Anda di halaman 1dari 7

PERUMUSAN MASALAH

1). Apakah hakekat illegal logging?

2). Siapakah pelaku illegal logging di Indonesia?

3). Apakah penyebab yang menstimulasi praktek illegal logging di Indonesia?

4). Apakah dampak dari praktek illegal logging di Indonesia?

5). Bagaimanakah cara yang efektif untuk meminimalisir praktek illegal logging di Indonesia?

PEMBAHASAN

3.1 Hakikat Pembalakan Liar (Illegal Logging)

Menurut Tacconi, pembalakan liar atau kegiatan hutan ilegal meliputi semua tindakan ilegal yang
berhubungan dengan ekosistem hutan, demikian juga industri yang berhubungan dengan hutan dan
hasil hutan kayu serta non-kayu. Kegiatan itu meliputi tindakan yang melanggar hak-hak atas lahan
hutan, melakukan korupsi untuk mendapatkan konsesi hutan, dan semua kegiatan pada seluruh
tahap pengelolaan hutan dan rantai produksi barang dari hutan, dari tahap penanaman hingga
penebangan dan pengangkutan bahan baku serta bahan jadi hingga pengelolaan keuangan.

Menurut Simpul Papua, Illegal Logging ada dua jenis yaitu: 1). Yang dilakukan oleh operator sah yang
melanggar ketentuan dalam izin yang dimiliki, 2). Melibatkan pencuri kayu dimana pepohonan
ditebang orang yang sama sekali tidak memiliki hak legal untuk menebang pohon.

Dalam Inpres Nomor 5 Tahun 2001 menyebutkan bahwa Illegal Logging adalah penebangan kayu di
kawasan hutan dengan tidak sah.

Sedangkan menurut Haryadi Kartodiharjo, 2003 mengatakan bahwa Illegal Logging merupakan
penebangan kayu secara tidak sah dan melanggar peraturan perundang-undangan, yaitu berupa
pencurian kayu di dalam kawasan hutan negara atau hutan hak dan atau pemegang ijin melakukan
penebangan melebihi dari jatah yang telah ditetapkan dalam perizinan.

Selanjutanya, menurut LSM Indonesia Telapak, 2002 berpendapat bahwa Illegal Logging ialah operasi
atau kegiatan kehutanan yang belum mendapat izin dan yang merusak.

Illegal Logging meliputi serangkaian pelanggaran peraturan yang mengakibatkan eksploitasi sumber
daya hutan yang berlebihan. Pelanggaran ini terjadi disemua lini tahapan produksi kayu, misalnya
pada tahap penebangan, tahap pengangkutan kayu gelonggongan, tahap pemprosesan, dan tahap
pemasaran, serta meliputi cara-caraa yang korup untuk mendapatkan akses ke hutan dan
pelanggaran keuangan seperti penghindaran pajak (Wahyu Catur adinugroho,2009).

Forest watch Indonesia dan Global Forest Watch berpendapat bahwa selain Illegal Logging ada juga
istilah pembalakan liar, kerusakan hutan, pembalakan liar dan pembalakan yang merusak.
Pembalakan illegal ialah semua praktek atau kegiatan kehutanan yang berkaitan dengan pemanenan,
pengelolaan, dan perdagangan kayu yang tidak sesuai dengan hukum Indonesia.

Illegal Logging menurut UU No 41/1999 tentang Kehutanan adalah perbuatan melanggar hukum
yang dilakukan oleh setiap orang/kelompok orang atau badan hukum dalam bidang kehutanan dan
perdagangan hasil hutan berupa; menebang atau memungut hasil hutan kayu (HHK) dari kawasan
hutan tanpa izin, menerima atau membeli HHK yang diduga dipungut secara tidak sah, serta
mengangkut atau memiliki HHK yang tidak dilengkapi Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH).

Dalam Undang-Undang No. 19 Tahun 2004 dan Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 Tentang
Kehutanan (selanjutnya disebut UU Kehutanan), kategori illegal logging menurut Pasal 50, antara
lain: mengerjakan dan atau menggunakan dan atau menduduki kawasan hutan secara tidak sah
(ilegal), merambah kawasan hutan, melakukan penebangan pohon dalamkawasan hutan, membakar
hutan, dan lain-lain. Dimensi dari kegiatan illegal logging, yaitu: (1) perizinan, apabila
kegiatantersebut tidak ada izinnya atau belum ada izinnya atau izin yang telah kadaluarsa,
(2) praktek, apabila dalam praktek tidak menerapkan logging yang sesuai peraturan, (3)lokasi, apabila
dilakukan pada lokasi diluar izin, menebang di kawasan konservasi/lindung, atau asal-usul lokasi tidak
dapat ditunjukkan, (4) produksi kayu,apabila kayunya sembarangan jenis (dilindungi), tidak ada batas
diameter, tidak ada identitas asal kayu, tidak ada tanda pengenal perusahaan, (5) dokumen, apabila
tidak ada dokumen sahnya kayu, (6) pelaku, apabila orang-perorang atau badan usaha tidak
memegang izin usaha logging atau melakukan kegiatan pelanggaran hukumdibidang kehutanan, dan
(7) penjualan, apabila pada saat penjualan tidak ada dokumen maupun ciri fisik kayu atau kayu
diseludupkan

Jadi, pada hakikatnya, pembalakan liar (illegal logging) adalah kegiatan penebangan, pengangkutan
dan penjualan kayu yang tidak sah atau tidak memiliki izin dari otoritas setempat.

3.2 Pelaku Illegal Logging di Indonesia

Masyarakat biasa

Masyarakat biasa kerap menjadi pelaku illegal logging. Masyarakat biasa yang dimaksud di sini ialah
masyarakat yang tinggal di sekitar hutan. Biasanya, mereka akan memanfaatkan hutan untuk
memenuhi kebutuhan sehari-harinya, terutama kayu. Tidak hanya itu, terkadang mereka juga
melakukan illegal logging untuk membuka lahan sebagai tempat tinggal. Selain itu, masyarakat biasa
juga dapat sebagai pekerja ataupun buruh di suatu perusahaan/organisasi.

2. Kalangan Pejabat

Pejabat dapat menjadi salah satu pelaku utama dan terpenting dalam kasus illegal logging. Karena
apa? Karena mereka memiliki kekuasaan. Dengan adanya kekuasaan yang disalahgunakan, mereka
dapat memberi izin kepada para pelaku pembalakan liar untuk menjalankan aksinya. Tidak hanya itu,
kalangan pejabat kerap menjadi “protector” para cukong kayu untuk memuluskan aksinya. Hal inilah
yang terkadang dapat membuat para cukong kayu terbebas dari jeratan hukum. Dari pemberian izin
yang illegal ini, tentunya para pejabat terkait akan mendapatkan profit materi dari para cukong kayu
ataupun perusahaan terkait.

3. Industri/Perusahaan

Satu lagi subjek yang tak kalah krusialnya dari praktek illegal logging ialah para industri dan
perusahaan. Mereka biasanya bergerak dalam bidang manufaktur. Pada umumnya, alasan para
industri/perusahaan melakukan Illegal Logging ialah untuk memenuhi kebutuhan bahan baku
industry/perusahaannya. Mereka biasanya akan mengadakan kerja sama dengan kalangan tertentu
untuk melancarkan aksinya. Tidak hanya perusahaan/industri skala kecil saja yang terlibat, bahkan
beberapa perusahaan/industri skala besar juga turut melakukan illegal logging.
3.3 Penyebab yang Menstimulasi Praktek Illegal Logging di Indonesia

Isu “illegal logging” saat ini sudah menjadi isu global yang selalu menjadi objek pembicaraan dan
kajian oleh berbagai kalangan, baik itu pemerintah, akademisi, NGO dan organisasi masyarakat sipil.
Kasus ini tidak pernah selesai dibicarakan. Dari tahun ke tahun isu tersebut justru semakin memanas,
karena penyelesaiannya tak kunjung mencapai titik temu. Berikut merupakan beberapa penyebab
yang pendorong maraknya praktek illegal logging di Indonesia:

a). Masalah Ekonomi

Pada umumnya mata pencarian masyarakat kawasan hutan adalah bertani dan berkebun. Namun,
seiring dengan pesatnya pertumbuhan penduduk, banyak lahan pertanian dan perkebunan beralih
fungsi menjadi permukiman. Hal ini berkonsekuensi pada semakin berkurangnya lapangan pekerjaan
yang kemudian berdampak pada rendahnya tingkat perekonomian masyarakat. Sudah menjadi tabiat
manusia, kadangkala dalam kondisi terhimpit ekonomi, akal sehat menjadi tidak berfungsi. Sehingga
memiliki tendensi menghalalkan sesuatu walaupun bertentangan dengan nilai-nilai yang ada di
masyarakat. Bagi mereka yang berdekatan dengan hutan memiliki tendensi untuk nekat menjual kayu
hutan. Mengapa demikian? Karena hal ini yang paling cepat bagi mereka untuk bisa memenuhi
kepulan asap di rumah. Beberapa kasus yang ditemukan oleh petugas kehutanan ternyata memang
masyarakat yang melakukan penebangan kayu mengaku terpaksa karena tidak ada pilihan lain untuk
memenuhi kebutuhan sehari – hari mereka. Ada pula awalnya adalah hanya mengambil kayu bakar
yang dilakukan oleh ibu-ibu. Namun kemudian menjadi usaha setelah adanya para cukong kayu
sebagai pembeli. Selain itu, banyak juga ditemukan pelakunya ternyata dari kalangan orang kaya
secara materi. Mereka ini biasanya melakukanya karena faktor keserakahan.

b). Pola kemitraan yang dibangun pemerintah dengan masyarakat.

Selama ini masyarakat hanya diarahkan untuk menjaga dan memelihara hutan tanpa memikirkan
bagaimana agar keberadaan hutan juga memiliki kontribusi dalam meningkatkan kesejahteraan
mereka. Bahkan lebih ekstrim lagi masyarakat bukanya diberdayakan tetapi diperdaya. Banyak pula
program-program pengembangan ekonomi yang dilakukan, namun sayangnya tidak didasarkan pada
potensi yang dimiliki masyarakat. Sehingga program-program yang dicanangkan menjadi sia-sia.

c). Perkembangan Teknologi

Evolusi teknologi yang pesat mendorong kemampuan orang untuk mengeksploitasi hutan khususnya
untuk illegal logging semakin mudah dilakukan, karena dengan berkembangnya teknologi untuk
menebang pohon tidak memerlukan waktu yang lama sebab alat-alatnya semakin canggih.

d). Budaya

Yang dimaksud di sini adalah kebiasaan – kebiasaan yang dilakukan oleh masyarakat di dalam
memperlakukan hutan yang berkonsekuensi pada terancamnya eksistensi hutan. Misalnya saja, ada
keyakinan pada masyarakat tertentu bahwa jika membangun masjid atau tempat-tempat umum
lainya bahan – bahan kayunya harus diambilkan dari hutan yang disertai dengan ritual-rutual
tertentu. Ada pula kebiasaan-kebiasaan secara turun-temurun yang sudah tertanam pada
masyarakat tertentu yang kemudian menjadi kebiasaan yang sangat sulit untuk dihentikan. Misalnya
kebiasaan mengambil kayu dihutan yang dilakukan mulai dari orang tua kemudian diikuti oleh anak-
anaknya secara turun-temurun. Dalam prakteknya, para pelaku kadangkala menggunakan cara-cara
licik. Agar terhindar dari hukum, biasanyapohon kayu terlebih dahulu dibuka kulitnya agar cepat
mati. Ada pula disuntikkan racun pada pohon kayu.
Sebenarnya faktor budaya ini berkaitan dengan memudarnya nilai – nilai “kearifan lokal”. Dalam
kehidupan sehari-harinya, masyarakat kawasan hutan sebagai mahluk berbudaya berkebutuhan
untuk mengekpresikan budayanya. Bagi mereka, hutan merupakn tempat sekaligus sebagai sarana
terbaik penyelenggaraan ritual. Oleh karenanya, banyak ritual-ritual keselamatan yang
penyelenggaraanya dikaitkan dengan keberadaan hutan. Kondisi ini kemudian akan mendorong
masyarakat untuk menjaga dan memelihara hutan. Namun, kondisi saat ini nilai-nilai lokal sudah
hampir hilang, tidak lagi diterapkan. Sehingga orang masuk hutan secara serampangan tanpa tata
krama dan merusaknya.

e). Penegakan Hukum

Disinyalir bahwa masih terjadi konspirasi antara pelaku illegal logging dengan aparat. Hal ini
dibuktikan dengan masih berkeliaranya para pelaku illegal logging. Masih ada ditemukan Saw Mill
yang tidak berizin tetap beroperasi. Pengakuan oknum pemilik Saw Mill, leluasanya dia
mengoperasikan mesinnya karena aparat juga mendapatkan jatah dari hasilnya.

f). Penjagaan dan pengawasan aparatur masih belum berjalan dengan baik

Hal ini di karenakan tidak seimbangnya jumlah personil aparat dengan jumlah hutan di Indonesia.
Penyebab lain adalah adanya pengawas yang masih melakukan kerja sama dengan pelaku illegal
logging yang hasilnya pasti akan semakin parah dari kondisi sebelumnya.

g). Kesenjangan ketersediaan bahan baku

Terdapat kesenjangan penyediaan bahan baku kayu bulat untuk kepentingan industri dan kebutuhan
domestik yang mencapai sekitar 37 juta m3 per tahun telah mendorong terjadinya penebangan kayu
secara liar. Disamping itu terdapat permintaan kayu dari luar negeri, yang mengakibatkan terjadinya
penyelundupan kayu daam jumlah besar. Dibukanya kran ekspor kayu bulat menyebabkan sulinya
mendeteksi aliran kayu illegal lintas batas.

h). Kelembagaan

Sistem pengusahaan melalui HPH telah membuka celah-celah dilakukannya penebangan liar,
disamping lemahnya pengawasan instansi kehutanan. Selain itu penebangan hutan melalui
pemberian hak penebangan hutan skala kecil oleh daerah telah menimbulkan peningkatan
fragmentasi hutan.

3.4 Dampak Illegal Logging

a). Kepunahan berbagai varietas hayati

Illegal logging yang kian marak tentunya akan merusak bahkan menghilangkan habitat asli dari
berbagai flora dan fauna. Dengan rusaknya habitat mereka, maka mereka akan kesulitan untuk
melangsungkan kehidupannya, seperti kesulitan mencari makan akibat sumber makanan mereka
yang ditebang, tidak adanya tempat untuk berkembang biak dan sebagainya. Contoh nyata ialah
populasi orang hutan yang terancam punah, khususnya di Pulau Kalimantan yang diakibatkan illegal
logging dan pengalih fungsian hutan menjadi perkebunan sawit. Selain itu, populasi gajah Sumatra
juga terancam punah akibat pembalakan hutan. Para ahli mengestimasikan apabila hal ini tidak
ditangani dengan serius, generasi mendatang hanya akan mengetahui flora dan fauna tersebut
melalui fosil ataupun foto-foto saja.

b). Menimbulkan Bencana Alam


Pohon-pohon ditebangi hingga jumlahnya semakin hari semakin berkurang menyebabkan hutan
tidak mampu lagi menyerap air hujan yang turun dalam jumlah yang besar,sehingga air tidak dapat
meresap ke dalam tanah. Tentunya, ini bisa menyebabkan banjir,seperti yang terjadi belum lama ini
yaitu bencana banjir bandang di Wasior, Papua yang menewaskan hampir 110 orang. Contoh lainnya
ialah banjir yang setiap tahunnya menjadi langganan di Jakarta. Banjir di ibu kota Indonesia terjadi
karena kurangnya daerah serapan air akibat adanya pengalih fungsian hutan menjadi pemukiman.
Dengan pengalih fungsian ini, fungsi hutan juga akan menurun.

c). Menipisnya Cadangan Air

Seperti yang kita ketahui, salah satu fungsi hutan ialah tempat cadangan air. Dengan semakin
maraknya illegal logging akan mengurangi eksistensi hutan, maka cadangan air bersih juga akan
berkurang. Itulah sebabnya, di Indonesia sering terjadi kekeringan air khususnya pada musim
kemarau.

d). Merusak Lapisan Tanah

Ketika eksistensi hutan menurun, maka hutan akan tidak optimal untuk menjalankan fungsinya
menjaga lapisan tanah sehingga akan memperbesar probabilitas terjadi erosi yang nantinya dapat
mengakibatkan lapisan tanah hilang dan rusak.

e). Penyebab Global Warming

Isu global warming pastilah tidak asing di telinga kita. Isu ini tidak hanya menyedot perhatian
sebagian masyarakat tertentu, tetapi telah menjadi masalah global.

Global warming membawa dampak berupa bencana alam yang sering terjadi di Indonesia, seperti
angin puyuh, seringnya terjadi ombak yang tinggi, dan sulitnya memprediksi cuaca yang
mengakibatkan para petani yang merupakan mayoritas penduduk di Indonesia sering mengalami
gagal panen. Global warming juga mengakibatkan semakin tingginya suhu dunia, sehingga es di
kutub mencair yang mengakibatkan pulau-pulau di dunia akan semakin hilang terendan air laut yang
semakin tinggi volumenya. Global warming terjadi oleh efek rumah kaca dan kurangnya daerah
resapan CO2 seperi hutan. Hutan di Indonesia yang menjadi paru- paru dunia telah hancur oleh ulah
para pembalak liar.

f). Berkurangnya Pendapatan Negara

Dari perspektif ekonomi kegiatan illegal logging telah mengurangi penerimaan devisa negara dan
pendapatan negara. Berbagai sumber menyatakan bahwa kerugian negara yang diakibatkan oleh
illegal logging mencapai Rp 30 trilyun per tahun. Permasalahan ekonomi yang muncul akibat
penebangan liar bukan saja kerugian finansial akibat hilangnya pohon, tidak terpungutnya DR dan
PSDH akan tetapi lebih berdampak pada ekonomi dalam arti luas, seperti hilangnya kesempatan
untuk memanfaatkan keragaman produk di masa depan (opprotunity cost).

h). Dilihat dari aspek sosial, illegal logging menimbulkan berbagai konflik hak atas hutan, konflik
kewenangan mengelola hutan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah serta masyarakat
adat setempat.

i). Dilihat dari aspek budaya seperti illegal logging dapat memicu ketergantungan masyarakat
terhadap hutan yang pada khirnya akan dapat merubah perspektif dan perilaku masyarakat adat
setempat terhadap hutan.

3.5 Cara Efektif Meminimalisir Illegal Logging di Indonesia


1. Menerapkan sanksi yang berat bagi mereka yang melanggar ketentuan mengenai pengelolaan
hutan. Misalkan dengan upaya pengawasan dan penindakan yang dilakukan di TKP (tempat kejadian
perkara), yaitu di lokasi kawasan hutan dimana tempat dilakukannya penembangan kayu secara
illegal. Mengingat kawasan hutan yang ada cukup luas dan tidak sebanding dengan jumlah aparat
yang ada, sehingga upaya ini sulit dapat diandalkan, kecuali menjalin kerjasama dengan masyarakat
setempat. Ini pun akan mendapat kesulitan jika anggota masyarakat itu justru mendapatkan
keuntungan materiil dari tindakan illegal logging.

Penerapan sanksi menurut undang-undang yaitu bedasarkan Pasal 18 Peraturan Pemerintah No. 28
Tahun 1985 dan Pasal 78 Undangundang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, yakni Barang siapa
dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf a, huruf
b, huruf c, diancam dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan denda paling banyak Rp.
5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah). Dengan kata lain, barang siapa dengan sengaja memanen,
menebang pohon, memungut, menerima, membeli, menjual, menerima tukar, menerima titipan,
atau memiliki hasil hutan yang diketahui atau patut diduga berasal dari kawasan hutan, diancam
dengan hukuman penjara paling lama sepuluh tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00
(lima milyar rupiah)

2. Upaya lain yang juga dapat dilakukan adalah dengan mengoptimalkan pos-pos tempat penarikan
retribusi yang banyak terdapat di pinggir-pinggir jalan luar kota. Petugas pos retribusi hanya
melakukan pekerjaan menarik uang dari truk yang membawa kayu, hanya sekedar itu. Seharusnya di
samping melakukan penarikan uang retribusi juga sekaligus melakukan pengecekan terhadap
dokumen yang melegalkan pengangkutan kayu. Dengan tindakan pengecekan seperti ini, secara
psikologis diharapkan dapat dijadikan sebagai upaya shock therapy bagi para sopir truk dan pemodal.
Selain dari itu, juga harus dilakukan patroli rutin di daerah aliran sungai yang dijadikan jalur
pengangkutan kayu untuk menuju terminal akhir, tempat penampungan kayu.

3. Upaya ketiga adalah menelusuri terminal/tujuan akhir dari pengangkutan kayu illegal, dan
biasanya tujuan itu adalah perusahaan atau industri yang membutuhkan bahan baku dari kayu.
Upaya ini dirasa cukup efektif untuk menanggulangi perbuatan-perbuatan illegal logging. Perusahaan
atau industri seperti ini dapat dituding telah melakukan “penadahan”. Perbuatan menampung
terhadap kayu-kayu illegal oleh perusahaan, yang dalam bahasa hukum konvensional KUHP disebut
sebagai penadahan tersebut, dapat dikategorikan sebagai kejahatan korporasi (corporate crime).

4. Dalam era otonomi daerah pemerintah mendorong dan memperkuat peran pemda provinsi
maupun kabupaten/kota serta sektor lainnya secara maksimal dalam menanggulangi illegal
logging melalui peningkatan keterpaduan sinergisitas pembangunan kehutanan dan pembangunan
wilayah, penggalangan dana pengamanan hutan dan pembangunan jaringan kerja dan informasi.

5. Untuk menanggulangi illegal logging di daerah perbatasan antara lain mengupayakan


diterbitkannya peraturan pemerintah pengganti undang-undang (PERPU) sehingga dapat menyentuh
aktor intelektual dan para pemodal yang selama ini belum tersentuh.

6. Hal lain yang diupayakan adalah memobilisasi berbagai sektor pembangunan untuk mengarahkan
pembangunan pada daerah-daerah rawan illegal logging dan gangguan hutan lainnya, agar dapat
meredam atau merealisasikan gejolak kebutuhan lapangan kerja dan usaha. Dilakukan pula pelibatan
masyarakat sipil dalam pemberantasan illegal logging dengan pendekatan kesejahteraan masyarakat
melalui program social forestry dan collaborative management, yang diharapkan dapat menjadi
motor penggerak ekonomi masyarakat setempat.
PENUTUPAN

4.1 Kesimpulan

Illegal logging merupakan salah satu kasus di sektor kehutanan Indonesia yang tidak bisa
diremehkan, mengingat dampak negatif yang ditimbulkannya baik secara langsung maupun tidak
langsung cukup bersifat signifikan di kehidupan masyarakat sehari-hari. Penebangan kayu secara liar
(illegal logging) merupakan gejala yang muncul akibat berbagai permasalahan yang sangat kompleks
melibatkan banyak pihak dari berbagai lapisan. Ditambah lagi, bila praktek ini tetap dilakukan dengan
itensitas yang tinggi, akan mengancam kehidupan anak cucu kita di masa mendatang. Oleh karena
itu, perlu adanya perhatian yang intensif dan kooperasi yang solid antar pihak.

4.2 Rekomendasi

Berkenaan dengan illegal logging, sebaiknya semua pihak turut bahu membahu dalam meminimlisir
praktek ini, karena tanpa adanya kerjasama antara pihak pemerintah dan masyarkat, maka praktek
illegal logging akan sulit untuk dikecilkan presentasenya. Ditambah lagi, pemberantasan illegal
logging bukanlah tanggung jawab suatu kalangan saja, tapi seluruh lapisan masyarakat tanpa
terkecuali.

Pemerintah sebaiknya menjalakan fungsinya dengan baik dan benar sebagai aparat yang mengawasi
dan menegakkan hukum yang berlaku, jangan sampai malah menjadi pelanggar (pelaku) dari aturan
yang telah dibuat. Selain itu, pemerintah juga perlu mengadakan atau menjalin kemitraan dengan
masyarakat. Dengan kemitraan ini, antar pihak akan lebih mudah untuk berkomunikasi dan bekerja
sama. Di lain pihak, masyarakat sebaiknya bisa menjadi kontrol yang peka atas kinerja pemerintahan
dalam menjalakan fungsinya dan berpartisipasi aktif dalam memberantas illegal logging, bukan hanya
bisa menyalahkan dan memojokkan pemerintah tanpa berbuat apapun yang akan memperkeruh
suasana tanpa solusi yang jelas.

DAFTAR PUSTAKA

– Kementrian Kehutanan. 2010. Statistik Kehutanan Indonesia (Foresty Statistics of Indonesia)


2009. Jakarta

– http://www.dephut.go.id/index.php?q=id/node/54

– http://green.kompasiana.com/penghijauan/2011/04/23/problematika-penanganan-illegal-
logging-di-indonesia/

– http://www.isai.or.id/?q=bagian+pertama-pembabat+hutan+bernama+illegal+logging+

– http://eprints.undip.ac.id/8332/

Anda mungkin juga menyukai