Anda di halaman 1dari 3

Nama : Fatkhul Amril Azim

NIM : 8111417332

Mata Kuliah : Hukum Kehutanan

Jadwal : Selasa, 15.00-16.40 WIB

UJIAN AKHIR SENESTER

MATA KULIAH HUKUM KEHUTANAN DAN FORESTRY LAW

1. Terdapat beberapa kekurangan Kekurangan dalam UU Nomor 41 Tahun 1999


tentang kehutanan adalah tentang illegalloggingKelemahan-kelemahan itu ada
beberapa faktor:
 Pelaku tindak pidana yang terkait dengan illegallogging. Pelaku yang diatur
dalam ketentuan pidana kehutanan hanya efektif diterapkan kepada pelaku
yang secara langsung melakukan illegal logging atau pengusaha yang
melakukan traksasi kayu secara ilegal. Hal ini hanya dapat menyerat pelaku
semisal: penebang kayu, sopir truck, oknum petugas kehutanan, pegawai
rendahan pada level birokrasi, oknum aparat. Dan ini tidak merata dalam
penegakannya karena tidak menjangkau kalangan elit yang ikut andil dalam
merusak hutan.
 Proses penyitaan dalam hal ini berupa barang bukti kayu. Konsep
penanganannya meliputi prosedur, metode, keahlian dalam pengukuran dan
waktunya cukup lama. Sementara itu UU Kehutanan tidak mengatur
mekanisme penyitaan barang bukti kayu secara khusus. Sehingga tidak
menimbulkan data kerusakan berdasar apa yang dihasilkan dari kegiatan ilegal
logging tersebut karena tidak terdapat spesisifikasi khusus.
 Dalam penegakan hukumnya masih susah ditembus oleh aturan hukum.
Penegakan tersebut adalah apabila pelaku yang terlibat kejahatan illegal
logging yakni pelaku intelektual, terutama cokong kayu, oknum pejabat, aparat
hukum, pegawai negeri tidak diatur secara khusus dalam UU Nomor 41 Tahun
1999 jo UU Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menjadi
Undang-Undang. Sehingga terkesan tebang pilih, tidak menjangkau akar
permasalahannya.
 Ruang lingkup tindak pidana yang masih sempit. UU Nomor 41 Tahun 1999
jo UU Nomor 19 Tahun 2004 tidak meliputi tindak pidana korporasi, tindak
pidana penyertaan dan tindak pidana pembiaran (omission) (ICEL, 12-5-2004b
: 4). UU tersebut tidak mengatur tindak pidana penebangan di luar
wilayahkonsensi (over cutting) atau yang melanggar Rencana Kerja Tahunan
(RKT).
 Lemahnya koordinasi antar penegak hukum. Sistem penegakan hukum tidak
terstruktur dalam suatu sistem yang terkoordinasi serta tanpa otoritas
merupakan kendala dalam penanggulangan illegallogging. Kondisi itu tetap
berlanjut meski sekarang sudah dikeluarkan Intruksi Presiden Nomor 4 Tahun
2005 tentang Pemberantasan Penebangan Kayu Illegal di Kawasan Hutan dan
Peredarannya di seluruh Indonesia.
 Berkaitan dengan ganti kerugian ekologi terhadap lingkungan. Tindak pidana
illegal loggingadalah tindak pidana yang mempunyai dampak atas kerugian
ekologi (lingkungan), sehingga perlu rumusan pasal tentang perhitungan
kerugian secara ekologis. Ternyata hal ini tidak diatur dalam UU Kehutanan.

2. Pada pasal 112  UU No. 18 Tahun 2013 tentang P3H menyebutkan bahwa ketentuan
dalam Pasal 50 ayat (1) dan ayat (3) huruf a, huruf f, huruf g, huruf h, huruf j, serta
huruf k. Dan ketentuan Pasal 78 ayat (1) mengenai ketentuan pidana terhadap Pasal 50
ayat (1) serta ayat (2) mengenai ketentuan pidana terhadap Pasal 50 ayat (3) huruf a
dan huruf b, ayat (6), ayat (7), ayat (9), dan ayat (10) dalam Undang-Undang Nomor
41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang dinyatakan tidak berlaku. Dalam
penjabarannya, hal tersebut karena adanya pengganti tindak pidana bidang kehutanan
tertentu dlm UU No. 41 Th 1999. Berikut adalah bunyi pasalnya:
Pasal 50 ayat (1):
Setiap orang dilarang merusak prasarana dan sarana perlindungan hutan.
Pasal 50 ayat (3):
a. mengerjakan dan atau menggunakan dan atau menduduki kawasan hutan secara
tidak sah;
f. menerima, membeli atau menjual, menerima tukar, menerima titipan, menyimpan,
ataumemiliki hasil hutan yang diketahui atau patut diduga berasal dari kawasan hutan
yang diambil atau dipungut secara tidak sah;
g. melakukan kegiatan penyelidikan umum atau eksplorasi atau eksploitasi bahan
tambang di dalam kawasan hutan, tanpa izin Menteri;
h. mengangkut, menguasai, atau memiliki hasil hutan yang tidak dilengkapi bersama-
sama dengan surat keterangan sahnya hasil hutan;
j. membawa alat-alat berat dan atau alat-alat lainnya yang lazim atau patut diduga
akandigunakan untuk mengangkut hasil hutan di dalam kawasan hutan, tanpa izin
pejabat yang berwenang;
k. membawa alat-alat yang lazim digunakan untuk menebang, memotong, atau
membelah pohon di dalam kawasan hutan tanpa izin pejabat yang berwenang.
Dalam perbandingannya yang terdapat dalam pasal 118 UU Nomor 18 Tahun
2013 tersebut yang menyatakan bahwa penjelasan pasal di atas tidak berlaku, menurut
saya terdapat beberapa kejanggalan yang sepertinya berusaha untuk melegalkan
pembukaan lahan dalam bidang pertambangan. Terlihat dari pasal-pasal yang
dipangkas tersebut berusaha untuk terlepas dari aspek-aspek hukum yang sebenarnya
berusaha melindungi aspek-aspek eksistensi hutan. Tetapi dengan tidak adanya
pemberlakuan dari pasal-pasal tersebut, muncul banyak pertambangan yang baru
setelah tidak adanya pemberlakuan tersebut. Mungkin di sisi lain ada beberapa faktor
yang melatarbelakangi UU yang dikeluarkan pada era SBY tersebut. Salah satunya
adalah memang bahwa kebijakan yang dikeluarkan pada akhir era SBY tersebut selalu
berkaitan dengan pembukaan kawasan hutan maupun konservasi. Memang apabila
dilihat lagi hal tersebut kemungkinan adalah langkah politik yang digunakan untuk
mengatur sumber pemasukan negara, terlebih pembaruan yang dilakukan ketika hal
tersbeut pada saat keadaan minyak bumi mengalami kelangkaan dan ada kenaikan
bahan bakar minyak. Tapi bukan berarti langkah tersebut harus di ambil sepenuhnya
demi kepentigan segelintir orang.

Anda mungkin juga menyukai