Anda di halaman 1dari 9

PERTEMUAN 18

ILLEGAL LOGGING

A. Pengertian Illegal Logging

Pembalakan liar atau lebih dikenal dengan illegal logging adalah kegiatan

pemanenan pohon hutan, pengangkutan, serta penjualan kayu maupun hasil olahan kayu

yang tidak sah dan tidak memiliki izin dari otoritas setempat. Secara umum, kegiatan ini

dilakukan terhadap areal hutan yang dilarang untuk pemanenan kayu. Konsep

pembalakan liar yaitu dilakukannya pemanenan pohon hutan tanpa izin dengan tidak

dilakukannya penanaman kembali sehingga tidak dapat dikategorikan ke dalam

pengelolaan hutan lestari.

Menurut Nurdjana, Teguh Prasetyo dan Sukardi, Pengertian iIllegal Logging

adalah rangkaian kegiatan dalam bidang kehutanan dalam rangka pemanfaatan dan

pengelolaan hasil hutan kayu yang bertentangan dengan aturan hukum yang berlaku dan

berpotensi merusak hutan.

Menurut Haba, Pengertian illegal Logging adalah suatu rangkaian kegiatan yang

saling terkait, mulai dari produsen kayu illegal yang melakukan penebangan kayu secara

illegal hingga ke pengguna atau konsumen bahan baku kayu. Kayu tersebut kemudian

melalui proses penyaringan yang illegal, pengangkutan illegal dan melalui proses

penjualan yang illegal.

Pengertian Illegal logging secara umum adalah penebangan kayu yang

dilakukan, yang bertentangan dengan hukum atau tidak sah menurut hukum.
Kegiatan penebangan sudah diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia

Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan.

Menurut undang-undang tersebut, pembalakan liar adalah semua kegiatan pemanfaatan

hasil hutan kayu secara tidak sah yang terorganisasi. Hal tersebut mengandung arti

kegiatan ini bisa dilakukan oleh suatu kelompok yang di dalamnya terdiri dari dua orang

atau lebih yang bertindak bersama melakukan pemanenan kayu sebagai kegiatan

perusakan hutan.

B. Dampak Illegal Logging

Dampak illegal logging tidak dapat dianggap sebagai suatu hal ringan karena

kegiatan ini hanya akan menjadikan ekosistem semakin rusak. Kerugian yang

ditimbulkan dari kegiatan ini tidak hanya akan dirasakan oleh fauna di dalamnya, tapi

juga masyarakat yang tinggal di sekitarnya. Dampak pembalakan liar dapat dilihat dari

berbagai sisi, antara lain segi ekologis dan ekonomi.

1. Dampak Ekologis

Dampak pembalakan liar dari segi ekologis akan menimbulkan beberapa

masalah, seperti bencana alam. Pepohonan yang berfungsi sebagai penahan air

tidak akan memenuhi fungsinya jika dilakukan penebangan. Air hujan yang

jatuh ke permukaan tanah tidak dapat diserap dan disimpan di dalam tanah

karena tidak adanya akar pohon yang membantu dalam proses perkolasi.

Dampak dari peristiwa ini adalah kekeringan karena tidak adanya air yang

disimpan di dalam tanah.


Sementara itu, air hujan akan terus mengalir menuju sungai atau saluran

air lainnya. Ketika kapasitas penampungan air dalam sungai atau saluran air

sudah mencapai titik maksimum, maka air akan meluap ke atas permukaan dan

menyebabkan terjadinya banjir. Intensitas hujan yang turun pada daerah dengan

curah hujan tinggi akan membahayakan masyarakat sekitarnya karena dapat

memicu terjadinya banjir yang berpotensi menimbulkan kerugian tinggi.

2. Dampak Ekonomi

Dampak pembalakan liar (illegal logging) dari segi ekonomi telah

mengurangi penerimaan devisa negara dan pendapatan negara. Kerugian negara

yang disebabkan oleh kegiatan ini mencapai 30 triliun setiap tahunnya.

Sementara itu, sebenarnya para pembalak akan mendapatkan kerugian yang

besar akibat dampak buruk yang terjadi seperti banjir dan tanah longsor ke

permukiman penduduk di sekitarnya.

Pembalakan liar (illegal logging) juga menimbulkan anomali di sektor

kehutanan. Situasi terburuk yang terjadi adalah ancaman proses deindustrialisasi

sektor kehutanan. Hal itu mengartikan, sektor kehutanan yang memiliki konsep

berkelanjutan, karena didasari oleh sumber daya yang bersifat terbaharui, kini

bersifat terbatas akibat kegiatan pembalakan liar ini.

C. Sebab Akibat Illegal Logging

Sebab Illegal logging atau pembalakan liar atau penebangan liar adalah kegiatan

penebangan, pengangkutan dan penjualan kayu yang tidak sah atau tidak memiliki izin

dari otoritas setempat. Secara praktek, illegal logging dilakukan terhadap areal hutan
yang secara prinsip dilarang. Di samping itu, praktek illegal logging dapat pula terjadi

selama pengangkutan, termasuk proses ekpor dengan memberikan informasi salah ke

bea cukai, sampai sebelum kayu dijual di pasar legal.

Illegal logging dapat disebabkan oleh beberapa hal: pertama, tingginya

permintaan kebutuhan kayu yang berbanding terbalik dengan persediaannya. Dalam

kontek demikian dapat terjadi bahwa permintaan kebutuhan kayu sah (legal logging)

tidak mampu mencukupi tingginya permintaan kebutuhan kayu. Hal ini terkait dengan

meningkatnya kebutuhan kayu di pasar internasional dan besarnya kapasitas terpasang

industri kayu dalam negeri/konsumsi lokal. Tingginya permintaan terhadap kayu di

dalam dan luar negeri ini tidak sebanding dengan kemampuan penyediaan industri

perkayuan (illegal logging). Ketimpangan antara persediaan dan permintaan kebutuhan

kayu ini mendorong praktek illegal logging di taman nasional dan hutan konservasi.

Kedua lemahnya penegakan dan pengawasan hukum bagi pelaku tindak pidana

illegal logging. Selama ini, praktek illegal logging dikaitkan dengan lemahnya

penegakan hukum, di mana penegak hukum hanya berurusan dengan masyarakat lokal

atau pemilik alat transportasi kayu. Sedangkan untuk para cukong kelas kakap yang

beroperasi di dalam dan di luar daerah tebangan, masih sulit untuk dijerat dengan

ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku. 19 Bahkan beberapa pihak menyatakan

bahwa Undang-Undang No. 19 Tahun 2004 tentang Kehutanan (UU Kehutanan)

dianggap tidak memiliki “taring” untuk menjerat pelaku utama illegal logging,

melainkan hanya menangkap pelaku lapangan. Di samping itu, disinyalir adanya pejabat
pemerintah yang korup yang justru memiliki peran penting dalam melegalisasi praktek

illegal logging.

Ketiga tumpang tindih kebijakan pemerintah pusat dengan pemerintah daerah.

Hak Pegusahaan Hutan selama ini berada di bawah wewenang pemerintah pusat, tetapi

di sisi lain, -sejak kebijakan otonomi daerah diberlakukanpemerintah daerah harus

mengupayakan pemenuhan kebutuhan daerahnya secara mandiri. Kondisi ini

menyebabkan pemerintah daerah melirik untuk mengeksplorasi berbagai potensi daerah

yang memiliki nilai ekonomis yang tersedia di daerahnya, termasuk potensi ekonomis

hutan. Pada dasarnya kejahatan illegal logging, secara umum kaitannya dengan unsur-

unsur tindak pidana umum dalam KUHP, dapat dikelompokan ke dalam beberapa

bentuk kejahatan secara umum yaitu :

1. Pengrusakan (Pasal 406 sampai dengan pasal 412).

Unsur pengrusakan terhadap hutan dalam kejahatan illegal logging berangkat

dari pemikiran tentang konsep perizinan dalam sistem pengeloalaan hutan yang

mengandung fungsi pengendalian dan pengawasan terhadap hutan untuk tetap

menjamin kelestarian fungsi hutan. Illegal logging pada hakekatnya merupakan

kegiatan yang menyalahi ketentuan perizinan yang ada baik tidak memiliki izin

secara resmi maupun yang memiliki izin namun melanggar dari ketentuan yang

ada dalam perizinan itu seperti over atau penebangan diluar areal konsesi yang

dimiliki.

2. Pencurian (pasal 362 KUHP)


Kegiatan penebangan kayu dilakukan dengan sengaja dan tujuan dari kegiatan

itu adalah untuk mengambil manfaat dari hasil hutan berupa kayu tersebut (untuk

dimiliki). Akan tetapi ada ketentuan hukum yang mangatur tentang hak dan

kewajiban dalam pemanfaatan hasil hutan berupa kayu, sehingga kegiatan yang

bertentangan dengan ketentuan itu berarti kegiatan yang melawan hukum. Artinya

menebang kayu di dalam areal hutan yang bukan menjadi haknya menurut hukum.

3. Penyelundupan

Hingga saat ini, belum ada peraturan perundang-undangan yang secara khusus

mengatur tentang penyelundupan kayu, bahkan dalam KUHP yang merupakan

ketentuan umum terhadap tindak pidana pun belum mengatur tentang

penyelundupan. Selama ini kegiatan penyelundupan sering hanya dipersamakan

dengan delik pencurian oleh karena memiliki persamaan unsur yaitu tanpa hak

mengambil barang milik orang lain. Berdasarkan pemahaman tersebut, kegiatan

penyelundupan kayu (peredaran kayu secara illegal) menjadi bagian dari

kejahatan illegal logging dan merupakan perbuatan yang dapat dipidana Namun

demikian, Pasal 50 (3) huruf f dan h UU No. 41 Tahun 1999, yang mengatur

tentang membeli, menjual dan atau mengangkut hasil hutan yang dipungut secara

tidak sah dapat diinterpretasikan sebagaisuatu perbuatan penyelundupan kayu.

Akan tetapi ketentuan tersebut tidak jelas mengatur siapa pelaku kejahatan

tersebut. Apakah pengangkut/sopir/nahkoda kapal atau pemilik kayu. Untuk tidak

menimbulkan kontra interpretasi maka unsur-unsur tentang penyelundupan ini


perlu diatur tersendiri dalam perundang-undangan tentang ketentuan pidana

kehutanan.

4. Pemalsuan (pasal 261-276 KUHP)

Pemalsuan surat atau pembuatan surat palsu menurut penjelasan Pasal 263

KUHP adalah membuat surat yang isinya bukan semestinya atau membuat surat

sedemikian rupa, sehingga menunjukkan seperti aslinya. Surat dalam hal ini

adalah yang dapat menerbitkan : suatu hal, suatu perjanjian, pembebasan utang

dan surat yang dapat dipakai sebagai suatu keterangan perbuatan atau peristiwa.

Ancaman pidana terhadap pemalsuan surat menurut pasal 263 KUHP ini adalah

penjara paling lama 6 tahun, dan Pasal 264 paling lama 8 tahun. Dalam praktik-

praktik kejahatan illegal logging, salah satu modus operandi yang sering

digunakan oleh pelaku dalan melakukan kegiatannya adalah pemalsuan Surat

Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH), pemalsuan tanda tangan, pembuatan

stempel palsu, dan keterangan Palsu dalam SKSHH. Modus operandi ini belum

diatur secara tegas dalamUndang-undang kehutanan.

5. Penggelapan (pasal 372 – 377KUHP)

Kejahatan illegal logging antara lain : seperti over cutting yaitu penebangan di

luar areal konsesi yang dimiliki, penebangan yang melebihi target kota yang ada

(over capsity), dan melakukan penebangan sistem terbang habis sedangkan ijin

yang dimiliki adalah sistem terbang pilih, mencantuman data jumlah kayu dalam

SKSH yang lebih kecil dari jumlah yang sebenarnya.

6. Penadahan (pasal 480 KUHP)


Dalam KUHP penadahan yang kata dasarnya tadah adalah sebutan lain dari

perbuatan persengkokolan atau sengkongkol atau pertolongan jahat. Penadahan

dalam bahasa asingnya “heling” (Penjelasan Pasal 480 KUHP). Lebih lanjut

dijelaskan oleh R. Soesilo, bahwa perbuatan itu dibagi menjadi, perbuatan

membeli atau menyewa barang yang dietahui atau patut diduga hasil dari

kejahatan, dan perbuatan menjual, menukar atau menggadaikan barang yang

diketahui atau patut diduga dari hasil kejahatan. Dalam kontek inilah terjadi

tumpang tindih kebijakan pemerintah pusat dengan pemerintah daerah.

Pemerintah pusat menguasai kewenangan pemberian HPH, di sisi lain pemerintah

daerah mengeluarkan kebijakan untuk mengeksplorasi kekayaan alam daerahnya,

-termasuk hutan- guna memenuhi kebutuhan daerahnya. Tumpang tindih

kebijakan ini telah mendorong eksploitasi sumber daya alam kehutanan. Tekanan

hidup yang dialami masyarakat daerah yang tinggal di dalam dan sekitar hutan

mendorong mereka untuk menebang kayu, baik untuk kebutuhan sendiri maupun

untuk kebutuhan pasar melalui tangan para pemodal.

D. Dasar Hukum Illegal Logging

Pemberantasan kegiatan pembalakan liar (illegal logging) dapat dihilangkan

dengan dasar hukum yang tegas serta dilakukan pengawasan secara ketat. Hukum

tentang pembalakan liar (illegal logging) telah diatur dalam Undang-undang Nomor 18

Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (UU P3H).

Perundangan ini merupakan ketentuan khusus (lex specialis) dari UU No. 41 Tahun

1999 tentang Kehutanan.


UU P3H merupakan bentuk lanjutan dari UU Pemberantasan Illegal Logging

yang diusulkan pertengahan dekade 2000-an. Hal-hal baru yang diatur dan dimasukkan

antara lain pidana minimal, pidana korporasi, pelembagaan pemberantasan perusakan

hutan, dan kelemahan substansial.

Menurut Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan

(P3H), penebangan liar merupakan suatu kegiatan yang dilarang dalam pasal 17 ayat 1

huruf b yang berbunyi “Setiap orang dilarang: b. Melakukan kegiatan penambangan di

dalam kawasan hutan tanpa izin Menteri”

Kata setiap orang mengartikan dapat dilakukan oleh perorangan maupun kerja

sama. Hukuman bagi yang melanggar aturan tersebut adalah ancaman pidana, yaitu

sebagai berikut:

Jika dilakukan oleh individu atau perorangan, ancaman pidana penjara paling

singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun serta pidana denda paling

sedikit Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah) dan paling banyak

Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).

Jika penebangan dilakukan oleh korporasi, ancaman pidana penjara paling

singkat 8 (delapan) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun serta pidana denda

paling sedikit  Rp20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah) dan paling banyak

Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah).

Anda mungkin juga menyukai