Anda di halaman 1dari 8

ANALISIS KRIMINOLOGI TERHADAP KASUS PEMBALAKAN LIAR DI

TAMAN NASIONAL TANJUNG PUTING


(STUDI KASUS PEMBALAKAN LIAR OLEH PT. TANJUNG LINGGA)

Analisis Kasus :

Modus yang terjadi di Taman Nasional Tanjung Puting adalah melakukan

penebangan liar pada wilayah taman nasional, dengan cara pihak perusahaan

mendirikan sawmill kecil di sepanjang sungai sekonyer dan arut. Dalam mendapatkan

satu lahan yang berijin legal yang kemudian menjadi sebagai kedok untuk anak-anak

perusahaan lainnya dilakukan pemaksaan pada inhutani untuk memberikan lahan

konsesi PT. Rimbayu Barito yang telah dihibahkan ke inhutani dan juga memaksa

gubernur Kalteng untuk memberikan lahan konsesi. Adapun dalam mendapatkan

kayu illegal dan murah tersangka membeli kayu dari hasil sitaan polisi yang terdahulu

dengan harga sangat murah. Cukong PT. Tanjung Lingga juga memfasilitasi

masyarakat lokal untuk melakukan pembalakan liar dengan cara memberikan alat-alat

chainsaw dan kemudian kayu hasil tebangan di beli murah oleh perusahaan. Proses

yang rutin dalam melaksanakan aksi penebangan liar ini dengan cara tebangan kayu

di hanyutkan di sungai sekonyer dan arut hingga ke kumai. Dari kumai kayu/kayu

disebarkan atau dibeli oleh pengusaha kayu lainnya. Pendistribusian kayu ini

dilakukan ke Sumatera, Papua, Hingga ke Malaysia.

1
Menurut penulis, pada dasarnya modus yang dilakukan dalam kasus

penebangan liar ini adalah melakukan penebangan terhadap kayu yang bernilai tinggi

seperti kayu ramin di Taman Nasional Tanjung Puting. Untuk melakukan aksi

penebangan liar ini, profil dari yang terjadi sesuai dengan data yang didapat.

Modus dalam melakukan kejahatan pembalakan liar yang terjadi adalah :

1. Pembelian kayu hasil sitaan operasi polisi/aparat Negara yang terjadi di

kasus Taman Nasional Tanjung Puting. Pembelian kayu ini disinyalir

untuk pencucian kayu illegal menjadi legal dengan harga murah. Dalam

hal ini, Taman Nasional Tanjung Puting mendapatkan kayunya dengan

membeli hasil lelang aparat.

2. Penebangan liar yang modus penebangannya dilakukan pada kawasan

taman nasional mempunyai kesamaan pada hal perusahaan tersebut

dibantu atau di dukung oleh pemerintahan setempat. Pembalakan liar di

wilayah Taman Nasional Tanjung Puting di dukung baik dari Inhutani

hingga Gubernur Kalimantan yang bertanggung jawab pada pemberian

lahan konsesi.

3. Pola yang terjadi terhadap kasus ini adalah, penebangan kayu dilakukan

secara liar di distribusikan lewat sungai dengan cara dihanyutkan dan

ditarik dengan kapal tugboats. Pada proses penebangannya sendiri

dilakukan dengan cara membuka lahan hutan yang tidak sesuai dengan

ijin konsesi hingga memasuki kawasan hutan lindung atau taman nasional

dan hutan rakyat/adat. Sesampainya tujuan yang biasanya pada pelabuhan

2
terdekat pada kasus di TN Tanjung Puting, kayu didistribusikan lewat

pelabuhan terdekat. Karena eratnya hubungan dan dukungan dari

pemerintahan setempat, kayu-kayu yang hasil dari penebangan liar

tersebut dengan sangat mudah melewati petugas bea dan cukai untuk

menghindari pajak yang seharusnya dikenakan pada perusahaan yang

bersangkutan dan dijual kepada perusahaan kayu asing Malaysia, Cina

hingga Amerika Serikat.

Berdasarkan uraian diatas terlihat bahwa tindak pembalakan liar yang terjadi

karena melihat adanya potensi kekayaan alam terutama hutan yang berlimpah

menyorot banyak pihak termasuk cukong atau pengusaha untuk melakukan

penebangan demi keuntungan yang sebesar-besarnya.

Sesuai dengan pokok pertama dalam 4 objek penelitian dalam Kriminologi

adalah, kejahatan dan tingkah laku penyimpangan, menurut Mustofa menyimpulkan

Gejala kejahatan dan tingkah laku menyimpang dipelajari dalam Kriminologi dengan

tujuan, antara lain, agar dapat dijelaskan bentuk-bentuknya, sebab musabab

terjadinya, pola-polanya, kecenderungannya, hubungannya dengan masyarakat

tempat terjadinya peristiwa kajahatan atau tingkah laku menyimpang, serta konsep-

konsep kejahatan atau tingkah laku menyimpang yang dianut oleh masyarakat.1

Modus yang dilakukan pada dasarnya adalah mendekati dan berhubungan erat

dengan pemerintahan setempat demi mendapatkan akses yang leluasa dan ijin untuk

1
M. Mustofa, “Kriminologi; Kajian Sosiologi Terhadap Kriminalitas, Perilaku Menyimpang dan
Pelanggaran Hukum”, FISIP UI Press, Jakarta, 2007, Hlm 14

3
lahan konsesi. Ijin pertama yang legal sering menjadikan kedok untuk anak

perusahaan lainnya yang melakukan penebangan liar. Dengan cara ini maka

perusahaan kayu dapat melakukan penebangan tanpa melakukan biaya wajib pajak.

Kegiatan dalam menyalurkan kayu hasil pembalakan liar melalui sungai-

sungai terdekat dengan menyimpan kayu tersebut di logpond tepi sungai kemudian

diangkut dengan kapal atau dihanyutkan dan ditarik dengan tugboats ke pelabuhan

terdekat untuk di distribusikan lebih lanjut. Secara terang-terangan hal ini dilakukan

dengan rutin tanpa ada kecurigaan dari otoritas atau aparat yang mencurigai.

Demikian juga pada saat tiba di pelabuhan, petugas bea dan cukai memberikan lewat

atas kayu-kayu yang tidak jelas legalitasnya.

Melihat modus yang dilakukan dapat di analisa, antara pengusaha dan

pemerintahan terbentuk sebuah system dalam organisasi yang tersetruktur dalam

menjalin hubungan untuk melakukan pembalakan liar ini. Seperti apa yang

dirumuskan oleh Situ & Emmons dalam Kejahatan korporasi terhadap lingkungan

(corporate environmental crime), mengatakan bahwa kejahatan korporasi terhadap

lingkungan adalah bagian dari kejahatan korporasi. Mereka merusak lingkungan atau

membahayakan kesehatan umum sekaligus mengambil manfaat korporasi. mereka

terikat dalam praktik organisasi, bukan preferensi sebagai individu-individu.2

2
Y. Situ & D. Emmons, “Environmental Crime: The Criminal Justice System’s Role in Protecting
the Environment”, Thousand Oaks, CA, Sage, 2000, Hlm 23

4
Pada kajian Kejahatan korporasi terhadap lingkungan, Situ & Emmons

memberikan 3 tipologi bagaimana kejahatan ini dapat terjadi yaitu :3

Pertama, motivasi (motivation) merupakan dasar bagaimana seseorang atau

kelompok mempunyai keinginan untuk melakukan tindak kejahatan. Pada kejahatan

korporasi terhadap lingkungan, tujuan dalam membangun sebuah perusahaan jelas

adalah mendapatkan keuntungan yang sebanyak-banyaknya.

Merton berkomentar sebagaimana dikutip oleh Situ & Emmons, perilaku

dalam tindak kejahatan dapat dikarenakan oleh tidak terpenuhinya atau tidak

terwujudnya tujuan budaya seseorang. Susahnya dalam mewujudkan tujuan dalam

budayanya mengakibatkan sesorang melakukan inovasi dalam bentuk perilaku atau

tindakan untuk memenuhi kebutuhannya.

Mereka berkomitmen dalam rangka melakukan bisnis oleh pegawainya,

seringkali pada tingkat tertinggi, terutama untuk tujuan perusahaan dari pada

kepentingan pribadi. Hal ini tidak berhenti dalam perijinan saja, sering juga pada

kasus diatas masyarakat justru menjadi target dalam modus operandi pembalakan liar

karena kepemilikan atas hak hutan adat yang dimiliki. Kemudian menggunakan

kekuasaan dan wewenang memaksa dan menekan masyarakat memberikan ijin untuk

memanen hasil hutan tersebut dengan bayaran yang minim dan tidak mensejahterahka

masyarakat.

Kedua, Kesempatan (opportunity), kejahatan korporasi terhadap lingkungan

memiliki dua dimensi baik secara subyektif, dimana perusahaan tertentu adalah atau

3
Ibid., Hlm 24

5
merupakan perusahaan mempunyai kesempatan dalam melakukan kejahatan

berdasarkan jenis perusahaan tersebut. Dengan kata lain, bidang spesifik yang

dimiliki atau tujuan dari perusahaan tersebut memberikan pengaruh dalam

kesempatan untuk melakukan tindak kejahatan. Seperti yang terjadi pada kasus di

Taman Nasional Tanjung Puting kondisi dan sifat PT. Tanjung Lingga adalah

perusahaan yang berhubungan dengan pengelolaan hasil hutan kayu. Dalam tujuan

sebuah korporasi adalah mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya. Maka dari

itu, perusahaan ini melakukan pemanenan kayu di kawasan Taman Nasional, yang

jelas pada Peraturan Undang-Undang No 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan

mengetahui bahwa dilarang melakukan penebangan atau pengolahan kayu di areal

kawasan hutan lindung.

Secara objektif, kesempatan pada dimensi ini dijelaskan bahwa korporasi atau

perusahaan memberikan sosialisasi atau membudayakan melakukan kejahatan yang

dimana perusahaan tersebut justru memfasilitasi kepada anggotanya melakukan

tindakan kejahatan untuk kepentingan korporasi. Seperti contoh kasus oleh PT

Tanjung Lingga, pihak perusahaan memberikan kesempatan pada anggotanya untuk

melakukan tindak pembalakan liar untuk kepentingan atau tujuan memberikan

keuntungan yang sebesar-besarnya kepada perusahaan. Tindakan tersebut selain

melakukan pembalakan liar pada kawasan Taman Nasional, dengan atas nama

perusahaan membeli kayu lelang yang ternyata hasil sitaan oleh aparat pemerintah,

dan juga memfasilitasi untuk masyarakat setempat untuk ikut turut berpartisipasi

6
dalam kegiatan pemabalakan liar dengan cara memberikan pinjaman alat atau berupa

modal untuk membeli alat-alat.

Ketiga, aparat penegak hukum (law enforcement), peranan aparat penegak

hukum sangatlah penting dalam terjadinya kejahatan pembalakan liar terutama

kejahatan korporasi terhadap lingkungan. Kejahatan korporasi terhadap lingkungan

dapat terjadi karena justru dari kelemahan dari aparat penegak hukumnya. Ketidak

memadai sarana dan pra sarana hingga terbatasnya kekuatan personel dalam

memerangi kejahatan lingkungan merupakan kelemahan dalam aparat penegak

hukum melakasanakan keamanan terhadap lingkungan. Terlebih lagi aparat penegak

hukum mempunyai keuntungan dalam hal hak, bahwa aparat penegak hukum

mempunyai akses, kekuasaan, dan merupakan pengambil keputusan yang penting.

Maka apabila aparat penegak hukum nya lemah akan semakin memunculkan dan

menguatkan motivasi beserta kesempatan dalam melakukan tindak kejahatan,

khususnya tindak pembalakan liar.

Menurut penulis, dapat disimpulkan bahwa, kejahatan korporasi terhadap

lingkungan adalah bagian dari kejahatan korporasi. mereka merusak lingkungan atau

membahayakan kesehatan umum sekaligus mengambil manfaat korporasi. mereka

terikat dalam praktik organisasi, bukan preferensi sebagai individu-individu. mereka

berkomitmen dalam rangka melakukan bisnis oleh pegawainya, seringkali pada

tingkat tertinggi, terutama untuk tujuan perusahaan dari pada kepentingan pribadi.

7
DAFTAR PUSTAKA

M. Mustofa, “Kriminologi; Kajian Sosiologi Terhadap Kriminalitas, Perilaku

Menyimpang dan Pelanggaran Hukum”, FISIP UI Press, Jakarta, 2007

Y. Situ & D. Emmons, “Environmental Crime: The Criminal Justice System’s Role

in Protecting the Environment”, Thousand Oaks, CA, Sage, 2000

Anda mungkin juga menyukai