Anda di halaman 1dari 10

Hukuman Mati Bagi Para Pelaku Pembakaran Hutan dan Lahan

Oleh : Endang golis L.Tobing (11910421251)

Abstrak

Penegakan hukum terhadap pelaku pembakaran hutan dan lahan. Hasil dan kesimpulan
penelitian ini sebagai berikut: pertama, proses penegakan hukum yang dilaksanakan oleh Polres
Muaro Jambi terhadap pelaku pembakaran hutan dan lahan meliputi penegakan hukum preventif
(pencegahan) dan penegakanhukum refresif (penindakan). Kedua, kendala-kendala yang dialami
Polres Muaro Jambi dalam melaksanakan penegakan hukum terhadap pelaku pembakaran hutan
dan lahan antara lain berkenaan dengan biaya penyidikan kasus Karhutla, letak geografis lokasi
Karhutla, kondisi lahan dan cuaca, waktu penyidikan kasus Karhutla, pencarian alat bukti dan
saksi, serta keterbatasan personil kepolisian. Ketiga, upaya yang dilakukan Polres Muaro Jambi
bekerjasama dengan Polda Jambi, TNI, Pemda dan masyarakat dalam menyelesaikan kasus
Karhutla ditempuh dengan cara-cara: 1. membuat regulasi yang tegas untuk mengatur tentang
Karhutla, 2. Melakukan sosialisai Karhutla kepada masyarakat, 3. membentuk satgas dan posko-
posko Karhutla, 4. melakukan patroli dan pengawasan secara berskala, 5. menerjunkan langsung
personil kelapangan ketika ditemui titik api, serta 6. melaksanakan penegakkan hukum kepada
pelaku Karhutla. Serta keempat, ditinjau dari hukum pidana Islam, pembakaran hutan dan lahan
merupakan suatu tindak pidana yang termasuk kategori jarimah takzir, yang ketentuan mengenai
larangan dan hukumannya tidak diatur dalam Al-Qur’an dan hadis, karena itu menjadi tugas para
ulama, pemimpin atau hakim untuk memutuskan dan melaksanakan penegakan hukumnya.1

Pendahuluan

Pembakaran/ kebakaran hutan dan lahan merupakan bencana yang kerap terjadi di Indonesia
khususnya di wilayah Sumatra dan Kalimantan. Hal ini terjadi bukan hanya sekedar fenomena
alam saja tetapi ada campur tangan dari pihak mannusia. Pembakaran ini sering dilakukan untuk
kepentigan pribadi saja, seperti memebuka lahan untuk kepentingan perusahaan. Kebakaran/
pembakaran hutan banyak menimbulkan keresahaan bagi masyarakat. Mulai dari pemcemaran
udara yang menggannggu kesehatan dan hilangnya tempat tinggal bagi hewan yang ada di dalam

1
Zufriani” Penegakan Hukum Terhadap Pelaku Pembakaran Hutan dan Lahan ditinjau dari Hukum Pidana
Positif Dan Hukum Pidana Islam” Jurnal Kajian Ilmu-Ilmu Hukum Vol.16, No.1, July 2018, pp.42-53. Hlm. 42
hutan itu sendiri. Kebakaran hutan ini buakan hanya terjadi sekali atau duakali melainkan hampir
setiap tahun terjadi bahkan menjadi langganan bagi Indonesia. Ini memyebab kan tanda tanya bagi
masyarakat mengapa pemerintah masih saja gagal menuntaskan masalah ini. Apa yang harus
dilakukan pemerintah menghadapinya dan apakah hukuman bagi pembakaran hutan dan lahan di
Indonesia ini. Apakah hukuman mati dirasa cocok untuk para pelaku pembakaran hutan dan lahan?

Pembahasan

Pembukaan lahan dengan cara membakar hutan kerap menjadi hal yang paling sering
dilakukan baik oleh perorangan maupun perusahaan. Pembakaran hutan menjadi pilihan yang
paling murah dan mudah untuk mengubah lahan hutan menjadi kebun kelapa sawit, kebun karet,
dan lahan pertanian lainnya sekaligus menaikkan harga jual lahan. Tidak dapat dipungkiri bahwa
fenomena kebakaran hutan telah menjadi suatu ancaman serius dan mendesak untuk ditanggulangi,
terlebih dengan periodesasi yang hampir terjadi setiap tahun.2

Kebakaran hutan dan lahan adalah suatu peristiwa terbakarnya hutan dan atau lahan, baik secara
alami maupun oleh perbuatan manusia, sehingga mengakibatkan kerusakan lingkungan yang
menimbulkan kerugian ekologi, ekolomi sosial budaya dan politik. Gambut merupakan hasil
lapukan tumbuhan selama ribuan tahun. Pada saat aerob, gambut akan melepas CO2 dan CH4,
tetapi pada suasana anaerob gambut akan menimbun CO2 dan CH4. Lahan gambut adalah lahan
organik yang dapat menyerap air paling tidak 10 kali bobotnya, apabila air di dalam lahan gambut
didrainase secara berlebihan, dapat mengakibatkan lahan menjadi kering dan tidak dapat balik.3

Penerapan Sanksi Pidana Bagi Pelaku Pembakaran Hutan Di Indonesia Perumusan delik
lingkungan selalu dikaitkan dengan sanksi (ancaman) pidana, karena secara teoritik sanksi pidana
ini bertujuan untuk mengakkan norma-norma hukum lingkungan. Sanksi pidana ini muncul

2
Alamandah’s Blog, Penyebab Kebakaran Hutan, http://alamandah.org/2015/10/01/penyebab-kebakaran hutan-di-
Indonesia/Diakses pada tanggal 14 februari 2016
pukul 17.25
3
H Bintoro, M Yanuar J. Purwanto, Shandra Amarillis, Sagu di Lahan Gambut, Bogor: IPB Press, 2010,
hlm.1
sebagai reaksi menegakkan ketidaktaatan terhadap normanorma hukum lingkungan.4 Ketentuan
hukum lingkungan dalam UU No. 32 Tahun 2009 misalnya, memuat ketentuan atau norma hukum
yang berhubungan hak, kewajiban dan wewenangdalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup. Sanksi pidana merupakan satu jenis sanksi yang bertujuan untuk menegakkan atau
menjamin ditaatinya ketentuan hukum pengelolaan hutan dalam undang-undang tersebut. Sebagai
tindak pidana kejahatan maka sanksi pidananya meliputi pidana penjara, denda, dan tindakan tata
tertib. Sanksi pidana penjara dan denda sangat bervariasi tergantung pada sifat perbuatan dan
akibat yang ditimbulkan. Selain sanksi pidana dan denda, pelaku juga dapat dikenakan sanksi
pidana tata tertibsebagaimana dirumuskan pada pasal 119 Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009
yaitu5 :

a. Perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana


b. Penutupan seluruh atau sebagian tempat usaha dan/atau kegiatan
c. Perbaikan akibat tindak pidana
d. Kewajiban mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak, dan/atau
e. Penempatan perusahaan dibawah pengampuan paling lama 3 (tiga) tahun.6

Secara yuridis tindakan membakar di dalam kawasan hutan merupakan tindakan melawan
hukum serta bertentangan dengan aturan perundang-undangan yang berlaku. Sanksi pidana penjara
dan denda dapat dikenakan kepada pelaku pembakaran hutan baik karena disengaja atau terjadi
karena kelalaian dari pelaku (Rahmadi, 2014).

Berdasarkan hasil penelitian penulis yang dilakukan di Polres Muaro Jambi menguraikan
bahwa, proses penegakan hukum yang dilaksanakan oleh pihak Polres Muaro Jambi terhadap
pelaku pembakaran hutan dan lahan meliputi proses penegakan hukum yang bersifat preventif dan
refresif.

1. Penegakan Hukum melalui Tindakan Preventif (Pencegahan)

4
Muhammad Akib, op.cit., hal. 165-167
5
Pasal 119 Undang-Undang No. 32 Tahun 2009
6
Ibid
Tindakan hukum yang bersifat preventif merupakan upaya pertama yang dilakukan pihak
Polres Muaro Jambi dalam melaksanakan penegakan hukum terhadap pelaku pembakaran hutan
dan lahan. Pihak kepolisian Polres Muaro Jambi bekerjasama dengan Polda Jambi, TNI dan
Pemerintah Daerah melakukan upaya pencegahan terlebih dahulu terhadap kemungkinan-
kemungkinan terjadinya tindakan pembakaran hutan dan lahan sebelum menindak secara tegas
para pelaku pembakaran hutan dan lahan berdasarkan aturan hukum pidana yang berlaku. Lebih
lanjut mengenai proses penegakan hukum melalui tindakan preventif dapat dijabarkan sebagai

berikut:

a) Membuat dan Memasang Panplet/Spanduk tentang KARHUTLA (Kebakaran Hutan dan


Lahan)
b) Melaksanakan Sosialisasi Terpadu KARHUTLA (Kebakaran Hutan dan Lahan) kepada
Masyarakat Polres Muaro Jambi juga melaksanakan sosialisasi dan
c) Melaksanakan Patroli Terpadu KARHUTLA (Kebakaran Hutan dan Lahan) Dalam upaya
mencegah dan mengantisipasi terjadinya tindakan pembakaran hutan dan lahan.

2. Penegakan Hukum melalui Tindakan Refresif (Penindakan)

Setelah melaksanakan tindakan preventif, langkah kedua yang dilakukan pihak Polres Muaro
Jambi adalah melaksanakan penegakan hukum melalui tindakan hukum yang bersifat refresif.
Adapun mengenai proses penegakan hukum pidana terhadap pelaku pembakaran hutan dan lahan
melalui tindakan refresif ini, Hal ini lebih lanjut dapat dijelaskan sebagai berikut:

a. Tahap Penyelidikan

Terdapat empat macam sumber tindakan sebelum dilakukan penyelidikan. Empat macam
sumber tindakan tersebut antara lain laporan, pengaduan, diketahui sendiri oleh petugas dan
tertangkap tangan. Setelah adanya sumber tindakan, maka langkah pertama yang dilakukan oleh
pihak kepolisian adalah melaksanakan tindakan penyelidikan. Secara umum penyelidikan atau
dengan kata lain sering disebut penelitian adalah langkah awal atau upaya awal untuk
mengidentifikasi benar dan tidaknya suatu peristiwa pidana itu terjadi (Hartono, 2010). Menurut
Pasal 1 butir 5 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana bahwa, yang
dimaksud dengan “Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan
menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau
tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini”. Proses
penegakan hukum terhadap pelaku pembakaran hutan dan lahan yang dilakukan oleh Pihak Polres
Muaro Jambi ditempuh melalui 2 tahapan, yaitu tahap preventif (pencegahan) dan tahap refresif
(penindakan). Adapun tahap preventif dilakukan dengan cara : pertama, membuat dan memasang
panplet/spanduk, kedua, melaksanakan sosialisasi, dan ketiga, melaksanakan patroli. Sedangkan
pada tahap refresif dilaksanakan dengan langkah: pertama, penyelidikan, kedua, penyidikan,
ketiga, pemeriksaan, dan keempat, penyelesaian dan penyerahan perkara ke jaksa penuntut umum
(JPU). Berdasarkan hasil wawancara yang penulis lakukan dengan Bripka Beni Cikmid selaku
Penyidik Unit Tipiter, Satreskrim Polres Muaro Jambi yang menangani secara langsung berbagai
peristiwa pembakaran hutan dan lahan yang terjadi tercatat bahwa, sepanjang Tahun 2015 pihak
Polres Muaro Jambi telah melakukan proses penegakan hukum terhadap pelaku pembakaran hutan
dan lahan sebanyak 3 kasus. Diantaranya dapat diuraikan:

Pertama, kasus tindak pidana pembakaran hutan dan lahan yang terjadi pada Bulan September
Tahun 2015, yang dilakukan oleh PT. Serasi Jaya Abadi yang berlokasi di Kelurahan Tanjung.
PT ini bergerak dibidang usaha perkebunan kelapa sawit. Adapun luas hutan dan lahan yang
terbakar sekitar 24 Hektar dengan luas lahan keseluruhan sekitar 1000 Hektar lebih. Dalam kasus
ini telah ditetapkan sebagai tersangka yang bernama Sutrisno, yaitu Direktur PT. Serasi Jaya
Abadi. Dalam proses persidangan di Pengadilan, Sutrisno dijatuhi hukuman selama 1 Tahun 6
Bulan Penjara oleh Hakim Pengadilan Negeri Sengeti. Adapun kerugian yang ditimbulkan akibat
kebakaran hutan ini berupa kerugian materil.

Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 12 Permentan RI Nomor 47 Tahun 2014 tentang Brigade
dan Pedoman Pelaksanaan Pencegahan Kebakaran Lahan dan Kebun, yang berbunyi: “Pelaku
usaha perkebunan wajib memiliki sistem, sarana, dan prasarana pengendalian kebakaran hutan dan
lahan perkebunan”. Kewajiban memiliki sistem, sarana dan prasarana pengendalian kebakaran
hutan merupakan syarat yang harus dipenuhi setiap perusahaan perkebunan untuk mendapatkan
izin AMDAL. Selanjutnya izin AMDAL sendiri digunakan sebagai syarat untuk memperoleh izin
membuka usaha perkebunan. 7

Adapun dalam hukum pidana Islam dikenal tiga jenis jarimah, di antaranya yaitu: pertama, jarimah
hudud, kedua, jarimah qishash dan diat, serta ketiga, jarimah takzir. Adapun penjelasannya

1. Jarimah Hudud, adalah jarimah yang diancam dengan hukuman had. Hukuman had adalah
hukuman yang telah ditentukan oleh syara’ dan merupakan hak Allah.

2. Jarimah Qishash dan Diat, adalah jarimah yang diancam dengan hukuman qishash dan diat. Baik
qishash maupun diat kedua-duanya adalah hukuman yang sudah ditentukan oleh syara’.
Perbedaannya dengan hukuman had adalah bahwa hukuman had merupakan hak Allah, sedangkan
qishash dan diat merupakan hak manusia.

3. Jarimah Takzir, adalah jarimah yang diancam dengan hukuman takzir. Hukuman takzir
merupakan hukuman pendidikan atas dosa (tindak pidana) yang belum ditentukan hukumannya
oleh syara’, dan menjadi wewenang untuk menetapkan hukumannya oleh para ulama, para
pemimpin atau hakim. Adapun jenis jarimah takzir adalah semua jarimah yang tidak termasuk
kategori jarimah hudud dan qishash diat (Muslich, 2005). 8

Secara legalitas permasalahan perbuatan larangan pembakaran hutan dan lahan telah diatur,
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolahan Lingkungan Hidup. Seiring dengan
perkembangan zaman dan semakin berkembangnya masyarakat maka tidak dipungkiri
penyempurnaan terhadap Undang-undang Nomor 23 tahun 1997 harus dilakukan dengan Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolahan Lingkungan Hidup. Selain
itu pengaturan tentang pelarangan pembakaran hutan dan lahan juga diatur dalam Undang-Undang
Nomor 41 tahun 1999 tentang kehutanan, UndangUndang Nomor 18 tahun 2013 tentang
pencegahan dan perusakan hutan, dan Undang-undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan.

Tujuan utama dari Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan Dan
Pengelolahan Lingkungan Hidup adalah perlindungan dan pengelolahan untuk kesejahteraan dan

7
Zufriani” Penegakan Hukum Terhadap Pelaku Pembakaran Hutan dan Lahan ditinjau dari Hukum Pidana
Positif Dan Hukum Pidana Islam” Jurnal Kajian Ilmu-Ilmu Hukum Vol.16, No.1, July 2018, pp.42-53. Hlm. 43-45
8
Ibid. hlm.51
kemanfaatan serta pembangunan secara berkelanjutan. Pada Undang-undang Nomor 32 Tahun
2009 tentang Perlindungan dan Pengelolahan Lingkungan Hidup diatur tentang larangan-larangan
kegiatan atau perbuatan yang dikategorikan sebagai tindakan yang merusak dan membahayakan
lingkungan hidup, seperti pembakaran hutan dan lahan Dalam Undang- Undang Nomor 32 Tahun
2009 tentang Perlindungan Dan Pengelolahan Lingkungan Hidup, pada pasal 69 menyatakan
perbuatan-perbuatan yang dilarang9

Pada tahun 2015 kasus pembakaran hutan dan lahan yang terjadi di provinsi Riau adalah terdapat
18 korporasi yang terdiri dari 11 perusahaan HTI dan 7 perusahaan Sawit. Pembakaran hutan dan
lahan yang terbaru bulan September tahun 2016 yang dilakukan PT. Andika Permata Sawit Lestari
(APSL) yang melakukan pembakaran hutan dan lahan dengan cara membakar 2000 Ha di daerah
Rokan Hulu Provinsi Riau.13 Provinsi Riau mengalami penurunan jumlah hutan dan lahan di
sebabkan dengan keberadaan menjamurnya industri kehutanan di Provinsi Riau yang menjadi
penyebab degradasi hutan alam semakin tidak terkendali. Sampai tahun 2000 jumlah industri
kehutanan yang beroperasi di Provinsi Riau mencapai 312 unit yang terdiri dari industri kayu lapis
10 unit, swamil 270, moulding 27, chip mil sebanyak 3 unit dan 2 unit insustri pulp dan kertas.10

Penjatuhan pidana terhadap korporasi memiliki tujuan pemidanaan yang bersifat integratif yang
mencakup:

Pertama, Tujuan pemidanaan untuk mencegah baik secara umum maupun secara khusus, yaitu
pidana pidana dianggap mempunyai daya untuk mendidik dan memperbaiki, serta mencegah orang
lain untuk melakukan sesuatu tindak pidana.

Kedua, tujuan pemidanaan untuk perlindungan masyarakat, secara luas yaitu fundamental sebagai
tujuan dari semua pemidanaan, secara sempit adalah sebagai bahan pengadilan melalui putusannya
agar masyarakat terlindung dari pengulangan tindak pidana.

9
Pasal 69 Undang-undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup
10
Muhammad Zakaria,” PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PELAKU PEMBAKARAN HUTAN DAN
LAHAN DI PROVINSI RIAU” Tesis 2017 UII. Hlm.10
Ketiga, Tujuan pidana untuk melahirkan solidaritas masyarakat, yaitu untuk mencegah adat
istiadat masyarakat dan mencegah balas dendam perseorangan atau balas dendam tidak resmi.
Keempat, tujuan pemidanaan untuk pengimbangan atau pengimbalan yaitu, adanya kesebandingan
antara pidana dengan pertanggungjawaban individual dari pelaku tindak pidana.11

Dalam pertanggungjawaban korporasi tidak seharusnya selalu memperhatikan kesalahan pembuat,


tetapi cukup dengan mendasarkan pada adagium res ipsa loquitur, bahwa fakta sudah berbicara
dengan sendirinya/ pada faktanya, kerugian dan bahaya yang ditimbulkan oleh perbuatan pidana
korporasi sangat besar, baik secara fisik, ekonomi, maupun social cost yang mana korban
mencakup pula masyarakat dan negara.12

Sejalan dengan apa yang dikatakan Van De Bunt penerapan instrument adminsistratif dan
instrumen hukum pidana atau penerapan kedua-keduanya sekaligus dengan berdasarkan
pandangan bahwa hukum pidana hanya dapat diterapkan terhadap perbuatan yang mempunyai
nilai etis negatif yang sangat tinggi (high ethical negative value) kerusakan lingkungan yang

cukup serius. Menurut J.C Smith dan Brian Hogan, korporasi adalah badan hukum yang tidak
memiliki fisik dan oleh karena itu tidak dapat bertindak atau memiliki kehendak kecuali melalui
direktur atau karyawannya. Direktur atau karyawan juga merupakan entitas hukum yang berbeda
dalam korporasi, karena semua bentuk pertanggungjawaban hukum korporasi adalah melalui
petanggungjawaban pengganti. Sehingga dapat diambil intinya bahwa korporasi tidak bisa
melakuakan kejahatan, tetapi orangorang yang bertindak untuk dan/atau atas nama korporasilah
yang bias melakukan kejahatan.13

11
Muladi dan Dwidja Priyatno, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Jakarta: Kencana
Persada, 2010, hlm. 147-149
12
Roeslan Saleh dikutip dalam Setiyono, Kejahatan Korporasi: analisis Viktimologi dan
pertanggungjawaban Korporasi dalam hukum pidana Indonesia, Malang: Bayumedia, 2005, hlm. 131-132
13
Rudi Prasetyo dikutip dalam Hanafi Amrani dan Makhrus Ali, Sistem pertanggungjawaban
Pidana Perkembangan dan Penerapan, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2015, hlm. 146
Kesimpulan

Penanganan yang dilakaukan pemerintah dalam kasus kebakaran hutan di dominasi oleh
penaganan yang sisfatnya resesif seperti pemadaman dan penegakan hukum. Kebijakan yang
dilakukan selama ini baru sebatas mengatasi masalah pembukaan hutan yang dilakukan dengan
pembakaran sementara itu penyebab lain seperti konfersi lahan pemanfaatan lahan gambut
sengketa lahan gambut aktifitas pemanfaatan SDA,pemanfaatan lahan gambut belum tersentuh
dalam kebijakan pengendalian pembakaran hutan.

Pemerintas tidak bias disalahkan sepenuhnya dalam kebakaran hutan karna penyabab dari
kebakaran itu bisa saja di sebabkan oleh gejala alam seperti adanya musim kemarau.

Pemerintah juga telah membuat berbagai kebijakan dalam pencegahan pembakaran lahan
seperti peningkatan teknologi pencegahan contohnya saja melalui peringatan dan deteksi dini
kebakaran, pembanganan fisik pencegahaan pembakaran hutan dan lahan seperti
embung,grinbel,Menara pengawas.

Melaggar HAM UUD 1945 pas 28 A “Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak untuk
mempertahankkan hidup dan kehidupan nya. UU NO 39 tahun 1999”.
Daftar Pustaka

Zufriani,2018” Penegakan Hukum Terhadap Pelaku Pembakaran Hutan dan Lahan


ditinjau dari Hukum Pidana Positif Dan Hukum Pidana Islam” Jurnal Kajian Ilmu-Ilmu Hukum
Vol.16, No.1, July 2018.

Alamandah’s Blog, Penyebab Kebakaran Hutan,


http://alamandah.org/2015/10/01/penyebab-kebakaran hutan-di-Indonesia/Diakses pada tanggal
14 februari 2016
Pasal 69 Undang-undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan Dan Pengelolaan

Lingkungan Hidup

Muhammad Zakaria,” PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PELAKU


PEMBAKARAN
HUTAN DAN LAHAN DI PROVINSI RIAU” 2017

Muladi ,Dwidja Priyatno, 2010,Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Jakarta: Kencana

Persada,.

Bintoro, H. M Yanuar J. Purwanto, Shandra Amarillis, 2010,Sagu di Lahan Gambut,


Bogor: IPB Press.

Saleh ,Roeslan dikutip dalam Setiyono, 2005,Kejahatan Korporasi: analisis Viktimologi


dan pertanggungjawaban Korporasi dalam hukum pidana Indonesia, Malang: Bayumedia.

Prasetyo, Rudi dikutip dalam Hanafi Amrani dan Makhrus Ali, 2015,Sistem
pertanggungjawaban Pidana Perkembangan dan Penerapan, Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Muhammad Akib, op.cit.

Pasal 119 Undang-Undang No. 32 Tahun 2009

Anda mungkin juga menyukai