Anda di halaman 1dari 26

Yori Demasto

Penerapan Asas Primum Remedium Dalam


Tindak Pidana Pembakaran Hutan
Yang Dilakukan Oleh Korporasi
Volume 3 Nomor 1, Juli 2020
E-ISSN: 2655-7347

PENERAPAN ASAS PRIMUM REMEDIUM DALAM TINDAK PIDANA


PEMBAKARAN HUTAN YANG DILAKUKAN OLEH KORPORASI

Yori Demasto
(Mahasiswa Program S1 Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara)
(E-mail: yoriedemasto@gmail.com)

Abstract
Indonesia's forest fires occurring in Indonesia have disturbed many parties, not only the people
and the country itself but also disturbing other countries, especially the neighboring countries
affected and the losses resulting from the forest fires. Forest fires in Indonesia occur even every
year in the last decade. This becomes a bad judgment against the government and Indonesian
law. Forest fires occur because of many factors, one of which is forest fires conducted by
corporations. It is inevitable that corporations are part of development activities, but
corporations seem to take advantage of the development activities to exploit the environment.
Corporations as forest fires that can cause massive and massive environmental damage.
Government efforts in cracking down on forest burners are set out in the policy of law number
32 of 2009 on environmental protection and management. Law 32 of 2009 provides for strict
provisions on the application of the principle of primum remedium on environmental crime

Keywords : Primum Remedium, a corporation's burning of forest fires

I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hutan merupakan paru-paru bumi sebagai tempat hidup dari berbagai
macam satwa hidup, tumbuhan, dan berbagai Sumber Daya Alam yang
terkandung di dalamnya. Bahkan dapat dikatakan hutan merupakan salah satu
sumber kehidupan makhluk hidup di mana makhluk hidup menggantungkan
hidupnya. Hutan dalam konsep yuridis dirumuskan dalam Pasal 1 Angka (1)
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Perusakan, yang menyatakan bahwa hutan adalah suatu
kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati
yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungan, yang satu
dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. Untuk itu setiap orang harus menjaga
kelestarian hutan dengan tidak merusaknya.
Perusakan hutan oleh manusia sering terjadi. Salah satu perusakan
hutan yang sering terjadi adalah pembakaran hutan. Kebakaran hutan di
Indonesia terjadi hampir setiap tahun selama satu dekade terakhir menjadi

1340
Yori Demasto
Penerapan Asas Primum Remedium Dalam
Tindak Pidana Pembakaran Hutan
Yang Dilakukan Oleh Korporasi
Volume 3 Nomor 1, Juli 2020
E-ISSN: 2655-7347

suatu problematika tersendiri bagi penegakan hukum untuk mengatasi


masalah kebakaran hutan yang terjadi. Melihat pada data kebakaran hutan
yang dikeluarkan oleh Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang
terjadi dari tahun 2015 sampai dengan 2017, terdapat 3.215.858 hektar hutan
yang terbakar serta terdapat 380 kasus kebakaran hutan yang ditangani oleh
Kepolisian pada tahun 2015 dan 2016.
Kebakaran hutan yang terjadi di Indonesia disebabkan oleh pola dan
kebiasaan hidup masyarakat yang kurang menghargai lingkungannya.1)
Pemikiran manusia yang masih berpikir bahwa pada tahap awal proses
industrialisasi, pada saat gumpalan asap mulai mengotori udara, limbah
mengotori air (sungai maupun laut) dan sampah-sampah yang dibuang ke
tanah yang subur, orang masih percaya pada kemampuan udara untuk
membersihkan sendiri, air (sungai atau laut) dapat mengencerkan benda-
benda asing secara alami tanpa perlu khawatir akan bahayanya. 2) Sudah
seharusnya pemerintah bersikap tegas untuk mengubah cara berpikir
masyarakat yang untuk meminimalisir dampak yang akan timbul dari
kegiatan-kegiatan usaha yang ada.
Indonesia adalah negara berkembang yang dalam perkembangannya
mengharuskan untuk melakukan kegiatan pembangunan. Kegiatan
pembangunan dapat menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan hidup.3)
Hal ini dapat dilihat pada banyaknya sungai–sungai kotor dan berbau tidak
sedap akibat pembuangan limbah industri ke sungai, polusi udara maupun
kebakaran hutan yang dilakukan oleh korporasi. Hal ini menjadi bukti bahwa
banyak pengusaha yang mengabaikan berbagai persyaratan–persyaratan
lingkungan yang ditetapkan oleh pemerintah seperti Analisis Mengenai
Dampak Lingkungan (AMDAL) dan pengoprasian Upaya Pemantauan
Lingkungan Hidup (UPL).

1)
H. Joni. SP, Tindak Pidana Lingkungan Hidup, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2016), hal.2.
2)
M. Daud Silalahi, Dalam Sistem Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia, (Bandung:
Alumni, 2001), hal.6-7.
3)
H. Joni. SP, Op.Cit., hal.7.

1341
Yori Demasto
Penerapan Asas Primum Remedium Dalam
Tindak Pidana Pembakaran Hutan
Yang Dilakukan Oleh Korporasi
Volume 3 Nomor 1, Juli 2020
E-ISSN: 2655-7347

Indonesia adalah negara hukum di mana hal ini tercantum dalam Pasal
1 Ayat (3) Undang–Undang Dasar Negara Republik Indonesia. Oleh karena
itu, hukum memiliki kedudukan dan arti penting dalam menghadapi dan
memecahkan berbagai masalah dalam lingkungan hidup dan merupakan
dasar yuridis bagi pelaksana kebijakan negara yang harus dilaksanakan oleh
pemerintah. Pembukaan lahan dengan membakar secara tegas dilarang dalam
undang-undang. Pengaturan larangan perbuatan pembakaran lahan secara
tegas dimuat dalam Pasal 69 Ayat (1) huruf h Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang
berbunyi: “Setiap orang dilarang melakukan pembukaan lahan dengan cara
membakar”. Selanjutnya di Pasal 108 Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, ditegaskan
bahwa:
“Setiap orang yang melakukan pembakaran sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 69 Ayat (1) huruf h dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda
paling sedikit Rp. 3.000.000.000,- (tiga miliar rupiah) dan paling
banyak Rp. 10.000.000.000,- (sepuluh miliar rupiah)”.

Jika dilihat pada ketentuan pidana pada Undang-Undang a quo,


seharusnya para pelaku kejahatan atas hutan harus dijerat dengan sanksi
pidana, karena kelestarian hutan untuk menyangkut keberlangsungan
ekosistem makhluk hidup termasuk manusia dan sebagai upaya pencegahan.
Lemahnya penegakan hukum di Indonesia diakui oleh Menteri
Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya Bakar mengatakan, masih
ada kelemahan dalam aspek penegakan hukum perkara kebakaran hutan dan
lahan di Indonesia. Lemahnya hukum di Indonesia seolah menjadi celah bagi
para pelaku pembakaran hutan untuk melakukan kejahatan pembakaran hutan
demi keuntungan pribadinya.
Pada hakekatnya hukum telah mengatur untuk menjaga kelestarian
hutan dengan mencantumkan ketentuan pidana di dalamnya, yang di
antaranya adalah:

1342
Yori Demasto
Penerapan Asas Primum Remedium Dalam
Tindak Pidana Pembakaran Hutan
Yang Dilakukan Oleh Korporasi
Volume 3 Nomor 1, Juli 2020
E-ISSN: 2655-7347

1. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan


Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH);
2. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Perusakan Hutan; dan
3. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan.
Ketentuan pidana pada peraturan perundang-undangan di atas bertujuan
untuk penegakan hukum lingkungan. Adapun tujuan penegakan Hukum
Lingkungan adalah penataan terhadap nilai-nilai perlindungan daya dukung
ekosistem dan fungsi lingkungan hidup pada umumnya diformasikan ke
dalam peraturan perundang-undangan, termasuk ketentuan yang baku mutu
limbah dan emisi. 4)
Moeljatno menyatakan bahwa Hukum Pidana adalah bagian dari
keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara yang mengadakan dasar-
dasar dan mengatur ketentuan tentang perbuatan yang tidak boleh dilakukan,
dilarang yang disertai dengan sanksi pidana bagi barang siapa yang
melakukan. 5) Akan tetapi penerapan sanksi pidana tetap memperhatikan asas
ultimum remedium. Menurut pakar Hukum Pidana fungsi Hukum Pidana
adalah sebagai instrumen penegakan hukum paling akhir (ultimum
remedium), karena instrumen-instrumen yang lain dinilai dapat sebagai
sarana melindungi hutan. 6)
Penjelasan Angka 6 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH) disebutkan
bahwa:
“Penegakan Hukum Pidana lingkungan tetap memperhatikan asas
ultimum remidium yang mewajibkan penerapan penegakan Hukum
Pidana sebagai upaya terakhir setelah penerapan penegakan hukum
administrasi tidak berhasil”. Penerapan asas ultimum remidium ini
hanya berlaku pada tindak pidana formil tertentu, yaitu pemidanaan
terhadap pelanggaran baku mutu air limbah, emisi dan gangguan.”

4)
H. Joni. SP, Op.Cit., hal.11.
5)
Eddy O.S. Hiarriej, Prinsip-prinsip Hukum Pidana, Edisi Revisi, (Yogyakarta: Cahaya
Atma Pusaka, 2016), hal.16.
6)
Supriadi, Hukum Lingkungan di Indonesia: Sebuah Pengantar, (Jakarta: Sinar Grafika,
2006), hal.300.

1343
Yori Demasto
Penerapan Asas Primum Remedium Dalam
Tindak Pidana Pembakaran Hutan
Yang Dilakukan Oleh Korporasi
Volume 3 Nomor 1, Juli 2020
E-ISSN: 2655-7347

Ketentuan a quo yang menempatkan ultimum remedium hanya untuk


pelanggaran baku mutu air limbah, emisi dan gangguan menjadikan banyak
perdebatan dikalangan ahli hukum mengenai penempatan primum remedium
dalam penindakan pelaku pembakaran hutan.
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka Penulis merasa tertarik
untuk mengkaji lebih lanjut mengenai topik ini secara komprehensif dan
menuangkannya dalam proposal skripsi ini dengan judul “Penerapan Primum
Remedium Dalam Tindak Pidana Pembakaran Hutan Oleh Korporasi”.
“PENERAPAN ASAS PRIMUM REMEDIUM DALAM TINDAK
PIDANA PEMBAKARAN HUTAN YANG DILAKUKAN OLEH
KORPORASI “.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, terdapat masalah yang di
dapat dari penelitian ini adalah:
1. Bagaimana penerapan primum remedium pada perkara pembakaran
hutan di Indonesia oleh korporasi berdasarkan Undang-Undang Nomor
32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup?
2. Bagaimana penegakan hukum pidana terhadap pelaku pembakaran
hutan yang dilakukan oleh korporasi dalam prespektif primum
remedium dalam hukum pidana lingkungan hidup?
C. Metode Penelitian
Metode penelitian hukum merupakan suatu cara yang sistematis dalam
melakukan sebuah penelitian. 7) Untuk membahas permasalahan dalam
proposal ini Penulis menggunakan metode penelitian sebagai berikut:
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian dalam penelitian hukum ini adalah penelitian
hukum normatif empiris. Menurut Terry Hutchinson sebagaimana

7)
Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, Cetakan ke-1, (Bandung: Citra
Aditya Bakti, 2004), hal.57.

1344
Yori Demasto
Penerapan Asas Primum Remedium Dalam
Tindak Pidana Pembakaran Hutan
Yang Dilakukan Oleh Korporasi
Volume 3 Nomor 1, Juli 2020
E-ISSN: 2655-7347

dikutip Peter Mahmud Marzuki mendefinisikan bahwa penelitian


hukum doktrinal adalah sebagai berikut:8)
“Doctrinal research: research wich provides a systematic
exposition of the rules goverming a particular legal kategory,
analyses the relationship between rules, explain areas of difficullty
and, perhaps, predicts future development”.
(Penelitian doktrinal adalah penelitian yang memberikan
penjelasan sistematis aturan yang mengatur suatu kategori hukum
tertentu, menganalisis hubungan antara peraturan menjelaskan
daerah kesulitan dan mungkin memprediksi pembangunan masa
depan).

Penelitian hukum doktrinal disebut juga sebagai penelitian


perpustakaan atau studi dokumen karena penelitian ini dilakukan atau
ditujukan hanya pada peraturan-peraturan yang tertulis atau bahan-
bahan hukum yang lain. 9) Sedangkan Penelitian hukum empiris
mengkaji hukum yang dikonsepkan sebagai perilaku nyata (actual
behavior), sebagai gejala sosial yang sifatnya tidak tertulis, yang
dialami setiap orang dalam hubungan hidup bermasyarakat.10 Pada
intinya berkaitan dengan dengan judul yang diangkat Penulis,
digunakan norma hukum tertulis yang dalam penelitian ini
menggunakan undang-undang (bahan hukum primer) dan buku-buku
yang berisi mengenai prinsip-prinsip dasar Ilmu Hukum dan
pandangan-pandangan para sarjana yang mempunyai kualifikasi yang
tinggi serta wawancara kepada pihak-pikak yang berkaitan dengan
judul yang diangkat (bahan hukum sekunder).
2. Sifat Penelitian
Ilmu hukum mempunyai karakter yang khas, yaitu sifatnya yang
normatif, praktis dan preskriptif. 11) Penelitian ini merupakan penelitian

8)
Ibid., hal.32.
9)
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Cetakan ke-8, (Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2004), hal.14.
10)
Abdulkadir Muhammad, Op.Cit., hal.54.
11)
Philipus M. Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati, Argumentasi Hukum, (Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press, 2005), hal.1.

1345
Yori Demasto
Penerapan Asas Primum Remedium Dalam
Tindak Pidana Pembakaran Hutan
Yang Dilakukan Oleh Korporasi
Volume 3 Nomor 1, Juli 2020
E-ISSN: 2655-7347

yang bersifat preskriptif yang akan memberikan argumentasi atas hasil


penelitian yang telah diteliti.
3. Jenis dan Sumber Data
Sebuah penelitian harus menggunakan data.12) Sumber yang
digunakan dalam penelitian normatif adalah data sekunder. Data
sekunder dalam penulisan karya tulis ilmiah ini adalah bahan-bahan
yang berkaitan dengan masalah penegakan Hukum Pidana kepada
pelaku pembakaran hutan di Indonesia.
Dalam penulisan ini, Penulis menggunakan bahan-bahan yang
digunakan dalam bidang hukum, yaitu:
a. Bahan-bahan hukum primer, bahan hukum primer yang
digunakan terdiri dari peraturan perundang-undangan, catatan
resmi, risalah dalam perturan perundang-undangan dan putusan
hakim. 13) Dalam peneitian ini, bahan hukum primer yang
digunakan adalah sebagai berikut:
1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945
2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
3) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
(UUPLH).
b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang berhubungan
dengan bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisis
dan memahami bahan hukum primer. Bahan hukum sekunder
yang utama adalah buku teks, karena buku teks berisi mengenai
prinsip-prinsip dasar Ilmu Hukum dan pandangan-pandangan
klasik para sarjana yang mempunyai kualifikasi tinggi. 14) Bahan
hukum yang Penulis gunakan adalah buku-buku hukum yang

12)
Husein Umar, Metode Penelitian Untuk Skripsi dan Test Bisnis, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2005), hal.41.
13)
Peter Mahmud Marzuki, Op.Cit., hal.141.
14)
Ibid., hal.142.

1346
Yori Demasto
Penerapan Asas Primum Remedium Dalam
Tindak Pidana Pembakaran Hutan
Yang Dilakukan Oleh Korporasi
Volume 3 Nomor 1, Juli 2020
E-ISSN: 2655-7347

berkaitan dengan dasar-dasar Hukum Pidana, Hukum


Lingkungan dan Hukum Pidana Lingkungan; dan
c. Bahan tersier, yaitu bahan-bahan hukum yang memberikan
petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan
sekunder.15)
4. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang Penulis gunakan adalah dengan
menggunakan studi bahan pustaka (library research). Teknik
pengumpulan bahan hukum yang mendukung dan berkaitan dengan
penelitian ini adalah studi dokumen (studi kepustakaan), yaitu
pengumpulan data dengan melakukan penelusuran dan menelaah bahan
pustaka. Studi dokumen adalah suatu alat pengumpulan bahan hukum
yang dilakukan melalui bahan hukum tertulis dengan mempergunakan
content analisys.16)
Setelah data dikumpulkan, maka langkah selanjutnya adalah
bahwa data tersebut akan diolah. Pengolahan bahan dilakukan dengan
cara melakukan seleksi bahan hukum, kemudian melakukan klasifikasi
menurut penggolongan bahan hukum dan menyusun hasil penelitian
tersebut secara runtun dan sistematis ke dalam kelas-kelas dari gejala-
gejala yang sama atau dianggap sama sehingga memudahkan Penulis
dalam melakukan analisis.
5. Teknik Analisis Data
Menurut Peter Mahmud Marzuki yang mengutip pendapat
Philipus M. Hadjon memaparkan metode deduksi sebagaimana
silogisme yang diajarkan oleh Aristoteles. Penggunaan metode deduksi
berpangkal dari pengajuan premis mayor (pernyataan yang bersifat
umum). Kemudian diajukan premis minor (bersifat khusus), dari kedua
premis itu kemudian ditarik suatu kesimpulan atau conclusion. Akan

15)
Soerjono Soekanto, Op.Cit., hal.52.
16)
Peter Mahmud Marzuki, Op.Cit., hal.21.

1347
Yori Demasto
Penerapan Asas Primum Remedium Dalam
Tindak Pidana Pembakaran Hutan
Yang Dilakukan Oleh Korporasi
Volume 3 Nomor 1, Juli 2020
E-ISSN: 2655-7347

tetapi di dalam argumentasi hukum, silogisme hukum tidak sesederhana


silogisme tradisional. 17)
Di dalam penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan.
Pendekatan-pendekatan yang digunakan dalam penelitian hukum
adalah sebagai berikut:18)
a. Pendekatan kasus (case approach);
b. Pendekatan perundang-undangan (statute approach);
c. Pendekatan historis (historical approach);
d. Pendekatan komparatif (comparative approach); dan
e. Pendekatan konseptual (conceptual approach).
Metode pendekatan yang Penulis gunakan dalam proposal ini
adalah pendekatan undang-undang (statute approach), pendekatan
kasus (case approach) dan pendekatan konseptual (conceptual
approach). Pada jenis pendekatan undang-undang Penulis akan
mengkaji, meneliti dan menerapkan peraturan perundang-undangan
yang berlaku di Indonesia dalam menyelesaikan permasalahan hukum
karya tulis ilmiah ini. Dalam pendekatan kasus, Penulis akan
menjabarkan kasus yang diteliti serta mengimplementasikan hukum
yang berlaku ke kasus tersebut. Pendekatan yang terakhir adalah
pendekatan konseptual, di mana Penulis akan berpijak pada berbagai
teori-teori dan doktrin-doktrin.19)

II. PEMBAHASAN
A. Penerapan Primum Remedium Pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
Primum remedium adalah asas yang merupakan kebalikan dari asas
ultimum remedium. Andi Hamzah mengatakan bahwa pengertian ultimum
remedium adalah bahwa hukum pidana adalah obat terakhir setelah hukum

17)
Ibid., hal.189.
18)
Peter Mahmud Marzuki, Op.Cit., hal.93.
19)
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Op.Cit., hal.137.

1348
Yori Demasto
Penerapan Asas Primum Remedium Dalam
Tindak Pidana Pembakaran Hutan
Yang Dilakukan Oleh Korporasi
Volume 3 Nomor 1, Juli 2020
E-ISSN: 2655-7347

administasi dan hukum perdata dinilai tidak berhasil. Setelah hukum


administrasi dan hukum perdata tidak berhasil, maka hukum pidana dapat
diterapkan. Beliau memberikan indikator mengenai waktu dapat
diterapkannya asas primum remedium, yaitu:20)
1. Setelah akibat dan korban yang ditimbulkan sangat besar;
2. Sudah pernah melakukan perbuatan dahulu atau recidivist;
3. Sudah menarik perhatian masyarakat.
Hal yang hampir sama dikatakan oleh H.G De Bunt dalam bukunya
strafrechtelijke handhaving van miliue recht, Hukum Pidana dapat menjadi
primum remidium jika korban sangat besar, tersangka atau terdakwa
merupakan recidivist, dan kerugian tidak dapat dipulihkan (irreparable).
Kemudian disimpulkan oleh Remmelink, bahwa sangat jelas dan nyata
sebagai sanksi yang tajam, Hukum Pidana hanya akan dijatuhkan apabila
mekanisme penegakan hukum lainnya yang lebih ringan telah tiada berdaya
guna atau tidak dipandang cocok.21)
UUPPLH lebih menekankan pada penerapan asas primum remedium,
walaupun tetap memperhatikan asas ultimum remedium. Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup (UUPPLH) memuat ketentuan yang tegas mengenai penerapan asas
ultimum remedium dan primum remedium. Hal ini berdasarkan bunyi
Penjelasan Umum Angka (6) UUPPLH yang menyatakan bahwa:
“Penegakan Hukum Pidana dalam Undang-Undang ini
memperkenalkan ancaman hukuman minimum di samping
maksimum, perluasan alat bukti, pemidanaan bagi pelanggaran
bakum mutu, keterpaduan penegakan Hukum Pidana, dan pengaturan
tindak pidana korporasi. Penegakan Hukum Pidana lingkungan tetap
memperhatikan asas ultimum remidium yang mewajibkan penerapan
penegakan Hukum Pidana sebagai upaya terakhir setelah penerapan
penegakan hukum administrasi tidak berhasil”. Penerapan asas
ultimum remidium ini hanya berlaku pada tindak pidana formil
tertentu, yaitu pemidanaan terhadap pelanggaran baku mutu air
limbah, emisi dan gangguan.”

20)
Peneliti, Wawancara, dengan Prof. Dr. Jur. Andi Hamzah, S.H, (Jakarta: Perumahan
Bukit Pratama, 25 Juni 2018).
21)
Romli Atmasasmita, Op.Cit., hal.192.

1349
Yori Demasto
Penerapan Asas Primum Remedium Dalam
Tindak Pidana Pembakaran Hutan
Yang Dilakukan Oleh Korporasi
Volume 3 Nomor 1, Juli 2020
E-ISSN: 2655-7347

Penerapan asas ultimum remedium juga dapat dilihat pada ketentuan


Pasal 100 UUPPLH di mana pemidanaan terhadap pelanggar baku mutu air
limbah, emisi dan gangguan hanya dapat dikenakan apabila sanksi
administratif yang telah dijatuhkan tidak dipatuhi atau pelanggaran telah lebih
dari satu kali. Berdasarkan hal tersebut, selain pelanggaran baku mutu air
limbah, emisi dan gangguan, semua tindak pidana yang berkaitan dengan
kejahatan pencemaran dan perusakan lingkungan hidup dapat dikenakan
langsung penegakan hukum pidana.
Mella Ismelina mengatakan dalam wawancara Penulis dengan beliau
bahwa asas ultimum remedium memang dianut oleh UUPPLH, tetapi ultimum
remedium berlaku untuk tindak pidana formil tertentu, yaitu terhadap
pelanggaran baku mutu air limbah, emisi dan gangguan. Yang berarti di luar
hal tersebut asas yang dapat digunakan adalah asas primum remedium.
Sehingga dapat diartikan bahwa mengenai kasus pembakaran hutan
menggunakan asas primum remedium, karena pembakaran hutan
dikualifikasikan sebagai perusakan lingkungan hidup. Berdasarkan
pengertian dari asas primum remedium yang berarti bahwa hukum pidana
dapat ditegakan di awal atau bersama-sama dengan hukum administrasi dan
hukum perdata. Pengertian tersebut berbanding terbalik dengan pengertian
asas ultimum remedium yang berarti bahwa hukum pidana merupakan upaya
terakhir setelah hukum administratif dan hukum perdata dinilai tidak berhasil.
Oleh karena UUPPLH lebih mengedepankan asas primum remedium,
maka Penulis berpendapat bahwa terhadap korporasi pelaku pembakaran
hutan, penerapan sanksi pidana tidak menghalangi penerapan sanksi
administratif dan juga sanksi perdata, bahkan penerapan sanksi pidana, sanksi
administratif dan sanksi perdata juga dapat diterapkan secara bersamaan.
Pemberian sanksi administratif terhadap pelaku pembakaran hutan menurut
Pasal 78 UUPPLH, tidak membebaskan penanggung jawab usaha dan/atau
kegiatan dari tanggung jawan pemulihan dan pidana.

1350
Yori Demasto
Penerapan Asas Primum Remedium Dalam
Tindak Pidana Pembakaran Hutan
Yang Dilakukan Oleh Korporasi
Volume 3 Nomor 1, Juli 2020
E-ISSN: 2655-7347

B. Penegakan Hukum Pidana Lingkungan Dalam Tindak Pidana


Pembakaran Hutan Yang Dilakukan Oleh Korporasi
Pasal 28 H Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 menyatakan bahwa “lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan
hak asasi dan hak konstitusional bagi setiap warga negara Indonesia”. Oleh
karena itu perlindungan lingkungan hidup merupakan hal yang harus
diberikan perhatian lebih serius, mengingat perlindungan lingkungan
khususnya hutan merupakan salah satu paru-paru dunia. Mengingat bahwa
Indonesia adalah negara berkembang yang berarti mengharuskan Indonesia
melaksanakan kegitan pembangunan. Tidak bisa dihindari bahwa kegiatan
pembangunan memunculkan banyak korporasi yang bergerak di berbagai
sektor. Korporasi tidak hanya memberikan keuntungan tetapi juga
memberikan banyak kerugian. Oleh sebab itu kehadiran korporasi ibarat
sebagai pisau bermata dua. Di satu sisi korporasi berperan penting dalam
pertumbuhan ekonomi dan disisi lain korporasi menimbulkan banyak
kerugian dan dalang kejahatan.
Kegiatan pembangunan Indonesia sering dimanfaatkan tidak baik oleh
para pelaku usaha untuk mendapatkan keuntungan pribadi yang sebesar-
besarnya dengan melakukan kejahatan untuk mengekploitasi alam Indonesia.
Salah satunya adalah para pelaku usaha melalui korporasi miliknya atau
menyuruh orang lain untuk melakukan pembakaran hutan.
Kebakaran hutan di Indonesia menjadi hal yang sulit ditanggulangi oleh
Pemerintah. Berbagai macam cara dilakukan oleh Pemerintah untuk
menanggulangi kebakaran hutan. Banyaknya faktor-faktor yang
menyebabkan kebakaran hutan membuat Pemerintah kesulitan. Faktor-faktor
penyebab kebakaran hutan yaitu:
1. Faktor penyebab dari alam
Pada musim kemarau lahan gambut sangat kering sampai kedalaman
tertentui dan mudah terbakar serta sulit untuk dipadamkan. Meskipun
kebakaran hutan yang disebabkan oleh faktor alam sangat mungkin
terjadi, akan tetapi kebakaran hutan yang disebabkan oleh alam

1351
Yori Demasto
Penerapan Asas Primum Remedium Dalam
Tindak Pidana Pembakaran Hutan
Yang Dilakukan Oleh Korporasi
Volume 3 Nomor 1, Juli 2020
E-ISSN: 2655-7347

biasanya tidak menimbulkan dampak yang sangat luas dan biasanya


tidak menimbulkan kebakaran yang sangat besar.
2. Faktor penyebab yang dilakukan manusia
Pada faktor ini, berdasarkan data dapat dibedakan menjadi 2 (dua),
yaitu:
a. Masyarakat yang bukan masyarakat hukum adat
1) Kebiasaan membuka lahan dengan cara membakar lahan,
2) Kesengajaan membakar lahan agar menghemat tenaga dan
waktu
3) Kelalaian membuang puntung rokok sembarangan,
membakar sampah, dan lain-lain.
Modusnya adalah pada siang hari pemilik lahan melakukan
pembakaran lahan dan kemudian ditinggal pergi dengan harapan
pagi harinya sudah bersih dan terbuka. Masyarakat yang bukan
masyarakat hukum adat ini memang menyebabkan kebakaran
hutan dan lahan, tetapi kebakaran yang ditimbulkan tidak akan
besar dan luas.
b. Masyarakat adat
Masyarakat adat memang ada yang mempunyai kebiasaan
membuka lahan dengan cara membakar lahan, akan tetapi
pembakaran yang dilakukan tersebut diawasi oleh mereka agar
tidak menimbulkan kebakaran yang luas, jadi yang dibakar oleh
masyarakat adalah sebatas yang mereka butuhkan saja.
3. Faktor penyebab yang dilakukan korporasi
a. Faktor ekonomi dengan membakar agar menghemat biaya
produksi dan tenaga.
b. Kesengajaan membakar lahan agar terlihat akibat kondisi alam
(musim kemarau).
Modusnya adalah dengan menyuruh orang lain melakukan
pembakaran. Pembakaran hutan yang dilakukan oleh korporasi dapat
menyebabkan kebakaran yang besar dan meluas, mengingat bahwa

1352
Yori Demasto
Penerapan Asas Primum Remedium Dalam
Tindak Pidana Pembakaran Hutan
Yang Dilakukan Oleh Korporasi
Volume 3 Nomor 1, Juli 2020
E-ISSN: 2655-7347

tindakan yang dilakukan oleh korporasi merupakan tindakan yang


smart dan menggunakan alat berat. Hal tersebut dilakukan untuk
menghemat biaya produksi, waktu dan tenaga.
Pada tahun 2015 sampai dengan 2017 terjadi kebakaran hutan dan lahan
yang sangat besar di Indonesia. Berdasarkan data dari Kementrian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan, luas area hutan dan lahan yang terbakar
adalah:
Area

Terbakar

Tahun Hotspot Gambut Mineral Total

2015 70.971 Ha 891.275 Ha 1.720.136 Ha 2.611.411 Ha

2016 2.844 Ha 97.787 Ha 340.576 Ha 438.363 Ha

2017 2.440 Ha 13.555 Ha 151.929 Ha 165.929 Ha

Berdasarkan data, sepanjang tahun 2015 sampai 2017 tercatat


3.215.858 hektar luas hutan dan lahan yang terbakar. Terbakarnya hutan
menimbulkan kerugian yang tidak sedikit. Basuki Wasis menyampaikan
dalam Rapat Dengar Pendapat Umum dengan Komisi III DPR RI, bahwa
kerugian setiap pembakaran akan menyebabkan musnahnya tanah gambut
setebal 20-30 cm, hal tersebut disamakan dengan:
1. Hilangnya gambut (disetarakan dengan pemberian kompos): Rp.
1.200.000.000,-
2. Hilangnya unsur nitrogen (N): Rp. 51.800.000,-
3. Hilangnya unsur fosfor (P): Rp. 644.000,-
4. Hilangnya unsur kalium (K): Rp. 382.200,-
5. Hilangnya unsur kalsium (Ca): Rp. 10.560.000,-
6. Hilangnya unsur magnesium (Mg): Rp. 739.000,-
Total kerugian sebesar Rp. 1.264.125.200,-/Ha.

1353
Yori Demasto
Penerapan Asas Primum Remedium Dalam
Tindak Pidana Pembakaran Hutan
Yang Dilakukan Oleh Korporasi
Volume 3 Nomor 1, Juli 2020
E-ISSN: 2655-7347

Mengenai kerugian juga disampaikan dalam Rapat oleh Bambang


Heru, beliau menyampaikan bahwa perkiraan kerugian yang ditimbulkan
sangat besar, yaitu mencapai angka Rp. 221.000.000.000.000,- (221 triliun
rupiah). Beliau juga menyampaikan bahaya dari polusi udara dari adanya
kebakaran hutan dan lahan tersebut, yaitu 19 (sembilan belas) bahan kimia
yang sangat beracun bagi manusia, dari 19 (sembilan belas) bahan kimia
tersebut, terdapat bahan yang disebut sebagai Furan (C4H4O) dan Hydrogen
Cyanide (HCN), yang sangat mengganggu fungsi pernafasan manusia
Kebakaran hutan tidak hanya dilihat dari kerugiannya saja, akan tetapi
juga dampak yang ditimbulkan, bahkan juga terdapat akibat langsung kepada
masyarakat, yaitu yang tercatat oleh Jikalahari yang disampaikan pada Rapat
Dengar Pendapat Umum dengan Komisi III DPR RI, bahwa akibat dari
kebakaran hutan dan lahan terdapat 5 (lima) orang meninggal, 97.000
(sembilan puluh tujuh ribu) orang menderita ispa, asma dan kerugian material
sebesar Rp. 20.000.000.000.000,- (dua puluh triliun rupiah).
Selain kerugian, kebakaran hutan juga memiliki dampak kerusakan
yang sangat besar, yaitu:
1. kerusakan vegetasi (sumber genetik/plasma nutfah);
2. Kehilangan ketebalan tanah gambut (umur pakai lahan);
3. Kerusakan sifat fisik tanah;
4. Kerusakan sigat kimia tanah; dan
5. Kerusakan sifat biologi tanah.

1354
Yori Demasto
Penerapan Asas Primum Remedium Dalam
Tindak Pidana Pembakaran Hutan
Yang Dilakukan Oleh Korporasi
Volume 3 Nomor 1, Juli 2020
E-ISSN: 2655-7347

Kerugian dan dampak yang ditimbulkan oleh kebakaran hutan tersebut


tidak hanya dirasakan oleh masyarakat Indonesia sendiri, tetapi juga
dirasakan oleh masyarakat dan negara lain, khususnya negara tetangga yaitu
Malaysia dan Singapura yang terkena secara langsung asap hasil kebakaran
hutan dan juga banyak warga dari Malaysia dan Singapura yang terkena
gangguan pernafasan, karena pencemaran udara yang disebabkan oleh
kebakaran hutan pada tanggal 19 sampai 25 Agustus 2015 mencapai angka
1000, yang berarti termasuk kriteria bahaya.

Kriteria kualitas udara berdasarkan Kepmen LH Nomor: KEP-45/MENLH/10/1997

Kebakaran hutan yang terjadi menjadikan muka Indonesia tercoreng di


mata dunia. Indonesia dinilai tidak tegas dalam menindak pelaku pembakaran
hutan dan dinilai tidak bisa menegakan hukum dengan baik. Oleh karena
kebakaran hutan dan lahan tersebut menimbulkan kerusakan yang sangat
besar dan memiliki dampak yang sangat besar juga dan menimbulkan
kerugian yang sangat besar pula, maka kebakaran hutan pada tahun tersebut
dinyatakan sebagai super-extraordinary crime oleh DPR-RI yang
disampaikan pada Rapat Kerja Komisi III DPR-RI dengan Menteri
Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia dan sebagai bencana
nasional oleh Pemerintah.

1355
Yori Demasto
Penerapan Asas Primum Remedium Dalam
Tindak Pidana Pembakaran Hutan
Yang Dilakukan Oleh Korporasi
Volume 3 Nomor 1, Juli 2020
E-ISSN: 2655-7347

Kebakaran hutan dan lahan tersebut memunculkan banyak korporasi


sebagai pelaku kebakaran hutan, baik yang secara sengaja melakukan
pembakaran hutan maupun lalai sehingga mengakibatkan kebakaran hutan
dan lahan. Motif dari pelaku pembakaran hutan seperti yang disampaikan
oleh Basuki Wasis, antara lain:
1. Keuntungan pihak perusahaan (pupuk gratis);
2. Pertumbuhan tanaman tidak baik (kelapa sawit dan pohon);
3. Mengendalikan hama dan penyakit;
4. Pembersihan lahan murah dan cepat; dan
5. Pengurangan pajak dan asuransi.
Salah satu contoh kasus korporasi yang terbukti secara sengaja
membakar hutan dan lahan adalah PT. Makmur Bersama Asia melanggar
Pasal 108 UU No. 39 tahun 2014 tentang Perkebunan dan atau Pasal 98 Ayat
(1) dan atau Pasal 99 Ayat (1) UU No. 32 tahun 2009 tentang perlindungan
dan pengelolaan Lingkungan hidup, pelaku di hukum denda 5 Milyar.
Penentuan korporasi dapat dijadikan pelaku atas suatu tindak pidana
terdapat pada ketentuan Pasal 116 ayat (1) UUPPLH, yang menyebutkan
bahwa:
“apabila tindak pidana lingkungan hidup dilakukan oleh badan usaha,
tuntutan pidana dan sanksi pidana dijatuhkan kepada:
a. Badan usaha; dan/atau
b. Orang yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana
tersebut atau orang yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan
dalam tindak pidana tersebut”.

Dalam penjatuhan sanksi terhadap korporasi dapat dipidana disebutkan


jelas pada Pasal 118 UUPPLH yang menyatakan bahwa:
“terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 ayat
(1) huruf a, sanksi pidana dijatuhkan kepada badan usaha yang diwakili
oleh penngurus yang berwenang mewakili di dalam dan di luar
pengadilan sesuai dengan peraturan perundang-undangan selaku pelaku
fungsional”

Pasal 118 UUPPLH menegaskan tentang teknis sistem


pertanggungjawaban pidana korporasi yang apabila dijatuhkan kepada suatu
badan usaha maka sanksi pidana bagi korporasi tersebut akan diwakili oleh

1356
Yori Demasto
Penerapan Asas Primum Remedium Dalam
Tindak Pidana Pembakaran Hutan
Yang Dilakukan Oleh Korporasi
Volume 3 Nomor 1, Juli 2020
E-ISSN: 2655-7347

pengurus yang berwenang mewakili korporasi tersebut. Oleh sebab itu


jelaslah untuk korporasi yang melakukan tindak pidana pembakaran hutan
dapat dipidana dengan melalui pengurus-pengurusnya.
Pada hakikatnya, kejahatan kerah putih (white collar crime) identik
dengan korporasi, 22) di mana kejahatan yang dilakukan oleh korporasi sangat
terorganisir. Banyak oknum-oknum yang bermain di belakang korporasi dan
melindungi korporasi tersebut dengan sekuat tenaga. Hal itulah yang
menyebabkan sulitnya untuk mencari bukti-bukti untuk membuktikan bahwa
korporasi telah melakukan suatu tindak pidana. Oleh sebab itulah maka
Pemerintah harus bersikap tegas pada penegakan hukum dalam menindak
korporasi-korporasi yang telah melakukan pembakaran hutan.
Penegakan hukum Secara konsepsional arti penegakan hukum menurut
Soerjono Soekanto, terletak pada kegiatan menyerasikan nilai-nilai yang
terjabar di dalam kaidah-kaidah yang mantap dan sikap tindak sebagai
rangkaian penjabaran nilai tahap akhir untuk menciptakan, memelihara dan
mempertahankan kedamaian dalam pergaulan hidup, sehingga ia
menyebutkan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi penegakan itu sendiri,
yaitu faktor hukumnya sendiri, faktor penegak hukum, faktor sarana,
masyarakat dan faktor kebudayaan. 23) Penegakan hukum tindak pidana
pembakaran hutan diatur pada Pasal 108 UUPPLH, yang menyatakan bahwa:
“Setiap orang yang melakukan pembakaran lahan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf h, dipidan dengan pidana paling
singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda
paling sedikit Rp. 1.000.000.000,- (tiga miliar rupiah) dan palung
banyak Rp. 10.000.000.000,- (sepuluh miliar rupiah).

Tindak pidana pembakaran hutan termasuk kualifikasi perusakan


lingkungan hidup dan termasuk dalam ranah hukum lingkungan hidup.
Penegakan hukum lingkungan harus dilihat sebagai sebuah alat untuk
mencapai tujuan. 24) Dalam penegakan hukum lingkungan yang terdapat

22)
Masrudi Muchtar, Perlindungan dan Pengelolaann Lingkungan Hidup, (Jakarta: Prestasi
Pustaka, 2015), hal.134.
23)
H. Joni. SP, Op.Cit., hal.6.
24)
Ibid, hal.11.

1357
Yori Demasto
Penerapan Asas Primum Remedium Dalam
Tindak Pidana Pembakaran Hutan
Yang Dilakukan Oleh Korporasi
Volume 3 Nomor 1, Juli 2020
E-ISSN: 2655-7347

dalam UUPPLH menyebutkan bahwa Penegakan hukum lingkungan meliputi


beberapa proses dan setiap proses akan tetap mengacu pada ketentuan-
ketentuan hukum, baik dalam pidana formil maupun materiil. Seperti
diketahui penegakan hukum lingkungan dapat dibagi dalam tiga tahapan
pokok, yaitu:25)
1. Tindakan pre-emptive
Adalah tindakan antisipasi yang bersifat mendeteksi secara lebih awal
berbagai faktor korelasi, kriminogen, yaitu faktor-faktor yang
memungkinkan kerusakan atau pencemaran lingkungan. Dengan
deteksi atas faktor kriminogen ini dapat dilakukan pencegahan dan
tidak terjadi ancaman faktual terhadap lingkungan.
2. Tindakan preventif
Adalah serangkaian tindakan nyata yang bertujuan mencegah
perusakan atau pencemaran lingkungan.
3. Tindakan represive
Adalah serangkaian tindakan yang dilakukan oleh petugas hukum
melalui proses hukum pidana, karena perbuatan yang dilakukan oleh
pelaku telah merusak atau mencemari lingkungan.

Dalam menindak pelaku perusakan lingkungan hidup UUPPLH


menerapkan asas strict liability, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 88
UUPPLH yang menyatakan bahwa:

“Setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya


menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3,
dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup
bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu
pembuktian unsur kesalahan”.
Menurut doktrin atau ajaran strict liability, pertanggungjawaban pidana
dapat dibebankan kepada pelaku tindak pidana dengan tidak harus terdapat
kesalahan (kesengajaan atau kelalaian) pada pelakunya dibuktikan. Oleh
karena menurut ajaran strict liability pertanggungjawaban pidana bagi

25)
Masrudi Muchtar, Op.Cit, hal.16.

1358
Yori Demasto
Penerapan Asas Primum Remedium Dalam
Tindak Pidana Pembakaran Hutan
Yang Dilakukan Oleh Korporasi
Volume 3 Nomor 1, Juli 2020
E-ISSN: 2655-7347

pelakunya tidak dipermasalahkan. 26) Jadi dapat disimpulkan jika korporasi


mempunyai 100.000 hektar lahan konsesi, makan korporasi terbut harus
bertanggung jawab terhadap lahan konsesinya itu. Berdasarkan Penjelasan
Umum angka (6) UUPPLH, tindak pidana lingkungan hidup dapat
diberlakukan, selain pelanggaran baku mutu air limbah, emisi dan gangguan.
Tindak pidana yang dapat diberlakukan secara langsung berdasarkan
UUPPLH adalah mulai dari Pasal 98 UUPPLH sampai dengan Pasal 115
UUPPLH.
Adapun tujuan penegakan hukum lingkungan adalah penataan terhadap
nilai-nilai perlindungan daya dukung ekosistem dan fungsi lingkungan hidup
yang pada umumnya diinformasikan ke dalam peraturan perundang-
undangan, termasuk ketentuan yang baku mutu limbah atau emisi. 27) Oleh
karena itu, penegakan hukum lingkungan merupakan upaya untuk mencapai
ketaatan terhadap peraturan dan persyaratan dalam ketentuan hukum yang
berlaku secara umum dan individual melalui pengawasan dan penerapan
sanksi. 28) Pendekatan yang banyak digunakan dalam kebijakan penegakan
hukum lingkungan adalah pendekatan penjeraan (deterrance approach), di
mana pendekatan penjeraan merupakan salah satu dari tujuan pemidanaan
untuk memberikan efek jera untuk penanggulangan kejahatan pembakaran
hutan. Pada hakekatnya upaya penanggulangan dengan hukum pidana
merupakan bagian dari upaya penegakan hukum. Upaya penegakan hukum
lingkungan hidup melalui hukum pidana adalah bagaimana tiga permasalahan
pokok dalam hukum pidana ini dituangkan dalam undang-undang yang
sedikit banyak mempunyai peran untuk melakukan rekayasa sosial (social
engineering),29) yaitu yang meliputi perumusan tindak pidana (criminal act),
pertanggungjawaban pidana dan sanksi (sanction) baik pidana maupun tata
tertib. Sesuai dengan tujuan yang tidak hanya sebagai alat ketertiban, hukum

26)
Sutan Remy Sjahdeini, Ajaran Pemidanaan: Tindak Pdana Korporasi dan Seluk-
Beluknya, Cetakan ke-2, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2017), hal.16.
27)
H. Joni. SP, Op.Cit., hal.11.
28)
Ibid.
29)
Nyoman Serikat Putra Jaya, Kapita Selekta Hukum Pidana, (Semarang: Badan Penerbit
UNDIP, 2005), hal.253.

1359
Yori Demasto
Penerapan Asas Primum Remedium Dalam
Tindak Pidana Pembakaran Hutan
Yang Dilakukan Oleh Korporasi
Volume 3 Nomor 1, Juli 2020
E-ISSN: 2655-7347

lingkungan mengandung pula tujuan pembaharuan masyarakat (social


engineering). Hukum sebagai alat sosial sangat penting dalam hukum
lingkungan.30)
Proses penegakan hukum pidana yang diatur dalam UUPPLH,
meliputi:31)
1. Tahap penyelidikan;
2. Tahap penyidikan;
3. Tahap eksekusi atau penuntutan;
4. Tahap peradilan;
5. Tahap eksekusi.
Dalam melakukan proses untuk tahap penegakan hukum pidana tetap
mengacu kepada Kitab Undang-Undang Acara Pidana (KUHAP). Di samping
itu juga di dapat dari ketentuan khusus undang-undang lain termasuk
UUPPLH.
Dalam upaya penegakan hukum dalam tindak pidana pembakaran
hutan, Polisi adalah ujung tombak dalam mengungkap kasus kebakaran
hutan. Artinya Polisi adalah penentu berhasil atau tidaknya atas kasus-kasus
kebakaran hutan yang terjadi di Indonesia. Untuk itu Polisi harus mempunyai
kejelian, kemahiran, kemampuan, dan komitmen serta bersifat mandiri.
Bersifat mandiri diartikan bahwa dalam melakukan tugasnya, Polisi tidak
dapat diintervensi oleh pihak lain.
Pejabat penyidikan dalam tindak pidana pembakaran hutan menurut
Pasal 94 UUPPLH terdiri dari pihak Kepolisian Negara Republik Indonesia
dan pejabat pegawai negeri sipil (PPNS) tertentu di lingkungan instansi
pemerintah yang ruang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, yang berarti pejabat negeri
sipil (PPNS) di lingkungan kementerian lingkungan hidup dan kehutanan.
Tugas dan wewenang dari penyidik pejabat negeri sipil kementrian

30)
Helmi, “Hukum Lingkungan Dalam Negara Hukum Kesejahteraan Untuk
Mewujudkan Pembangunan Berkelanjutan Edisi 4 No. 5 Tahun 2011, hal.93-103.
31)
Masrudi Muchtar, Op.Cit, hal.108.

1360
Yori Demasto
Penerapan Asas Primum Remedium Dalam
Tindak Pidana Pembakaran Hutan
Yang Dilakukan Oleh Korporasi
Volume 3 Nomor 1, Juli 2020
E-ISSN: 2655-7347

lingkungan hidup dan kehutanan disebutkan dalam Pasal 94 ayat (1)


UUPPLH. Pada ayat (2) diatur, yang berbunyi:
“Penyidik pejabat pegawai sipil berwenang:
a. Melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan
berkenaan dengan tindak pidana di bidang perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup;
b. Melakukan pemeriksaan terhadap setiap orang yang diduga
melakukan tindak pidana di bidang perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup;
c. Meminta keterangan dan bahan bukti dari setiap orang berkenaan
dengan peristiwa tindak pidana di bidang perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup;
d. Melakukan pemeriksaan atas pembukuan, catatan, dan dokumen
lain berkenaan dengan tindak pidana di bidanng perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup;
e. Melakukan pemeriksaan di tempat tertentu yang diduga terdapat
bahan bukti, pembukuan, catatan, dan dokumen lain;
f. Melakukan penyitaan terhadap bahan dan barang hasil
pelanggaran yang dapat dijadikan barang bukti dalam perkara
tindak pidana di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup;
g. Meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan
tindak pidana di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup;
h. Menghentikan penyidikan;
i. Memasuki tempat tertentu, memotret, dan/atau membuat rekaman
audio visual;
j. Melakukan penggeledahan terhadap badan, pakaian, ruangan,
dan/atau tempat lain yang diduga merupakan tempat dilakukannya
tindak pidana; dan/atau
k. Menangkap dan menahan pelaku tindak pidana”.

Dalam hal penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana lingkungan


hidup diatur juga mengenai penegakan hukum terpadu yang dinyatakan pada
Pasal 95 ayat (1) UUPPLH, yang menyatakan bahwa “dalam rangka
penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana lingkungan hidup, dapat
dilakukan penegakan hukum terpadu antara penyidik pegawai negeri sipil,
kepolisian dan kejaksaan di bawah koordinasi menteri. Hal ini berarti menteri
lingkungan hidup adalah sebagai koordinator dalam penegakan lingkungan
hidup. Hal ini terkait dengan kasus SP3 yang dikeluarkan oleh Polda Riau
kepada 15 korporasi yang diduga melakukan pembakaran hutan. Polda Riau

1361
Yori Demasto
Penerapan Asas Primum Remedium Dalam
Tindak Pidana Pembakaran Hutan
Yang Dilakukan Oleh Korporasi
Volume 3 Nomor 1, Juli 2020
E-ISSN: 2655-7347

dalam mengeluarkan SP3 dikatakan oleh Menteri Lingkungan Hidup tidak


melakukan koordinasi dengan Kementrian Lingkungan Hidup.
Kemudian dalam hal penyidikan erat kaitannya dengan pembuktian.
Pembuktian adalah penyajian alat bukti yang sah menurut hukum kepada
hakim guna memberikan kebenaran dan kepastian hukum terhadap suatu
perkara. Definisi alat bukti yang sah, adalah alat-alat yang ada hubungannya
dengan suatu tindak pidana, di mana alat bukti tersebut dapat dipergunakan
sebagai bahan pembuktian, guna menimbulkan keyakinan bagi hakim atas
kebenaran adanya suatu tindak pidana yang telah dilakukan oleh terdakwa. 32)
Pengaturan alat bukti diatur pada Pasal 96 UUPPLH yang berbunyi:
“Alat bukti yang sah dalam tuntutan tindak pidana lingkungan hidup
terdiri atas:
a. Keterangan saksi;
b. Keterangan ahli;
c. Surat;
d. Petunjuk;
e. Keterangan terdakwa; dan/atau
f. Alat bukti lain, termasuk alat bukti yang diatur dalam peraturan
perundang-undangan”.
Dalam proses penuntutan dilakukan oleh jaksa penuntut umum
dari kejaksaan, dengan dimulai dengan melimpahkan berkas perkara ke
pengadilan untuk kemudian dimintakan agar diperiksa dan diputus oleh
pengadilan. Dan pengadilan terdiri dari Hakim dan Panitera yang
dihadiri oleh penuntut umum dan terdakwa serta kuasanya. Pengadilan
melakukan proses peradilan untuk menerima, memeriksa dan memutus
perkara sesuai dengan asas-asas peradilan yang diatur oleh perundang-
undangan.

III. PENUTUP
A. Kesimpulan
Penegakan hukum pidana terhadap pelaku pembakaran hutan yang
dilakukan oleh korporasi pertama harus dilihat dari Pasal 28 H Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa

32)
Darwan Prinst, Hukum Acara Pidana Dalam Praktik, (Jakarta: Djambatan, 1998),
hal.135.

1362
Yori Demasto
Penerapan Asas Primum Remedium Dalam
Tindak Pidana Pembakaran Hutan
Yang Dilakukan Oleh Korporasi
Volume 3 Nomor 1, Juli 2020
E-ISSN: 2655-7347

lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan hak asasi dan hak
konstitusional bagi setiap warga negara Indonesia. Oleh karena itu
perlindungan lingkungan hidup merupakan hal yang harus diberikan
perhatian serius pada penegakan hukumnya, mengingat perlindungan
lingkungan khususnya hutan merupakan salah satu paru-paru dunia. Tindak
pidana pembakaran hutan yang termasuk dalam ranah hukum lingkungan
hidup. Terkait dengan hal tersebut, maka penegakan hukum lingkungan harus
dilihat sebagai sebuah alat untuk mencapai tujuan. Tindakan tindakan pre-
emptive, preventif dan represif sangat dibutuhkan. Disamping itu kerjasama
pada instansi terkait dengan melibatkan masyarakat menjadi tindakan yang
diperlukan dalam menindak pelaku pembakaran hutan, khususnya korporasi,
hal ini diperlukan demi tercapainya tujuan dari penegakan hukum lingkungan.
Penerapan primum remedium pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dapat dilihat
di Pasal 100 UUPPLH dan Penjelasan Umum angka (6) UUPPLH. ultimum
remedium berlaku untuk tindak pidana formil tertentu, yaitu terhadap
pelanggaran baku mutu air limbah, emisi dan gangguan. Yang berarti di luar
hal tersebut asas yang dapat digunakan adalah asas primum remedium.
Sehingga dapat diartikan bahwa mengenai kasus pembakaran hutan
menggunakan asas primum remedium, karena pembakaran hutan
dikualifikasikan sebagai perusakan lingkungan hidup. Berdasarkan
pengertian dari asas primum remedium yang berarti bahwa hukum pidana
dapat ditegakan di awal atau bersama-sama dengan hukum administrasi dan
hukum perdata. Pengertian tersebut berbanding terbalik dengan pengertian
asas ultimum remedium yang berarti bahwa hukum pidana merupakan upaya
terakhir setelah hukum administrasi dan perdata dinilai tidak berhasil.
Penerapan primum remedium dalam UUPPLH merupakan suatu hal yang
memang dibutuhkan untuk menindak pelaku pembakaran hutan. Akan tetapi
pengawasan terhadap penegakan hukum pidana lingkungan masih harus
ditingkatkan.
B. Saran

1363
Yori Demasto
Penerapan Asas Primum Remedium Dalam
Tindak Pidana Pembakaran Hutan
Yang Dilakukan Oleh Korporasi
Volume 3 Nomor 1, Juli 2020
E-ISSN: 2655-7347

Selain kesimpulan yang telah disampaikan, Penulis akan memberikan


beberapa saran terkait penelitian yang telah Penulis teliti, yaitu:
1. Kebakaran hutan yang terjadi di Indonesia menimbulkan akibat,
dampak dan kerugian yang sangat besar dan luas, oleh karena itu
Pemerintah harus menindak korporasi yang melakukan tindak pidana
pembakaran hutan dan lahan dengan sangat tegas sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pemberian sanksi yang
tegas tersebut dapat diberikan dengan menerapkan sanksi administratif,
sanksi perdata dan sanksi pidana secara bersamaan.
2. Menimbang masih terdapatnya penyimpangan hukum yang dilakukan
oleh oknum-oknum aparat penegak hukum, maka pengawasan terhadap
penegakan hukum lingkungan harus lebih ditingkatkan. Juga terkait
dengan lemahnya koordinasi terkait dengan lingkungan hidup, maka
koordinasi antar lembaga juga harus ditingkatkan.
3. Penegakan hukum lingkungan membutuhkan sumber daya manusia
yang memang menguasai bidang lingkungan hidup, oleh sebab itu
dibutuhkan aparat penegak hukum yang memang menguasai bidang
lingkungan hidup.
4. Penerapan denda pada sanksi pidana pada UUPPLH, menurut Penulis
masih sangat sedikit dibandingkan dengan besarnya kekuatan finansial
dari suatu korporasi, oleh karena itu seharusnya sanksi denda harus
ditambahkan lagi.

IV. DAFTAR PUSTAKA


A. Buku
Hadjon. Philipus M. dan Tatiek Sri Djatmiati. Argumentasi Hukum.
(Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2005.

Hiarriej. Eddy O.S. Prinsip-prinsip Hukum Pidana. (Yogyakarta: Cahaya


Atma Pusaka, 2016.)

Jaya. Nyoman Serikat Putra. Kapita Selekta Hukum Pidana. (Semarang:


Badan Penerbit UNDIP, 2005.)

1364
Yori Demasto
Penerapan Asas Primum Remedium Dalam
Tindak Pidana Pembakaran Hutan
Yang Dilakukan Oleh Korporasi
Volume 3 Nomor 1, Juli 2020
E-ISSN: 2655-7347

Joni. H. Tindak Pidana Lingkungan Hidup. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,


2016.

Muchtar. Masrudi. Perlindungan dan Pengelolaann Lingkungan Hidup.


Jakarta: Prestasi Pustaka, 2015.)

Muhammad. Abdulkadir. Hukum dan Penelitian Hukum. Cetakan ke-1.


(Bandung: Citra Aditya Bakti, 2004.)

Silalahi. M. Daud. Dalam Sistem Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia.


(Bandung: Alumni, 2001.)

Soekanto. Soerjono. dan Mamudji Sri. Penelitian Hukum Normatif. Cetakan


ke-8. (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004.)

Supriadi. Hukum Lingkungan di Indonesia: Sebuah Pengantar. (Jakarta:


Sinar Grafika, 2006.)

Sutan Remy Sjahdeini. Ajaran Pemidanaan: Tindak Pdana Korporasi dan


Seluk-Beluknya. Cetakan ke-2. (Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2017.)

Umar. Husein. Metode Penelitian Untuk Skripsi dan Test Bisnis. (Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2005.)

B. Artikel Jurnal Online


Helmi. “Hukum Lingkungan Dalam Negara Hukum Kesejahteraan Untuk
Mewujudkan Pembangunan Berkelanjutan”. Jurnal Hukum. Edisi 4 No.
5 Tahun 2011.

1365

Anda mungkin juga menyukai