Anda di halaman 1dari 28

PENEGAKAN HUKUM LINGKUNGAN TERHADAP KASUS PT.

LAPINDO

DOSEN :

M. Mansur, S.H, M.H.

OLEH :

Andrian Noriza 18742011073

KELAS EKSEKUTIF

FAKULTAS HUKUM SEMESTER II

UNIVERSITAS BOJONEGORO

2019
PENEGAKAN HUKUM LINGKUNGAN TERHADAP KASUS PT.

LAPINDO

A.         Latar Belakang

Lingkungan hidup merupakan anugerah terbesar yang

telah diberikan oleh Allah SWT dan wajib dilestarikan serta

dikembangkan kemampuannya agar tetap dapat menjadi

sumber penunjang hidup bagi manusia dan makluk hidup

lainnya demi kelangsungan dan peningkatan kualitas hidup itu

sendiri. Oleh karena itu diperlukan pembangunan yang

selaras dengan alam semesta ini.

Manusia sejak dilahirkan dunia ini, telah berada pada

suatu lingkungan hidup, lingkungan hidup adalah bagian

mutlak yang tidak dapat terlepas dari kehidupan manusia.

Manusia dengan segala aktivitas hidupnya mencari makan,

minum serta memenuhi kebutuhan lainnya, adalah karena

terdapatnya lingkungan hidup sebagai sumber pertama dan

terpenting bagi pemenuhan berbagai kebutuhan tersebut. Oleh

karena itu, seharusnya manusia menjaga dan melestarikan

lingkungan dengan baik, serta tidak melakukan hal-hal yang

dapat menyebabkan kerusakan pada lingkungan, karena

lingkungan adalah bagian terpenting dari kehidupan manusia,

berkaitan dengan lingkungan hidup diatur dalam Undang-

Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan

Pengelolaan Lingkungan Hidup.


Penegakan pembangunan di sektor industri, di samping

telah memperbesar usaha pendayagunaan sumber daya alam,

baik langsung maupun tidak langsung, juga mempengaruhi

perubahan rona lingkungan fisik yang seringkali kurang

menguntungkan bagi kelestarian fungsi dan kesinambungan

lingkungan hidup, walaupun pembangunan lingkungan hidup

telah mendapatkan perhatian dalam pelaksanaan

pembangunan selama ini. Menurunnya fungsi lingkungan hidup

dipengaruhi pula oleh semakin meningkatnya satuan limbah

industri maupun domestik yang menimbulkan pencemaran air,


1
tanah dan udara. [1]

Tantangan terhadap kelestarian lingkungan hidup kini

menjadi salah satu masalah terbesar yang dihadapi oleh

manusia. Bahkan sudah menjadi masalah yang menembus

batas-batas negara, dan mempertaruhkan eksistensi manusia

di muka bumi. Manusia hanyalah salah satu unsur dalam mata

rantai kehidupan di bumi, yang menyebabkan ketergantungan

pada sistem planet bumi sebagai life support system. Sifat

kebergantungan manusia terhadap lingkungan ini dikuasai

oleh hukum-hukum ekologi. Kerusakan lingkungan sudah

menjadi masalah yang sangat mendesak untuk segera

ditangani bagi kehidupan manusia, karena dalam hal ini

manusia menjadi pelaku sekaligus sebagai korbannya.

Keadaan semacam ini membuat lingkungan terancam oleh

potensi krisis lingkungan.

1
Tragedi bencana lumpur Lapindo terjadi 7 tahun yang lalu,

tepatnya pada tahun 2006, namun permasalahannya belum

terselesaikan hingga saat ini, ini para korban lumpur Lapindo

belum mendapatkan semua hak-haknya dari PT Lapindo.

Berdasarkan Perpres Nomor 68 tahun 2011, pembayaran ganti

rugi sudah selesai pada 2011. Perpres tentang lumpur lapindo

mengalami beberapa kali perubahan yaitu Perpres No

14/2007, kemudian Perpres No. 40/2009. Bencana Lumpur

Lapindo tidak hanya merugikan warga masyarakat Porong

Sidoarjo, namun juga merugikan pemerintah yang

mengalokasikan aggaran dari APBN untuk menenggulangi

bencana serta membayar ganti rugi kepada masyarakat.

Ketika, dana APBN digunakan untuk menanggulangi kerugian

yang terjadi tentunya, semua masyarakat Indonesia

menanggung akibat dari lumpur Lapindo karena dana APBN

berasal dari hasil pajak yang dibayarkan oleh warga

masyarakat kepada negara.

Berlarutnya proses penyelesaian lumpur Lapindo

menambah daftar panjang lemahnya Pemerintahan SBY dalam

menghadapi berbagai permasalahan besar di negeri ini.

Lemahnya pemerintah menghadapi korporasi besar

menunjukkan bukti bahwa sebuah korporasi dapat

mempengaruhi kebijakan politik suatu negara. Korporasi

dengan kemampuan finansial yang besar akan menjadi

ancaman stabilitas suatu negara apabila negara tersebut tidak

membuat suatu sistem kontrol dan regulasi yang tepat tentang

korporasi. Korporasi menjadi pedang bermata ganda, disatu


sisi mempunyai kemampuan meningkatkan kesejahteraan dan

ekonomi suatu negara, disisi lain korporasi mempunyai

potensi untuk merugikan negara yang bersangkutan.

Tujuh tahun sudah lumpur panas Lapindo merendam

ribuan rumah warga di Porong, Kabupaten Sidoarjo, Jawa

Timur. Tanda-tanda lumpur akan berhenti menyembur dari

permukaan tanah juga tidak terlihat. Sementara para korban

yang harus merelakan harta bendanya terendam, hingga kini


2
nasibnya masih terkatung-katung. [2] Meski sudah tujuh tahun

berlalu, proses ganti rugi oleh PT Minarak Lapindo Jaya, anak

perusahaan PT Lapindo, belum juga terselesaikan. Tujuh

tahun berlalu seakan penegakan hukum terhadap PT. Lapindo

tidak terdengar.

Untuk itulah kelompok kami mengambil kajian penegakan

hukum lingkungan dalam kasus PT Lapindo. Selain sebagai

tugas struktural kajian ini diharapkan dapat mengembangkan

wawasan hukum lingkungan terutama dalam permasalahan

penegakan hukum lingkungan.

B.            Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas dapat diambil

rumusan masalah sebagai berikut :

1.             Bagaimanakah penegakan hukum lingkungan terhadap

kasus PT. Lapindo yang menimbulkan kerugian bagi

masyarakat Sidoarjo ?

2
2.             Faktor-faktor apa sajakah yang menghambat

penegakan hukum lingkungan terhadap kasus PT. Lapindo ?

A.           Penegakan Hukum Lingkungan Terhadap Kasus


PT. Lapindo Yang Menimbulkan Kerugian Bagi Masyarakat
Sidoarjo
Secara konsepsional arti penegakan hukum terletak pada

kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan

di dalam kaidah-kaiadah yang mantap dan mengejawantah

serta sikap tindak sebagai rangkaian pejabaran nilai tahap

akhir, untuk menciptakan, memelihara, dan memepertahankan


3
kedamaian pergaulan hidup. [3]

Penegakan hukum terjadi apabila nilai, kaidah dan pola

perilaku tidak berjalan seiring sejalan. Sehingga penegakan

hukum bukan hanya bicara mengenai pelaksanaan peraturan

perundang-undangan tetapi keseluruhan komponen

komperhensif yang mendukung penegakan hukum. Penegakan

hukum terkait sebuah sistem terdiri dari sub-sub sistem atau

elemen yang menentukan bagaimana suatu hukum bekerja

sebuah sinergi. Meminjam pendapat dari Lawrence M


4
Friedman [4], yang menyatakan bahwa dalam bekerjanya

sistem hukum dipengaruhi oleh 3 elemen (Three Elements of

Legal System), yaitu:

4
1.             Komponen struktur, yaitu kelembagaan yang
diciptakan oleh sistem hukum itu dengan berbagai macam
fungsi dalam rangka mendukung bekerjanya sistem tersebut.
Komponen ini dimungkinkan untuk melihat bagaimana sistem
hukum itu memberikan pelayanan terhadap penggarapan
bahan-bahan hukum secara teratur.
2.             Komponen Substantif, yaitu sebagai output dari sistem
hukum, berupa peraturan-peraturan, keputusan-keputusan
yang digunakan baik oleh pihak yang mengatur maupun yang
diatur.
3.             Komponen kultural, yaitu terdiri dari nilai-nilai dan
sikap-sikap yang mempengaruhi bekerjanya hukum atau oleh
Lawrence M Friedman disebut sebagai kultur hukum. Kultur
hukum inilah yang berfungsi sebagai jembatan yang
menghubungkan antara peraturan hukum dengan tingkah laku
5
hukum seluruh warga masyarakat. [5]

Hukum lingkungan adalah sebuah bidang atau cabang

hukum yang memiliki kekhasan yang oleh Drupsteen disebut

sebagai bidang hukum fungsional (functioneel rechtsgebeid),

yaitu di dalamnya terdapat unsur-unsur hukum administrasi,

hukum pidana dan hukum perdata. Oleh sebab itu, penegakan

hukum lingkungan dapat dimaknai sebagai penggunaan atau

penerapan instrumen-instrumen dan sanksi-sanksi dalam

lapangan hukum administrasi, hukum pidana dan hukum

perdata dengan tujuan memaksa subjek hukum yang menjadi

sasaran mematuhi peraturan perundang-undangan lingkungan

hidup. Penggunaan instrumen dan sanksi hukum administrasi

dilakukan oleh instansi pemerintah dan juga oleh warga atau

badan hukum perdata. Gugatan Tata Usaha Negara merupakan

sarana hukum administrasi negara yang dapat digunakan oleh


5
warga atau badan hukum perdata terhadap instansi atau

pejabat pemerintah yang menerbitkan keputusan tata usaha

negara yang secara formal atau materiil bertentangan


6
peraturan perundangundangan lingkungan. [6]

Penggunaan sanksi-sanksi hukum pidana hanya dapat

dilakukan oleh instansi-instansi pemerintah. Penggunaan

instrumen hukum perdata, yaitu gugatan perdata, dapat

dilakukan oleh warga, badan hukum perdata dan juga instansi

pemerintah. Namun, jika dibandingkan di antara ketiga bidang

hukum, sebagian besar norma-norma hukum lingkungan

termasuk ke dalam wilayah hukum administrasi negara.

Berdasarkan dua konsepsi penegakan hukum secara umum

dan penegakan hukum lingkungan secara khusus, maka kami

sepakat bahwa, penegakan hukum lingkungan dalam kasus

PT. Lapindo adalah kegiatan menyerasikan hubungan nilai-

nilai yang terjabarkan di dalam kaidah-kaiadah yang mantap

dan mengejawantah serta sikap tindak sebagai rangkaian

pejabaran nilai atau penggunaan atau penerapan instrumen-

instrumen dan sanksi-sanksi dalam lapangan hukum

administrasi, hukum pidana dan hukum perdata dalam kasus

PT. Lapindo.

Semburan lumpur panas itu muncul pertama kalinya pada

29 Mei sekitar pukul 05.00. Terjadinya di areal persawahan

Desa Siring, Kecamatan Porong. Kabupaten Sidoarjo sekitar

150 meter barat daya sumur Banjar Panji 1 yang dikerjakan

6
oleh Lapindo Brantas Inc.Selama tiga bulan Lapindo Brantas

Inc, melakukan pengeboran vertikal untuk mencapai formasi

geologi yang disebut Kujung pada kedalaman 10.300 kaki.

Sampai semburan lumpur pertama itu, yang dalam dunia

perminyakan dan gas disebut blow out, telah dicapai

kedalaman 9.297 kaki (sekitar 3,5 kilometer). Kedalaman ini

dicapai pukul 13.00 dua hari sebelum blow out.Sesuai

kelaziman pada pengeboran di kedalaman tersebut, lumpur

berat masuk pada lapisan, disebut loss, yang memungkinkan

terjadinya tekanan tinggi dari dalam sumur ke atas atau kick,

antisipasinya menarik pipa untuk memasukkan casing yang

merupakan pengaman sumur. Ketika penarikan pipa hingga

4.241 kaki, pada 28 Mei, terjadi kick. Penanggulangan ini

adalah dengan penyuntikan lumpur ke dalam sumur. Ternyata

bor macet pada 3.580 kaki, dan upaya pengamanan lain

dengan disuntikan semen. Bahkan pada hari itu dilakukan

fish, yakni pemutusan mata bor dari pipa dengan diledakan.

Kemudian yang terjadi adalah semburan gas dan lumpur pada

subuh esok harinya.

Tanggal 5 Juni 2006, semburan lumpur panas meluas

hingga menutupi hamparan sawah seluas lebih 12 hektar yang

masuk dalam wilayah Desa Renokenongo dan Jatirejo. Akibat

dari peristiwa ini dilaporkan pohon dan tumbuhan di sekitar

lokasi yang tergenang seperti pohon sengon, pisang, dan

bambu serta rumput alang-alang mulai mengering. Besarnya

semburan lumpur yang keluar dari perut bumi juga

menyebabkan ketinggian lumpur sedikit lebih tinggi dari


badan jalan Tol Surabaya-Gempol Kilometer 38. Dari peristiwa

ini, sebagian penduduk Dusun Siring Tangunan dan Dusun

Renomencil berjumlah 188 KK atau 725 Jiwa terpaksa

mengungsi ke Balai Desa Renokenongo dan Pasar Baru

Porong.

Melihat dampak yang begitu besar dari semburan lumpur

Lapindo, maka dilakunanlah penegakan hukum dalam ranah

pindana. Kepolisian mencoba menangani kasus lumpur lapindo

dengan menggunakan peraturan lingkungan yang lama yaitu

Undang-Undang 23 Tahun 1997 tentang Lingkungan Hidup dan

KUHP. Hal ini dikarenakan kasus yang terjadi ada di tahun

2006 yang meluas hingga tahun-tahun berikutnya, hingga

sekarang.

Polri sebagai penyidik dalam kasus pelanggaran korporasi

ini tentu tidak mempunyai kapasitas atau kemampuan terkait

dengan teknik dan mekanisme pengeboran. Pencarian alat

bukti yang dapat dilakukan oleh Polri adalah dengan

melakukan pemeriksaan terhadap para saksi yang terlibat

atau terkait dengan bencana lumpur lapindo, memeriksa

dokumen pendukung hasil pemeriksaan para saksi dan

tentunya mempedomani pendapat ahli untuk mengetahui atau

mengkonfirmasi hasil penyidikan dengan ahli terkait bidang

tersebut. Pendapat ahli terkait peristiwa lumpur lapindo bukan

merupakan hal yang sulit bagi Polri untuk mendapatkannya

karena peristiwa tersebut telah menarik perhatian para ahli

baik dalam lingkup nasional maupun internasional sebagai

bahan kajian keilmuan, karena peristiwa tersebut langka


terjadi dan menjadi referensi mereka (para ahli) untuk

memperoleh pengetahuan yang baru terkait ilmu geologi.

Kertertarikan internasional terkait peristiwa bencana

lumpur lapindo diwujudkan melalui serangkaian konferensi

internasional yang diselenggarakan oleh pihak yang netral,

Lapindo dianggap menyebabkan semburan Lumpur panas di

Sidoarjo. Adalah dua konferensi yang diadakan secara

berurutan, yaitu yang diselenggarakan di London, Inggris dan

Cape Town, Afrika Selatan, membahas tentang penyebab

semburan Lumpur panas Lapindo. Dan dalam hasil akhir yang

dicapai, kesalahan operasi Lapindo dianggap para ahli

sebagai penyebab semburan Lumpur panas di Sidoarjo.

Konferensi yang diadakan oleh American Association of

Petroleum Geologist, mengundang para pakar yang

berseberangan pendapat terkait dengan penyebab semburan.

Selama ini memang terjadi perbedaan pendapat tentang hal

ini. Lapindo dan beberapa geolog menganggap bahwa

semburan Lumpur diakibatkan oleh gempa bumi Yogyakarta

yang terjadi dua hari sebelum Lumpur menyembur pada

tanggal 29 Mei 2006. Sementara sebagian ahli menganggap

bahwa hal itu tidak mungkin karena jarak yang terlalu jauh

dan skala gempa yang terlalu kecil. Mereka, melalui berbagai

penerbitan di jurnal ilmiah yang sangat kredibel, justru

menganggap dan menemukan fakta bahwa penyebab semburan

adalah kesalahan operasi yang dilakukan oleh Lapindo.

Lapindo telah lalai memasang casing, dan gagal menutup


lubang sumur ketika terjadi loss dan kick, sehingga Lumpur
7
akhirnya menyembur. [7]

Proses pidana dilakukan oleh penyidik kepolisian dari

POlda Jawa Timur, dalam kasus ini, Polda Jawa Timur telah

menetapkan 13 tersangka, yaitu 5 orang dari PT Medici Citra

Nusantara, 3 orang dari PT Lapindo Brantas, 2 orang dari PT

Energi Mega Persada dan 3 orang dari PT Tiga Musim Jaya.

Para tersangka dijerat Pasal 187 dan Pasal 188 KUHP dan UU

No 23/1997 Pasal 41 ayat 1 dan Pasal 42 tentang pencemaran

lingkungan, dengan ancaman hukum 12 tahun penjara. Adapun

nama-nama tersangka yang ditetapkan adalah sebagai

berikut:

1)             Ir. EDI SUTRIONO selaku Drilling Manager PT. Energy


Mega Persada, Tbk;
2)             Ir. NUR ROCHMAT SAWOLO, MESc selaku Vice
President Drilling Share Services PT. Energy Mega Persada,
Tbk.;
3)             Ir. RAHENOD selaku Drilling Supervisor PT. Medici
Citra Nusa;
4)             SLAMET BK selaku Drilling Supervisor PT. Medici
Citra Nusa;
5)             SUBIE selaku Drilling Supervisor PT. Medici Citra
Nusa;
6)             SLAMET RIYANTO selaku Project Manager PT. Medici
Citra Nusa;
7)             YENNY NAWAWI, SE selaku Dirut PT. Medici Citra
Nusa
8)             SULAIMAN Bin H.M. ALI selaku Rig Superintendent
PT. Tiga Musim Mas Jaya;
9)             SARDIANTO selaku Tool Pusher PT. Tiga Musim Mas
Jaya

7
10)         LILIK MARSUDI selaku Driller PT. Tiga Musim Mas
Jaya.
11)         WILLEM HUNILA selaku Company Man Lapindo Brantas,
Inc;
12)         Ir. H. IMAM PRIA AGUSTINO selaku General Manager
Lapindo Brantas, Inc: dan
13)         Ir. ASWAN PINAYUNGAN SIREGAR selaku mantan
General Manager Lapindo Brantas, Inc.

Proses penyidikan tentang dugaan tindak pidana oleh

polda Jawa timur berujung pada penerbitan Surat penghentian

Penyidikan (SP3) yang dikeluarkan Kepolisian Daerah Jawa

Timur (Polda Jatim) kasus Lumpur Lapindo pada Jum’at 7

Agustus 2009 dengan alasan:

1)             dikarenakan keluarnya penolakan dua putusan


gugatan perdata YLBHI dan Walhi di PN Jakpus dan PN Jaksel
yang menyatakan tak ada perbuatan melawan hukum dalam
kasus Lapindo,;
2)             ketiadaan bukti kuat, factual proving,
ketidaksanggupan Penyidik memenuhi petunjuk Jaksa
Penuntut Umum (JPU) untuk membuktikan korelasi semburan
lumpur dengan kegiatan eksplorasi Sumur Banjarpanji I.
3)             Belum ada ahli yang bisa membuktikan korelasi antara
sebab semburan lumpur dan keberadaan sumur pengeboran.

Dikeluarkan SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan)

oleh Polda Jatim, 5 Agustus 2009: memperhatikan karena

tidak cukup bukti setelah empat kali berkas perkara

dikembalikan kejaksaan karena kepolisian tidak bisa

memenuhi petunjuk formil dan materiil serta memperhatikan

putusan perkara perdata yang sudah inkracht, yang pertama

antara Walhi dengan Pemerintah RI dan Lapindo dan yang

kedua antara YLBHI dengan Pemerintah RI dan Lapindo, maka


pada para tersangka tidak diketemukan unsur perbuatan

melawan hukum dan perbuatan/peristiwa tersebut bukan

merupakan tindak pidana.

Kemudian Sidang putusan Pengadilan Surabaya: Tanggal

30 Maret 2010, No: 07/PRAPER/2010/PN.SBY, menolak

gugatan Pra Peradilan atas putusan SP3 Polda Jatim, dengan

konsekuensi hukum: SP3 tersebut menjadi kokoh atas putusan

pengadilan tersebut, sehingga secara pidana, Lapindo

Brantas, Inc tidak bersalah. Hal inilah yang mengakibatkan

penegakan hukum pidana terhadap permasalahan ingkungan

PT. Lapindo berhenti.

Takdir Rahmadi menyatakan bahwa :

Penegakan hukum lingkungan tidak hanya dimaknai


sebagai penggunaan atau penerapan instrumen-instrumen dan
sanksi-sanksi dalam lapangan hukum pidana saja, tetapi juga
hukum administrasi dan hukum perdata dengan tujuan
memaksa subjek hukum yang menjadi sasaran mematuhi
8
peraturan perundang-undangan lingkungan hidup. [8]

Penegakan hukum yang bersifat keperdataan pun

dilaksanakan yaitu dengan melakukan gugatan legal standing.

Pada 27 November 2007, Pengadilan Jakarta Selatan menolak

gugatan legal standing Wahana Lingkungan Hidup (Walhi)

terhadap pihak-pihak yang dinilai bertanggung jawab atas

menyemburnya lumpur panas. Hakim menyatakan munculnya

lumpur akibat fenomena alam. Pengadilan Jakarta Pusat

menolak gugatan korban yang diajukan Yayasan Lembaga

8
Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI). Hakim beralasan, Lapindo

sudah mengeluarkan banyak dana untuk mengatasi semburan

lumpur dan membangun tanggul. Terakhir, Mahkamah Agung

juga menolak permohonan uji materi atas Peraturan Presiden


9
Nomor 14 Tahun 2007. [9]

Putusan PT Jakarta 13 Juni 2008: Menguatkan putusan PN

Jakpus 27 Nopember 2007 bahwa adanya kejadian Lumpur

Sidoarjo karena kecenderungan gejala alam lebih dominan,

bukan kesalahan manusia. Putusan Kasasi MA 3 April 2009:

Menolak permohonan Kasasi YLBHI , bahwa semburan lumpur

merupakan fenomena alam dan bukan kesalahan industri dan

putusan ini mempunyai kekuatan hukum tetap ( inkracht).

Tidak berhenti sampai disana, Walhi juga melakukan

gugatan Legal Standing Pengadilan Negeri Jakarta Pusat,

namun Putusan PN Jaksel 27 Desember 2007: Menolak

seluruh gugatan Walhi. Walhi juga mengajukan banding atas

putusan PN Jakarta Selatan, namun Putusan PT Jakarta 27

Oktober 2008 menguatkan putusan PN Jaksel 27 Desember

2007: Semburan Lumpur panas di Sidoarjo diebabkan

fenomena alam. Surat Panitera PN Jaksel 14 Januari 2009:

yang menyatakan masing-masing pihak tidak mengajukan

Kasasi, sehingga secara hukum Putusan PT Jakarta 27

Oktober 2008 mempunyai kekuatan hukum tetap ( Inkracht).

Manusia mempunyai hubungan timbal balik dengan

lingkungannya. Aktifitasnya mempengaruhi lingkungannya.

9
Sebaliknya, manusia juga dipengaruhi oleh lingkungannya.

Hubungan timbal balik demikian terdapat antara manusia

sebagai individu atau kelompok atau masyarakat dan

lingkungan alamnya. Perkembangan selanjutnya pada abad

ke-20, dalam waktu yang relatif singkat, keseimbangan antara

kedua bentuk lingkungan hidup manusia tersebut mengalami

gangguan, secara fundamental mengalami konflik. Inilah yang

dianggap sebagai awal krisis lingkungan, karena manusia


10
sebagai pelaku sekaligus menjadi korbannya. [10]

Sangat sulit jika sesama manusia mengklaim benar atau

salah terhadap lingkungan, sehingga alternatif solusi yang

dikedepankan ialah bagaimana cara memperbaiki lingkungan.

Secara administratif permasalahan hukum lingkungan tidak

dapat berdiri sendiri-sediri antara pihak korban dan pelaku,

selalu ada peranan pemerintah di dalamnya. Atas kejadian

semburan Lumpur Lapindo, Presiden mengeluarkan Peraturan

Presiden Nomor 14 tahun 2007, Lapindo Brantas bertanggung

jawab membeli tanah dan bangunan masyarakat yang terkena

dampak luapan lumpur lapindo. Berdasarkan hal tersebut

maka Lapindo mau bertanggungjawab terhadap kerugian yang

ditimbulkan dengan cara membeli tanah dan bangunan

masyarakat yang terkena dampak luapan lumpur lapindo.

Berdasarkan data Kementerian PU bulan April 2012, ada

beberapa kondisi objektif atas kasus lumpur Lapindo yang

perlu diketahui untuk menghindari prasangka negatif.

10
Pertama, terkait dengan penanganan masalah sosial

kemasyarakatan, di mana sesuai dengan rencana PT Minarak

Lapindo Jaya (MLJ) pada 30 Maret 2010 menetapkan untuk

melakukan pelunasan pembelian tanah dan bangunan yang

direncanakan selesai Desember tahun 2012, sebesar Rp.

3.830.568.730.620 sebagaimana yang tertuang dalam

Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 14 Tahun 2007 tentang

Peta Area Terdampak (PAT) awal. Selanjutnya PT MLJ juga

merencanakan pembelian tanah dan bangunan per April 2012

sebesar Rp. 3.409.206.170.252, dan untuk rencana ini

mencapai realisasi sebesar 89 %. Secara keseluruhan dari

dua agenda rencana yang disebutkan tersebut dapat

direalisasikan oleh PT MLI per April 2012 sebesar Rp.

2.911.801.629.454 atau 76,01 %, artinya terjadi

keterlambatan realisasi sebesar Rp. 497.404.540.798 atau

12,99 %. Jika data ini ditotalkan maka kekurangan realisasi

pembayaran PT MLJ sebesar Rp. 918.767.101.166 atau 23,99

%. Tambahan, bahwa kasus PAT tahun 2007 ini meliputi 641

Ha, 13.237 Kepala Keluarga (KK), dan 39.947 jiwa.

Kedua, progres pembelian tanah dan bangunan oleh BPLS

di wilayah 3 (tiga) desa yaitu Kedungcangkring, Besuki, dan

Pejarakan, termasuk untuk fasilitas umum/sosial, sesuai

Perpres Nomor 48 tahun 2008 mengikuti tahapan pembayaran

PT MLJ. Dalam hal ini realisasi per April 2012 mencapai Rp.

508.097.357.976 atau 80,94 % dari target penyelesaian

sebesar RP. 627.782.942.810. Artinya masih tersisa 19,06 %

yang belum terealisasi, namun pemerintah tetap optimis


terhadap penyelesaian sisa pembayaran karena penanganan

masalah sosial kemasyarakatan ini direncanakan selesai pada

tahun anggaran 2012. Tambahan lagi, bahwa penanganan

pembelian tanah dan bangunan warga dengan satuan yang

telah dijelaskan tersebut meliputi 70 Ha, 1.790 Kepala

keluarga, dan 6.094 jiwa.

Ketiga, Perpres Nomor 40 Tahun 2009 dan Perpres Nomor

68 tahun 2011 tentang PAT 9 (sembilan) Rukun Tetangga (RT)

melalui penanganan BPLS per Maret 2012 telah menyalurkan

bantuan uang jaminan bulan ketiga kepada warga 9 RT dan

pembayaran 20 % pembelian tanah dan bangunan di wilayah 3

RT di Kelurahan Siring dan Jatirejo direncanakan pada

pertengahan Maret 2012. Sedangkan pembayaran 20 %

pembelian tanah dan bangunan di wilayah 3 RT di Kelurahan

Mindi belum dapat dilaksanakan karena masih adanya

resistensi warga 18 RT di Kelurahan Mindi. Dalam konteks

kasus ini, BPLS merencanakan pembayaran 80 % akan

dilakukan pada Mei 2012. Secara keseluruhan persoalan

penanganan masalah sosial kemasyarakatan direncanakan

selesai pada tahun anggaran 2012 dengan total biaya Rp.

436.797.455.650 dan bantuan sosial berupa kontrak rumah 2

tahun, tunjangan hidup 6 bulan, dan biaya evakuasi Rp.

15.954.468.000. Perlu pula diketahui bahwa pertimbangan

sebagai daerah yang dianggap tidak layak huni didasarkan

pada rekomendasi gubernur setempat dari hasil studi Tim

Kajian Kelayakan Permukiman yang meliputi 9 RT dan 3 Desa,


yaitu Siring Barat, Jatirejo, dan Mindi serta mencakup 31 Ha,

761 KK, dan 2.942 jiwa.

Keempat, tentang wilayah tidak aman di luar Peta Area

Terdampak (PAT) Hasil kajian Tim Terpadu (65 RT), hingga 5

April 2012 telah diterbitkan Peraturan Presiden Nomor 37

Tahun 2012 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden

Nomor 14 Tahun 2007 tentang BPLS. Atas dasar Perpres

tersebut pembayaran bantuan sosial akan dibayarkan pada

tahun anggaran 2012 sebesar Rp. 55.761.200.000.

Pembayaran jual beli tanah dan bangunan dilakukan sesuai

ketentuan peraturan perundang-undangan, yaitu untuk 65 RT

(329 Ha) diperkirakan sebesar Rp. 2.171.944.760.000, dan

pada tahun 2012, sesuai APBN-P telah teralokasi dana uang

muka sebesar 20 % untuk pembelian tanah dan bangunan bagi

65 RT (sekitar Rp. 435 milyar) sehingga ada optimism bahwa

masalah penanganan pembayaran bantuan sosial oleh BPLS

dapat diselesaikan pada tahun anggaran 2012 ini.

Berdasarkan data yang diungkapkan di atas, jelas bahwa

pemerintah sangat serius dan konsisten dalam penanganan

lumpur Lapindo, di mana kewajiban pihak swasta yang

bertanggungjawab terhadap terjadinya masalah lumpur

Lapindo telah dipagari dengan norma peraturan yang cukup

tegas dan mengikat. Namun, pemerintah juga menyadari

bahwa tuntutan masyarakat terhadap pemerintah untuk

penyelesaian penanganan lumpur Lapindo dengan segera

dapat dipahami dan diterima, tetapi di lain pihak, publik

diharap dapat menyadari bahwa terapi penyelesaian lumpur


Lapindo memerlukan kecematan dan pendekatan komprehensif

agar setiap tahapan penanganan tidak menimbulkan persoalan

baru dari aspek hukum, ekonomi, sosial-budaya, dan hak-hak

warga negara itu sendiri.

Berdasarkan pembahasan di atas dapat diketahui bahwa,

penegakan hukum lingkungan terhadap kasus PT. Lapindo

yang menimbulkan kerugian bagi masyarakat Sidoarjo tidak

hanya dilakukan dalam ranah hukum pidana, tetapi juga

bidang hukum lainnya. Hukum pidana maupun hukum perdata

terbukti tidak dapat menanggulangi kerugian korban lumpur

lapindo. Atas kejadian semburan Lumpur Lapindo, Presiden

mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 14 tahun 2007,

Lapindo Brantas bertanggung jawab membeli tanah dan

bangunan masyarakat yang terkena dampak luapan lumpur

lapindo. Berdasarkan hal tersebut maka Lapindo mau

bertanggungjawab terhadap kerugian yang ditimbulkan dengan

cara membeli tanah dan bangunan masyarakat yang terkena

dampak luapan lumpur lapindo.

B.            Faktor-Faktor Yang Menghambat Penegakan Hukum

Lingkungan Terhadap Kasus PT. Lapindo

Soerjono Soekanto menyatakan bahwa masalah

penegakan hukum sebenarnya terletak pada faktor-faktor yang


11
mungkin mempengaruhinya. [11] Faktor faktor tersebut

adalah sebagai berikut :

11
a.              Faktor Hukum/ Undang-undang

Undang-undang merupakan peraturan tertulis yang berlaku

umum dan dibuat oleh penguasa pusat maupun daerah yang

sah. Undang-undang merupakan pengejawantahan nilai-nilai


12
yang disepakati pemerintah. [12] Permasalahan yang sering

terjadi adalah Undang-undang belum memiliki peraturn

pelaksana padahal dalam undang-undang tersebut

diamanatkan demikian, kemudian adapula undang-undang

yang tidak diikuti asas-asas berlakunya undang-undang serta

ketidakjelasan arti kata-kata dalam undang-undang yang

mengakibatkan kesimpangsiuran dalam penafsiran dan

penerapannya.

Pada saat bencana lumpur lapindo, Pemerintah belum

memiliki aturan yang jelas mengenai bencana yang

disebabkan manusia yang juga merupakan bencana alam,

sehingga Presiden mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor

14 Tahun 2007 tentang BPLS. Kendala terbesar dalam proses

penyidikan lumpur lapindo adalah adanya celah yang

menguntungkan dengan terjadinya bencana gempa di

Yogyakarta dengan peristiwa tersebut, sehingga ada alasan

berlindung bagi korporasi untuk tidak bertanggung jawab

sehingga ketika dianggap menjadi sebuah bencana alam maka

pemrintah yang bertangunggjawab. Kedua persepsi antara

bencana alam dan bencana teknologi yang dimanfaatkan oleh

12
korporasi untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah dan

proses hukumnya.

b.             Faktor Penegak Hukum

Ruang lingkup suatu penegakan hukum adalah sangat

luas, karena mencakup mereka yang secara langsung maupun


13
tidak langsung berkecimpung dalam penegakan hukum. [13]

Untuk membatasi hal yang luas tersebut maka mengartikan

penegakan hukum skala subjektif penegakan hukum haruslah

tertentu yaitu polisi, jaksa, hakim, dan pengacara. Faktor

penegak hukum memegang peran dominan. Beberapa


14
permasalahan yang dihadapi penegak hukum antara lain: [14]

1)            Tingkat aspirasi yang belum tinggi


2)            Kegairahan yang sangat terbatas untuk memikirkan
masadepan, sehingga sulit sekali untuk membuat suatu
proyeksi.
3)            Belum adanya kemampuan menunda pemuasan suatu
kebutuhan tertentu, terutama kebutuhan materil.
4)            Kurangnya daya inovatif yang sebenarnya merupakan
pasangan konservatisme.
5)            Keterbatasan kemampuan untuk menempatkan diri
dalam peranan pihak lain dengan siapa dia berinteraksi.

Polri sebagai penyidik dalam kasus pelanggaran korporasi

ini tentu tidak mempunyai kapasitas atau kemampuan terkait

dengan teknik dan mekanisme pengeboran. Berdasarkan hal

tersebut maka terlihat ada kekurangan atau kelemahan dalam

13

14
bidang struktural, yaitu penguasaan pembuktian terhadap

tindak pidana yang memerlukan teknologi tinggi.

Siti Sundari Rangkuti menyebutkan bahwa penegakan

hukum secara preventif berarti pengawasan aktif dilakukan

terhadap kepatuhan, kepada peraturan tanpa kejadian

langsung yang menyangkut peristiwa konkrit yang

menimbulkan sangkaan bahwa peraturan hukum telah

dilanggar. Instrumen penting dalam penegakan hukum

preventif adalah penyuluhan, pemantauan dan penggunaan

kewenangan yang bersifat pengawasan (pengambilan sampel,

penghentian mesin dan sebagainya). Dengan   demikian izin

penegak hukum yang utama di sini adalah pejabat atau aparat

pemerintah yang berwenang memberi izin dan mencegah

terjadinya pencemaran lingkungan. Penegakan hukum represif


15
dilakukan dalam hal perbuatan yang melanggar peraturan.

[15]

Dalam rangka efektifitas tugas negara, Pasal 25

U.U.P.L.H No.23 Tahun 1997 dan UU 32 Tahun2009 tentang

Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

memungkinkan Gubernur untuk mengeluarkan paksaan

pemerintah untuk mencegah dan mengakhiri pelanggaran,

untuk menanggulangi akibat dan untuk melakukan tindakan

penyelamatan, penanggulangan dan pemulihan. Disamping

paksaan pemerintah, upaya lain yang dapat dilakukan

pemerintah adalah melalui audit lingkungan. Audit lingkungan

15
merupakan suatu instrumen penting bagi penanggung jawab

usaha dan atau kegiatan untuk meningkatkan efisiensi

kegiatan dan kinerjanya dalam menaati persyaratan

lingkungan hidup yang telah ditetapkan oleh peraturan

perundang-undangan. Audit lingkungan hidup dibuat secara

sukarela untuk memverifikasi ketaatan terhadap peraturan

perundang-undangan lingkungan hidup yang berlaku, serta

dengan kebijaksanaan dan standar yang diterapkan secara

internal oleh penanggung jawab usaha atau kegiatan yang

bersangkutan. Seharusnya Kepala daerah dapat melakukan

pengawaasan yang baik, namun keenangan tersebut tidak

dilaksanakan.

c.              Faktor Sarana atau Fasilitas

Tanpa adanya fasilitas tertentu, maka tidak mungkin

penegakan hukum akan berlangsung dengan lancar. Sarana

atau fasilitas tersebut antara lain mencakup tenaga manusia

yang berpendidikan dan terampil, organisasi yang baik,


16
peralatan yang memadai, keuangan yang cukup dan lainnya.

[16]

Penegakan hukum lingkungan terhadap kasus lingkungan

di pengaruhi juga oleh teknologi yang kurng mendukung.

Penegakan hukum lingkungan terhadap kasus lingkungan

menemui hambatan apabila berkaitan dengan proses

16
pembuktian, apakah lumpur lapindo di pengaruhi kesalahan

manusia atau kehendak alam. Hal ini tentunya diperlukan

alat-alat atau tekhnologi caanggih.

d.             Faktor Kebudayaan

Kebudayaan pada dasarnya mencakup nilai-nilai yang

mendasari hukum yang berlaku, nilai-nilai yang merupakan

konsepsi abstrak mengenai apa yang dianggap baik (sehingga

dianut) dan apa yang dianggap buruk (sehingga dihindari).

Nilai-nilai tersebut lazimnya merupakan pasangan nilai-nilai

yang mencerminkan dua keadaan ekstrim yang harus


17
diserasikan. [17]

Pada beberapa kasus, kejahatan lingkungan terjadi karena

masih kentalnya budaya korupsi, kolusi dan nepotisme antara

perusahaan-perusahaan, pemerintah maupun DPR. Korupsi

dana jual beli lahan lapangan sepak bola oleh pihak desa

kepada Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS)


18
segera dituntaskan proses hukumnya. [18] Budaya korup

inilah yang menyengsarakan rakyat di samping bencana

semburan lumpur yang menimbulkan kerugian. Budaya korupsi

ini menghambat penegakan hukum lingkungan, karena

pelaksanaan ganti rugi berupa jual beli tanah terdampak tidak

berjalan sebagaimana mestinya.

17

18
A.           Simpulan
Berdasarkan hasil temuan dan pembahasan, maka di

dapatkan simpulan sebagai berikut:

1.             Penegakan hukum lingkungan

terhadap kasus PT. Lapindo yang

menimbulkan kerugian bagi masyarakat

Sidoarjo tidak hanya dilakukan dalam

ranah hukum pidana, tetapi juga bidang

hukum lainnya. Hukum pidana maupun

hukum perdata terbukti tidak dapat

menanggulangi kerugian korban lumpur

lapindo. Atas kejadian semburan Lumpur

Lapindo, Presiden mengeluarkan

Peraturan Presiden Nomor 14 tahun 2007,

Lapindo Brantas bertanggung jawab

membeli tanah dan bangunan masyarakat

yang terkena dampak luapan lumpur

lapindo. Berdasarkan hal tersebut maka

Lapindo mau bertanggungjawab terhadap

kerugian yang ditimbulkan dengan cara

membeli tanah dan bangunan masyarakat

yang terkena dampak luapan lumpur

lapindo.

2.              Faktor faktor yang menghambat penegakan hukum

lingkungan dalam kasus Lapindo antara lain faktor Hukum/

Undang-undang yaitu, pada saat bencana lumpur lapindo,


Pemerintah belum memiliki aturan yang jelas mengenai

bencana yang disebabkan manusia yang juga merupakan

bencana alam, sehingga Presiden mengeluarkan Peraturan

Presiden Nomor 14 Tahun 2007 tentang BPLS. Faktor

Penegak Hukum yaitu, Polri sebagai penyidik dalam kasus

pelanggaran korporasi ini tentu tidak mempunyai kapasitas

atau kemampuan terkait dengan teknik dan mekanisme

pengeboran. Selain itu kepala daerah seharusnya dapat

melakukan pengawaasan yang baik, namun keenangan

tersebut tidak dilaksanakan. Sarana dan prasarana juga

mempengaruhi penegakan hukumhal ini dikarenakanbelum

adanya alat-alat atau tekhnologi caanggih. Budaya korupsi

juga ikut menghambat penegakan hukum lingkungan, karena

pelaksanaan ganti rugi berupa jual beli tanah terdampak tidak

berjalan sebagaimana mestinya.

B.            Saran

1.             Sebaiknya dilakukan pengawasan terhadap

pelaksanaan ganti rugi Lapindo terhadap korban oleh

pemerintah.

2.             Seharusnya penegakan hukum pidana dalam kasus

Lapindo tetap dilanjutkan, karena bagaimanapun pemicu

semburan lumpur Lapindo akibat perbuatan manusia.


Daftar Pustaka

Ali, Achmad. 2002. Keterpurukan Hukum di Indonesia. Ghalia


Indonesia. Jakarta.

Edorita, Widia. 2007. Peranan Amdal dalam Penegakan Hukum


Lingkungan di Indonesia dan Perbandingannya Dengan
Beberapa Negara Asia Tenggara. Sinar Grafika. Jakarta.

Rahmadi, Takdir. 2011. Hukum Lingkungan di Indonesia. Rajawali


Press. Jakarta.

Silalahi, M. Daud. 2001. Hukum Lingkungan dalam Sistem


Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia. Alumni. Bandung.

Soekanto, Soerjono. 2007. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi


Penegakan Hukum. PT.Raja Grafindo Persada. Jakarta.

Sunarso, Siswanto. 2005. Hukum Pidana Lingkungan Hidup dan


Strategi Penyelesaian Sengketa. Rineka Cipta. Jakarta.

Warassih, Esmi. 2005. Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis .


PT. Suryandaru Utama. Semarang.

Anda mungkin juga menyukai