NIM : 8111417332
2. Pada pasal 112 UU No. 18 Tahun 2013 tentang P3H menyebutkan bahwa ketentuan
dalam Pasal 50 ayat (1) dan ayat (3) huruf a, huruf f, huruf g, huruf h, huruf j, serta
huruf k. Dan ketentuan Pasal 78 ayat (1) mengenai ketentuan pidana terhadap Pasal 50
ayat (1) serta ayat (2) mengenai ketentuan pidana terhadap Pasal 50 ayat (3) huruf a
dan huruf b, ayat (6), ayat (7), ayat (9), dan ayat (10) dalam Undang-Undang Nomor
41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang dinyatakan tidak berlaku. Dalam
penjabarannya, hal tersebut karena adanya pengganti tindak pidana bidang kehutanan
tertentu dlm UU No. 41 Th 1999. Berikut adalah bunyi pasalnya:
Pasal 50 ayat (1):
Setiap orang dilarang merusak prasarana dan sarana perlindungan hutan.
Pasal 50 ayat (3):
a. mengerjakan dan atau menggunakan dan atau menduduki kawasan hutan secara
tidak sah;
f. menerima, membeli atau menjual, menerima tukar, menerima titipan, menyimpan,
ataumemiliki hasil hutan yang diketahui atau patut diduga berasal dari kawasan hutan
yang diambil atau dipungut secara tidak sah;
g. melakukan kegiatan penyelidikan umum atau eksplorasi atau eksploitasi bahan
tambang di dalam kawasan hutan, tanpa izin Menteri;
h. mengangkut, menguasai, atau memiliki hasil hutan yang tidak dilengkapi bersama-
sama dengan surat keterangan sahnya hasil hutan;
j. membawa alat-alat berat dan atau alat-alat lainnya yang lazim atau patut diduga
akandigunakan untuk mengangkut hasil hutan di dalam kawasan hutan, tanpa izin
pejabat yang berwenang;
k. membawa alat-alat yang lazim digunakan untuk menebang, memotong, atau
membelah pohon di dalam kawasan hutan tanpa izin pejabat yang berwenang.
Dalam perbandingannya yang terdapat dalam pasal 118 UU Nomor 18 Tahun
2013 tersebut yang menyatakan bahwa penjelasan pasal di atas tidak berlaku, menurut
saya terdapat beberapa kejanggalan yang sepertinya berusaha untuk melegalkan
pembukaan lahan dalam bidang pertambangan. Terlihat dari pasal-pasal yang
dipangkas tersebut berusaha untuk terlepas dari aspek-aspek hukum yang sebenarnya
berusaha melindungi aspek-aspek eksistensi hutan. Tetapi dengan tidak adanya
pemberlakuan dari pasal-pasal tersebut, muncul banyak pertambangan yang baru
setelah tidak adanya pemberlakuan tersebut. Mungkin di sisi lain ada beberapa faktor
yang melatarbelakangi UU yang dikeluarkan pada era SBY tersebut. Salah satunya
adalah memang bahwa kebijakan yang dikeluarkan pada akhir era SBY tersebut selalu
berkaitan dengan pembukaan kawasan hutan maupun konservasi. Memang apabila
dilihat lagi hal tersebut kemungkinan adalah langkah politik yang digunakan untuk
mengatur sumber pemasukan negara, terlebih pembaruan yang dilakukan ketika hal
tersbeut pada saat keadaan minyak bumi mengalami kelangkaan dan ada kenaikan
bahan bakar minyak. Tapi bukan berarti langkah tersebut harus di ambil sepenuhnya
demi kepentigan segelintir orang.