Abstract
Corporate sentencing in a forestry law does not provide a model of settlement
that accommodates the principle of corporate sentencing based on legal
protection against the victim, thus requiring an academic breakthrough in the
formulation of future legal provisions. The legal issue in this research is the
concept of corporate sentencing in a forestry law based on legal protection
against the victim. This research used statutary approach and conceptual
approach. Legal protection of corporate forestry crime victims is a principle that
needs to be prioritized. The legal protection of the victim is done in the form of
reforestation of the principles of restorative justice, the principle of in dubio pro
natura and the penalty of criminal type of restoration of forest condition.
Abstrak
Pemidanaan korporasi dalam hukum kehutanan tidak memberikan model
penyelesaian yang mengakomodasi prinsip pemidanaan korporasi berbasis
perlindungan hukum terhadap korban, sehingga memerlukan terobosan secara
akademis dalam rumusan ketentuan hukum di masa yang akan datang. Isu hukum
dalam penelitian ini yaitu konsep pemidanaan korporasi dalam hukum kehutanan
berbasis perlindungan hukum terhadap korban. Pendekatan yang digunakan
adalah pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konseptual. Perlindungan
hukum terhadap korban tindak pidana di bidang kehutanan yang dilakukan oleh
korporasi merupakan hal prinsip yang perlu diprioritaskan. Perlindungan hukum
terhadap korban tersebut dilakukan dalam bentuk menormakan prinsip-prinsip
keadilan restoratif (restorative justice), prinsip in dubio pro natura dan
penormaan jenis pidana pemulihan kondisi hutan.
1
2 Rechtidee, Vol. 13, No. 1, Juni 2018
kelestarian hutan sebagai aset bangsa Hak Asasi Manusia (HAM) dalam
Indonesia. Pasal 28 H UUD NRI 1945 yang
Mengacu pada aspek tujuan menyatakan “setiap orang berhak
negara tersebut, pengelolaan hidup sejahtera lahir dan batin,
kehutanan diharapkan mampu bertempat tinggal dan mendapatkan
memberikan manfaat yang besar bagi lingkungan hidup yang baik dan
kemakmuran rakyat. Hal ini sejalan sehat serta berhak memperoleh
dengan ketentuan Pasal 33 ayat (3) pelayanan kesehatan”. Pengaturan
UUD NRI 1945 yang menyatakan yang demikian ini menunjukkan
bahwa ”Bumi dan air dan kekayaan bahwa hak mendapatkan lingkungan
alam yang terkandung di dalamnya hidup yang baik dan sehat
dikuasai oleh Negara dan merupakan hak konstitusional bangsa
dipergunakan untuk sebesar-besar Indonesia. Lingkungan pada
kemakmuran rakyat”. Aspek akhirnya diletakkan dalam takaran
kemakmuran rakyat dalam normatif yang konstitusional untuk
pengelolaan alam di Indonesia mendapatkan perlakuan sebagai
merupakan faktor esensial yang bagian HAM (Suparto Wijoyo, 2009
menjadi tujuan penguasaan negara : 1). Realitas demikian menunjukkan
atas bumi, air dan kekayaan alam bahwa perlindungan hukum terhadap
yang terkandung di dalamnya lingkungan hidup yang baik dan
sebagaimana dimaksud Pasal 33 ayat sehat merupakan tanggung jawab
(3) UUD NRI 1945 tersebut. negara yang selayaknya
Legitimasi penguasaan sumber daya diimplementasikan dalam bentuk
alam oleh negara yang dituangkan hukum yang positif.
dalam konstitusi menunjukkan Secara yuridis, aturan hukum
bahwa bangsa Indonesia menaruh kehutanan setelah berlakunya UU
perhatian khusus terhadap Nomor 41 Tahun 1999 tentang
kelangsungan lingkungan hidup agar Kehutanan (Lembaran Negara
benar-benar memberikan Republik Indonesia Tahun 1999
kesejahteraan bagi masyarakat. Nomor 168, Tambahan Lembaran
Terlebih hal ini dituangkan sebagai Negara Nomor 3888) sebagaimana
Rechtidee, Vol. 13, No. 1, Juni 2018 3
Forest Law (Inggris). Dimana dalam maupun tidak tertulis), hubungan antara
negara dengan hutan dan kehutanan
hukum Inggris kuno, forest law
serta hubungan antara individu dengan
(hukum kehutanan) merupakan the
6 Rechtidee, Vol. 13, No. 1, Juni 2018
bidang kehutanan cukup besar dan untuk membalas tindakan jahat yang
meluas. Dalam hal ini, korban yang dilakukan oleh pelakunya. Sebagai
timbul tidak hanya actual victim, upaya terakhir (ultimum remidium),
namun juga potential victim berupa hukum pidana dan pemidanaan
masa depan generasi yang akan diharapkan mampu menciptakan
datang. keseimbangan baik kepada pelaku
Kaitannya dengan konsep maupun kepada korban. Hal ini
perlindungan hukum pidana terhadap mengandung suatu pengertian bahwa
korban, Quinney menulis bahwa apabila korban/victim menderita
konsep hukum pidana dikembangkan kerugian atas terjadinya suatu tindak
ketika kesalahan pribadi dan pidana, maka pihak korban/victim
masyarakat digantikan oleh asas mempunyai hak untuk menuntut atas
bahwa negara dirugikan ketika di kerugian yang sudah dia derita,
antara masyarakat diserang. Hak (Didik Endro Purwoleksono, 2015 :
masyarakat yang berkaitan dengan 43). Menyikapi hal tersebut, tawaran
perbuatan salah telah diambil alih yang diajukan adalah konsep
oleh negara sebagai wakil keadilan restoratif.
masyarakat. Dengan demikian, Korban tindak pidana di bidang
negara bertindak sebagai sarana kehutanan yang dilakukan oleh
hukum pidana untuk melindungi korporasi menurut pandangan
kepentingan masyarakat, (Richard keadilan restoratif dipandang sebagai
Quinney, 1975 : 44). Kepentingan entitas yang harus mendapatkan
masyarakat secara umum merupakan perlindungan hukum akibat tindakan
representasi korban tindak pidana. yang merugikannya. Dalam
Perhatian tujuan pemidanaan pandangan ini, korban tindak pidana
yang tidak hanya diarahkan kepada di bidang kehutanan haruslah
pelaku namun melihat kondisi mendapatkan hak-hak pemulihan
korban pada dasarnya juga akibat tindakan melanggar hukum
mengandung semangat bahwa yang dilakukan oleh pelaku.
humunaisasi hukum pidana. Hukum Secara restoratif, pelaku tindak
pidana tidak serta merta bertujuan pidana di bidang kehutanan sudah
14 Rechtidee, Vol. 13, No. 1, Juni 2018
pada hukum lain, (Barda Nawawi pembalasan kepada salah satu pihak
Arief, 1990 : 203). Dalam kaitan ini, yang bersalah. Hal ini penting
nampak bahwa sifat dari pemidanaan dilakukan kaitannya dengan proses
korporasi dalam hukum kehutanan penyelesaian perkara dalam hukum
merupakan upaya terakhir. Sehingga kehutanan yang menyangkut
perlu rumusan berbasis restorative korporasi sebagai pelakunya.
justice. Keadilan restoratif ini Aspek keadilan yang
menitikberatkan pada proses dilandaskan dalam rangka menjamin
penyelesaian perkara pidana tanpa persamaan hak memegang peranan
mengedepankan prinsip balas yang sangat penting dalam
dendam. Van Ness (Van Ness, penegakan hukum, (Sarwirini, 2014 :
Daniel W., 1980 : 23) menyatakan 384). Penegakan hukum kehutanan
bahwa landasan restorative juctice terdapat beberapa kepentingan yang
dapat diringkaskan dalam beberapa harus dipertahankan. Salah satunya
karakteristik: adalah melindung iklim investasi
a) Crime is primarily conflict bagi investor pengelola sumber daya
between individuals resulting in
hutan di Indonesia. Di sisi lain, hutan
injuries to victims, communities
and the offenders themself; only yang rusak akibat tindakan yang
secondary is it lawbreaking.
melanggar hukum perlu dilakukan
b) The overarching aim of the
criminal justice process should perbaikan atau restorasi kembali.
be to reconcile parties while
Semangat restorative justice
repairing the injuries caused by
crimes. mengakomodir banyak kepentingan
c) The criminal justice process
tersebut. Jadi baik dari sisi pelaku
should facilitate active
participation by victims, maupun korban tetap dapat
offenders and their communities.
dipertahankan hak eksistensialnya
It should not be dominated by
goverment to the exclusion of pada kehidupan sosial
others.
kemasyarakatan.
Restorative Justice lebih Menyikapi dampak tindak
memprioritaskan pendekatan- pidana di bidang kehutanan yang
pendekatan yang sifatnya persuasif dilakukan oleh korporasi
dan tidak serta merta memberikan menimbulkan kerugian yang besar
16 Rechtidee, Vol. 13, No. 1, Juni 2018
timbul, dan juga sebelum bukti jenis pidana bagi korporasi yang
ilmiah konklusif diperoleh. Hal ini melakukan tindak pidana di bidang
berarti harus menunggu adanya bukti kehutanan secara praktis dapat
ilmiah konklusif dan bukti tentang diterapkan asas in dubio pro natura
tingkat risiko yang pasti, tetapi harus tersebut. Penerapan asas ini juga
mencegah terjadinya kerugian wujud keberpihakan terhadap korban
lingkungan, (M.W.A. Schefer, 1996 : lingkungan hidup.
1-5). Kerugian di bidang lingkungan Secara formulatif, UU
hidup dalam tataran praktis tidak Kehutanan tidak membedakan antara
mudah untuk ditaksir. Ketidakpastian pertanggungjawaban antara
ini terjadi karena alam sulit korporasi dan pertanggungjawaban
diprediksi atau diperkirakan secara pidana manusia alamiah. UU
pasti. Ketidakpastian kerugian yang Kehutanan hanya memberikan
tampak karena kerugian lingkungan penekanan bahwa bilamana tindak
sulit untuk diamati dan oleh pidana dilakukan oleh korporasi,
karenanya sulit dipantau atau maka terdapat pemberatan sanksi
dipahami, sehingga relevan bilamana pidana 1/3 dari ancaman pidananya.
asas in dubio pro natura Lebih lanjut, ditinjau dari aspek
diimplementasikan oleh hakim, perlindungan hukum terhadap
(Sharon Bedder, 1993 : 121-122). korban, secara pidana tidak
Pemidanaan korporasi dalam ditemukan ketentuan pidana yang
hukum kehutanan khususnya dalam mengharuskan korporasi
memberikan jaminan perlindungan bertanggungjawab atas kerugian
hukum bagi korban patut diintrodusir yang diderita bagi korban. Rumusan
prinsip in dubio pro natura. ketentuan pidana yang terdapat
Korporasi yang melakukan tindak dalam Pasal 78 UU Kehutanan sama
pidana di bidang kehutanan sekali tidak membuka peluang
menimbulkan dampak yang meluas, adanya media pembebanan
kerugian yang ditanggung oleh pertanggungjawaban korporasi yang
entitas ekologis juga dapat ditaksir berbasis perlindungan terhadap
secara materiil. Pencanangan besaran korban.
18 Rechtidee, Vol. 13, No. 1, Juni 2018