provinsi atau lebih.

Prosedur tata cara beralih fungsinya lahan pertanian diatur dalam

Peraturan Menteri Pertanian No.81/Permentan/OT.140/8/2013 Tentang Pedoman

93
Teknis Tata Cara Alih Fungsi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan sebagai

berikut :

1. Tata cara Alih Fungsi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dapat

dilaksanakan setelah memenuhi semua persyaratan dan kriteria.

2. Pemohon Alih Fungsi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan di

Kabupaten/kota mengusulkan kepada Bupati/Walikota. Untuk

memberikan persetujuan, Bupati/Walikota dibantu oleh Tim verifikasi

Kabupaten/kota yang keanggotaannya berasal dari Satuan Kerja Perangkat

Daerah (SKPD) yang bertanggung jawab dalam bidang lahan pertanian,

perencanaan pembangunan, infrastruktur, administrasi pertanahan dan

instansi/lembaga terkait.

3. Pemohon Alih Fungsi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan lintas

Kabupaten/Kota dalam satu Provinsi setelah mendapatkan rekomendasi

dari Bupati/Walikota mengusulkan kepada Gubernur. Untuk memberikan

persetujuan, Gubernur dibantu oleh Tim verifikasi Provinsi yang

keanggotaannya berasal dari SKPD yang bertanggung jawab dalam bidang

lahan pertanian, perencanaan pembangunan, infrastruktur, administrasi

pertanahan dan instansi/lembaga yang terkait.

4. Pemohon alih fungsi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan lintas provinsi

setelah mendapatkan rekomendasi dari Bupati/Walikota dan Gubernur

mengusulkan kepada Presiden. Untuk memberikan persetujuan, Presiden

dibantu oleh Tim verifikasi nasional yang keanggotaannya berasal dari

Kementerian/Lembaga yang bertanggung jawab dalam bidang lahan

94
pertanian, perencanaan pembangunan, infrastruktur, administrasi

pertanahan dan instansi/lembaga terkait.

5. Usulan pada butir 2 sampai dengan 4 di atas disampaikan kepada

Bupati/Walikota setelah mendapatkan persetujuan dari Menteri Pertanian.

Tata cara beralihfungsinya lahan pertanian di Kota Pekanbaru

melibatkan beberapa instansi terkait dalam Satuan Kerja Perangkat Daerah

(SKPD) seperti Dinas Pertanian dan Peternakan, Dinas Pekerjaan Umum

dan Tata Ruang, dan Kantor Pertanahan. Berdasarkan wawancara dengan

., Izin pengalihfungsian lahan pertanian menjadi non pertanian di Kota

Pekanbaru terdapat dua jenis mekanisme yaitu;

(1) Izin Perubahan Penggunaan Tanah

Izin perubahan penggunaan tanah diterbitkan untuk lahan dengan

luas kurang dari 1 hektar. Izin ini dapat terbit dengan prosedur sebagai

berikut :

1. Pemohon mengajukan permohonan kepada Kepala Kantor

Pertanahan;

2. Kantor Pertanahan membentuk Tim Pertimbangan Teknis

Pertanahan untuk melakukan peninjauan lokasi

3. Setelah melakukan peninjauan lokasi, Tim Pertimbangan Teknis

menerbitkan Berita Acara Rapat Tim Pertimbangan Teknis

Pertanahan

4. Kantor Pertanahan kemudian menerbitkan risalah hasil

pertimbangan teknis dalam penerbitan izin perubahan fungsi lahan.

95
(2) Izin Lokasi.

Bentuk lain izin pengalihfungsian lahan pertanian adalah izin

lokasi. Izin lokasi juga diatur pada UU No. 26 Tahun 2007 Tentang

Penataan Ruang. Izin lokasi sebagai izin pemanfaatan ruang diatur dalam

Pasal 26 Ayat (3) UUPR, yaitu RTRW Kabupaten/Kota menjadi dasar

untuk penerbitan perizinan lokasi pembangunan dan administrasi

pertanahan.

Menurut analisis penulis implementasi aturan pengalihfungsian lahan

pertanian di Kota Pekanbaru tidak memenuhi syarat-syarat yang diatur dalam

pasal-pasal diatas. Syarat pertama mengenai kajian kelayakan strategis, yang

dimaksud dengan kajian kelayakan strategis diatur lebih lanjut pada Pasal 40 PP

No. 1 Tahun 2011 sebagai berikut :

a. luas dan lokasi yang akan dialihfungsikan;

b. potensi kehilangan hasil;

c. resiko kerugian investasi; dan

d. dampak ekonomi, lingkungan, sosial, dan budaya.

Syarat kedua adalah rencana alih fungsi lahan, dimana dalam Pasal 41 PP

No. 1 Tahun 2011 bahwa rencana alih fungsi lahan memuat :

a. luas dan lokasi yang akan dialihfungsikan;

b. jadwal alih fungsi;

c. luas dan lokasi lahan pengganti;

d. jadwal penyediaan lahan pengganti; dan

e. pemanfaatan lahan pengganti.

96
Dalam perizinan yang menjadi objek penelitian penulis, terkait rencana

alih fungsi lahan, luas dan lokasi lahan dan jadwal alih fungsi lahan yang akan

dialihfungsikan dicantumkan dengan jelas dalam izin. Namun syarat diadakannya

lahan pengganti untuk lahan pertanian yang dialihfungsikan, yang terjadi sejauh

ini tidak disediakan oleh Pemerintah Kota Pekanbaru, sehingga secara umum

syarat rencana alih fungsi lahan ini juga tidak terpenuhi.

Dalam wilayah Kota Pekanbaru, berdasarkan ketentuan Pasal 49 di atas

seyogyanya dibuat sebuah Perda Kabupaten/Kota tentang lahan pengganti ini,

namun berdasarkan wawancara penulis dengan .. salah satu aparatur .,

sampai saat ini belum dibuat peraturan daerah tentang lahan pengganti alih fungsi

lahan pertanian tanaman pangan berkelanjutan. Dengan belum disahkannya

RTRW Kota Pekanbaru dan tidak mungkin lagi mengacu pada RTRW lama, saat

ini Pemerintah membuat kebijakan terhadap lahan pertanian di bawah 2 hektar

yang diminta untuk dialihfungsikan akan dikeluarkan izinnya, sementara untuk

beberapa kategori pembangunan ditahan penerbitan IMB nya sembari menunggu

disahkannya RTRW Kota Pekanbaru. Tanpa adanya RTRW serta Perda tentang

perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan untuk menindak tegas pelaku

alih fungsi lahan tanpa izin sulit dilakukan.

Persoalan mendasar dari kegiatan alih fungsi lahan pertanian menjadi non

pertanian adalah kriteria sah tidaknya menurut hukum lahan dialihfungsikan

berdasarkan ketentuan-ketentuan dalam UU No. 41 Tahun 2009. Pasal 44 Ayat (1)

UU No. 41 Tahun 2009 mengatur bahwa lahan yang sudah ditetapkan sebagai

Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dilindungi dan dilarang dialihfungsikan.

97
Kemudian pada Ayat (2) terdapat ketentuan pengecualian yang mengatur bahwa

dalam hal untuk kepentingan umum, Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan

sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dapat dialihfungsikan, dan dilaksanakan

sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pengertian tentang kepentingan umum dijelaskan dalam penjelasan Pasal

44 Ayat (2) UU No. 41 Tahun 2009, bahwa yang dimaksud dengan kepentingan

umum adalah kepentingan sebagian besar masyarakat yang meliputi :

1. kepentingan untuk pembuatan jalan umum,

2. waduk,

3. bendungan,

4. irigasi,

5. saluran air minum atau air bersih,

6. drainase dan sanitasi,

7. bangunan pengairan,

8. pelabuhan,

9. bandar udara,

10. stasiun dan jalan kereta api,

11. terminal,

12. fasilitas keselamatan umum,

13. cagar alam,

14. pembangkit dan jaringan listrik.

98
Dalam teori penggolongan kaidah, dikenal empat penggolongan kaidah

yang paling umum sebagai berikut :9

1. Perintah (gebod), ini adalah kewajiban umum untuk melakukan sesuatu;

2. Larangan (verbood), ini adalah kewajiban umum untuk tidak melakukan

sesuatu;

3. Pembebasan (vrijstelling, dispensasi), ini adalah pembolehan (verlof)

khusus untuk tidak melakukan sesuatu yang secara umum diharuskan;

4. Izin (toetstemming, permisi), ini adalah pembolehan khusus untuk

melakukan sesuatu yang secara umum dilarang.

Kaidah tentang kepentingan umum di atas merupakan kaidah yang bersifat

izin, pembolehan khusus untuk melakukan sesuatu yang secara umum dilarang,

artinya secara umum pengalihfungsian lahan pertanian dilarang kecuali ketentuan-

ketentuan yang disebutkan pada Pasal di atas. Dari keempat belas bidang tentang

kepentingan umum sebagaimana disebut dalam Pasal di atas, kepentingan untuk

pembangunan non pertanian yang tidak tergolong kepentingan umum seperti

halnya digunakan sebagai kawasan perumahan ataupun industri dapat disimpulkan

bahwa kegiatan alih fungsi lahan pertanian tersebut merupakan kegiatan alih

fungsi yang dilarang berdasarkan Pasal 44 Ayat (1) UU No. 41 Tahun 2009

Tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan.

Pasal 50 Ayat (1) UU No. 41 Tahun 2009 mengatur bahwa segala bentuk

perizinan yang mengakibatkan alih fungsi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan

batal demi hukum, kecuali untuk kepentingan umum sebagaimana dimaksud

9
JJ. H. Bruggink, 2011, Refleksi Tentang Hukum Pengertian-Pengertian Dasar Dalam
Teori Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, hhlm. 100

99
dalam Pasal 44 Ayat (2). Hal ini membuktikan bahwa perlindungan hukum

terhadap lahan pertanian sangat kuat, sehingga segala bentuk perizinan yang

mengalihfungsikan lahan pertanian menjadi batal demi hukum. Konsekuensi dari

keadaan batal demi hukum adalah suatu perbuatan yang dinyatakan batal demi

hukum dianggap tidak pernah ada. Bahkan pada Pasal 50 Ayat (2) UU No. 41

Tahun 2009 ini memerintahkan agar lahan pertanian tanaman pangan

berkelanjutan yang dialihfungsikan bukan untuk kepentingan umum wajib

dikembalikan kepada keadaan semula.

Larangan alih fungsi lahan pertanian ini disertai ancaman sanksi yang

tegas, terdapat dua jenis ancaman sanksi dalam UU No. 41 Tahun 2009, yaitu :

1. Sanksi administratif, sebagaimana diatur dalam Pasal 70, terdapat

beberapa bentuk sanksi administratif yaitu :

a. peringatan tertulis;

b. penghentian sementara kegiatan;

c. penghentian sementara pelayanan umum;

d. penutupan lokasi;

e. pencabutan izin;

f. pembatalan izin;

g. pembongkaran bangunan;

h. pemulihan fungsi lahan;

i. pencabutan insentif; dan/atau

j. denda administratif.

100
2. Sanksi Pidana, pada Bab XVI tentang ketentuan Pidana terdapat dua

bentuk sanksi pidana yaitu pidana denda dan pidana penjara, adapun

macam-macam ancaman sanksi pada Pasal 72 Pasal 74 sebagai berikut :

Pasal 72

1) Orang perseorangan yang melakukan alih fungsi Lahan Pertanian Pangan

Berkelanjutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 Ayat (1) dipidana

dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak

Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

2) Orang perseorangan yang tidak melakukan kewajiban mengembalikan

keadaan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan ke keadaan semula

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 Ayat (2) dan Pasal 51 dipidana

dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak

Rp 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).

3) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dan Ayat (2)

dilakukan oleh pejabat pemerintah, pidananya ditambah 1/3 (satu pertiga)

dari pidana yang diancamkan.

Pasal 73

Setiap pejabat pemerintah yang berwenang menerbitkan izin

pengalihfungsian Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan tidak sesuai dengan

ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 Ayat (1), dipidana dengan

pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun

dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan

paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

101
Pasal 74

1) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 Ayat (1)

dan Ayat (2) dilakukan oleh suatu korporasi, pengurusnya dipidana dengan

pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh)

tahun dan denda paling sedikit Rp 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah)

dan paling banyak Rp 7.000.000.000,00 (tujuh miliar rupiah).

2) Selain pidana denda sebagaimana dimaksud pada Ayat (1), korporasi dapat

dijatuhi pidana berupa:

a. perampasan kekayaan hasil tindak pidana;

b. pembatalan kontrak kerja dengan pemerintah;

c. pemecatan pengurus; dan/atau

d. pelarangan pada pengurus untuk mendirikan korporasi dalam bidang

usaha yang sama.

3) Dalam hal perbuatan sebagaimana diatur dalam bab ini menimbulkan

kerugian, pidana yang dikenai dapat ditambah dengan pembayaran

kerugian

Dalam hal ini fungsi pemerintah sendiri adalah sebagai pengendali dan

pemantau terhadap pelaksanaan dari pemanfaatan tanah. Agar pelaksanaan

penertiban, pengendalian, dan pencegahan pengalihan fungsi tanah pertanian ke

non pertanian dapat terkendali maka harus ada izin untuk pengalihan fungsi tanah

tersebut. Dalam permohonan izin pengalihan fungsi tanah pertanian ke non

pertanian pemohon harus memenuhi syarat-syarat dan harus melalui prosedur

yang telah ditetapkan.

102
Sesuai peraturan yang berlaku, ketentuan perizinan diatur oleh pemerintah

atau pemerintah daerah menurut kewenangan masing-masing sesuai dengan

peraturan perundangan yang berlaku, apabila terdapat ketidaksesuaian izin

pemanfaatan ruang dengan rencana tata ruang wilayah maka pemerintah atau

pemerintah daerah dapat membatalkan menurut ketentuan masing-masing sesuai

dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Kegiatan alih fungsi tanah pertanian ke non pertanian harus mengikuti

peraturan yang sudah ditetapkan, agar semua pihak yang bersangkutan dalam

pengalihan fungsi tanah pertanian ke non pertanian lebih meningkatkan kinerjanya

dan lebih selektif dalam pemberian izin, sehingga pengendalian alih fungsi tanah

pertanian ke non pertanian tidak mempengaruhi produksi pangan dan

ketidaksesuaian dengan RTRW yang dapat berdampak pada rancangan

pembangunan daerah.

Terbitnya izin pengalihfungsian lahan pertanian menjadi non pertanian

menunjukkan adanya kelalaian Pemerintah Daerah Kota Pekanbaru dalam

melakukan perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan. dalam Pasal 37

UU No. 41 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan

Berkelanjutan, Pengendalian Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dilakukan

oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah melalui pemberian:

a. insentif;

b. disinsentif;

c. mekanisme perizinan;

d. proteksi; dan

103
e. penyuluhan.

Namun dalam pratiknya Pemerintah Daerah telah lalai dari kewajibannya

untuk memenuhi perintah Undang-Undang tersebut. Dalam kasus

pengalihfungsian ini Pemerintah Daerah lalai dalam pengendalian perizinan, izin

dari pemerintah daerah untuk mengalihfungsikan lahan pertanian pangan

berkelanjutan melalui izin lokasi begitu mudah diperoleh pelaku pengalihfungsian

tanah pertanian menjadi non pertanian tanpa pertimbangan matang dari

Pemerintah Daerah. Juga Pemerintah lalai dalam menegakkan sanksi bagi pelaku

alih fungsi tanah pertanian menjadi non pertanian yang dalam hal ini tidak melalui

proses mekanisme perizinan misalnya bagi pelaku yang membangun rumah

tinggal di atas lahan pertanian.

Implementasi UU No.41 Tahun 2009, saat ini baru sampai pada tahap

identifikasi lokasi dan belum ada suatu peraturan daerah yang mengatur tentang

hal tersebut, dan belum disahkannya Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW)

Provinsi dan beberapa Kabupaten/Kota termasuk RTRW Provinsi Riau yang

berdampak belum dapat disahkannya RTRW Kota Pekanbaru.

Rancangan peraturan daerah terkait perlindungan lahan pertanian pangan

berkelanjutan, juga belum dapat dibahas oleh legislatif, meskipun rancangan perda

sudah disampaikan sejak tahun 2011. Lamanya rancangan perda perlindungan

lahan pertanian pangan berkelanjutan berada di legislatif, karena belum

disahkannya RTRW Provinsi Riau. Belum adanya perda menjadi hambatan dalam

kegiatan sosialisasi karena lahan pertanian yang dilindungi belum ditetapkan,

sehingga tidak ada payung hukum yang jelas seandainya terjadi pelanggaran,

104
demikian pula dalam menyampaikan informasi lahan-lahan mana yang dijadikan

lahan yang dilindungi.

Implementasi perlindungan lahan pertanian berkelanjutan memerlukan

koordinasi dan kerjasama antar instansi terkait, mengingat permasalahan lahan

pertanian ini merupakan permasalahan lintas sektoral.10 Dari segi teknis, dinas

lingkup pertanian sangat berkompeten dalam permasalahan ini, tetapi jika ditinjau

dari segi lahannya, pihak Badan Pertanahan Nasional yang memiliki wewenang.

Kebijakan perlindungan lahan merupakan wewenang pemerintah daerah. Oleh

karena itu sangat diperlukan adanya koordinasi antar instansi terkait demi

suksesnya implementasi perlindungan lahan pertanian berkelanjutan tersebut.

Selain itu, guna kelancaran pelaksanaan kegiatan terkait pengendalian

lahan pertanian pangan, agar masyarakat yang menjadi sasaran kegiatan

mengetahui tentang perlindungan lahan pertanian berkelanjutan, sangat diperlukan

adanya sosialisasi. Sosialisasi perlu dilakukan secara intensif dan berkelanjutan,

mengingat masih banyaknya kejadian alih fungsi lahan pertanian di Kota

Pekanbaru. Dengan sosialisasi diharapkan masyarakat mengetahui tentang

perlindungan lahan pertanian dan memahami maksud dan tujuannya, sehingga

dapat menyadarkan masyarakat untuk tidak lagi mengalihfungsikan lahan

pertaniannya. Pengembangan kesadaran dan tanggung jawab masyarakat terutama

para pemilik lahan pertanian dapat dilakukan melalui penyuluhan, bimbingan,

pendidikan dan pelatihan. Dengan itu semua diharapkan masyarakat mengetahui

upaya-upaya yang harus dilakukan untuk mempertahankan lahan pertaniannya

10
Iqbal,M dan Sumaryanto. 2007. Strategi Pengendalian Alih Fungsi Lahan Pertanian
Bertumpupada PartisipasiMasyarakat.Analisis Kebijakan Pertanian. 5(2):167-182.

105
seandainya ada pihak-pihak yang ingin membeli lahan pertaniannya untuk

dialihfungsikan menjadi bentuk penggunaan tertentu.11

B. Faktor-faktor yang mendorong terjadinya perubahan alih fungsi tanah

pertanian menjadi tanah non pertanian di kota Pekanbaru

Beralih fungsinya lahan pertanian menjadi lahan non-pertanian merupakan

fenomena yang sering terjadi. Pertumbuhan suatu kota, yang berakibat pada

peningkatan kebutuhan lahan, akan membawa implikasi terhadap semakin

pesatnya aktivitas ekonomi di luar bidang pertanian. Sejalan dengan hal tersebut,

semakin meningkatnya jumlah penduduk dan pola aktivitas manusia yang

menuntut ruang untuk bergerak berakibat pada pergeseran perubahan penggunaan

lahan.

Alih fungsi tanah pertanian ke penggunaan non pertanian berkaitan erat

dengan fungsi dan nilai yang terkandung pada tanah sebagai modal utama

pembagunan. Artinya, peningkatan kebutuhan tanah tersebut sangat erat kaitannya

dengan intensitas pembangunan yang semakin tingi, jumah penduduk yang

bertambah dan meningkatnya tuntutan mutu kehidupan yang lebih baik.

Alih fungsi tanah pertanian ke non pertanian tidak hanya berkaitan dengan

fisik tanah pertanian yang berkurang luasnya, melainkan menyangkut berbagai

aspek kehidupan masyarakat yang bersifat dinamis. Dengan kata lain alih fungsi

tanah pertanian tersebut sangat dipengaruhi oleh perubahan orientasi ekonomi,

sosial budaya dan politik masyarakat maupun pemerintahan.

11
Handari, AW. 2012. Implementation Kebijakan Perlindungan Lahan Pertanian Pangan
Berkelanjutan di Kabupaten Magelang [Thesis]. Semarang : Universitas Diponegoro.

106
Proses alih fungsi tanah pertanian ke non pertanian pada dasarnya terjadi

dengan dua cara yang melibatkan berbagai faktor, yaitu secara sistematis dan

sporadik. Proses alih fungsi tanah pertanian secara sistematis pada umumnya

terjadi mengelompk, bersama-sama dan mencakup areal yang relatiif cukup luas

seperti pembangunan/pengembangan kawasan industri, perumahan/pemukiman,

pembangunan prasarana prekonomian dan sebagainya. Sedangkan alih fungsi

tanah pertanian secara sporadis pada umumnya terjadi secara individual, terpisah-

pisa dan mencakup areal yang relatif sempit-sempit seperti pengalihan tanah

pertanian oleh pemiliknya sendiri di luar peruntukannya. 12

Banyak faktor yang menyebabkan beralihnya tanah pertanian ke non

pertanian. Faktor yang paling banyak ditemui di masyarakat adalah karena

kemiskinan. Berkurangnya hasil produksi dari pertanian serta jumlah kebutuhan

hidup yang kian mahal serta tingginya harga jual tanah mengakibatkan banyak

petani yang kemudian menjual tanah sawahnya. Hal itu bertujuan untuk

memperbaiki taraf hidup dikemudian hari. Faktor lainnya adalah karena faktor

semakin padatnya jumlah penduduk dan semakin berkembangnya sektor industri

yang mulai dibangun khususnya di daerah perkotaan seperti untuk memenuhi

kebutuhan-kebutuhan individu masyarakat yang semakin padat misalnya terhadap

kebutuhan tempat tinggal, pendidikan, perkantoran serta sektor-sektor industri

lainnya yang berkaitan dengan perkembangan daerah perkotaan. Kawasan

kebutuhan penduduk yang semakin padat dan industri perlahan-lahan mulai

dibangun di atas tanah pertanian yang masih tergolong produktif dikarenakan

12
Asmadi Adnan, Alih Guna Tanah Pertnian dan Pengendaliannya, Jakarta : Pusat
Penelitian dan Pengembangan, Badan Pertanahan Nasional, 1996 hal 37-38

107
tidak ada lahan lain untuk membangun. Semakin meningkatnya jumlah penduduk

dan berkembanganya industri maka akan terus semakin menarik banyak penduduk

untuk tinggal di sana dan menarik banyak investor untuk membangun kawasan

industri yang lainnya.

Dari hasil penelitian yang penulis dapatkan mengenai faktor-faktor

penyebab terjainya alih fungsi tanah pertanian ke non pertanian adalah :

1. Faktor Sosial Budaya

Sosial budaya merupakan segala sesuatu yang berhubungan

dengan masyarakat dan segala perilaku yang sudah menjadi kebiasaan

yang ada dalam kelompok masyarakat itu sendiri. Pada prinsipnya

faktor ini disebabkan oleh beberapa persoalan diantaranya persoalan

perkembangan penduduk yang disebabkan pertumbuhan penduduk

alami dan urbanisasi. Dalam kaitan ini alih fungsi lahan pertanian

sangat dipengaruhi oleh keperluan tanah untuk memenuhi kebutuhan

pendudukan yang semakin bertambah jumlahnya disertai dengan

peningkatan kualitas kehidupan yang lebih baik sebagai keberhasilan

pelaksanaan pembangunan. Faktor sosial budaya masyarakat perkotaan

sebagai suatu proses alamiah yang dibarengai dengan terjadinya proses

transformasi perekonomian wilayah perkotaan mempunyai pengaruh

besar terhadap proses alih fungsi tanah pertanian ke non pertanian.

Kondisi perkembangan Kota Pekanbaru sebagai Kota Metropolis

menjadikan orientasi masyarakat cenderung pada hegemoni kehidupan

kota besar.

108
Kemudian pada kondisi pewarisan tanah kepada beberapa ahli

waris yang mengakibatkan semakin menyempitnya areal pertanian

yang menyebabkan terfragmentasinya tanah pertanian sehingga tidak

memenuhi batas minimum skala ekonomi usaha yang menguntungkan,

hal ini mengakibatkan petani maupun pemilik lahan pertanian di Kota

Pekanbaru memilih untuk beralih ke usaha lain selain pertanian

ditambah dengan nilai ekonomis yang dijanjikan dengan mengalihkan

sektor usaha dari pertanian ke non pertanian. Kaitannya erat terhadap

pergeseran pandangan masyarakat terhadap bidang usaha pertanian

yang dianggap sangat tidak menguntungkan dalam nilai ekonomi

praktis. Juga dengan adanya warisan yang berupa tanah pertanian,

maka tidak diperlukan lagi untuk membeli tanah lain untuk dijadikan

sebagai tempat tinggal. Hal ini disebabkan karena harga tanah di

wilayah permukiman di Kota Pekanbaru yang sangat mahal dan si

pewaris tidak memiliki kemampuan untuk membelinya. Tidak ada

pilihan lain bagi si pewaris selain mengalihfungsikan tanah pertanian

menjadi rumah tempat tinggal.

Ditunjang dengan pembangunan sarana dan prasarana

perkotaan yang semakin maju, sehingga arus barang, informasi dan

komunikasi serta mobilisasi penduduk semakin lancar hal ini

mengubah cara pandangan masyarakat Kota Pekanbaru terhadap

eksistensi diri sebagai petani. Menjadi petani dianggap ketinggalan

zaman ditambah dengan kesempatan untuk mendapatkan pendidikan

109
yang lebih tinggi terbuka lebar. Paradigma masyarakat Kota dalam hal

ini Kota Pekanbaru sebagai orang tua menginginkan anaknya

mendapatkan pendidikan tinggi untuk kemudian mendapatkan

pekerjaan yang lebih terpandang dari pada menjadi seorang petani

yang citranya semakin menurun begitupun sebaliknya generasi muda

berpandangan yang sama.

2. Faktor Ekonomi

a. Perubahan Struktur Perekonomian

Perubahan struktur perekonomian yang disebabkan

transformasi struktur perekonomian dapat ditandai oleh semakin

berkurangnya peranan relatif sektor pertanian dan semakin

meningkatnya peranan related sektor non pertanian (industri dan

jasa).13

Data dari BPS menunjukkan menurunnya Pertumbuhan

Sektor Pertanian Atas Dasar Harga Konstan Kota Pekanbaru Tahun

2009-2013 mengalami penurunan setiap tahunnya pada tahun 2009

sebesar 3,95%, pada tahun 2010 sebesar 3,78%, tahun 2011 sebesar

3,74%, tahun 2012 sebesar 3,66%, dan pada tahun 2013 3,68% jika

dilihat dari peranan per sektor terhadap PDRB, pada tahun 2013

sektor Pertanian yang memberikan kontribusi terkecil dibanding

dengan sektor-sektor lainnya seperti sektor Hotel dan Restoran,

Keuangan, Sewa dan Jasa Perusahaan, dan bangunan. Hal ini dapat

13
Asmadi adnan hlm. 40

110
kita cermati sektor pertanian bukan menjadi perhatian utama dari

pertumbuhan Kota Pekanbaru dalam beberapa tahun belakangan

ini.14

Perubahan struktur perekonomian tersebut secara langsung

maupun tidak langsung sangat mempengaruhi laju alih fungsi tanah

pertanian menjadi non pertanian. Perubahan ini menyebabkan

pergeseran struktur penggunaan dan pemanfaatan lahan, terutama

sangat dirasakan pada wilayah perkotaan yang lengkap

infrastrukturnya khsusunya dalam hal ini Kota Pekanbaru.

Meningkatnya pembangunan di bidang perindustrian

secara alamiah membutuhkan tanah yang cukup luas untuk lokasi

industri dan pemukiman pendukung pembangunan industri, yang

bila dilakukan tanpa memperhitungkan kepentingan pembangunan

pertanian nasional jelas akan berakibat pada meningkatnya alih

fungsi pertanian ke non pertanian (industri, jasa, perumahan dan

sebagainya).

Hal itu berakibat pada pemanfaatan lahan di Kota

Pekanbaru pada sektor pertanian. Nilai ekonomis tentu menjadi

suatu tolak ukur yang sangat mempengaruhi, ditambah dengan

kurangnya peran serta Pemerintah dalam menggalakkan program

pertanian menjadikan kelesuan sektor pertanian, sehingga alih

14
Pendapatan Ekonomi Regional Kota Pekanbaru Menurut Lapangan Usaha 2009-2013

111
fungsi lahan pertanian menjadi non pertanian menjadi pilihan

praktis untuk memperoleh kentungan.

b. Nilai sewa ekonomi Tanah

Nilai sewa ekonomi tanah menggambarkan nilai

penerimaan bersih faktor produksi tanah di dalam sitem produksi

tanah di dalam sistem produksi atau disebut sewa ekonomi tanah

(land rent). Nilai sewa ekonomi tanah ini merupakan salah satu

faktor yang akan menentukan daya saing relatif suatu penggunaan

tanah.

Di dalam hasil penelitian dari beberapa penelitian

mengenai Kota Pekanbaru bahwa penggunaan tanah untuk

pertanian sangat inferior (lebih rendah) dibanding penggunaan

untuk industri, perumahan, dan pariwisata. Seiring berkembangnya

pengetahuan, teknologi serta bertambahnya wawasan para pemilik

lahan pertanian, maka tidak sedikit dari pemilik tanah pertanian di

Kota Pekanbaru yang sengaja mengalihfungsikan lahan pertanian

ke sektor usaha lain. Dengan harapan perekonomian dapat semakin

meningkat, pemanfaatan tanah pertanian dialihkan menjadi usaha-

usaha non pertanian seperti mendirikan rumah, ruko, serta tempat-

tempat industri lainnya.

c. Harga dan Produktivitas Tanah

Pembangunan industri, perumahan dan prasarana

perekonomian membutuhkan tanah yang sangat luas dan pesat di

112
Kota Pekanbaru. Pada sisi lain, tanah-tanah di Kota Pekanbaru

semakin sangat terbatas dengan harga yang begitu tinggi. Untuk

mengatasi masalah ini, pengembangan industri, perumahan dan

sebagainya mulai diarahkan ke daerah pinggiran perkotaan yang

kebanyakan merupakan kawasan lahan pertanian produktif karena

relatif tanah masih luas dengan harga yang relatif lebih rendah.

Karena nilai sewa ekonomi tanah (land rent) untuk

penggunaan pertanian jauh lebih rendah dibandingkan untuk

penggunaan non pertanian, maka tanah-tanah pertanian terdesak

beralih ke non pertanian.

3. Kepadatan Penduduk

Dengan pertumbuhan penduduk Kota Pekanbaru yang besar

tentunya kebutuhan lahan untuk membangun rumah tempat tinggal

juga akan semakin luas sehingga akan mengancam terwujudnya

pelestarian lahan pertanian pangan berkelanjutan. Proses

pengalihfungsian tanah pertanian ke non pertanian tidak dapat

dihindari. Semakin meluasnya daerah pemukiman penduduk akibat

dari kepadatan penduduk di Kota Pekanbaru, kemudian hal ini diikuti

dengan ikut berkembangnya sektor-sektor lain yang mendukung

kebutuhan kepadatan penduduk.

Terciptanya suatu kondisi wilayah padat penduduk di Kota

Pekanbaru menjadi suatu nilai ekonomis tersendri bagi para pelaku

usaha untuk turut serta mengembangkan usahanya yang mampu

113
menjangkau kebutuhan penduduk dimana kecenderungan penduduk

masyarakat kota mendambakan suatu kondisi praktis dalam

pemenuhan kebutuhannya, kemudian Pemerintah juga dituntut untuk

mampu memenuhi segala fasilitas kebutuhan masyarakat. Hal-hal ini

menjadikan pemanfaatan lahan pertanian semakin dirasa tidak lebih

penting dari efek dari semakin padatnya jumlah penduduk. Pada

intinya karena semakin bertambahnya jumlah kepadatan penduduk

Kota Pekanbaru maka kebutuhan tanah semakin meningkat yang

secara langsung mempengaruhi nilai ekonomi tanah, hal inilah yang

menjadikan pemilik lahan pertanian lebih memilih untuk mengalih

fungsikan tanah pertanian ke non pertanian.

4. Belum tersosialisasinya Peraturan Perundang-Undangan mengenai

perlindungan lahan pertanian.

Berdasarkan hasil wawancara dengan responden dalam

penelitian ini, diketahui bahwa kebanyakan pemilik lahan pertanian

belum pernah tahu adanya peraturan perundang-undangan yang

mengatur mengenai perlindungan lahan pertanian khusunya Undang-

Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian

Pangan Berkelanjutan. Hal ini menunjukkan bahwa sosialisasi undang-

undang tersebut belum tersampaikan sampai ke masyarakat tingkat

bawah dan olehnya itu upaya sosialisasi masih diperlukan. Upaya ini

bertujuan untuk melindungi lahan pertanian yang masih produktif

untuk tidak beralihfungsi menjadi non pertanian, karena lahan

114
pertanian produktif merupakan salah satu lahan pertanian pangan yang

ditetapkan sebagai lahan pertanian pangan berkelanjutan.

Seperti yang telah dituangkan dalam pasal 44 Undang-Undang

No. 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan

Berkelanjutan dikatakan bahwa lahan pertanian produktif adalah lahan

pertanian pangan berkelanjutan dilindungi dan dilarang dialihfungsikan

dan terdapat sanksi bagi pelaku alih fungsi lahan pertanian jika tanpa

mengantongi izin dari Pemerintah.

5. Faktor Kebijaksanaan Pembangunan Wilayah

Kebijaksanaan pembangunan wiayah dalam implikasinya

kadangkala tidak kondusif terhadap pembangunan pertanian pangan.

Strategi pembangunan wilayah yang bias terhadap pembangunan

perkotaan dengan basis ekonomi yang bertumpu pada pembangunan

industri, mengakibatkan sumber daya berkualitas tinggi akan tertatik

pada model perkotaan dan mengakibatkan petani dan pemilik lahan

mengambil tindakan yang tidak rasional yaitu menjual tanahnya untuk

penggunaan non pertanian.

Hal tersebut menunjukkan bahwa indikasi kuat bahwa tanah-

tanah pertanian di wilayah pusat pertumbuhan ekonomi dalam hal ini

Kota Pekanbaru sebagai Ibu Kota Provinsi yang perkembangannya

relatif tinggi sehingga sangat sulit terhindarkan dari alih fungsi tanah

pertanian ke non pertanian.

115
6. Belum ada Regulasi yang Tegas Mengatur Larangan Alih Fungsi

Tanah Pertanian menjadi Non Pertanian.

Belum disahkannya RTRW Provinsi Riau terbaru yang

berimbas pada belum dapat disahkannya RTRW Kota Pekanbaru serta

peraturan Daerah terkait perlindungan lahan pertanian menjadikan

kebijakan pemerintah dalam hal ini melindungi lahan pertanian tidak

memiliki payung hukum yang kuat.

Dalam hal ini masyarakat secara sepihak sering bertindak

mengalihfungsikan pemanfaatan lahan pertanian ke non pertanian

namun Pemerintah dalam beberapa kasus ini tidak dapat melakukan

tindakan hukum karena payung hukum penataan wilayah pada saat ini

tidak memberikan larangan pada tindakan tersebut. Juga desakan

lajunya permintaan izin alih fungsi lahan pertanian menjadi non

pertanian akibat dari perkembangan kota Pekanbaru yang semakin

pesat memaksa Pemerintah mengeluarkan kebijakan mengeluarkan izin

alih fungsi lahan pertanian ke non Pertanian jika luas wilayah tidak

lebih dari dua hektar.

Walaupun substansi aturan dalam UU Perlindungan Lahan

Pertanian Pangan Berkelanjutan tindakan alih fungsi lahan maupun

memberikan izin alih fungsi lahan yang terjadi di Kota Pekanbaru tidak

sejalan, namun masih belum adanya regulasi RTRW dan Perda Kota

Pekanbaru terkait perlindungan lahan pertanian menjadikan tindakan

alih fungsi lahan pertanian menjadi non pertanian terus berlanjut. Hal

116
ini juga berkaitan dengan kurangnya ketegasan dan keseriusan

Pemerintah Kota Pekanbaru dalam pengendalian fungsi lahan

pertanian. Ketidaktegasan dan ketidakseriusan tersebut diantaranya

meliputi kekuatan hukum, pelaksanaan regulasi, penegak hukum dan

sanksi pelanggaran.

7. Kurangnya Peran Serta Pemerintah dalam Perlindungan Lahan

Pertanian

Seperti Proses alih fungsi lahan yang gampang

- Tidak memberikan pelatihan dll memotivasi

- Tingginya laju perubahan fungsi lahan sawah tersebut diatas,

menunjukkan bahwa peraturan perundang-undangan pengendalian

lahan pertanian pangan yang ada belum efektif mencegah terjadinya

alih fungsi lahan pangan di provinsi Riau. Salah satu faktor penyebabnya

adalah persepsi pemerintah daerah tentang kerugian akibat alih fungsi

lahan sawah cenderung bias ke bawah (under estimate), sehingga

dampak negatif alih fungsi lahan sawah tersebut kurang dianggap

sebagai persoalan yang perlu ditangani secara serius dan konsisten.15

- Kurang kuatnya koordinasi dan sinergitas antar lembaga terkait

penggunaan lahan, merupakan kendala utama di provinsi Riau. Menurut

Irawan aspek koordinasi menjadi salah satu kunci sukses untuk

mewujudkan sistem pendayagunaan sumberdaya lahan yang optimal.16

15
Subkhan Riza, Kegagalan Perlindungan Lahan Pertanian Pangan di Provinsi Riau,
Prosiding Seminar NasionalLahan Suboptimal 2014, Palembang 26-27 September 2014, hlm 5-6
16
Irawan, B. 2008. Meningkatkan Efektivitas Kebijakan Konversi Lahan.Forum Penelitan
Agro Ekonomi 26(2):116-131

117
Seperti yang dikemukakan oleh Nasoetion bahwa terdapat tiga kendala

mendasar yang menjadi alasan mengapa peraturan pengendalian alih

fungsi lahan sulit terlaksana, yaitu :17

1) Kendala koordinasi kebijakan.

Di satu sisi pemerintah berupaya melarangterjadinya alih fungsi lahan, tetapi

di sisi lain justru mendorong terjadinya alih fungsi lahan tersebut melalui

kebijakan pertumbuhan industri/manufaktur dan sektor nonpertanian

lainnya yang dalam kenyataannya menggunakan tanah pertanian,

2) Kendala pelaksanaann kebijakan. Peraturan-peraturan pengendaliah alih

fungsi lahan baru menyebutkan ketentuan yang dikenakan terhadap

perusahaan-perusahaan atau badan hukum yang akan menggunakan lahan

dan atau akan merubah lahan pertanian ke nonpertanian. Oleh karena itu,

perubahan penggunaan lahan sawah ke nonpertanian yang dilakukan secara

individual/perorangan belum tersentuh oleh peraturan-peraturan

tersebut,dimana perubahan lahan yang dilakukan secara individual

diperkirakan sangat luas.

3) Kendala konsistensi perencanaan.

RTRW yang kemudian dilanjutkan dengan mekanisme pemberian izin lokasi,

merupakan instrumen utama dalam pengendalian untuk mencegah

terjadinya alih fungsi lahan sawah beririgasi teknis. Namun dalam

kenyataannya, banyak RTRW yang justru merencanakan untuk mengalih

fungsikan lahan sawah beririgasi teknis menjadi nonpertanian.

17
Nasoetion, L.I. 2003. Konversi Lahan Pertanian : Aspek Hukum dan Implementasinya.
Dalam Kurnia dkk. (eds). Makalah Seminar Nasional Multifungsi Lahan Sawah dan Konversi
Lahan Pertanian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Badan Penelitian
dan Pengembangan Pertanian. Bogor

118
C. Upaya-upaya yang dilakukan Pemerintah Daerah Pekanbaru dalam

rangka mengendalikan perubahan fungsi tanah pertanian menjadi tanah

non pertanian sesuai ketentuan Undang-undang Nomor 41 Tahun 2009

Makin meningkatnya pertambahan penduduk serta perkembangan

ekonomi dan industri mengakibatkan terjadinya degradasi, alih fungsi, dan

fragmentasi lahan pertanian pangan telah mengancam daya dukung wilayah secara

nasional dalam menjaga kemandirian, ketahanan, dan kedaulatan pangan.

Mengingat negara Indonesia adalah negara agraris, sudah selayaknya jika negara

perlu menjamin penyediaan lahan pertanian pangan yang berkelanjutan.18

Pada saat ini harapan untuk mengendalikan dan meminimalisasi alih

fungsi lahan pertanian pangan tertumpu pada UUNo.41 tahun 2009 tentang

Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Namun efektivitas

kebijakan dari implementasi UU tersebut sangat membutuhkan adanya perubahan

paradigma pembangunan, terutama di level pemerintah daerah. Berdasarkan

pengalaman yang terjadi selama ini, efektivitas UU No.41 tahun 2009, sangat

tergantung pada konsistensi dan koordinasi antar sektor, mulai dari tingkat pusat

sampai dilevel paling rendah; dan sikap proaktif masyarakat dalam memonitor

implementasi program.19

Dalam PP No. 1 tahun 2011 diatur bahwa lahan yang sudah ditetapkan

sebagai lahan pertanian pangan berkelanjutan dilindungi dan dilarang

dialihfungsikan. Lahan pertanian yang dilindungi hanya dapat dialihfungsikan

18
Rustiadi,E dan W. Reti.2008.Urgensi Lahan Pertanian pangan Abadi dalam Perspektif
Ketahanan Pangan, dalam Arsyad,S dan E. Rustiadi (Ed), Penyelamatan tanah, Air dan
Lingkungan. Jakarta :Crestpent Press dan Yayasan Obor Indonesia
19
Mulyani, A; S. Rirung, dan I. Las. 2011. Potensi dan Ketersediaan Sumberdaya Lahan
untuk Mendukung Ketahanan Pangan. Litbang Pertanian.30(2): 73-80.

119
untuk kepentingan umum, yang pelaksanaannya diatur dengan peraturan

perundang-undangan. Pengalihfungsian lahan yang sudah ditetapkan dilakukan

dengan syarat-syarat yaitu dilakukan kajian kelayakan strategis, disusun rencana

alih fungsi lahan dibebaskan kepemilikan haknya dari pemilik, dan disediakan

lahan pengganti dari lahan yang dialih fungsikan. Dengan lajunya alih fungsi

lahan pertanian yang ada di Kota Pekanbaru yang semakin tinggi yang

mengancam ketahanan pangan dan rancangan pembangunan Kota Pekanbaru,

sehingga diperlukan upaya untuk menekan tindakan-tindakan yang

mengalihfungsikan tanah pertanian menjadi non pertanian. Maka dari itu

Pemerintah Daerah Pekanbaru dalam rangka mengendalikan perubahan fungsi

tanah pertanian menjadi tanah non pertanian sesuai ketentuan Undang-undang

Nomor 41 Tahun 2009 melakukan upaya diantaranya:

1. Kebijakan Pemerintah Pusat

2. Kebijakan Pemerintah Daerah Kota Pekanbaru

3. Tindakan Aparat Pemerintah Daerah Kota Pekanbaru

Fenomena alihfungsi lahan muncul seiring makin tinggi dan bertambahnya

tekanan kebutuhan dan permintaan terhadap tanah, baik dari sektor pertanian

maupun dari sektor non pertanian sebagai akibat dari bertambahnya penduduk dan

kegiatan pembangunan. Perubahan penggunaan lahan pertanian ke non pertanian,

kian waktu kian meningkat. Fenomena ini tentunya dapat mendatangkan

permasalahan yang komplek dikemudian hari, jika tidak diantisipasi secara serius

dari sekarang.

120
Alihfungsi tanah pertanian merupakan fenomena yang tidak dapat

dihindarkan dari pembangunan. Upaya yang mungkin dilakukan adalah dengan

memperlambat dan mengendalikan kegiatan alihfungsi tanah pertanian menjadi

tanah non pertanian.

Berdasarkan hasil wawancara dengan aparat pemerintah daerah yang ada

di Kota Pekanbaru diperoleh hasil sebagai berikut:

.. menyatakan bahwa tugas utama Badan Pertanahan Nasional (BPN)

adalah pelayanan terhadap pembuatan sertifikat atas kepemilikan tanah.

Kebanyakan masyarakat di Kota Pekanbaru sudah memiliki sertifikat terhadap

tanah yang dimilikinya. Upaya yang dilakukan oleh Badan Pertanahan Nasional

adalah pembenahan dan penertiban terhadap pembuatan sertifikat yang baru agar

tidak terjadi duplikasi kepemilikan. Upaya ini akan diupayakan secara terus-

menerus dan berkelanjutan.

Menurut penulis, tugas dari BPN hanyalah menerbitkan sertifikat tanah

saja. Untuk penanganan alihfungsi tanah yang mulanya adalah tanah pertanian,

tidak ada kewenangan dari BPN.

menyatakan bahwa sampai saat ini yang dilakukan adalah

pembenahan dan penertiban terhadap bangunan-bangunan yang tidak sesuai

dengan rencana RTRW Kota Pekanbaru. Pembenahan dan penertiban bangunan-

bangunan, utamanya terhadap , namun belum diberlakukan secara ketat

terhadap ...

Menurut penulis, adanya bangunan yang telah dibangun dan melanggar

.. bukan disebabkan oleh kesengajaan dari pihak pemilik, namun lebih

121
disebabkan oleh ketidaktahuannya dengan peraturan yang ada. Olehnya itu

tindakan sosialisasi terhadap peraturan yang ada perlu terus dilakukan.

Dinas Pertanian dan Peternakan Kota Pekanbaru menyatakan bahwa

upaya untuk mewujudkan perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan

harus terus dilakukan. Upaya sosialisasi UU Nomor 41 Tahun 2009 tentang

Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan perlu secara terus menerus

dilakukan. Lebih lanjut dinyatakan bahwa terkait dengan tugas pokok dan fungsi

Dinas Pertanian dan Peternakan maka akan dilakukan .. pengembangan

kawasan sentra agroindustri berdasarkan potensi komoditi unggulan dan

karakteristik wilayah. Pengembangan kawasan ini tentunya tetap mengacu pada

RTRW yang ada.

menyatakan bahwa upaya yang dilakukan oleh tingkatan pemerintah

Kota Pekanbaru terkait UU Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan

Pertanian Pangan Berkelanjutan adalah melalui mekanisme perizinan mendirikan

bangunan (IMB). Upaya lain yang dilakukan adalah menghimbau kepada

masyarakatnya yang memiliki lahan pertanian agar tidak mengalihfungsikan

menjadi lahan non pertanian. Himbauan ini disampaikan baik pada saat acara-

acara resmi seperti maupun pada saat acara-acara tidak resmi.

Menurut penulis, tindakan pengendalian alihfungsi lahan yang dilakukan

oleh aparat pemerintah masih sebatas menjalankan tugas pokok dan fungsinya

masing-masing. Tindakan pengendalian khusus untuk mengontrol alihfungsi lahan

pertanian ke non pertanian dari aparat pemerintah masih belum ada, baik dalam

bentuk program maupun kebijakan. Pengendalian hingga saat ini masih

122
berpedoman pada sebatas tugas pokok dan fungsi dari masing-masing instansi

yang ada.

Terjadinya alihfungsi lahan pertanian yang produktif ke lahan non

pertanian merupakan ancaman yang serius terhadap ketahanan pangan karena

dampaknya bersifat permanen dan lahan pertanian yang telah dialihfungsikan ke

lahan non pertanian sangat sulit untuk kembali berubah menjadi lahan pertanian.

Pengaturan terhadap penggunaan lahan pertanian yang produktif merupakan suatu

hal yang sangat urgen. Untuk itu diperlukan suatu mekanisme yang didasari

kaidah-kaidah ilmiah dan tidak melanggar ketentuan yang ada.

Tindakan pencegahan alihfungsi tanah pertanian ke non pertanian harus

tetap dilakukan. Aparat pemerintah juga diharapkan untuk terus melakukan

pembenahan atau sosialisasi agar tanah pertanian tidak dialihfungsikan

keperuntukan lainnya. Jika tanah pertanian sudah terlanjur dialihfungsikan, maka

harus ada penggantian untuk tanah pertanian yang dialihfungsikan tersebut.

123

Anda mungkin juga menyukai