Anda di halaman 1dari 21

Pemidanaan Korporasi Dalam Hukum Kehutanan Berbasis

Perlindungan Hukum Terhadap Korban

RM. Armaya Mangkunegara


Advokat pada Mangkunegara Law Office
rm.armaya@gmail.com

Abstract
Corporate sentencing in a forestry law does not provide a model of settlement
that accommodates the principle of corporate sentencing based on legal
protection against the victim, thus requiring an academic breakthrough in the
formulation of future legal provisions. The legal issue in this research is the
concept of corporate sentencing in a forestry law based on legal protection
against the victim. This research used statutary approach and conceptual
approach. Legal protection of corporate forestry crime victims is a principle that
needs to be prioritized. The legal protection of the victim is done in the form of
reforestation of the principles of restorative justice, the principle of in dubio pro
natura and the penalty of criminal type of restoration of forest condition.

Keywords : Forestry Law, Crime, Corporations, Legal Protection, Victims

Abstrak
Pemidanaan korporasi dalam hukum kehutanan tidak memberikan model
penyelesaian yang mengakomodasi prinsip pemidanaan korporasi berbasis
perlindungan hukum terhadap korban, sehingga memerlukan terobosan secara
akademis dalam rumusan ketentuan hukum di masa yang akan datang. Isu hukum
dalam penelitian ini yaitu konsep pemidanaan korporasi dalam hukum kehutanan
berbasis perlindungan hukum terhadap korban. Pendekatan yang digunakan
adalah pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konseptual. Perlindungan
hukum terhadap korban tindak pidana di bidang kehutanan yang dilakukan oleh
korporasi merupakan hal prinsip yang perlu diprioritaskan. Perlindungan hukum
terhadap korban tersebut dilakukan dalam bentuk menormakan prinsip-prinsip
keadilan restoratif (restorative justice), prinsip in dubio pro natura dan
penormaan jenis pidana pemulihan kondisi hutan.

Kata Kunci : Hukum Kehutanan, Pemidanaan, Korporasi, Korban

Pendahuluan Indonesia dan untuk memajukan


Tujuan negara Indonesia kesejahteraan umum, mengandung
sebagaimana tertuang dalam makna perlindungan negara terhadap
pembukaan UUD NRI 1945 yang segala aspek kehidupan berbangsa
melindungi segenap bangsa dan bernegara. Aspek tersebut
Indonesia dan seluruh tumpah darah termasuk pula perlindungan terhadap

1
2 Rechtidee, Vol. 13, No. 1, Juni 2018

kelestarian hutan sebagai aset bangsa Hak Asasi Manusia (HAM) dalam
Indonesia. Pasal 28 H UUD NRI 1945 yang
Mengacu pada aspek tujuan menyatakan “setiap orang berhak
negara tersebut, pengelolaan hidup sejahtera lahir dan batin,
kehutanan diharapkan mampu bertempat tinggal dan mendapatkan
memberikan manfaat yang besar bagi lingkungan hidup yang baik dan
kemakmuran rakyat. Hal ini sejalan sehat serta berhak memperoleh
dengan ketentuan Pasal 33 ayat (3) pelayanan kesehatan”. Pengaturan
UUD NRI 1945 yang menyatakan yang demikian ini menunjukkan
bahwa ”Bumi dan air dan kekayaan bahwa hak mendapatkan lingkungan
alam yang terkandung di dalamnya hidup yang baik dan sehat
dikuasai oleh Negara dan merupakan hak konstitusional bangsa
dipergunakan untuk sebesar-besar Indonesia. Lingkungan pada
kemakmuran rakyat”. Aspek akhirnya diletakkan dalam takaran
kemakmuran rakyat dalam normatif yang konstitusional untuk
pengelolaan alam di Indonesia mendapatkan perlakuan sebagai
merupakan faktor esensial yang bagian HAM (Suparto Wijoyo, 2009
menjadi tujuan penguasaan negara : 1). Realitas demikian menunjukkan
atas bumi, air dan kekayaan alam bahwa perlindungan hukum terhadap
yang terkandung di dalamnya lingkungan hidup yang baik dan
sebagaimana dimaksud Pasal 33 ayat sehat merupakan tanggung jawab
(3) UUD NRI 1945 tersebut. negara yang selayaknya
Legitimasi penguasaan sumber daya diimplementasikan dalam bentuk
alam oleh negara yang dituangkan hukum yang positif.
dalam konstitusi menunjukkan Secara yuridis, aturan hukum
bahwa bangsa Indonesia menaruh kehutanan setelah berlakunya UU
perhatian khusus terhadap Nomor 41 Tahun 1999 tentang
kelangsungan lingkungan hidup agar Kehutanan (Lembaran Negara
benar-benar memberikan Republik Indonesia Tahun 1999
kesejahteraan bagi masyarakat. Nomor 168, Tambahan Lembaran
Terlebih hal ini dituangkan sebagai Negara Nomor 3888) sebagaimana
Rechtidee, Vol. 13, No. 1, Juni 2018 3

diubah oleh UU Nomor 19 Tahun menutup kemungkinan potensi


2004 tentang Penetapan Peraturan adanya permasalahan-permasalahan
Pemerintah Pengganti Undang- kompleks di bidang kehutanan,
Undang Nomor 1 Tahun 2004 khususnya aspek pidana kehutanan
tentang Perubahan Atas Undang- yang dilakukan oleh korporasi.
Undang Nomor 41 Tahun 1999 Mengingat hakikat, dimensi dan
tentang Kehutanan Menjadi Undang- dampak negatif yang ditimbulkan
Undang (Lembaran Negara Republik akibat kerusakan hutan, maka wajar
Indonesia Tahun 2004 Nomor 86, apabila pelbagai upaya dilakukan
Tambahan Lembaran Negara Nomor sebagai usaha penanggulangan
4412) [untuk selanjutnya disebut UU kerusakan hutan. Salah satu jalannya
Kehutanan] sedianya juga telah adalah melalui penegakan hukum
mengakomodir badan hukum pidana kehutanan. Sejalan dengan
(korporasi) sebagai subyek hukum di konsep bahwa hutan, sebagai karunia
bidang kehutanan. dan amanah Tuhan Yang Maha Esa
Fakta yuridis tersebut di atas, yang dianugerahkan kepada Bangsa
dikaitkan dengan data empiris Indonesia, merupakan kekayaan
berdasarkan hasil penafsiran citra yang dikuasai oleh Negara,
satelit Landsat 8 OLI tahun 2016, memberikan manfaat serbaguna bagi
total daratan Indonesia yang ditafsir umat manusia, karenanya wajib
adalah sebesar ± 187.751,9 Juta disyukuri, diurus, dan dimanfaatkan
hektar, dengan kondisi areal berhutan secara optimal, serta dijaga
seluas 95.271,9 juta hektar (50,74%) kelestariannya untuk sebesar-besar
dan areal tidak berhutan sebanyak kemakmuran rakyat, bagi generasi
92.480,0 juta hektar (49,26%), (Pusat sekarang maupun generasi
Data dan Informasi Kementerian mendatang (Konsideran Menimbang
Lingkungan Hidup dan Kehutanan, huruf a UU Kehutanan), maka
2017 : 5). Data ini menunjukkan perlindungan hukum terhadap
bahwa lebih dari setengah luas lingkungan hidup yang baik dan
daratan Indonesia berupa areal hutan. sehat dari segala ancaman harus
Fakta yang demikian tidaklah diutamakan.
4 Rechtidee, Vol. 13, No. 1, Juni 2018

Prinsip pertanggungjawaban ketentuan yang ada di dalam


korporasi dalam UU Kehutanan tidak peraturan perundang-undangan
memberikan model-model khususnya dalam UU kehutanan.
penyelesaian yang mengakomodasi Pendekatan konseptual (conseptual
prinsip pemidanaan korporasi approach) beranjak dari pandangan-
berbasis perlindungan hukum pandang dan doktrin-doktrin yang
terhadap korban, sehingga berkembang di dalam ilmu hukum.
memerlukan terobosan secara Pendekatan konseptual dalam
akademis. Berdasarkan latar penelitian ini digunakan untuk
belakang sebagaimana tersebut di mengkaji konsep pemidanaan
atas, dapat dikemukakan isu hukum korporasi dalam hukum kehutanan
dalam penulisan ini adalah konsep berbasis perlindungan hukum
perlindungan hukum terhadap korban terhadap korban.
tindak pidana di bidang kehutanan
yang dilakukan oleh korporasi. Pembahasan
Secara umum, istilah korporasi
Metode Penelitian biasa digunakan para ahli hukum
Penelitian hukum ini adalah pidana dan kriminologi untuk
penelitian hukum normatif. Metode menyebut apa yang dalam bidang
yang digunakan adalah metode hukum perdata disebut sebagai badan
penelitian hukum dengan mengkaji hukum atau dalam bahasa Belanda
suatu masalah hukum tertentu dan disebut rechtspersoon atau dalam
kemudian dicari pemecahan atas bahasa Inggris dengan istilah legal
masalah yang telah dirumuskan person atau legal body. Apa yang
tersebut secara perskriptif. Penelitian dinamakan “badan hukum”,
hukum ini menggunakan pendekatan sebenarnya tidak lain sekedar suatu
perundang-undangan (statute ciptaan hukum, yaitu dengan
approach) dan pendekatan menunjuk kepada adanya suatu
konseptual (conceptual approach). badan dimana terhadap badan ini
Statute approach dilakukan dengan diberi status sebagai subyek hukum,
mengkaji dan memahami ketentuan- di samping subyek hukum yang
Rechtidee, Vol. 13, No. 1, Juni 2018 5

berwujud manusia (natuurlijk system or body of old law relating to


persoon). “Badan ini dianggap bisa the royal forest (Salim, 2008 : 5).
menjalankan segala tindakan hukum Pengertian ini menunjukkan bahwa
dengan segala harta kekayaan yang pada masa lalu, hukum kehutanan
timbul dari perbuatan itu yang harus hanya mengatur hubungan antara
dipandang sebagai harta kekayaan aturan dengan hutan-hutan yang
badan tersebut, terlepas dari pribadi- berada di bawah kekuasaan negara
pribadi manusia yang terhimpun di atau kerajaan. Dalam
dalamnya” (Setiyono, 2002 : 2-4). perkembangannya, melalui Act 1971,
Jadi badan yang dimaksud dalam Inggris menetapkan bahwa cakupan
pendapat ini adalah apa yang hukum kehutanan tidak hanya pada
dinamakan korporasi. Berdasarkan hutan-hutan yang berada di bawah
prinsip persamaan kedudukan di kekuasaan negara saja melainkan
muka hukum (equality before the juga pada hutan yang ada pada
law), korporasi sebagai subyek penguasaan rakyat (Salim, 2008 : 6).
hukum secara yuridis juga Senada dengan itu, Biro Hukum
bertanggung jawab secara hukum dan Organisasi Departemen Kehutanan

atas tindakan yang dilakukan, tidak juga memberikan definisi hukum


kehutanan sebagai suatu kumpulan
terkecuali pula bilamana korporasi
(himpunan) peraturan baik yang tertulis
melakukan tindak pidana dalam
maupun tidak tertulis yang berkenaan
hukum kehutanan.
dengan kegiatan-kegiatan yang
Hukum kehutanan sendiri
bersangkut-paut dengan hutan dan
merupakan salah satu bidang hukum pengurusannya (Departemen Kehutanan
yang tua. Hukum kehutanan dikenal RI, 1992 : 1).
sejak diundangkannya Reglemen Pengertian yang demikian
Hutan 1865. Istilah hukum mengandung makna bahwa dalam
kehutanan merupakan terjemahan hukum kehutanan terdapat 3 (tiga) aspek
dari Boswezen Recht (Belanda) atau penting yaitu aturan hukum (baik tertulis

Forest Law (Inggris). Dimana dalam maupun tidak tertulis), hubungan antara
negara dengan hutan dan kehutanan
hukum Inggris kuno, forest law
serta hubungan antara individu dengan
(hukum kehutanan) merupakan the
6 Rechtidee, Vol. 13, No. 1, Juni 2018

hutan dan kehutanan. Terminologi Kehutanan adalah badan hukum atau


hukum kehutanan tidak ditemukan badan usaha. Berdasarkan ketentuan
dalam pengaturan UU Kehutanan. Pasal penjelasan pasal 50 ayat (1) yang
1 angka 1 UU Kehutanan hanya menyatakan bahwa yang dimaksud
memberikan definisi tentang kehutanan. dengan orang adalah subjek hukum baik
Kehutanan dari pengertian yang tertuang orang pribadi, badan hukum, maupun
dalam ketentuan Pasal 1 angka 1 UU badan usaha memberikan penegasan
Kehutanan tersebut terdapat beberapa bahwa badan hukum di dalam UU
unsur, yaitu unsur sistem pengurusan, Kehutanan diakui keberadaannya.
hutan, kawasan hutan dan hasil hutan. Dengan adanya ketentuan tersebut,
Artinya, kehutanan memiliki cakupan maka terhadap rumusan Pasal yang
yang luas berkaitan dengan segala menunjuk “orang”, artikulasinya adalah
sesuatu yang berada di hutan maupun orang per orang atau korporasi.
kawasan hutan. Selanjutnya dijelaskan secara rinci
Berdasarkan pemaparan tersebut di dalam ketentuan penjelasan pasal 78
atas, nampak jelas bahwa faktor ayat (14) bahwa yang termasuk badan
terpenting dari hukum kehutanan adalah hukum dan atau badan usaha, antara lain
adanya hukum yang bersifat tertulis perseroan terbatas, perseroan
maupun tidak tertulis. Baik hukum komanditer (comanditer venootschaap),
tertulis maupun tidak tertulis ini firma, koperasi, dan sejenisnya.
dikatakan sebagai hukum kehutanan Ketentuan Pasal ini memberikan
manakala mengatur mengenai hutan dan penguatan bahwa korporasi merupakan
kehutanan. subyek (pelaku) tindak pidana di bidang
Membahas mengenai pemidanaan kehutanan disamping pelaku yang
korporasi dalam hukum kehutanan berupa orang per orang. Pengaturan
dengan mengingat ruang lingkup hukum mengenai keberadaan subyek hukum
kehutanan tersebut di atas, dalam korporasi dalam UU Kehutanan
penelitian ini difokuskan pada memberikan implikasi yuridis yang luas.
ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Khususnya untuk menentukan kepada
UU Kehutanan. Terlebih dahulu perlu siapa tindakan korporasi tersebut
dekemukakan bahwa UU Kehutanan dimintakan pertanggungjawaban.
mengakomodir subyek hukum korporasi Seiring perkembangan ilmu
selain subyek hukum orang perorang. pengetahuan dan teknologi, tindak
Istilah yang digunakan dalam UU pidana korporasi (dapat juga disebut
Rechtidee, Vol. 13, No. 1, Juni 2018 7

kejahatan korporasi), semakin dilakukan jaringan yang kompleks baik nasional


terstruktur dan sistematis. Korporasi maupun internasional.
dengan kecanggihan yang dimilikinya, Perkembangan tindak pidana di
menggunakan metode-metode modern bidang kehutanan yang demikian cepat
yang berorientasi pada keuntungan besar dan kompleks baik dilihat dari jenis
dari usaha yang dilakukan. Dalam posisi tindak pidananya, modus operandi,
ini, korporasi memiliki dua sisi, pertama pelaku maupun implikasi atau akibat
keberadaan korporasi bisa menunjang dari tindak pidananya menjadikan tindak
pembangunan berupa devisa yang pidana di bidang kehutanan yang
diberikan kepada negara, di sisi yang dilakukan oleh korporasi dikategorikan
lain korporasi yang menerapkan metode sebagai kejahatan terorganisir
terbarukan tidak jarang juga berakibat (organized crime), (Herdiman, 2003 :
negatif dengan banyaknya kerusakan 22). Melihat karakteristiknya yang
yang ditimbulkan akibat eksplorasi dan demikian, maka dampak dan korban
eksploitasi sumber daya alam yang yang ditimbulkannya juga sangat luas
dilakukan. Korporasi sebagai pelaku bagi pembangunan dan kesejahteraan
usaha bisa saja menimbulkan dampak masyarakat.
kerugian yang besar kepada masyarakat Pendekatan pemidanaan dengan
dan lingkungan sekitar. Oleh karena itu, berorientasi keberpihakan pada
penanganan terhadap konflik tindak kepentingan korban kejahatan korporasi
pidana korporasi harus cermat sehingga di bidang kehutanan relevan
tidak banyak pihak yang dirugikan. dikemukakan. Mengintroduksi
Realitas dalam tindak pidana di bidang pandangan Didik Endro Purwoleksono
kehutanan juga demikian adanya. tentang tujuan pemidanaan, bahwa
Tindak pidana di bidang kehutanan pada pemidanaan selain ditujukan kepada
saat ini telah mengalami perkembangan pelaku dan masyarakat, perlu pula
yang cukup mengkhawatirkan. Pada diarahkan untuk mencapai
waktu-waktu yang lalu tindak pidana di keseimbangan. Teori keseimbangan
bidang kehutanan hanya dilakukan dikemukakan dalam rangka
secara sporadis dan tidak melibatkan memperhatikan kepentingan dan hak-
banyak pihak, namun pada saat ini hak korban akibat tindak pidana
tindak pidana di bidang kehutanan (kejahatan), (Didik Endro
dilakukan dengan pola-pola yang lebih Purwoleksono, 2014 : 93-94). Senada
terencana, sistematis dan melibatkan dengan itu, Arief Amrullah (M. Arief
8 Rechtidee, Vol. 13, No. 1, Juni 2018

Amrullah, 2010 : 13) mengemukakan within Member States, including


bahwa pembangunan hukum pidana those laws proscribing criminal
abuse of power, (Pasal 1
yang ideal sepatutnya Deklarasi prinsip-prinsip
mengimplementasikan perlindungan keadilan bagi korban kejahatan
dan penyalahgunaan kekuasaan
hukum pidana yang seimbang antara
(Declaration of Basic Principles
perlindungan masyarakat, pelaku dan of Justice forVictims of Crime
korban (baik korban potensial maupun and Abuse of Power), Dikutip
dari Rena Yulia, 2010 : 50).
korban langsung).
Kajian mengenai perlindungan Pengertian korban sebagaimana
hukum terhadap korban tindak pidana tersebut di atas, oleh Van Boven
tidak saja merupakan isu nasional tetapi diterjemahkan sebagai orang yang
internasional, oleh karena itu masalah
secara individu maupun kelompok
ini perlu memperoleh perhatian yang
telah menderita kerugian, termasuk
serius. Pentingnya perlindungan korban
cedera fisik maupun mental,
kejahatan memperoleh perhatian serius,
penderitaan emosional, kerugian
dapat dilihat dari dibentuknya
ekonomi atau perampasan yang
Declaration of basic Principles of
Justice for Victims of Crime and Abuse nyata terhadap hak-hak dasarnya,
of Power oleh Perserikatan Bangsa- baik karena tindakan (by act)
Bangsa, sebagai hasil dari The Seventh maupun karena kelalaian (by
United Nation Congress on the omission), (Rena Yulia, 2010 : 50).
Prevention of Crime and the Treatment Beranjak dari pengertian ini, jika
of Offenders, yang berlangsung di Milan ditinjau dari aspek kuantitas, korban
Italia September 1985, (M. Arief
bisa berupa individu maupun
Mansur dan Elisatris Gultom, 2007 :
kelompok. Dari sisi perbuatan yang
22). Dalam Deklarasi itu, yang
mengakibatkan timbulnya korban,
dimaksud dengan korban adalah
perbuatan tersebut dapat berupa
“Victims” means persons who,
individually or collectively, have kesengajaan maupun kelalaian.
sufferedharm, including physical Perbincangan mengenai korban
or mental injury, emotional
suffering, economic lossor tindak pidana juga berkembang
substantial impairment of their seiring dengan dinamika yang
fundamental rights, through acts
or omissionsthat are in violation berkembang di masyarakat.
of criminal laws operative Demikian pula pemaknaan terhadap
Rechtidee, Vol. 13, No. 1, Juni 2018 9

korban itu sendiri. Dalam mengalami penderitaan fisik,


mental, dan/atau kerugian
perkembangannya, korban tidak
ekonomi yang diakibatkan oleh
hanya dimaknai sebagai orang atau suatu tindak pidana”.
2) Menurut Undang-Undang
sekelompok orang yang secara
Nomor 23 Tahun 2004 tentang
langsung menderita akibat tindak Penghapusan Kekerasan dalam
Rumah Tangga. Pasal 1 ayat (3)
pidana. Pengertian lain juga
yang berbunyi “Korban adalah
disampaikan bahwa korban termasuk orang yang mengalami
kekerasan dan/atau ancaman
pula mereka yang secara tidak
kekerasan dalam lingkup rumah
langsung mendapatkan penderitaan tangga”.
3) Menurut Undang-Undang
akibat tindak pidana. Hal ini nampak
Nomor 27 Tahun 2004 tentang
dalam definisi korban menurut South Komisi Kebenaran dan
Rekonsiliasi. Pengertian korban
Carolina Govemor’s Office of
dalam Pasal 1 ayat (5) yang
Executive Policyand Programs berbunyi “Korban adalah orang
perseorangan atau kelompok
Columbia, yang menyatakan bahwa:
orang yang mengalami
“Victims means a person who penderitaan baik fisik, mental
suffer direct or threatened ataupun emosional, kerugian
physical,psychological, or ekonomi, atau mengalami
financial harm as the result of a pengabaian, pengurangan, atau
crime against him. Victimalso perampasan hak-hak dasarnya,
includes the person’s is sebagai akibat langsung dari
deceased, a minor, incompetent pelanggaran hak asasi manusia
was ahomicide victim and/or is yang berat, termasuk korban
physically or psychologically adalah juga ahli warisnya”.
incapacitated.” (Dikutip dari
Rena Yulia, 2010 : 50).
Secara gramatikal konstruksi
definisi dalam beberapa peraturan
Pengertian korban dalam
perundang-undangan tersebut
beberapa peraturan perundang-
memaknai korban secara luas.
undangan di Indonesia nampak
Definisi korban tidak diarahkan
sebagai berikut:
sebagai akibat langsung dari adanya
1) Menurut Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 2014 tentang tindak pidana. Dalam UU Nomor 27
Perubahan atas Undang-Undang
Tahun 2004 misalnya, definisi
Nomor 13 Tahun 2006 tentang
Perlindungan Saksi dan Korban. korban diarahkan secara langsung
Pasal 1 ayat (3) berbunyi
dengan adanya kata “...sebagai akibat
“Korban adalah orang yang
10 Rechtidee, Vol. 13, No. 1, Juni 2018

langsung”, namun dalam frasa bagi masyarakat adalah dengan


berikutnya, definisi korban juga diwujudkannya aturan serta
termasuk ahli waris. Penggunaan kebijakan yang sesuai dengan
diksi “...termasuk korban adalah juga kebutuhan, didasarkan pada hak
ahli warisnya” menunjukkan bahwa dasar yang diamanatkan UUD NRI
korban termasuk orang yang secara 1945, (Sri Hartini, Tedi Sudrajat dan
tidak langsung menderita akibat Rahadi Wasi Bintoro, 2012 : 9).
tindak pidana. Ahli waris dalam Perlindungan hukum terhadap
definisi tersebut merupakan orang korban dalam hukum positif
yang secara tidak langsung merupakan perlindungan abstrak atau
mengalami penderitaan, namun perlindungan tidak langsung.
secara tidak langsung mengalami Dikatakan demikian karena tindak
penderitaan baik secara psikis, pidana menurut hukum positif tidak
mental maupun yang lain. Pengertian lihat sebagai perbuatan menyerang
korban dalam Undang-Undang atau melanggar kepentingan hukum
Nomor 31 Tahun 2014 maupun seseorang (korban) secara pribadi
Undang-Undang Nomor 23 Tahun dan konkrit, tetapi hanya sebagai
2004 tidak secara tegas mengatur pelanggaran norma atau tertib hukum
adanya hubungan langsung antara in abstracto. Akibatnya perlindungan
tindak pidana dengan korban. korban pun tidak secara langsung
Mengenai adanya perlindungan dan in concreto, (J. Hattu, 2010 : 39).
hukum terhadap korban, secara Adapun pembangunan hukum
prinsipal dinyatakan bahwa adanya dilaksanakan melalui pembaharuan
perlindungan hukum merupakan hukum dengan tetap memperhatikan
sesuatu yang dianggap perlu dan kemajemukan tatanan hukum yang
diinginkan atau diharapkan berlaku serta pengaruh globalisasi,
(desiderata) oleh korban tindak (Hibnu Nugroho, 2008 : 320-321)
pidana sebagai konsekuensi logis Realitas perlindungan hukum
atas penderitaan dan kerugian yang terhadap hukum positif yang
terjadi akibat tindak pidana. Salah demikian ini menunjukkan arti
satu bentuk perlindungan hukum penting perlindungan hukum
Rechtidee, Vol. 13, No. 1, Juni 2018 11

terhadap korban dalam rangka memegang peran untuk


pembaharuan hukum. Mengingat mempertahankan kepentingan
perlindungan hukum terhadap korban umum, mengatur hubungan individu
merupakan tuntutan yang dengan negara dan pelaksanaanya
dikehendaki oleh masyarakat sebagai sepenuhnya di tangan negara, (Didik
suatu nilai yang sudah sepantasnya Endro Purwoleksono, 2014 : 5).
diwujudkan dalam hukum positif. Dilanggarnya hukum pidana secara
Khususnya mengenai korban tindak langsung maupun tidak langsung
pidana di bidang kehutanan yang berimplikasi terhadap kepentingan
dilakukan oleh korporasi, umum serta kepentingan negara
perlindungan hukum terhadap korban sebagai pemegang otoritas untuk
perlu diperluas terhadap actual menegakkan hukum pidana tersebut.
victim, (M. Arief Amrullah, 2010 : Paradigma peran negara
13). terhadap fungsionalisasi hukum
Demikian halnya dalam hal pidana juga menginduksi pada
tindak pidana di bidang kehutanan beberapa sektor hukum. Termasuk di
yang dilakukan oleh korporasi. antaranya adalah sektor kehutanan.
Dimensi pertanggungjawaban Beranjak dari landasan konstitusional
berbasis perlindungan hukum bagi bahwa pengelolaan hutan berada di
korban layak untuk disampaikan agar tangan negara untuk sebesar-
dapat menjangkau formulasi yang besarnya kemakmuran rakyat (Pasal
lengkap dalam kerangkan 33 ayat (3) UUD NRI 1945), maka
pembaharuan aturan hukum pidana secara logis terganggunya fungsi
kehutanan di masa yang akan datang hutan merupakan tanggung jawab
(ius constituendum). negara untuk berperan aktif.
Konsep korban dalam tindak Sebagaimana diuraikan
pidana merupakan konsekuensi logis sebelumnya bahwa pada dasarnya
adanya pelanggran terhadap hukum hukum positif Indonesia hanya
pidana. Hal ini tidak terlepas dari menjangkau perlindungan terhadap
sifat hukum pidana yang merupakan korban yang bersifat potensial,
hukum publik, yakni hukum pidana korban aktual (actual victim) belum
12 Rechtidee, Vol. 13, No. 1, Juni 2018

sepenuhnya diakomodasi sebagai : 202). Berkaitan dengan itu, dalam


bagian dari korban yang perlu tindak pidana lingkungan hidup,
dilindungi melalui piranti hukum termasuk kehutanan, terdapat dua
positif. Demikian hal nya dengan kategori tentang korban, yaitu korban
korban tindak pidana di bidang yang bersifat konkrit dan korban
kehutanan yang dilakukan oleh yang bersifat abstrak. Kategori ini
korporasi. berhubungan erat dengan konsep
Tindak pidana di bidang tentang kerusakan dan kerugian
kehutanan yang dilakukan oleh lingkungan, dimana kerusakan dan
korporasi memiliki dampak yang kerugian yang dilakukan dapat
cukup besar bagi kelangsungan mengakibatkan kerusakan dan
lingkungan hidup. Sektor kehutanan kerugian yang nyata (actual harm)
sebagai bagian integral dari dan ancaman kerusakan (threatened
lingkungan hidup memerlukan harm). Adapun secara konseptual,
perhatian yang serius khususnya perlindungan hukum yang diberikan
perlindungan hukum terhadap oleh hukum pidana (kehutanan) tidak
korban. Secara umum, dalam hanya alam, flora, dan fauna, tetapi
merumuskan tindak pidana yang juga masa depan kemanusiaan
berkaitan dengan lingkungan hidup (generasi yang akan datang) akibat
hendaknya selalu dipertimbangkan degradasi lingkungan, (Muladi, 1997
adanya dua macam elemen yakni : 13-14).
elemen material (material element) Berdasarkan uraian di atas, dapat
dan elemen mental ( mental dipahami bahwa pada hakikatnya,
element). Element material korban tindak pidana di bidang
mencakup: (1) adanya perbuatan atau kehutanan dapat berupa korban
tidak berbuat sesuatu (omission) secara ekologis (termasuk di
yang menyebabkan terjadinya tindak dalamnya adalah ekosistem) dan
pidana atau (2) perbuatan atau tidak masa depan kemanusiaan akibat
berbuat yang melanggar atau kerusakan lingkungan. Pandangan
bertentangan dengan standar yang demikian menunjukkan bahwa
lingkungan yang ada, (Muladi, 1997 akibat dari adanya tindak pidana di
Rechtidee, Vol. 13, No. 1, Juni 2018 13

bidang kehutanan cukup besar dan untuk membalas tindakan jahat yang
meluas. Dalam hal ini, korban yang dilakukan oleh pelakunya. Sebagai
timbul tidak hanya actual victim, upaya terakhir (ultimum remidium),
namun juga potential victim berupa hukum pidana dan pemidanaan
masa depan generasi yang akan diharapkan mampu menciptakan
datang. keseimbangan baik kepada pelaku
Kaitannya dengan konsep maupun kepada korban. Hal ini
perlindungan hukum pidana terhadap mengandung suatu pengertian bahwa
korban, Quinney menulis bahwa apabila korban/victim menderita
konsep hukum pidana dikembangkan kerugian atas terjadinya suatu tindak
ketika kesalahan pribadi dan pidana, maka pihak korban/victim
masyarakat digantikan oleh asas mempunyai hak untuk menuntut atas
bahwa negara dirugikan ketika di kerugian yang sudah dia derita,
antara masyarakat diserang. Hak (Didik Endro Purwoleksono, 2015 :
masyarakat yang berkaitan dengan 43). Menyikapi hal tersebut, tawaran
perbuatan salah telah diambil alih yang diajukan adalah konsep
oleh negara sebagai wakil keadilan restoratif.
masyarakat. Dengan demikian, Korban tindak pidana di bidang
negara bertindak sebagai sarana kehutanan yang dilakukan oleh
hukum pidana untuk melindungi korporasi menurut pandangan
kepentingan masyarakat, (Richard keadilan restoratif dipandang sebagai
Quinney, 1975 : 44). Kepentingan entitas yang harus mendapatkan
masyarakat secara umum merupakan perlindungan hukum akibat tindakan
representasi korban tindak pidana. yang merugikannya. Dalam
Perhatian tujuan pemidanaan pandangan ini, korban tindak pidana
yang tidak hanya diarahkan kepada di bidang kehutanan haruslah
pelaku namun melihat kondisi mendapatkan hak-hak pemulihan
korban pada dasarnya juga akibat tindakan melanggar hukum
mengandung semangat bahwa yang dilakukan oleh pelaku.
humunaisasi hukum pidana. Hukum Secara restoratif, pelaku tindak
pidana tidak serta merta bertujuan pidana di bidang kehutanan sudah
14 Rechtidee, Vol. 13, No. 1, Juni 2018

sepatutnya menerima beban produk hukum berupa putusan


tanggungjawab untuk membuat pengadilan sebagai wujud
kondisi yang rusak karena perlindungan dan kepastian hukum
perbuatannya menjadi pulih seperti baik bagi pelaku maupun korban.
semula. Konsepsi restoratif ini Pendekatan restoratif dalam
sejalan dengan teori tujuan pemidanaan korporasi pelaku tindak
pemidanaan yaitu keseimbangan pidana di bidang kehutanan dapat
terhadap hak-hak korban. Hak ditempuh melalui kebijakan
korban berupa kerusakan hutan penerapan sanksi pidana. Baik sanksi
mewajibkan bagi perusaknya untuk pidana pokok (menaksir denda
mengembalikan hak yang hilang berdasarkan kerugian korban secara
tersebut. Di samping itu, kerugian riil) dan sanksi pidana tambahan
akibat kerusakan sektor kehutanan yang bisa diformulasikan dalam
juga berdampak pada generasi bentuk pemulihan kondisi
sekarang dan di masa mendatang. lingkungan hidup yang rusak akibat
Maka sangat logis jika pandangan tindak pidana yang dilakukan oleh
berdimensi restorative justice korporasi tersebut.
ditawarkan sebagai alternatif Tindak pidana di bidang
menyelesaikan problematika kehutanan yang merupakan
pemidanaan korporasi dalam hukum kejahatan di bidang lingkungan
kehutanan. hidup di Indonesia saat ini dapat
Perlu ditekankan bahwa dalam dikategorikan sebagai administra-
konteks pidana, pendekatan tive penal law atau public welfare
perlindungan hukum terhadap korban offenses yang memberi kesan
tindak pidana di bidang kehutanan ringannya perbuatan tersebut. Dalam
yang dilakukan oleh korporasi hal ini fungsi hukum pidana bersifat
tidaklah menegasikan proses hukum menunjang sanksi-sanksi
pidana. Justru dengan adanya proses administratif untuk ditaatinya norma-
penegakan hukum pidana yang norma hukum administrasi. Dengan
memposisikan hukum pidana sebagai demikian keberadaan tindak pidana
ultimum remidium memerlukan lingkungan sepenuhnya tergantung
Rechtidee, Vol. 13, No. 1, Juni 2018 15

pada hukum lain, (Barda Nawawi pembalasan kepada salah satu pihak
Arief, 1990 : 203). Dalam kaitan ini, yang bersalah. Hal ini penting
nampak bahwa sifat dari pemidanaan dilakukan kaitannya dengan proses
korporasi dalam hukum kehutanan penyelesaian perkara dalam hukum
merupakan upaya terakhir. Sehingga kehutanan yang menyangkut
perlu rumusan berbasis restorative korporasi sebagai pelakunya.
justice. Keadilan restoratif ini Aspek keadilan yang
menitikberatkan pada proses dilandaskan dalam rangka menjamin
penyelesaian perkara pidana tanpa persamaan hak memegang peranan
mengedepankan prinsip balas yang sangat penting dalam
dendam. Van Ness (Van Ness, penegakan hukum, (Sarwirini, 2014 :
Daniel W., 1980 : 23) menyatakan 384). Penegakan hukum kehutanan
bahwa landasan restorative juctice terdapat beberapa kepentingan yang
dapat diringkaskan dalam beberapa harus dipertahankan. Salah satunya
karakteristik: adalah melindung iklim investasi
a) Crime is primarily conflict bagi investor pengelola sumber daya
between individuals resulting in
hutan di Indonesia. Di sisi lain, hutan
injuries to victims, communities
and the offenders themself; only yang rusak akibat tindakan yang
secondary is it lawbreaking.
melanggar hukum perlu dilakukan
b) The overarching aim of the
criminal justice process should perbaikan atau restorasi kembali.
be to reconcile parties while
Semangat restorative justice
repairing the injuries caused by
crimes. mengakomodir banyak kepentingan
c) The criminal justice process
tersebut. Jadi baik dari sisi pelaku
should facilitate active
participation by victims, maupun korban tetap dapat
offenders and their communities.
dipertahankan hak eksistensialnya
It should not be dominated by
goverment to the exclusion of pada kehidupan sosial
others.
kemasyarakatan.
Restorative Justice lebih Menyikapi dampak tindak
memprioritaskan pendekatan- pidana di bidang kehutanan yang
pendekatan yang sifatnya persuasif dilakukan oleh korporasi
dan tidak serta merta memberikan menimbulkan kerugian yang besar
16 Rechtidee, Vol. 13, No. 1, Juni 2018

dan meluas, prinsip perlindungan ”Untuk melindungi lingkungan,


prinsip kehati-hatian harus
hukum terhadap korban relevan
diterapkan di setiap negara
diajukan sebagai tawaran menjaga sesuai dengan kemampuan
negara yang bersangkutan.
keseimbangan lingkungan hidup.
Apabila terdapat ancaman
Salah satu prinsip dalam hukum kerusakan yang serius atau tidak
dapat dipulihkan, ketiadaan
lingkungan dikenal adanya asas in
bukti ilmiah tidak dapat
dubio pro natura. Asas in dubio pro dijadikan alasan untuk menunda
upaya-upaya pencegahan
natura merupakan asas yang menjadi
penurunan fungsi lingkungan.”
karakteristik utama proses beracara
Berkaitan dengan prinsip kehati-
di pengadilan terkait sengketa
hatian ini, maka hakim wajib
lingkungan hidup. Sebelumnya
mempertimbangkan situasi dan
dalam kasus-kasus lingkungan hidup
kondisi yang terjadi dan memutuskan
tergugat seringkali lolos dari tuntutan
apakah pendapat ilmiah didasarkan
ganti rugi, karena hakim ketika
pada bukti dan metodologi yang
menghadapi keragu-raguan selalu
dapat dipercaya dan telah teruji
mengimplementasikan asas in dubio
kebenarannya (sah dan valid), (Lihat
pro reo sebagai pedoman. Seiring
Keputusan Ketua Mahkamah Agung
dengan perubahan paradigma dari
Republik Indonesia Nomor
homo-centris ke eco-centris maka
36/KMA/SK/II/2013 tentang
dalam peradilan lingkungan hidup
Pemberlakuan Pedoman Penanganan
asas in dubio pro reo berganti
Perkara Lingkungan Hidup). Apabila
menjadi asas in dubio pro natura,
terjadi ketidakpastian ilmiah maka
(Imamulhadi, 2013 : 429)
hakim harus mengambil keputusan
Asas in dubio pro natura adalah
yang menguntungkan lingkungan
turunan dari prinsip precautionary
hidup.
yang merupakan prinsip dalam
Penerapan asas in dubio pro
United Nation Conference on
natura yang merupakan turunan dari
Environment and Development di
prinsip kehati-hatian, pada
Rio de Jenaero Tahun 1992. Hal ini
hakikatnya mencerminkan pemikiran
termuat pada prinsip ke-15 yang
tentang tindakan sebelum kerugian
menyatakan:
Rechtidee, Vol. 13, No. 1, Juni 2018 17

timbul, dan juga sebelum bukti jenis pidana bagi korporasi yang
ilmiah konklusif diperoleh. Hal ini melakukan tindak pidana di bidang
berarti harus menunggu adanya bukti kehutanan secara praktis dapat
ilmiah konklusif dan bukti tentang diterapkan asas in dubio pro natura
tingkat risiko yang pasti, tetapi harus tersebut. Penerapan asas ini juga
mencegah terjadinya kerugian wujud keberpihakan terhadap korban
lingkungan, (M.W.A. Schefer, 1996 : lingkungan hidup.
1-5). Kerugian di bidang lingkungan Secara formulatif, UU
hidup dalam tataran praktis tidak Kehutanan tidak membedakan antara
mudah untuk ditaksir. Ketidakpastian pertanggungjawaban antara
ini terjadi karena alam sulit korporasi dan pertanggungjawaban
diprediksi atau diperkirakan secara pidana manusia alamiah. UU
pasti. Ketidakpastian kerugian yang Kehutanan hanya memberikan
tampak karena kerugian lingkungan penekanan bahwa bilamana tindak
sulit untuk diamati dan oleh pidana dilakukan oleh korporasi,
karenanya sulit dipantau atau maka terdapat pemberatan sanksi
dipahami, sehingga relevan bilamana pidana 1/3 dari ancaman pidananya.
asas in dubio pro natura Lebih lanjut, ditinjau dari aspek
diimplementasikan oleh hakim, perlindungan hukum terhadap
(Sharon Bedder, 1993 : 121-122). korban, secara pidana tidak
Pemidanaan korporasi dalam ditemukan ketentuan pidana yang
hukum kehutanan khususnya dalam mengharuskan korporasi
memberikan jaminan perlindungan bertanggungjawab atas kerugian
hukum bagi korban patut diintrodusir yang diderita bagi korban. Rumusan
prinsip in dubio pro natura. ketentuan pidana yang terdapat
Korporasi yang melakukan tindak dalam Pasal 78 UU Kehutanan sama
pidana di bidang kehutanan sekali tidak membuka peluang
menimbulkan dampak yang meluas, adanya media pembebanan
kerugian yang ditanggung oleh pertanggungjawaban korporasi yang
entitas ekologis juga dapat ditaksir berbasis perlindungan terhadap
secara materiil. Pencanangan besaran korban.
18 Rechtidee, Vol. 13, No. 1, Juni 2018

Hakikat korban tindak pidana di penanggung jawab perbuatan itu


untuk membayar ganti rugi
bidang kehutanan disamping negara,
sesuai dengan tingkat kerusakan
masyarakat, juga generasi sekarang atau akibat yang ditimbulkan
kepada Negara, untuk biaya
dan yang akan datang. Cakupan
rehabilitasi, pemulihan kondisi
korban yang demikian ini harus hutan, atau tindakan lain yang
diperlukan.
mendapatkan porsi perlindungan
(2) Setiap pemegang izin usaha
yang cukup dalam bentuk formulasi pemanfaatan kawasan, izin
usaha pemanfaatan jasa
ketentuan UU Kehutanan.
lingkungan, izin usaha
Nampaknya UU Kehutanan dalam pemanfaatan hasil hutan, atau
izin pemungutan hasil hutan
hal pertanggungjawaban pidana
yang diatur dalam undang-
terhadap korporasi masih sebatas undang ini, apabila melanggar
ketentuan di luar ketentuan
menjangkau korban negara. Terbukti
pidana sebagaimana diatur
adanya pengaturan pidana denda dalam Pasal 78 dikenakan sanksi
administratif.
dalam rumusan pertanggungjawaban
(3) Ketentuan lebih lanjut
pidana secara tidak langsung sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), dan ayat (2) diatur
merupakan perwujudan bagi korban
dengan Peraturan Pemerintah.
negara. Korban individu maupun
Pembebanan ganti rugi sesuai
lingkungan untuk generasi sekarang
dengan tingkat kerusakan dalam
dan yang akan datang tidak
frase Pasal tersebut mengindikasikan
mendapatkan pengaturan secara jelas
bahwa UU Kehutanan menganggap
dalam UU Kehutanan.
kerusakan hutan sebagai salah satu
Sebenarnya, semangat untuk
korban tindak pidana di bidang
melindungi kepentingan korban
kehutanan yang harus diperhatikan.
ekologi sudah mulai nampak dalam
Namun ketentuan ini secara
UU Kehutanan. Hal ini bisa dilihat
sistematis terdapat pada Bab
dari ketentuan Pasal 80 UU
mengenai Ganti Rugi dan Sanksi
Kehutanan yang menyatakan:
Administrasi. Jadi tidak termasuk
(1) Setiap perbuatan melanggar
hukum yang diatur dalam sanksi pidana.
undang-undang ini, dengan tidak
Semangat perlindungan hutan
mengurangi sanksi pidana
sebagaimana diatur dalam Pasal juga nampak pada bagian kelima UU
78, mewajibkan kepada
Rechtidee, Vol. 13, No. 1, Juni 2018 19

Kehutanan tentang perlindungan justice), prinsip in dubio pro natura


hutan dan konservasi alam (Pasal 46 dan penormaan jenis pidana
sampai dengan Pasal 49 UU pemulihan kondisi hutan.
Kehutanan). Sehingga cukup
menunjukkan bahwa legal spirit Daftar Pustaka
yang ada dalam UU Kehutanan
Buku
adalah bagaimana UU Kehutanan Amrullah, M. Arief. (2010) Politik
Hukum Pidana Dalam
juga dapat mengakomodasi
Perlindungan Korban
perlindungan bagi korban. Dalam Kejahatan Ekonomi di
Bidang Perbankan, Malang:
konteks pidana, ketentuan pidana UU
Banyumedia Publishing
Kehutanan selain diarahkan pada
Arief, Barda Nawawi. (1990)
proses penjeraan juga sudah saatnya Perbandingan Hukum
diarahkan pada pemulihan kerusakan Pidana, Jakarta: Rajawali
Press
lingkungan hidup (kehutanan).
Secara formulatif, bentuk Bedder, Sharon. (1993) The Nature
of Sustainable Development,
perlindungan hukum terhadap korban Newham Australia: Earth
tindak pidana di bidang kehutanan Foundation

yang dilakukan oleh korporasi Departemen Kehutanan RI. (1992)


diwujudkan dalam formulasi UU Himpunan Peraturan
Perundang-undangan di
Kehutanan di masa yang akan Bidang Kehutanan Indonesia,
datang. Jakarta: Sekretaris Jenderal
Departemen Kehutanan
Simpulan
Mansur, M. Arief dan Gultom,
Perlindungan hukum terhadap Elisatris. (2007) Urgensi
Perlindungan Korban
korban tindak pidana di bidang
Kejahatan, Jakarta: Raja
kehutanan yang dilakukan oleh Grafindo Persada
korporasi merupakan hal prinsip Muladi. (1997) Hak Asasi Manusia,
yang perlu diprioritaskan. Politik dan Sistem Peradilan
Pidana, Semarang: Badan
Perlindungan hukum terhadap Penerbit Universitas
korban tersebut dilakukan dalam Diponegoro
bentuk menormakan prinsip-prinsip Ness, Van, W. Daniel. (1980)
keadilan restoratif (restorative Restorative justice and
20 Rechtidee, Vol. 13, No. 1, Juni 2018

International Human Rights, Wijoyo, Suparto. (2009)


Restorative Justice: Konstitusionalitas Hak Atas
International Perspektive, Lingkungan, Surabaya:
edited by Burt Galaway and Airlangga University Press
Joe Hudson, Amsterdam: The
Netherland, Kugler Yulia, Rena. (2010) Viktimologi,
Publications. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Purwoleksono, Didik Endro. (2014) Jurnal


Hukum Pidana, Surabaya: Hartini, Sri et.al. (2012) Model
Airlangga University Press Perlindungan Hukum
TerhadapKebijakan
--------. (2015) Hukum Acara Pelayanan Kesehatan
Pidana, Surabaya: Airlangga Masyarakat Miskin di
University Press Kabupaten Banyumas, Jurnal
Dinamika Hukum, Vo. 12
Pusat Data dan Informasi No. 3, September
Kementerian Lingkungan
Hidup dan Kehutanan. (2017) Hattu, J. (2010) Perlindungan
Statistik Kementerian Hukum Terhadap Korban
Lingkungan Hidup dan Kejahatan Ekonomi Di
Kehutanan Tahun 2016, Bidang Perbankan, Jurnal
Jakarta: KLHK Sasi, Vol. 16 No. 4, Oktober-
Desember
Quinney, Richard. (1975)
Criminology: Analysis And Herdiman. (2003) Memutuskan
Crique of Crime In America, Mata Rantai Illegal Logging,
Canada: Little Brown and Majalah Lingkungan Hidup
Company OZON, Volume 4 Nomor 3,
Yayasan Cahaya Reformasi
Salim. (2008) Dasar-Dasar Hukum Semesta, Jakarta
Kehutanan, Jakarta: Sinar
Grafika Imamulhadi. (2013) Perkembangan
Prinsip Stricy Liability dan
Schefer, M.W.A. (1996) The Precautionary Dalam
Precautionary and Penyelesaian Sengketa
Prevention Principles, Lingkungan Hidup di
Leiden: The Vanvollenhoven Pengadilan, Mimbar Hukum,
Institute, Leiden University Vol. 25, Nomor 3, Oktober
Setiyono. (2002) Kejahatan Nugroho, Hibnu. (2008) Paradigma
Korporasi Analisis Penegakan Hukum Indonesia
Viktimologi dan Dalam Era Global, Jurnal
Pertanggungjawaban Pro Justicia, Vol. 26 No. 4,
Korporasi dalam Hukum Oktober
Pidana Indonesia, Malang:
Averroes Press
Rechtidee, Vol. 13, No. 1, Juni 2018 21

Sarwirini, (2014) Implementasi


Restorative Justice Dalam
Penegakan Hukum Pajak,
Yuridika, Volume 29 Nomor
3, September-Desember

Anda mungkin juga menyukai