Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH HUKUM LINGKUNGAN

ILLEGAL LOGGING DI INDONESIA

DOSEN PENGAMPU : Budi Ruhiatudin

Kelompok 2

Dhilla Ul Haq 17513038


Danisa 17513043
Muhammad Sulistio Toto N 17513049
Ganjar Tri Gita Azhari 17513116
Rhido Alam Mulia 17513155
Aswinda Ardiansyah 17513158
Muhammad Panji Pangestu 17513167
Abiseka Prahasto 17513176
Auniatul Aulia 18513014
Almira Clarissa Emeraldine 18513018
Anisah Yasmin 18513019
Safinatun Najah 18513022
Salma Firda 18513025

FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN


UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
YOGYAKARTA
2018
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan yang maha kuasa atas segala limpahan rahmat , inayah,taufik dan
hinayahnya sehingga saya dapat meneyelesaikan penyusunan makalah ini dalam bentuk maupun
isinya yang sangat sederhana. Semoga makalah ini dapat dipergunakan sebagai salah satu
acuan,petunjuk maupun pedoman bagi pembaca.
Harapan kami semoga makalah ini membantu menembah pengetahuan dan pengalaman bagi para
pembaca,sehingga kami dapat memperbaiki bentuk maupun isi makalah ini sehingga kedepannya
dapat lebih baik.
Makalah ini kami akui masih banyak kekurangan karena pengalaman yang kami miliki sangat
kurang. Oleh karena itu kami harapkan kepada para pembaca untuk memberikan masukan
masukan yang bersifat membangun untuk kesempurnaan makalah ini .
DAFTAR ISI

COVER .................................................................................................................................................
KATA PENGANTAR ..........................................................................................................................
DAFTAR ISI.........................................................................................................................................
BAB I : PENDAHULUAN ...................................................................................................................
BAB II : PEMBAHASAN ....................................................................................................................
BAB III : PENUTUP ............................................................................................................................
DAFTAR ISI.........................................................................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Abad 21 merupakan abad di mana umat manusia mengalami evolusi dan kemajuan yang cukup
signifikan di berbagai aspek. Dalam beberapa hal yang dahulunya belum dapat teratasi, kini telah
dapat ditangani dengan berbagai alat modern yang mutakhir. Namun, sejalan dengan hal tersebut,
ada beberapa dampak yang ditimbulkan. Salah satunya dalam hal pemanfaatan sumber daya alam,
khususnya hutan.
Menurut Pasal 1 Ayat (1) Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, hutan
adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumberdaya alam hayati yang
didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungan, yang satu dengan yang lainnya tidak
dapat dipisahkan.
Pemanfaatan dan pengelolaan sektor kehutanan adalah salah satu bagian yang essensial dalam
pengelolaan lingkuan hidup dimana telah menjadi sorotan bukan hanya nasional, akan tetapi telah
menjadi wacana global. Hal ini dapat dilihat dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi yang
diselenggarakan oleh PBB di Rio Jeneiro pada tanggal 3 sampai 14 Juni 1992 yang juga merupakan
peringatan 20 tahun Konferensi Stockholm tahun 1972. Konferensi Tingkat Tinggi Bumi di Rio
Jeneiro menghasilkan suatu konsesus tentang beberapa bidang penting khususnya prinsip-prinsip
kehutanan yang tertuang dalam dokumen dan perjanjian: “Non-Legally Binding Authorotative
Statement of Principle for a Global Condesus on Management, Conservation and Sustainable
Development of all Types of Forest” dan Bab 11 dari Agenda 21 “Combating
Deforestion”. Kemudian dalam pertemuan ketiga dari Komisi Pembangunan Berkelanjutan (CSD-
COmmision of Sustainable Development) disepakati untuk membentuk Intergovermental Panel on
Forest (IPF) untuk melanjutkan dialog dalam kebijakan kehutanan skala global. Prinsip-prinsip
tentang Kehutanan tersebut kemudian dijabarkan dalam UU Kehutanan Indonesia, yaitu UU No.4
Tahun 1999.
Tak dapat dipungkiri, eksistensi hutan sangatlah essensial dan memiliki bebagai manfaat baik
secara langsung (tangible)ataupun secara tidak langsung (intangible). Secara langsung, hutan
memainkan perannya sebagai tempat penyedian kayu, habitat bagi berbagai flora dan fauna, dan
sebagai lokasi beberapa hasil tambang.
Disamping itu, secara tidak langsung, hutan dapat dijadikan lokasi rekreasi, perlindungan dan
perkembangan biodiversitas, pengaturan tata air, dan pencegahan erosi.
Salah satu masalah yang menjadi dilema dari periode ke periode yang menyangkut hutan di
Indonesia ialah pembalakan liar (illegal logging). Stephan Devenish, ketua Misi Forest law
Enforecment Governance and Trade dari Uni Eropa mengatakan bahwa illegal logging adalah
penyebab utama kerusakan hutan di Indonesia. Nampaknya, illegal logging merupakan masalah
krusial yang sangat sulit untuk diatasi bahkan diminimalisir oleh negara kita.
Dengan semakin maraknya praktek pembalakan liar, kawasan hutan di Indonesia telah memasuki
fase kritis. Seluruh jenis hutan di Indonesia mengalami pembalakan liar sekitar 7,2 hektar hutan
per menitnya, atau 3,8 juta hektar per tahun.
Tentunya, ini akan mengancam keanekaragaman hayati bahkan dapat menurunkan level kekayaan
biodiversitas di Indonesia serta secara langsung dapat mengganggu keseimbangan alam yang telah
tercipta. Menurut estimasi pemerintah, praktek illegal logging per tahunnya telah membuat negara
mengalami defisit sebesar Rp 30 triliun atau Rp 2,5 triliun per bulannya. Tentunya, angka ini
sangatlah fantastis, ditambah lagi kerugian ini empat kali dari APBN yang telah dianggarkan
pemerintah untuk sektor kehutanan.
1.2 Tujuan Penulisan
a). Menganalisis berbagai penyebab yang mendorong semakin maraknya praktek illegal
logging di Indonesia
b). Menganalisis pelaku (subject) praktek illegal logging di Indonesia
c). Mengetahui dampak (effect) yang ditimbulkan dari praktek illegal logging di Indonesia
d). Menganalisis berbagai cara efektif untuk mengurangi praktek illegal logging di Indonesia
1.3 Metode Penulisan
Metode penulisan yang diimplementasikan dalam makalah ini ialah motode pustaka, yakni dengan
menggali berbagai data yang dibutuhkan dari buku. Selanjutnya dengan metode diskusi. Diskusi
dilakukan antar sesama anggota kelompok dan pihak lain yang memilki informasi yang berelasi
dengan judul yang diusung pada makalah ini. Kemudian, dalam proses penyelesaian makalah juga
menggunakan data yang diperoleh via internet.
1.4 Rumusan Masalah
1). Apakah hakekat illegal logging?
2). Siapakah pelaku illegal logging di Indonesia?
3). Apakah penyebab yang menstimulasi praktek illegal logging di Indonesia?
4). Apakah dampak dari praktek illegal logging di Indonesia?
5). Bagaimanakah cara yang efektif untuk meminimalisir praktek illegal logging di Indonesia?
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Hakikat Pembalakan Liar (Illegal Logging)


Menurut Tacconi, pembalakan liar atau kegiatan hutan ilegal meliputi semua tindakan ilegal yang
berhubungan dengan ekosistem hutan, demikian juga industri yang berhubungan dengan hutan dan
hasil hutan kayu serta non-kayu. Kegiatan itu meliputi tindakan yang melanggar hak-hak atas lahan
hutan, melakukan korupsi untuk mendapatkan konsesi hutan, dan semua kegiatan pada seluruh
tahap pengelolaan hutan dan rantai produksi barang dari hutan, dari tahap penanaman hingga
penebangan dan pengangkutan bahan baku serta bahan jadi hingga pengelolaan keuangan.
Menurut Simpul Papua, Illegal Logging ada dua jenis yaitu: 1). Yang dilakukan oleh operator sah
yang melanggar ketentuan dalam izin yang dimiliki, 2). Melibatkan pencuri kayu dimana
pepohonan ditebang orang yang sama sekali tidak memiliki hak legal untuk menebang pohon.
Dalam Inpres Nomor 5 Tahun 2001 menyebutkan bahwa Illegal Logging adalah penebangan kayu
di kawasan hutan dengan tidak sah.
Sedangkan menurut Haryadi Kartodiharjo, 2003 mengatakan bahwa Illegal Logging merupakan
penebangan kayu secara tidak sah dan melanggar peraturan perundang-undangan, yaitu berupa
pencurian kayu di dalam kawasan hutan negara atau hutan hak dan atau pemegang ijin melakukan
penebangan melebihi dari jatah yang telah ditetapkan dalam perizinan.
Selanjutanya, menurut LSM Indonesia Telapak, 2002 berpendapat bahwa Illegal Logging ialah
operasi atau kegiatan kehutanan yang belum mendapat izin dan yang merusak.
Illegal Logging meliputi serangkaian pelanggaran peraturan yang mengakibatkan eksploitasi
sumber daya hutan yang berlebihan. Pelanggaran ini terjadi disemua lini tahapan produksi kayu,
misalnya pada tahap penebangan, tahap pengangkutan kayu gelonggongan, tahap pemprosesan,
dan tahap pemasaran, serta meliputi cara-caraa yang korup untuk mendapatkan akses ke hutan dan
pelanggaran keuangan seperti penghindaran pajak (Wahyu Catur adinugroho,2009).
Forest watch Indonesia dan Global Forest Watch berpendapat bahwa selain Illegal Logging ada
juga istilah pembalakan liar, kerusakan hutan, pembalakan liar dan pembalakan yang merusak.
Pembalakan illegal ialah semua praktek atau kegiatan kehutanan yang berkaitan dengan
pemanenan, pengelolaan, dan perdagangan kayu yang tidak sesuai dengan hukum Indonesia.
Illegal Logging menurut UU No 41/1999 tentang Kehutanan adalah perbuatan melanggar hukum
yang dilakukan oleh setiap orang/kelompok orang atau badan hukum dalam bidang kehutanan dan
perdagangan hasil hutan berupa; menebang atau memungut hasil hutan kayu (HHK) dari kawasan
hutan tanpa izin, menerima atau membeli HHK yang diduga dipungut secara tidak sah, serta
mengangkut atau memiliki HHK yang tidak dilengkapi Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan
(SKSHH).
Dalam Undang-Undang No. 19 Tahun 2004 dan Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 Tentang
Kehutanan (selanjutnya disebut UU Kehutanan), kategori illegal logging menurut Pasal 50, antara
lain: mengerjakan dan atau menggunakan dan atau menduduki kawasan hutan secara tidak sah
(ilegal), merambah kawasan hutan, melakukan penebangan pohon dalamkawasan hutan, membakar
hutan, dan lain-lain. Dimensi dari kegiatan illegal logging, yaitu: (1) perizinan, apabila
kegiatantersebut tidak ada izinnya atau belum ada izinnya atau izin yang telah kadaluarsa,
(2) praktek, apabila dalam praktek tidak menerapkan logging yang sesuai peraturan, (3)lokasi,
apabila dilakukan pada lokasi diluar izin, menebang di kawasan konservasi/lindung, atau asal-usul
lokasi tidak dapat ditunjukkan, (4) produksi kayu,apabila kayunya sembarangan jenis (dilindungi),
tidak ada batas diameter, tidak ada identitas asal kayu, tidak ada tanda pengenal perusahaan, (5)
dokumen, apabila tidak ada dokumen sahnya kayu, (6) pelaku, apabila orang-perorang atau badan
usaha tidak memegang izin usaha logging atau melakukan kegiatan pelanggaran hukumdibidang
kehutanan, dan (7) penjualan, apabila pada saat penjualan tidak ada dokumen maupun ciri fisik
kayu atau kayu diseludupkan
Jadi, pada hakikatnya, pembalakan liar (illegal logging) adalah kegiatan
penebangan, pengangkutan dan penjualan kayu yang tidak sah atau tidak memiliki izin dari otoritas
setempat.
2.2 Pelaku Illegal Logging di Indonesia
1. Masyarakat biasa
Masyarakat biasa kerap menjadi pelaku illegal logging. Masyarakat biasa yang dimaksud di sini
ialah masyarakat yang tinggal di sekitar hutan. Biasanya, mereka akan memanfaatkan hutan untuk
memenuhi kebutuhan sehari-harinya, terutama kayu. Tidak hanya itu, terkadang mereka juga
melakukan illegal logging untuk membuka lahan sebagai tempat tinggal. Selain itu, masyarakat
biasa juga dapat sebagai pekerja ataupun buruh di suatu perusahaan/organisasi.
2. Kalangan Pejabat
Pejabat dapat menjadi salah satu pelaku utama dan terpenting dalam kasus illegal logging. Karena
apa? Karena mereka memiliki kekuasaan. Dengan adanya kekuasaan yang disalahgunakan, mereka
dapat memberi izin kepada para pelaku pembalakan liar untuk menjalankan aksinya. Tidak hanya
itu, kalangan pejabat kerap menjadi “protector” para cukong kayu untuk memuluskan aksinya. Hal
inilah yang terkadang dapat membuat para cukong kayu terbebas dari jeratan hukum. Dari
pemberian izin yang illegal ini, tentunya para pejabat terkait akan mendapatkan profit materi dari
para cukong kayu ataupun perusahaan terkait.
3. Industri/Perusahaan
Satu lagi subjek yang tak kalah krusialnya dari praktek illegal loggingialah para industri dan
perusahaan. Mereka biasanya bergerak dalam bidang manufaktur. Pada umumnya, alasan para
industri/perusahaan melakukan Illegal Logging ialah untuk memenuhi kebutuhan bahan baku
industry/perusahaannya. Mereka biasanya akan mengadakan kerja sama dengan kalangan tertentu
untuk melancarkan aksinya. Tidak hanya perusahaan/industri skala kecil saja yang terlibat, bahkan
beberapa perusahaan/industri skala besar juga turut melakukan illegal logging.
2.3 Penyebab yang Menstimulasi Praktek Illegal Logging di Indonesia
Isu “illegal logging” saat ini sudah menjadi isu global yang selalu menjadi objek pembicaraan dan
kajian oleh berbagai kalangan, baik itu pemerintah, akademisi, NGO dan organisasi masyarakat
sipil. Kasus ini tidak pernah selesai dibicarakan. Dari tahun ke tahun isu tersebut justru semakin
memanas, karena penyelesaiannya tak kunjung mencapai titik temu. Berikut merupakan beberapa
penyebab yang pendorong maraknya praktek illegal logging di Indonesia:
a). Masalah Ekonomi
Pada umumnya mata pencarian masyarakat kawasan hutan adalah bertani dan berkebun. Namun,
seiring dengan pesatnya pertumbuhan penduduk, banyak lahan pertanian dan perkebunan beralih
fungsi menjadi permukiman. Hal ini berkonsekuensi pada semakin berkurangnya lapangan
pekerjaan yang kemudian berdampak pada rendahnya tingkat perekonomian masyarakat. Sudah
menjadi tabiat manusia, kadangkala dalam kondisi terhimpit ekonomi, akal sehat menjadi tidak
berfungsi. Sehingga memiliki tendensi menghalalkan sesuatu walaupun bertentangan dengan nilai-
nilai yang ada di masyarakat. Bagi mereka yang berdekatan dengan hutan memiliki tendensi untuk
nekat menjual kayu hutan. Mengapa demikian? Karena hal ini yang paling cepat bagi mereka untuk
bisa memenuhi kepulan asap di rumah. Beberapa kasus yang ditemukan oleh petugas kehutanan
ternyata memang masyarakat yang melakukan penebangan kayu mengaku terpaksa karena tidak
ada pilihan lain untuk memenuhi kebutuhan sehari – hari mereka. Ada pula awalnya adalah hanya
mengambil kayu bakar yang dilakukan oleh ibu-ibu. Namun kemudian menjadi usaha setelah
adanya para cukong kayu sebagai pembeli. Selain itu, banyak juga ditemukan pelakunya ternyata
dari kalangan orang kaya secara materi. Mereka ini biasanya melakukanya karena
faktor keserakahan.
b). Pola kemitraan yang dibangun pemerintah dengan masyarakat.
Selama ini masyarakat hanya diarahkan untuk menjaga dan memelihara hutan tanpa memikirkan
bagaimana agar keberadaan hutan juga memiliki kontribusi dalam meningkatkan kesejahteraan
mereka. Bahkan lebih ekstrim lagi masyarakat bukanya diberdayakan tetapi diperdaya. Banyak
pula program-program pengembangan ekonomi yang dilakukan, namun sayangnya tidak
didasarkan pada potensi yang dimiliki masyarakat. Sehingga program-program yang dicanangkan
menjadi sia-sia.
c). Perkembangan Teknologi
Evolusi teknologi yang pesat mendorong kemampuan orang untuk mengeksploitasi hutan
khususnya untuk illegal logging semakin mudah dilakukan, karena dengan berkembangnya
teknologi untuk menebang pohon tidak memerlukan waktu yang lama sebab alat-alatnya semakin
canggih.
d). Budaya
Yang dimaksud di sini adalah kebiasaan – kebiasaan yang dilakukan oleh masyarakat di dalam
memperlakukan hutan yang berkonsekuensi pada terancamnya eksistensi hutan. Misalnya saja, ada
keyakinan pada masyarakat tertentu bahwa jika membangun masjid atau tempat-tempat umum
lainya bahan – bahan kayunya harus diambilkan dari hutan yang disertai dengan ritual-rutual
tertentu. Ada pula kebiasaan-kebiasaan secara turun-temurun yang sudah tertanam pada
masyarakat tertentu yang kemudian menjadi kebiasaan yang sangat sulit untuk dihentikan.
Misalnya kebiasaan mengambil kayu dihutan yang dilakukan mulai dari orang tua kemudian diikuti
oleh anak-anaknya secara turun-temurun. Dalam prakteknya, para pelaku kadangkala
menggunakan cara-cara licik. Agar terhindar dari hukum, biasanyapohon kayu terlebih dahulu
dibuka kulitnya agar cepat mati. Ada pula disuntikkan racun pada pohon kayu.
Sebenarnya faktor budaya ini berkaitan dengan memudarnya nilai – nilai “kearifan lokal”. Dalam
kehidupan sehari-harinya, masyarakat kawasan hutan sebagai mahluk berbudaya berkebutuhan
untuk mengekpresikan budayanya. Bagi mereka, hutan merupakn tempat sekaligus sebagai sarana
terbaik penyelenggaraan ritual. Oleh karenanya, banyak ritual-ritual keselamatan yang
penyelenggaraanya dikaitkan dengan keberadaan hutan. Kondisi ini kemudian akan mendorong
masyarakat untuk menjaga dan memelihara hutan. Namun, kondisi saat ini nilai-nilai lokal sudah
hampir hilang, tidak lagi diterapkan. Sehingga orang masuk hutan secara serampangan tanpa tata
krama dan merusaknya.
e). Penegakan Hukum
Disinyalir bahwa masih terjadi konspirasi antara pelaku illegal loggingdengan aparat. Hal ini
dibuktikan dengan masih berkeliaranya para pelaku illegal logging. Masih ada ditemukan Saw Mill
yang tidak berizin tetap beroperasi. Pengakuan oknum pemilik Saw Mill, leluasanya dia
mengoperasikan mesinnya karena aparat juga mendapatkan jatah dari hasilnya.
f). Penjagaan dan pengawasan aparatur masih belum berjalan dengan baik
Hal ini di karenakan tidak seimbangnya jumlah personil aparat dengan jumlah hutan di Indonesia.
Penyebab lain adalah adanya pengawas yang masih melakukan kerja sama dengan pelaku illegal
logging yang hasilnya pasti akan semakin parah dari kondisi sebelumnya.
g). Kesenjangan ketersediaan bahan baku
Terdapat kesenjangan penyediaan bahan baku kayu bulat untuk kepentingan industri dan kebutuhan
domestik yang mencapai sekitar 37 juta m3 per tahun telah mendorong terjadinya penebangan kayu
secara liar. Disamping itu terdapat permintaan kayu dari luar negeri, yang mengakibatkan
terjadinya penyelundupan kayu daam jumlah besar. Dibukanya kran ekspor kayu bulat
menyebabkan sulinya mendeteksi aliran kayu illegal lintas batas.
h). Kelembagaan
Sistem pengusahaan melalui HPH telah membuka celah-celah dilakukannya penebangan liar,
disamping lemahnya pengawasan instansi kehutanan. Selain itu penebangan hutan melalui
pemberian hak penebangan hutan skala kecil oleh daerah telah menimbulkan peningkatan
fragmentasi hutan.
2.4 Dampak Illegal Logging
a). Kepunahan berbagai varietas hayati
Illegal logging yang kian marak tentunya akan merusak bahkan menghilangkan habitat asli dari
berbagai flora dan fauna. Dengan rusaknya habitat mereka, maka mereka akan kesulitan untuk
melangsungkan kehidupannya, seperti kesulitan mencari makan akibat sumber makanan mereka
yang ditebang, tidak adanya tempat untuk berkembang biak dan sebagainya. Contoh nyata ialah
populasi orang hutan yang terancam punah, khususnya di Pulau Kalimantan yang diakibatkan
illegal logging dan pengalih fungsian hutan menjadi perkebunan sawit. Selain itu, populasi gajah
Sumatra juga terancam punah akibat pembalakan hutan. Para ahli mengestimasikan apabila hal ini
tidak ditangani dengan serius, generasi mendatang hanya akan mengetahui flora dan fauna tersebut
melalui fosil ataupun foto-foto saja.
b). Menimbulkan Bencana Alam
Pohon-pohon ditebangi hingga jumlahnya semakin hari semakin berkurang menyebabkan hutan
tidak mampu lagi menyerap air hujan yang turun dalam jumlah yang besar,sehingga air tidak dapat
meresap ke dalam tanah. Tentunya, ini bisa menyebabkan banjir,seperti yang terjadi belum lama
ini yaitu bencana banjir bandang di Wasior, Papua yang menewaskan hampir 110 orang. Contoh
lainnya ialah banjir yang setiap tahunnya menjadi langganan di Jakarta. Banjir di ibu kota Indonesia
terjadi karena kurangnya daerah serapan air akibat adanya pengalih fungsian hutan menjadi
pemukiman. Dengan pengalih fungsian ini, fungsi hutan juga akan menurun.
c). Menipisnya Cadangan Air
Seperti yang kita ketahui, salah satu fungsi hutan ialah tempat cadangan air. Dengan semakin
maraknya illegal logging akan mengurangi eksistensi hutan, maka cadangan air bersih juga akan
berkurang. Itulah sebabnya, di Indonesia sering terjadi kekeringan air khususnya pada musim
kemarau.
d). Merusak Lapisan Tanah
Ketika eksistensi hutan menurun, maka hutan akan tidak optimal untuk menjalankan fungsinya
menjaga lapisan tanah sehingga akan memperbesar probabilitas terjadi erosi yang nantinya dapat
mengakibatkan lapisan tanah hilang dan rusak.
e). Penyebab Global Warming
Isu global warming pastilah tidak asing di telinga kita. Isu ini tidak hanya menyedot perhatian
sebagian masyarakat tertentu, tetapi telah menjadi masalah global.
Global warming membawa dampak berupa bencana alam yang sering terjadi di Indonesia, seperti
angin puyuh, seringnya terjadi ombak yang tinggi, dan sulitnya memprediksi cuaca yang
mengakibatkan para petani yang merupakan mayoritas penduduk di Indonesia sering mengalami
gagal panen. Global warming juga mengakibatkan semakin tingginya suhu dunia, sehingga es di
kutub mencair yang mengakibatkan pulau-pulau di dunia akan semakin hilang terendan air laut
yang semakin tinggi volumenya. Global warming terjadi oleh efek rumah kaca dan kurangnya
daerah resapan CO2 seperi hutan. Hutan di Indonesia yang menjadi paru- paru dunia telah hancur
oleh ulah para pembalak liar.
f). Berkurangnya Pendapatan Negara
Dari perspektif ekonomi kegiatan illegal logging telah mengurangi penerimaan devisa negara dan
pendapatan negara. Berbagai sumber menyatakan bahwa kerugian negara yang diakibatkan oleh
illegal logging mencapai Rp 30 trilyun per tahun. Permasalahan ekonomi yang muncul akibat
penebangan liar bukan saja kerugian finansial akibat hilangnya pohon, tidak terpungutnya DR dan
PSDH akan tetapi lebih berdampak pada ekonomi dalam arti luas, seperti hilangnya kesempatan
untuk memanfaatkan keragaman produk di masa depan (opprotunity cost).
h). Dilihat dari aspek sosial, illegal logging menimbulkan berbagai konflik hak atas hutan, konflik
kewenangan mengelola hutan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah serta masyarakat
adat setempat.
i). Dilihat dari aspek budaya seperti illegal logging dapat memicu ketergantungan masyarakat
terhadap hutan yang pada khirnya akan dapat merubah perspektif dan perilaku masyarakat adat
setempat terhadap hutan.
2.5 Cara Efektif Meminimalisir Illegal Logging di Indonesia
1. Menerapkan sanksi yang berat bagi mereka yang melanggar ketentuan mengenai pengelolaan
hutan. Misalkan dengan upaya pengawasan dan penindakan yang dilakukan di TKP (tempat
kejadian perkara), yaitu di lokasi kawasan hutan dimana tempat dilakukannya penembangan kayu
secara illegal. Mengingat kawasan hutan yang ada cukup luas dan tidak sebanding dengan jumlah
aparat yang ada, sehingga upaya ini sulit dapat diandalkan, kecuali menjalin kerjasama dengan
masyarakat setempat. Ini pun akan mendapat kesulitan jika anggota masyarakat itu justru
mendapatkan keuntungan materiil dari tindakan illegal logging.
Penerapan sanksi menurut undang-undang yaitu bedasarkan Pasal 18 Peraturan Pemerintah No. 28
Tahun 1985 dan Pasal 78 Undangundang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, yakni Barang
siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf a,
huruf b, huruf c, diancam dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan denda paling
banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah). Dengan kata lain, barang siapa dengan sengaja
memanen, menebang pohon, memungut, menerima, membeli, menjual, menerima tukar, menerima
titipan, atau memiliki hasil hutan yang diketahui atau patut diduga berasal dari kawasan hutan,
diancam dengan hukuman penjara paling lama sepuluh tahun dan denda paling banyak Rp.
5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah)
2. Upaya lain yang juga dapat dilakukan adalah dengan mengoptimalkan pos-pos tempat penarikan
retribusi yang banyak terdapat di pinggir-pinggir jalan luar kota. Petugas pos retribusi hanya
melakukan pekerjaan menarik uang dari truk yang membawa kayu, hanya sekedar itu. Seharusnya
di samping melakukan penarikan uang retribusi juga sekaligus melakukan pengecekan terhadap
dokumen yang melegalkan pengangkutan kayu. Dengan tindakan pengecekan seperti ini, secara
psikologis diharapkan dapat dijadikan sebagai upaya shock therapy bagi para sopir truk dan
pemodal. Selain dari itu, juga harus dilakukan patroli rutin di daerah aliran sungai yang dijadikan
jalur pengangkutan kayu untuk menuju terminal akhir, tempat penampungan kayu.
3. Upaya ketiga adalah menelusuri terminal/tujuan akhir dari pengangkutan kayu illegal, dan
biasanya tujuan itu adalah perusahaan atau industri yang membutuhkan bahan baku dari kayu.
Upaya ini dirasa cukup efektif untuk menanggulangi perbuatan-perbuatan illegal
logging. Perusahaan atau industri seperti ini dapat dituding telah melakukan “penadahan”.
Perbuatan menampung terhadap kayu-kayu illegal oleh perusahaan, yang dalam bahasa hukum
konvensional KUHP disebut sebagai penadahan tersebut, dapat dikategorikan sebagai kejahatan
korporasi (corporate crime).
4. Dalam era otonomi daerah pemerintah mendorong dan memperkuat peran pemda provinsi
maupun kabupaten/kota serta sektor lainnya secara maksimal dalam menanggulangi illegal
logging melalui peningkatan keterpaduan sinergisitas pembangunan kehutanan dan pembangunan
wilayah, penggalangan dana pengamanan hutan dan pembangunan jaringan kerja dan informasi.
5. Untuk menanggulangi illegal logging di daerah perbatasan antara lain mengupayakan
diterbitkannya peraturan pemerintah pengganti undang-undang (PERPU) sehingga dapat
menyentuh aktor intelektual dan para pemodal yang selama ini belum tersentuh.
6. Hal lain yang diupayakan adalah memobilisasi berbagai sektor pembangunan untuk
mengarahkan pembangunan pada daerah-daerah rawan illegal logging dan gangguan hutan
lainnya, agar dapat meredam atau merealisasikan gejolak kebutuhan lapangan kerja dan usaha.
Dilakukan pula pelibatan masyarakat sipil dalam pemberantasan illegal logging dengan pendekatan
kesejahteraan masyarakat melalui program social forestry dan collaborative management, yang
diharapkan dapat menjadi motor penggerak ekonomi masyarakat setempat.
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Illegal logging merupakan salah satu kasus di sektor kehutanan Indonesia yang tidak bisa
diremehkan, mengingat dampak negatif yang ditimbulkannya baik secara langsung maupun tidak
langsung cukup bersifat signifikan di kehidupan masyarakat sehari-hari. Penebangan kayu secara
liar (illegal logging) merupakan gejala yang muncul akibat berbagai permasalahan yang sangat
kompleks melibatkan banyak pihak dari berbagai lapisan. Ditambah lagi, bila praktek ini tetap
dilakukan dengan itensitas yang tinggi, akan mengancam kehidupan anak cucu kita di masa
mendatang. Oleh karena itu, perlu adanya perhatian yang intensif dan kooperasi yang solid antar
pihak.
3.2 Rekomendasi
Berkenaan dengan illegal logging, sebaiknya semua pihak turut bahu membahu dalam
meminimlisir praktek ini, karena tanpa adanya kerjasama antara pihak pemerintah dan masyarkat,
maka praktek illegal logging akan sulit untuk dikecilkan presentasenya. Ditambah lagi,
pemberantasan illegal logging bukanlah tanggung jawab suatu kalangan saja, tapi seluruh lapisan
masyarakat tanpa terkecuali.
Pemerintah sebaiknya menjalakan fungsinya dengan baik dan benar sebagai aparat yang
mengawasi dan menegakkan hukum yang berlaku, jangan sampai malah menjadi pelanggar
(pelaku) dari aturan yang telah dibuat. Selain itu, pemerintah juga perlu mengadakan atau menjalin
kemitraan dengan masyarakat. Dengan kemitraan ini, antar pihak akan lebih mudah untuk
berkomunikasi dan bekerja sama. Di lain pihak, masyarakat sebaiknya bisa menjadi kontrol yang
peka atas kinerja pemerintahan dalam menjalakan fungsinya dan berpartisipasi aktif dalam
memberantas illegal logging, bukan hanya bisa menyalahkan dan memojokkan pemerintah tanpa
berbuat apapun yang akan memperkeruh suasana tanpa solusi yang jelas.
DAFTAR PUSTAKA

Kementrian Kehutanan.2010.Statistik Kehutanan Indonesia (Foresty Statistics of Indonesia) 2009. Jakarta


http://www.dephut.go.id/index.php?q=id/node/54
http://green.kompasiana.com/penghijauan/2011/04/23/problematika-penanganan-illegal-logging-di-
indonesia/
http://www.isai.or.id/?q=bagian+pertama-pembabat+hutan+bernama+illegal+logging+
http://eprints.undip.ac.id/8332/

Anda mungkin juga menyukai