Anda di halaman 1dari 3

KORUPSI DAN KRISIS LINGKUNGAN DUA PRESEDEN BIROKRAT KORUP

TERHADAP KERUSAKAN LINGKUNGAN DI INDONESIA

Kata korupsi tak pernah redup dalam perbincangan keseharian kita dari tingkat
masyarakat semata-mata hingga warga negara, individu dan kelompok, serta warung
kopi hingga universitas. Fenomena tersebut tidak muncul dari kehampaan melainkan
dari kesadaran materil akan efek dari korupsi yang secara spontan langsung dapat
dirasakan, entah karena dorongan intuisi moral atau obervasi objektif penelitian.
Selain menjadi perbincangan antar-kelas dan antar-tingkatan, konsen terhadap
perilaku korupsi, jika ditelusuri secara historis, sudah ada sejak abad 300-an sebelum
masehi, tepatnya ketika era filsuf Aristoteles kebangsaan Yunani. Jika saat ini definisi
korupsi merujuk pada suatu akibat atau output yang berdampak, pada masa sebelum
masehi korupsi lebih ditekankan pada sebab. Analogi perbedaan perspektif korupsi
sebagai sebab atau sebagai akibat adalah, jika korupsi dipandang sebagai sebab maka
akan menuju pada suatu tindakan yang secara prediktif akan menimbulkan
kesengsaraan, sedangkan sebagai akibat definisinya akan merujuk pada proses
sekaligus akibat dari korupsi. Aristoteles dengan perspektif-sebabnya mencontohkan
dekandensi moral sebagai perilaku korupsi. Dekandensi moral bisa kita lihat pada
realita sehari-hari sebagai apatisme terhadap lingkungan sekitar yang justru menjadi
tempat tinggal dan hidup, contohnya tak mau memperhatikan rencana jangka-panjang
dan hanya fokus pada individualitas instan. Hal itu akan menyebabkan krisis sosial
atas ketidak-mauan untuk saling minimal memahami satu sama lain. Sedangkan,
perspektif akibat pada zaman sekarang, sesuatu disebut korupsi jika memiliki dampak
riil terhambatnya peningkatan kualitas hidup serta timbulnya inkonsistensi birokrasi
struktural. Namun, tulisan ini bukan dimaksudkan untuk mempermasalahkan kedua
perspektif itu, tetapi untuk mengulik berbagai akibat korupsi pada konteks sistemik
zaman sekarang di Indonesia terutama aibatnya pada lingkungan atas akibat mal-
administrasi birokrasi.

Kebakaran hutan palangkaraya 2014

8 tahun silam di Palangkaraya, Riau terdapat kabut asap yang sangat tebal
menyelimuti sebagian besar daerah tersebut. Pada Maret 2014, terdapat 137 titik api
kebakaran di Hutan Riau. Titik-titik itu membara terus-menerus hingga tidak hanya
menyebabkan polusi asap tapi juga meningkatkan suhu rata-rata. Menurut informasi
BMKG, suhu tertinggi dari kebakaran hutan mencapai 33 derajat celcius. Sebanyak
49.591 jiwa menderita penyakit akibat kabut asap seperti ispa, pneumonia, asma,
iritasi mata dan kulit. Meningkatnya suhu menandakan sudah parahnya kebakaran di
hutan serta jarak pandang terbatasi asap hanya 300 meter. Sebanyak 137 titik itu
tersebar di beberapa kabupaten, yaitu Bengkalis 65 titik, Indragiri Hilir enam titik,
Meranti 33 titik, Pelalawan 11 titik, Dumai lima titik, dan Siak 17 titik. Satuan Tugas
Penanggulangan Bencana Kabut Asap hingga kini masih terus mengupayakan
penanganan pemadaman. Adanya masalah jarak pandang membuat Satgas Udara
tidak bisa melakukan hujan buatan dan water bombing atau bom air.

Sejauh ini pihak berwajib sudah menetapkan 40 tersangka dan satu korporasi atas
nama PT NSP di Kabupaten Meranti yang dari pihak persero melakukan tindakan
pembakaran secara sengaja. Namun pertanyaannya, apakah pelaku pembakaran
melakukannya secara cuman-cuman tanpa ada interaksi imbalan terentu, mengingat
bahwa hal itu dilarang oleh peraturan perundang-undangan serta jika melanggarnya
akan di hukum? Tentu tidak. Tak ada seorangpun tanpa tujuan yang jelas--bahkan
instan--yang secara tiba-tiba mencoba melakukan pelanggaran hukum. Perilaku
pembakaran hutan bertujuan untuk membuka ladang baru. Dalam kasus kebakaran
hutan di Riau ini, pembakaran untuk membuka ladang baru melanggar peraturan
tentang fungsi hutan konservasi Riau. Namun setelah diselidiki, pembakaran tersebut
sebetulnya berangkat dari pemberian izin berupa revisi alih fungsi hutan oleh
Gubernur Riau, Annas Maamun. Annas mengeluarkan revisi itu bukan secara
konsolidatif ilmiah, melainkan ia melakukannya karena menerima suap dari seorang
pengusaha sawit Gulat Medali Emas Manurung yang kala itu merupakan Kepala
asosiasi petani kelapa sawit cabang Riau. Sejumlah uang yang diterima dari Gulat
dimaksudkan supaya annas menerbitkan kawasan hutan menjadi perkebunan sawit di
kabupaten kuantan singingi seluas 1.188 hektar dan di kabupaten rokan hilir seluas
1.214 hektar. Jumlah yang sangat luas itu dibebaskan dengan dibakar, karena modal
yang dikeluarkan dengan membakar dibandingkan dengan menggunakan proseudr
amdal lebih murah. Maka, hasilnya adalah polusi asap yang sangat menganggu dan
menurunkan kualitas udara serta menyebabkan penyakit.

Pencemaran Danau sembuluh oleh PT Binasawit Abadi Pratama

Dua anggota DPRD Kalimantan Tengah (Kalteng), Borak Milton dan Punding
Ladewiq dituntut 7 tahun penjara dan denda senilai Rp. 200 juta subsider 3 bulan
kurungan. Keduanya diyakini jaksa menerima suap yang diberikan oleh Managing
Director PT Binasawit Abadi Pratama, Edy Saputra Suradja sebesar Rp. 240 juta.
Kasus tersebut bermula ketika pada rapat paripurna DPRD Kalimantan tengah
mendapat laporan adanya pemberitaan media massa mengenai 7 perusahaan sawit
yang diduga tidak mengindahkan lingkungan dengan melakukan pencemaran di
Danau Sembuluh, Kabupaten Seruyan, Kalimantan tengah. Salah satu perusahaan
tersebut yaitu PT Binasawit Abadi Pratama. Kemudian, karena adanya laporan yang
menyangkut tanggungjawab, antara anggota DPRD dan pesuap membuat pertemuan.

Dari pertemuan itu, terjadilah kesepakatan perjanjian berupa pemberian uang.


Pemberian uang pun dimulai saat Direktur Operasional Sinarmas Wilayah Kalimantan
Tengah, Willy Agung Adipradhana dan Department Head Document and Lisense
Perkebunan Sinar Mas Wilayah Kalimantan Tengah, Teguh Dudy Syamsuri Zaldy,
mengadakan pertemuan dengan Komisi B DPRD. Pemberian uang itu besarat akan
adanya manipulasi masyarakat dengan kontrol media. Anggota DPRD berjanji akan
mengkompromikan pemberitaan media massa terkait tindakan pencemaran oleh PT
Binasawit Abadi Pratama untuk menulis yang tidak semestinya di lapangan, atau
secara gamblang dapat dikatakan memaksa media untuk tidak menulis bahwa
perseoran tersebut telah melakukan pencemaran dengan narasi-narasi yang tidak
sesuai fakta. Selain itu, suap tersebut juga dimaksudkan agar untuk tidak menggelar
Rapat Denga Pendapat (RDP). Anggota DPRD Kalteng itu diyakini jaksa melanggar
Pasal 12 huruf a atau pasal 11 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-
undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 31
tahun 1999 juncto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP

Kesimpulan
Korupsi berupa penerimaan suap untuk mengubah prosedur administratif birokrasi
termasuk juga penyalahgunaan kekuasaan secara hegemonik. Bisa jadi, segala
tindakan kriminal dapat mendapat subsidi hukuman atau bahkan gratis tidak terkena
sama sekali, karena adanya mengatakan sesuatu yang berlainan daripada
kewajibannya. Pada kasus pertama perbuatan berlainan karena menerima suap adalah
secara semata-mata memberikan keputusan alih fungsi hutan yang seharusnya
menjadi fungsi konservatif untuk dijadikan kebun sawit tanpa memenuhi syarat-syarat
amdal, padahal status hutan konservasi dengan kriteria terentu telah tertuang dalam
peraturan perundang-undangan. Kasus kedua perbuatan berlainan mencangkup
tentang mengkompromikan tindakannya kepada media tidak sesuai dengan fakta
lapangan dan mengubah prosedur administrasi dalam rapat dengar pendapat DPRD
dengan pengusaha

Dua contoh preseden tersebut memberikan konfirmasi pendekatan struktural, bahwa


tidak melulu kerusakan lingkungan, apalagi dalam skala yang besar, disebabkan oleh
ketidakpedulian masyarakat dalam menjaga lingkungan, melainkan dalam negara
dengan sistemnya yang korup juga dapat menyebabkan terjadinya lingkungan dalam
ranah otoritas dengan melakukan pembiaran.

Anda mungkin juga menyukai