Jawab :
- Salah satu isu lingkungan yang dalam pelaksanaannya membutuhkan regulasi yang
sangat segera adalah isu kebakaran hutan, dalam pelaksanaanya ketika terjadi
kebakaran hutan yang berdampak serius bagi kehidupan masyarakat maka
pemerintah dalam hal ini sebagai pemangku kebijakan harus membuat regulasi
sesegera mungkin, disini saya akan mengambil contoh tentang perlunnya peraturan
tentang karhutla yang lebih baik. Wakil Ketua Komisi IV DPR RI Viva Yoga Mauladi
mengusulkan untuk merevisi undang-undang yang terkait penegakan hukum pada
pelaku pembakaran hutan dan lahan (karhutla). Ia menyebut pelaku pembakaran
hutan setara dengan teroris. Menurut Yoga, penegakan hukum kepada pelaku
kebakaran hutan masih lemah. Hal itu juga tampak pada pemerintah yang kerap kali
kalah di Pengadilan. "Selama ini, penegakan hukum untuk kasus karhutla lemah.
Akibatnya pemerintah sering kalah di pengadilan. Padahal, dari sisi legislasi sudah
jelas sanksi pidana dan dendanya," ujarnya melalui keterangan tertulis, Minggu
(22/9). Yoga menyebutkan penegakan hukum untuk pelaku pembakaran hutan telah
tercantum dalam Undang-Undang. Pertama, Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999
tentang Kehutanan, di Pasal 78 ayat (3) menyebutkan bahwa pelaku pembakaran
hutan dikenakan sanksi pidana penjara 15 tahun dan denda maksimal Rp5 miliar.
Kemudian, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan, di Pasal 8
ayat (1) menyebutkan bahwa jika seseorang yang sengaja membuka lahan dengan
cara dibakar dikenakan sanksi kurungan 10 tahun dan denda maksimal Rp10 miliar.
Selanjutnya, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan hidup. Pada Pasal 108 menyebutkan seseorang yang
sengaja membuka lahan dengan cara dibakar dikenakan sanksi minimal tiga tahun
dan maksimal 10 tahun, serta denda maksimal Rp10 miliar. Namun, Yoga menilai,
sanksi pidana terhadap para pelaku hanya omong kosong. Justru pelaku pembakaran
hutan tidak tersentuh oleh hukum. "Dalam realitasnya, pasal sanksi pidana bagi
oknum intelektual kasus karhutla hanya bersifat macan kertas saja,
ompong, unoperational. Pelakunya tidak tersentuh hukum, kebal hukum, dan
menjadi manusia setengah dewa. Negara terkalahkan oleh mereka, pengadilan
bertekuk-lutut tidak berkutik," tuturnya. Yoga pun mengusulkan supaya penanganan
lebih serius dilakukan. Pertama, ia meminta supaya ada penambahan dana
penanggulangan bencana dari pemerintah pusat. Penambahan dana itu dapat
digunakan untuk program pemadaman hotspot secara cepat, penanganan gangguan
kesehatan masyarakat secara manusia, serta penyelamatan plasma nutfah serta
flora fauna agar tidak punah. Kemudian, Pemerintah Pusat agar lebih serius
meningkatkan kualitas koordinasi, integrasi, dan sinkronisasi dengan pemerintah
daerah Selanjutnya adalah merevisi peraturan perundang-undangan bahwa pelaku
pembakaran hutan, melalui keputusan pengadilan, seharusnya dikategorikan
sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime). "Levelnya sama dengan teroris.
Karena bukan hanya merusak ekosistem dan lingkungan, memusnahkan plasma
nutfah, juga dapat membunuh manusia," terang dia. Diketahui, Badan Meteorologi
Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Stasiun Pekanbaru mendeteksi ada sekitar 1.182
titik panas kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Pulau Sumatera pada Sabtu
(21/9) pagi. Deteksi ini dilakukan menggunakan satelit Terra dan Aqua yandilakukan
pada pukul 06.00 WIB. BMKG juga mendapati titik panas yang tersebar di Provinsi
Jambi sebanyak 449 titik, Sumatera Selatan 391 titik, Riau 198 titik, Bangka Belitung
40 titik, Lampung 33 titik, dan Sumatera Barat 8 titik. Lalu, Sumatera Utara dan
Bengkulu, masing-masing 2 titik.Khusus di Riau, dipastikan terdapat 129 titik api
karhutla. Lokasi titik api ini paling banyak di Indragiri Hilir yaitu sebanyak 47 titik,
Rokan hilir 38 titik, dan Pelalawan 18 titik.
- Isu yang kedua adalah terkait konflik lingkungan hidup dan sumber daya alam
penyelesaian konflik lingkungan hidup dan sumber daya saat ini sebenarnya sudah
dilakukan kementerian/lembaga misalnya Kementerian Luar Negeri (Kementerian
LHK), Badan Pertanahan Nasional (BPN), Kantor Staf Presiden (KSP), sampai Komisi
Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Kendati demikian, ang dilakukan
lembaga itu belum bisa memberikan penyelesaian yang tuntas dan adil bagi
masyarakat atau korban. Walhi meminta dibentuknya Komisi Adhoc langsung di
bawah presiden untuk menyelesaikan persoalan-persoalan krisis ekologis dan
penegakan hukum khusus untuk kejahatan lingkungan hingga korupsi sumber daya
alam. Hal kedua, ia menyebut hal yang harus segera dilakukan utamanya adalah
mengambil keputusan tegas. "Seperti Peraturan Presiden Nomor 51 Tahun 2014
terkait perubahan terhadap peruntukan ruang sebagian kawasan pesisir dan pulau-
pulau kecil yang merupakan bagian dari Kawasan Teluk Benoa, Bali yang harus
segera dicabut. Selama ada aturan tersebut itu masih ada celah diberikan izin
lokasi," katanya.
-