Anda di halaman 1dari 17

ILLEGAL, UNREPORTED, AND UNREGULATED FISHING SEBAGAI

TRANSNATIONAL ORGANIZED CRIMES


R. bin Sayidin

Pendahuluan
Globalisasi dan interdependensi ekonomi suatu negara dengan Negara lain
disamping melahirkan kesejahteraan dan kemajuan peradaban, membawa
dampak negatif antara lain telah mendorong lahirnya kejahatan lintas batas di
seluruh belahan dunia. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi informasi dan
komunikasi, seolah mengaburkan batas-batas negara, mendorong semakin
mudahnya perpindahan orang, barang dan jasa dari suatu negara ke negara
lain baik secara legal maupun ilegal. Perkembangan global telah mengubah
karakteristik kejahatan yang semula dalam lingkup domestik bergeser menjadi
lintas batas negara atau Transnasional, Dengan demikian “nature” dari kejahatan
transnasional, baik yang organized maupun yang tidak organized, tidak dapat
dipisahkan dari fenomena globalisasi. Secara konsep, transnational crime
merupakan tindak pidana atau kejahatan yang melintasi batas negara. Konsep
ini diperkenalkan pertama kali secara internasional pada era tahun 1990-an
dalam pertemuan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang membahas
pencegahan kejahatan. Pada tahun 1995, PBB mengidentifikasi 18 jenis
kejahatan Transnasional yaitu Pencucian uang, Terorisme, Pencurian benda seni
dan budaya, Pencurian Hak Intelektual, Kejahatan Lingkungan, Penyelundupan
senjata api, Pembajakan pesawat terbang, bajak laut, Perdagangan orang,
Perdagangan tubuh manusia, Kejahatan Perbankan, Korupsi dan Penggelapan
uang negara. PBB telah mensahkan UN Convention Against Transnational
Organized Crime (UNCATOC) atau yang dikenal dengan sebutan Palermo
Convention pada plenary meeting ke-62 tanggal 15 November 2000
Karakteristik Transnasional Crime meliputi; 1) Kejahatan tersebut dilakukan di
lebih dari satu negara, 2) Persiapan, perencanaan, pengarahan dan pengawasan
dilakukan di negara lain, 3) Melibatkan organized criminal group dimana
kejahatan dilakukan di lebih satu Negara, 4) Berdampak serius pada negara lain.
Bila dilihat dari karakteristik tersebut, Indonesia adalah termasuk salah satu
negara di dunia yang seringkali menjadi sasaran, objek maupun subjek dari
Transnasional crime atau kejahatan lintas batas. Berdasarkan data dan informasi
di Kementerian Kehutanan, pernah mengungkapkan bahwa Singapura dan
Malaysia adalah negara tempat pencucian kayu ilegal (logging laundry).
Singapurabanyak menerima kiriman kayu ilegal dari Indonesia. Selanjutnya, kayu
ilegal itu “dicuci” menjadi kayu legal. Baru kemudian kayu-kayu “legal” aspal (asli
tapi palsu) itu diperdagangkan. Pembeli kayu tropis dari Jepang, Eropa, dan
Amerika Serikat pun “tidak merasakan apa pun” ketika membeli kayu dari
Singapura tersebut (Alikodra dan Syaukani, 2004: 106). Berbagai laporan hasil
investigasi yang dilakukan oleh berbagai LSM juga menunjukkan bahwa ada
keterlibatan pihak asing di dalam illegal logging yang terjadi di Indonesia.
Penyelidikan yang dilakukan oleh Environmental Investigation Agency (EIA) dan
Telapak yang dipublikasikan dalam laporan yang berjudul “The Last Frontier:
Illegal Logging in Papua and China‟s Massive Timber Theft” berhasil
mengungkapkan jaringan internasional yang berhubungan dengan illegal
logging kayu merbau di Papua lengkap dengan metode penyelundupan dan para
aktor yang terkait. Laporan penyelidikan ini juga dilengkapi dengan gambaran
singkat mengenai krisis illegal logging dan berbagai perjanjian di tingkat
internasional yang berhasil dicapai sejak tahun 2001-2003, demikian halnya
Penyelidikan yang dilakukan oleh Lembaga Pemerhati lingkungan dan hasil
Investigasi dari media dan Badan Lingkungan Hidup Kabupaten Bintan, pernah
mengungkapkan sejak puluhan tahun yang lalu hingga saat ini masih terjadi
penambangan pasir ilegal di daerah Kabupaten Bintan Kepulauan Riau, pasir
tersebut dikirimkan ke Singapura yang digunakan untuk memperluas daratan
maupun garis pantai yang ada di Singapura, penambangan pasir ilegal ini
mengakibatkan banyak pulau-pulau yang ada di daerah kepulauan Riau menjadi
rusak ekosistemnya, menimbulkan erosi dan pencemaran, bahkan meninggalkan
lubang-lubang galian yang sangat besar berdiameter 50 meter sampai 500
meter, yang tentunya hal ini sangat membahayakan.
Dilihat dari pelakunya selain melibatkan korporasi atau perusahaan lokal, apabila
ditelusuri sumber permodalan yang digunakan ternyata berasal dari institusi
finansial asing, sehingga diduga lembaga finansial asing tersebut ikut terlibat
dalam transnational crime di Indonesia karena modal yang mereka tanamkan di
berbagai perusahaan di Indonesia ternyata digunakan untuk melakukan Ilegal
logging, Ilegal maining, Ilegal Fishing dsb, bahkan mengakibatkan pencemaran
maupun kerusakan lingkungan, seperti yang terjadi di teluk Buyat oleh PT.
Newmont Minahasa, PT Exxon Mobile Oil di Aceh, maupun PT Freeport di
Papua. Mereka sebenarnya dapat mengecek bagaimana modal mereka
digunakan. Mereka memiliki tanggung jawab untuk itu, sesuai dengan
norma corporate social responsibility dan eco-label. Institusi finansial
internasional sebagai bagian dari masyarakat internasional tentu saja
sebenarnya tidak dapat terlepas dari berbagai norma ini. Dalam hal pidana
lingkungan hidup tersebut dilakukan oleh perusahaan asing atau pemangku
kepentingan negara asing, maka secara de Jure maupun de facto dapat
dikatakan telah melakukan kejahatan Transnasional.
Berbicara tentang hukum lingkungan dan penerapan hukumnya, tdak dapat
dilepaskan dari konstruksi yang membangun kejahatan terhadap lingkungan itu
sendiri, sebagaimana Teori Kekuatan kejahatan menurut Ronet Bachman dan
Russel K. Schutt:
In Criminology, these theoretical constructs describe what is important to look at
to understand, explain, predict, and „ do something about‟ crime.
Kejahatan merupakan perbuatan manusia, karena itu kejahatan tidak terpisah
dari pembuatnya, meskipun demikian, kejahatan ketika sudah dilakukan tidak
dapat lagi di kontrol oleh manusia pembuatnya. Sebaliknya kejahatan
mengakibatkan pembuatnya dituntut pertanggung jawaban meskipun kejahatan
itu tidak lagi dilakukan, namun kejahatan tersebut telah menimbulkan korban
yang dampaknya masih terus terjadi, bahkan akhirnya budaya menjadi korban

2
Tor Seminar Strategi Implementasi Unia 1995, Biro Hukum dan Organisasi
(Culture as victim).Ketika suatu jenis kejahatan telah memasuki taraf berdaulat
(sovereign crime) dengan ciri-ciri antara lain relatif kebal terhadap upaya-upaya
penindakan, maka kejahatan itu mulai mempunyai kekuatan untuk menekan
masyarakat (crime against society), sehingga budaya masyarakat dalam
beberapa segi berubah, akibatnya menciptakan suasana yang kondusif bagi
lahirnya kejahatan yang berdaulat.
Karakteristik konstruktif kejahatan ini sangat relevan dengan terjadinya kejahatan
Lingkungan, dimana para pelaku kejahatan menjadi cenderung tidak tersentuh
hukum bahkan bisa dikatakan kebal hukum. Hal tersebut terjadi karena
pemerintah sebagai pembuat kebijakan seolah-olah cenderung memberikan
perlindungan, dengan dalih Investasi modal asing dan dalam negeri bagi
kemajuan wilayahnya namun mengabaikan potensi lingkungan hidup yang
melimpah dan budaya maupun ekologi lingkungan disekitarnya, terlebih lagi
aturan yang dibuat cenderung lebih memberikan peluang bagi para pelaku
kejahatan lingkungan untuk melakukan kejahatannya, dengan selalu menitik
beratkan pada asas Sarana terakhir (Ultimum Remedium), meskipun hukum
lingkungan yang dibuat oleh Pemerintah Indonesia pada prinsipnya telah
mengacu pada konsep hukum modern dan konsep pembangunan berkelanjutan
(Suisstenable Development) .Dalam hukum lingkungan
modern, ditetapkan ketentuan dan norma-norma guna mengatur
tindak perbuatan manusia dengan tujuan untuk melindungi lingkungan dari
kerusakan dan kemerosotan mutunya demi untuk menjamin kelestariannya agar
dapat secara langsung terus-menerus digunakan oleh generasi sekarang
maupun generasi-generasi mendatang. Hukum Lingkungan modern berorientasi
pada lingkungan, sehingga sifat dan waktunya juga mengikuti sifat dan watak
dari lingkungan itu sendiri dan dengan demikian lebih banyak berguru kepada
ekologi. Dengan orientasi kepada lingkungan ini, maka Hukum Lingkungan
Modern memiliki sifat utuh menyeluruh atau komprehensif integral, selalu berada
dalam dinamika dengan sifat dan wataknya yang luwes. Sedangkan konsep
pembangunan berkelanjutan menekankan pada aspek lingkungan hidup, sosial,
dan ekonomi ke dalam strategi pembangunan untuk menjamin keutuhan
lingkungan hidup serta keselamatan, kemampuan, kesejahteraan, dan mutu
hidup generasi masa kini dan generasi masa depan.
Konsep pemidanaan sebagai alternatif atau sarana terakhir dalam penjelasan
Undang-undang no 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup, tidak dapat dipisahkan secara parsial, atau setengah-
setengah, bahwa secara formal konsep Ultimum Remedium tersebut hanya
berlaku pada pelanggaran baku mutu air limbah, emisi dan gangguan. Sehingga
bila pemerintah tetap berpegang pada prinsip pemidanaan sebagai sarana
terakhir untuk semua jenis kejahatan terhadap lingkungan adalah merupakan
kesalahan terbesar, dan apabila hal tersebut mengakibatkan dampak yang
semakin luas dan merugikan masyarakat, berarti negara telah mengkhianati
konstitusi yang termaktub pada UUD 1945, Dimana bumi, air dan kekayaan yang
terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat, bukan demi keuntungan pihak-pihak tertentu,
apalagi pihak asing dengan alasan apapun. Tujuan Pemidanaan menurut Cesare

3
Tor Seminar Strategi Implementasi Unia 1995, Biro Hukum dan Organisasi
Beccaria Bonesana (1764) dikatakan ada dua hal yaitu untuk tujuan prevensi
khusus dan prevensi umum. Tujuan pemidanaan hanyalah supaya si pelanggar
tidak merugikan sekali lagi kepada masyarakat dan untuk menakuti-nakuti orang
lain agar jangan melakukan hal itu. Menurut Beccaria yang paling penting adalah
akibat yang menimpa masyarakat. Keyakinan bahwa tidakmungkin meloloskan
diri dari pidana yang seharusnya diterima, begitu pula denganhilangnya
keuntungan yang dihasilkan oleh kejahatan itu adalah untuk menimbulkan efek
jera (deterence effect) dan memastikan bahwa pelaku tidak mengulangi lagi
kejahatannya,
Alasan mengapa Kejahatan Lingkungan dalam konteks kejahatan
transnational harus dilakukan tindakan tegas, karena transnasional crime dapat
menyebabkan; 1) Melemahkan sistem hukum karena apabila dilakukan oleh
organized criminal group dapat mengancam integritas dan independensi
penegak hukum dengan mempengaruhi proses penegakan hukum termasuk
putusan hakim yang objektif dan berkeadilan, 2) Merusak sistem perekonomian
karena pada umumnya kejahatan transnasional bertujuan mendapatkan uang
dan keuntungan materil lainnya dalam jumlah signifikan yang berpotensi
mengganggu pengendalian moneter (inflasi, jumlah uang beredar) dan kebijakan
fiskal, penerimaan pajak, integritas lembaga keuangan, dan persaingan usaha
yang sehat, 3) Mengganggu sistem sosial dan sistem budaya apabila kejahatan
transnatsional tumbuh marak di tengah masyarakat dan merajalela tidak
terkendali sehingga masyarakat menjadi permisif terhadap pelanggaran hukum
dan yang paling parah tidak berani membela kebenaran dan keadilan,
4) Merusak tatanan pemerintah, kehidupan politik dan penyelenggaraan negara
karena organized criminal group akan berusaha mempengaruhi keputusan
lembaga eksekutif dan legislatif untuk mengamankan eksistensinya, 5)
mengancam souvereignity (kedaulatan negara) karena organized criminal group
dapat mengendalikan aktivitasnya dari luar jurisdiksi negara tanpa perlu eksis di
negara yang bersangkutan. Aktivitas cross border ini kecil kemungkinan lolos
dari jangkauan aparat negara, dan mengingat kejahatan yang dilakukan massive
akan berdampak pada terancamnya kedaulatan negara.
Dalam konsep Transnasional Crime dari Hukum Lingkungan Hidup,
penegakan hukum pidana harus dilakukan seefektif mungkin, artinya dengan
melakukan investigasi secara menyeluruh sejak dari hulu ke hilir, mulai dari
pengurusan ijin perusahaan, penelitian AMDAL (analisis mengenai dampak
lingkungan), ijin gangguan, kesepakatan bersama dengan lingkungan
masyarakat sekitar, pemanfaatan terhadap sumber daya alam maupun sumber
daya manusia dengan tetap memperhatikan batas-batas toleransi
mempertimbangkan ketersediaan sumber daya alam bagi generasi
mendatang, proses pembuangan, penyimpanan dan pengolahan limbah, hingga
sumber modal yang digunakan, dan apakah sudah melibatkan ahli-ahli
lingkungan yang independen dan kredibel, serta bagaimana pengembangannya
bagi lingkungan sekitar. Namun hal tersebut belum cukup tanpa adanya
pengawasan yang ketat dan penegakan hukum yang tegas terhadap
pelanggaran regulasi maupun kejahatan terhadap lingkungan hidup, selain itu
perlunya kesepakatan yang mengikat dengan negara-negara tetangga maupun

4
Tor Seminar Strategi Implementasi Unia 1995, Biro Hukum dan Organisasi
negara asing pemilik modal baik melalui MOU maupun perjanjian bilateral dan
regional, untuk melakukan komitmen bersama melakukan penindakan dan tidak
memberikan perlindungan terhadap kejahatan hukum lingkungan
sebagaiTransnational crime dan organizational crime, sesuai konvensi PBB dan
peraturan hukum Internasional.
Pada era globalisasi saat ini, secara faktual batas antar negara semakin
kabur meskipun secara yurisdiksi tetap tidak berubah. Namun para pelaku
kejahatan tidak mengenal batas wilayah maupun batas yurisdiksi, mereka
beroperasi dari satu wilayah negara ke wilayah negara lain dengan bebas. Bila
era globalisasi baru muncul atau berkembang beberapa tahun terakhir, para
pelaku kejahatan telah sejak lama menggunakan konsep globalisasi tanpa
dihadapkan pada rambu-rambu hukum, bahkan yang terjadi di berbagai negara
di dunia saat ini, hukum dengan segala keterbatasannya menjadi pelindung bagi
para pelaku kejahatan tersebut.1
Sampai saat ini belum ada suatu defenisi yang akurat dan lengkap tentang
apa yang dimaksud dengan kejahatan internasional, namun demikian pengertian
tentang kejahatan internasional telah diterima secara universal dan merupakan
pengertian yang bersifat umum. Dalam kenyataannya, terdapat suatu pengertian
yang diakui secara umum yaitu bahwa kejahatan internasional adalah kejahatan
yang telah disepakati dalam konvensi-konvensi internasional serta kejahatan
yang beraspek internasional.2
Beberapa kejahatan yang telah diatur dalam konvensi internasional antara
lain : kejahatan narkotika, kejahatan terorisme, kejahatan uang palsu, kejahatan
terhadap penerbangan sipil dan lain-lain3. Kejahatan-kejahatan yang diatur
dalam konvensi internasional pada dasarnya memiliki tiga karakteristik yaitu :
kejahatan yang membahayakan umat manusia, kejahatan yang mana pelakunya
dapat diekstradisi, dan kejahatan yang dianggap bukan kejahatan politik. 3
Dalam beberapa tahun terakhir, muncul kejahatan-kejahatan yang
beraspek internasional yang lebih sering disebut sebagai kejahatan
transnasional.4 Istilah transnasional sendiri dalam kepustakaan hukum
internasional pertama sekali diperkenalkan oleh Philip C. Jessup. Jessup
menjelaskan bahwa selain istilah hukum internasional atau international law,
digunakan pula istilah hukum transnasional atau transnational law yang
1
R. Makbul Padmanagara, Kejahatan Internasional, Tantangan dan Upaya Pemecahan, Majalah Interpol
Indonesia, 2007, hal. 58.
2
Sardjono, Kerjasama Internasional di Bidang Kepolisian, NCB Indonesia, Jakarta, 1996, hal. 132.
3
Sardjono, Op. Cit., hal. 133.
4
Pengertian istilah transnational crime digunakan dalam salah satu Keputusan Kongres PBB ke VIII,
tentang Pencegahan Kejahatan dan Perlakuan terhadap para Pelanggar Hukum tahun 1990, dan
digunakan dalam Konvensi Wina tentang Pencegahan dan Pemberantasan Lalu Lintas Ilegal Narkotika
dan Psikotropika tahun 1988. Pengertian istilah tersebut terakhir digunakan dalam Konvensi PBB Anti
Kejahatan Transnasional Terorganisasi tahun 2000. yang diartikan, sebagai kejahatan yang memiliki
karakteristik (1) melibatkan dua negara atau lebih; (2) pelakunya atau korban WNA; (3) sarana
melampaui batas territorial satu atau dua negara.

5
Tor Seminar Strategi Implementasi Unia 1995, Biro Hukum dan Organisasi
dirumuskan, semua hukum yang mengatur semua indakan atau kejadian yang
melampaui batas teritorial suatu negara.5
Kejahatan-kejahatan internasional tersebut mempunyai kecenderungan
untuk mengikuti setiap jenis komunikasi antar manusia, barang maupun modal,
sehingga perkembangan komunikasi, transportasi dan informatika sebagai
produk kemajuan teknologi akan diikuti oleh perkembangan kejahatan
internasional. Meningkatnya kejahatan internasional akibat perkembangan era
globalisasi ini bahkan memunculkan new dimension of crime yaitu jenis-jenis
kejahatan baru yang belum dikenal sebelumnya. Berdasarkan sumber data
Interpol, terbukti bahwa angka kejahatan transnasional menunjukkan kenaikan
sekitar 10% setiap tahun terutama kejahatan narkotika.6
Pada Bulan November 1994 PBB menginisiasi sebuah konferensi
internasional untuk mengembangkan strategi mengatasi kejahatan terorganisir.
Pada tanggal 15 November 2000, akhirnya Majelis Umum PBB mengadopsi
The United Nations Convention against Transnational Organized Crime (atau
dikenal dengan Konvensi Palermo) dengan resolusi Nomor 55/25, dan mulai
berlaku pada tanggal 29 September 2003. Konvensi ini dilengkapi dengan tiga
protocol, masing-masing:
 Protocol to Prevent, Suppress and Punish Trafficking in Persons, Especially
Women and Children;
 Protocol against the Smuggling of Migrants by Land, Sea and Air;
 Protocol against the Illicit Manufacturing of and Trafficking in Firearms, their
Parts and Components and Ammunition.
Negara harus menjadi pihak dalam Konvensi terlebih dahulu sebelum
mereka menjadi pihak dari protokol-protokol tersebut. Berdasarkan Konvensi
Palermo, yang dimaksud organized criminal group adalah: suatu kelompok
terstruktur yang terdiri dari tiga orang atau lebih, terbentuk dalam satu periode
waktu dan bertindak secara terpadu dengan tujuan untuk melakukan suatu
kejahatan serius atau pelanggaran untuk mendapatkan keuntungan [Art. 2 (a)].
Menurut KOnvensi ini, kejahatan untuk dapat dikategorikan sebagai TOC harus
memenuhi karakteristik sebagai berikut:
 dilakukan lebih dari satu negara;
 dilakukan di satu negara namun bagian penting seperti persiapan,
perencanaan, pengarahan dan pengendalian dilakukan di negara lain;
 dilakukan di satu negara tetapi melibatkan kelompok kriminal yang terlibat
dalam kegiatan kriminal di lebih dari satu negara; atau

5
Romli Atmasasmita, Tindak Pidana Narkotika Transnasional dalam Sistem Hukum Pidana Indonesia,
Citra Aditya Bhakti, Bandung, 1997, hal 27.

6
Sardjono, Kerjasama Internasional di Bidang Kepolisian, Op.Cit., hal .136. 8 Romli Atmasasmita, Op.
Cit., hal. 1.

6
Tor Seminar Strategi Implementasi Unia 1995, Biro Hukum dan Organisasi
 dilaksanakan di satu negara tetapi berdampak pada negara lain.
Berdasarkan parameter dalam konvensi tersebut, beberapa jenis
kejahatan yang diakui sebagai kejahatan terorganisir lintas negara
adalah: money-laundering (Art. 7), korupsi (Art. 8 dan 9), perdagangan manusia
(Protokol I), penyelundupan migran (Protokol II) serta produksi dan perdagangan
gelap senjata api.
Indonesia merupakan Negara penanda tangan Konvensi Palermo pada
tahun 2000. Walaupun turut menandatangani, Indonesia menyatakan
persyaratan terhadap pasal 35 ayat 2 yang mengatur pilihan negara-negara
dalam menyelesaikan perselisihan apabila terjadi perbedaan penafsiran dan
penerapan isi konvensi. Hal ini terkait dengan posisi Indonesia yang bukan pihak
pada Mahkamah Internasional. Hingga saat ini pemerintah Indonesia belum
meratifikasi Konvensi tersebut, namun demikian Indonesia sudah menginisiasi
ratifikasi Konvensi ini sejak tahun 2008. Wacana untuk memasukan IUU Fishing
sebagai TOC telah mengemuka pada berbagai forum internasional. Indonesia
termasuk Negara yang mengusulkan agar IUU Fishing dapat dimasukan ke
dalam TOC. Dalam persiapan Pertemuan ke-4 Negara-negara Pihak pada
Konvensi Palermo di Wina tanggal 8-17 Oktober 2008, perwakilan KKP sudah
mengusulkan agar isu IUU fishing dapat diusulkan menjadi TOC. Meskipun IUU
Fihing tidak termasuk dalam provisional agenda Pertemuan saat itu, disepakati
Indonesia akan tetap menyampaikan statement agar IUU Fishing dimasukan ke
dalam TOC. Statement tersebut akan disampaikan pada sesi General Discusion
oleh pimpinan DELRI serta pada sesi Others Matters.
Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya bahwa beberapa jenis
kejahatan internasional telah bertransformasi menjadi kejahatan lintas negara
yang terorganisir (transnational organized crime), yang memiliki ciri khas tertentu
sehingga membedakannya dengan kejahatan internasional (international crime).
Menurut Prof. DR. Romli Atmasasmita, SH. L.LM., kejahatan internasional harus
dibedakan dari kejahatan lintas negara terorganisir 7. Hal ini dikarenakan suatu
kejahatan dapat disebut sebagai kejahatan internasional apabila kejahatan
tersebut merupakan kejahatan terhadap dunia atau suatu masyarakat dan
biasanya digerakkan oleh motif ideologi atau politik. Sebagai contoh dari
kejahatan ini adalah kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity)
dan hak azasi manusia, kejahatan perang (war crimes), genosida (genocide),
dan lain-lain. Sedangkan kejahatan lintas negara terorganisir memiliki ciri khas
atau klasifikasi tertentu pula sehingga dapat dikatakan sebagai transnational
organized crimes.
Dalam buku Kerjasama ASEAN dalam Menanggulangi Kejahatan Lintas
Negara dijelaskan bahwa asumsi dasar dari kejahatan lintas Negara adalah
pertama, merupakan gejala global yang tidak dapat diselesaikan oleh satu
Negara saja, melainkan harus melalui kerjasama internasional; kedua, kejahatan
ini tumbuh dan berkembang seirama dengan kemajuan teknologi informasi dan
transportasi internasional; ketiga, kejahatan tersebut disebabkan oleh kondisi
7
Romli atmasasmamita. pengantar hukum pidana internasional bagian ll . PT hecca mitra utama ,
Jakarta 2004 hal.117.

7
Tor Seminar Strategi Implementasi Unia 1995, Biro Hukum dan Organisasi
sosial, politik, ekonomi, pertahanan, keamanan, dan teknologi yang berkembang
pesat di berbagai Negara juga kebijakan dalam dan luar negeri suatu Negara
yang menjadi sasaran dari kejahatan ini; keempat, kejahatan lintas Negara tidak
memandang ideologi, suku bangsa ataupun agama dari para pelaku kejahatan
ini; kelima, dapat dilakukan oleh individu, kelompok, atau bahkan Negara, baik
sebagai sponsor maupun pelakunya; keenam, tidak selalu didasari oleh motif
politik semata, tetapi juga motif-motif ekonomi atau bahkan tak ada motif yang
jelas8.
Mueller dalam bukunya menggunakan transnational organized crimes
untuk menyebut untuk menyebut offences whose inception, prevention, and/or
direct or indirect effects involve more than one country. Mueller sendiri
menggunakan istilah kejahatan transnasional untuk mengidentifikasi certain
criminal phenomena transcending international borders, trans-gressing the laws
of several states or having an impact on another country.”9
Mueller melihat kejahatan transnasional di sini semata-mata sebagai
kejahatan yang melibatkan lebih dari satu negara. Definisi tersebut tentunya
belum bisa menggambarkan secara keseluruhan tentang kejahatan
transnasional secara utuh. Sementara itu, Fijnaut dalam Transnational crime
and the role of the United Nations in its Containment through international
cooperation: A challenge for the 21st Century menunjukkan bahwa kata sifat
„transnasional‟ menunjukkan bahwa semua jenis kejahatan tidak mengakui
adanya batas-batas nasional. Kejahatan transnasional merupakan fenomena
sosial yang melibatkan orang, tempat dan kelompok, yang juga dipengaruhi oleh
berbagai sosial, budaya, faktor ekonomi. Akibatnya, berbagai negara cenderung
memiliki definisi kejahatan transnasional yang sangat berbeda tergantung pada
filosofi tertentu10.
Sementara menurut Martin dan Romano dalam “Transnational crime may
be defined as the behavior of on going organizations that involves two or more
nations, with such behavior being defined as criminal by at least one of these
nations”11.
Pada tahun 1995, PBB mengidentifikasi 18 jenis kejahatan transnasional
yaitu money laundering, terrorism, theft of art and cultural objects, theft of
intellectual property, illicit arms trafficking, aircraft hijacking, sea piracy, insurance
8
Mattalitti, Abdurrachman, dkk. 2001. Kerjasama ASEAN dalam Menanggulangi Kejahatan Lintas
Negara. Jakarta : Direktorat Jenderal Kerjasama ASEAN Departemen Luar Negeri Republik
Indonesia. Hal. 1.
9
Gerhard O. W. Mueller, Transnational Crime: Definitions and Concepts, Transnational Organized
Crime, No. 4 tahun 1998
10
Cyrille Fijnaut, Transnational crime and the role of the United Nations in its Containment through
international cooperation: A challenge for the 21st century, European journal of crime, criminal law and
criminal justice 8(2) (2002): 119-127.
11
Martin, J. M. and Romano, A. T., Multinational Crime-Terrorism, Espionage, Drug & Arms Trafficking ,
SAGE Publications, 1992.

8
Tor Seminar Strategi Implementasi Unia 1995, Biro Hukum dan Organisasi
fraud, computer crime, environmental crime, trafficking in persons, trade in
human body parts, illicit drug trafficking, fraudulent bankruptcy, infiltration of legal
business, dan corruption and bribery of public or party officials.
PBB dengan Resolusi PBB No. 55/25 mensahkan United Nations
Convention Against Transnational Organized Crime (UNCATOC) atau yang
dikenal dengan sebutan Palermo Convention pada Plenary Meeting ke-62
tanggal 15 November 2000.

Palermo Convention memiliki empat Protocol,yaitu:


a. United Nations Convention against Transnational Organized Crime;
b. Protocol against the Smuggling of Migrants by Land Air and Sea,
supplementing the United Nations Convention against Transnational
Organized Crime;
c. Protocol to Prevent, Suppress and Punish Trafficking in Persons, Especially
Women and Children, supplementing the United Nations Convention against
Transnational Organized Crime;
d. Protocol against the Illicit Manufacturing of and Trafficking in Firearms, Their
Parts and Components and Ammunition, supplementing United Nations
Convention against Transnational Organized Crime.
Tujuan Konvensi ini adalah untuk meningkatkan kerjasama internasional
yang lebih efektif dalam mencegah dan memberantas tindak pidana
transnasional yang terorganisasi (Art.1)
Negara Pihak, dalam menjalankan kewajibannya, wajib mematuhi prinsip
kedaulatan, keutuhan wilayah, dan tidak mencampuri urusan dalam negeri
negara lain (Art. 4).
Substansi dan struktur Palermo Convention meliputi:
a. Definisi dan terminologi standar;
b. Persyaratan agar setiap negara memiliki specific crime;
c. Langkah-langkah khusus untuk memonitor korupsi, money laundering;
d. Perampasan hasil kejahatan (proceeds of crime);
e. Kerjasama internasional yang mencakup antara lain ekstradisi, mutual legal
assistance, penyelidikan/penyidikan dan bentuk lainnya;
f. Pelatihan dan penelitian;
g. Langkah pencegahan;
h. Penandatanganan, ratifikasi.

Konvensi membuka kemungkinan bagi Negara Pihak untuk melakukan


upaya pembentukan peraturan perundang-undangan nasional untuk

9
Tor Seminar Strategi Implementasi Unia 1995, Biro Hukum dan Organisasi
mengkriminalkan perbuatan yang ditetapkan dalam Pasal 2 huruf b dan Pasal 15
ayat (2)Palermo Convention.
Indonesia turut menandatangani Palermo Convention pada tanggal 15
Desember 2000. Indonesia kemudian mengesahkan Palermo Convention
dengan UU No. 5 Tahun 2009 tentang Pengesahan United Nations Convention
Against Transnational Organized Crime (Konvensi PBB Menentang Tindak
Pidana Transnasional yang Terorganisasi).
Pengesahan Indonesia atas Konvensi tersebut disertai dengan
Pensyaratan (Reservation) terhadap Pasal 35 ayat (2) yang mengatur mengenai
pilihan Negara Pihak dalam penyelesaian perselisihan apabila terjadi perbedaan
penafsiran atau penerapan Konvensi. Hal ini disebabkan Indonesia bukan
merupakan negara Pihak dari Mahkamah Internasional (ICJ).
Indonesia juga telah mengesahkan Protokol untuk Mencegah, Menekan
dan Menghukum Perdagangan Manusia, terutama Perempuan dan Anak dan
Protokol terhadap Penyelundupan Migran melalui Darat, Laut dan Udara, pada
tanggal 28 September 2009.
Art. 3 Konvensi menyatakan bahwa suatu tindak pidana dikategorikan
sebagai tindak pidana transnasional yang terorganisasi jika tindak pidana
tersebut dilakukan:


di lebih dari satu wilayah negara;
persiapan, perencanaan, pengarahan dan pengawasan dilakukan di negara


lain
melibatkan organized criminal group dimana kejahatan dilakukan di lebih


satu negara
Berdampak serius pada negara lain.

Organized criminal group memiliki karakteristik yaitu:




memiliki sturktur grup


terdiri dari 3 orang atau lebih


dibentuk untuk jangka waktu tertentu
tujuan dari kejahatan adalah melakukan kejahatan serius atau kejahatan


yang diatur dalam konvensi
bertujuan mendapatkan uang atau keuntungan materil lainnya.

Kriteria kejahatan serius (serious crime) berdasarkan Palermo Convention,


yaitu:


ditentukan oleh negara yang bersangkutan sebagai kejahatan (serius);
diancam pidana penjara minimal 4 tahun.

Sementara itu, Palermo Convention mensyaratkan suatu negara mengatur


empat jenis kejahatan yaitu:
 peran serta dalam criminal organized criminal group;

10
Tor Seminar Strategi Implementasi Unia 1995, Biro Hukum dan Organisasi


money laundering;


korupsi; dan
obstruction of justice (misalnya pemberian alat bukti maupun kesaksian
padahal tidak diminta).

Transnational Organized Crime dan IUU Fishing


Resolusi Majelis Umum PBB tentang Perikanan Berkelanjutan, 25
November 2008 menyatakan: “Notes the concerns about possible connections
between international organized crime and illegal fishing in certain regions of the
world, encourages States, including through the appropriate international forums
and organizations, to study the causes and methods of and contributing factors to
illegal fishing to increase knowledge and understanding of those possible
connections, and to make the findings publicly available, bearing in mind the
distinct legal regimes and remedies under international law applicable to illegal
fishing and international organized crime”
IUU Fishing secara harfiah dapat diartikan sebagai kegiatan perikanan
yang tidak sah, kegiatan perikanan yang tidak dilaporkan kepada institusi atau
lembaga pengelola perikanan yang tersedia atau kegiatan perikanan yang
tidak/belum diatur. IUU Fishing dapat terjadi disemua kegiatan perikanan
tangkap tanpa tergantung pada lokasi, target spesies, alat tangkap yang
digunakan serta intensitas exploitasi. Dapat muncul di semua tipe perikanan baik
skala kecil dan industri, perikanan di zona juridiksi nasional maupun internasional
seperti high seas.
Illegal Fishing, yaitu kegiatan penangkapan ikan:
 yang dilakukan oleh orang atau kapal asing pada suatu perairan yang
menjadi yurisdiksi suatu negara tanpa izin dari negara tersebut atau


bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
yang bertentangan dengan peraturan nasional yang berlaku atau kewajiban


internasional;
yang dilakukan oleh kapal yang mengibarkan bendera suatu negara yang
menjadi anggota RFMO tetapi beroperasi tidak sesuai dengan ketentuan
konservasi dan pengelolaan yang diterapkan oleh organisasi tersebut atau
ketentuan hukum internasional yang berlaku.
Kegiatan Illegal Fishing yang umum terjadi di perairan Indonesia adalah :


penangkapan ikan tanpa izin;


penangkapan ikan dengan mengunakan izin palsu;


Penangkapan Ikan dengan menggunakan alat tangkap terlarang;
Penangkapan Ikan dengan jenis (spesies) yang tidak sesuai dengan izin.

11
Tor Seminar Strategi Implementasi Unia 1995, Biro Hukum dan Organisasi
Unreported Fishing, yaitu kegiatan penangkapan ikan :
 yang tidak pernah dilaporkan atau dilaporkan secara tidak benar kepada
instansi yang berwenang, tidak sesuai dengan peraturan perundang-


undangan nasional;
yang dilakukan di area yang menjadi kompetensi organisasi pengelolaan
perikanan regional, namun tidak pernah dilaporkan atau dilaporkan secara
tidak benar, tidak sesuai dengan prosedur pelaporan dari organisasi
tersebut.

Kegiatan Unreported Fishing yang umum terjadi di Indonesia:


 penangkapan ikan yang tidak melaporkan hasil tangkapan yang


sesungguhnya atau pemalsuan data tangkapan;
penangkapan ikan yang langsung dibawa ke negara lain (transhipment di
tengah laut)

Unregulated Fishing, yaitu kegiatan penangkapan ikan :


 pada suatu area atau stok ikan yang belum diterapkan ketentuan konservasi
dan pengelolaan dan kegiatan penangkapan tersebut dilaksanakan dengan
cara yang tidak sesuai dengan tanggung-jawab negara untuk pelestarian dan


pengelolaan sumberdaya ikan sesuai hukum internasional;
pada area yang menjadi kewenangan organisasi pengelolaan perikanan
regional, yang dilakukan oleh kapal tanpa kewarganegaraan, atau yang
mengibarkan bendera suatu negara yang tidak menjadi anggota organisasi
tersebut, dengan cara yang tidak sesuai atau bertentangan dengan
ketentuan pelestarian dan pengelolaan dari organisasi tersebut.

Kegiatan Unregulated Fishing di perairan Indonesia, antara lain masih


belum diaturnya:
 mekanisme pencatatan data hasil tangkapan dari seluruh kegiatan


penangkapan ikan yang ada;


wilayah perairan-perairan yang diperbolehkan dan dilarang;


pengaturan aktifitas sport fishing;
kegiatan-kegiatan penangkapan ikan menggunakan modifikasi dari alat
tangkap ikan yang dilarang.

Melihat pengertian IUU Fishing, dan transnational organized crimes diatas,


sebenarnya tidak terlalu sulit untuk mengelompokan IUU fishing sebagai
transnational organized crimes. Namun demikian, faktanya upaya untuk
memasukan IUU Fishing ke dalam Transnational Organized Crimes masih
dihadapkan pada berbagai kendala, antara lain:
 Pandangan beberapa negara bahwa illegal fishing merupakan masalah
domestik dan tidak terkait dengan Transnational Organized Crimes

12
Tor Seminar Strategi Implementasi Unia 1995, Biro Hukum dan Organisasi
 Pandangan bahwa IUU Fishing lebih merupakan persoalan fisheries
manajemen dan ketahanan pangan ketimbang masalah Transnational


Organized Crimes
Belum adanya kesepakatan internasional mengenai terminologi „illegal‟,
„unreported‟ dan „unregulated‟fishing. “unreported”dan“unregulated” fishing


sulit untuk dimasukan sebagai transnational organized crimes.
Adanya aturan pasal 73(3) dalam United Nations Convention on the Law of
the Sea (UNCLOS) yang telah diratifikasi melalui UU No.17 tahun 1985,
digunakan oleh pelaku illegal fishing sebagai dasar untuk tidak dikenakan
hukuman pidana. Terhadap tindak pidana perikanan yang dilakukan di ZEE
dikenakan rezim prompt release terhadap pelanggar, dikenakan ganti rugi,


dan tidak boleh dikenakan hukuman badan
Mengkhawatirkan dimasukannya IUU Fishing sebagaiTransnational
Organized Crimes akan mengurangi kedaulatan dan hak berdaulat dari
negara pantai.

Oleh karena itu, pengkualifikasian IUU Fishing perlu diperkuat dengan


pendekatan-pendekatan lainnya, antara lain:
 Sustainable approach. Merupakan pendekatan baru di luar food security and
sustainable fisheries management approaches dengan cara meningkatkan
penegakan hukum atau melakukan kriminalisasi terhadap IUU Fishing oleh
negara pantai.

 Economic loss approach. Pendekatan ini menekankan pada economic loss


yang diderita Indonesia, yaitu sebesar USD 30 miliar/tahun yang dapat
disamakan dengan kerugian yang diderita oleh negara-negara di Afrika
secara keseluruhan dalam satu tahun yang sama.

 National criminalization approach. Berdasarkan pendekatan ini, negara-


negara dapat melakukan kriminalisasi terhadap kejahatan-kejahatan yang
memiliki karakteristik lintas Negara dan terorganisir dalam peraturan
perundang-undangan nasional mereka. Dalam konteks Indonesia,
kriminalisasi IUU Fishing telah dilakukan dalam regulasi nasional, yaitu UU
No. 31 tahun 2004 tentang Perikanan sebagaimana telah diubah dengan UU
No. 45 Tahun 2009.

 Environmental criminal approach. Sebagaimana dikatakan Gunnar Stølsvik ,


Senior Adviser pada Department of Marine Resources and Environment,
Norwegian Ministry of Fisheries and Coastal Affairs, bahwa: “IUU fishing can
no longer be considered purely as a management problem. We need to look
at large-scale, damaging IUU fishing as a criminal phenomenon that results
in a lesssecure maritime environment”. Sementra itu, Environmental
Investigation dalam laporannya, Environmental Crimes, A Threat to Our
Future (2008), berkesimpulan bahwa: “Environmental crimes can be broadly
defined as illegal acts which directly harm the environment. They include:

13
Tor Seminar Strategi Implementasi Unia 1995, Biro Hukum dan Organisasi
illegal trade in wildlife; smuggling of ozone depleting substances (ODS); illicit
trade in hazardous waste; illegal, unregulated, and unreported fishing; and
illegal logging and the associated trade in stolen timber”. Adapun dasar dari
masing-masing kejahatan tersebut adalah:
- Illegal trade in wildlife (bertentangan dengan CITES)
- Illegal trade in ozone-depleting substances/ODS (bertentangan dengan
Montreal Protocol on Substances that Deplete the Ozone Layer 1987)
- Dumping and illegal transport of various kinds of hazardous waste
(bertentangan dengan 1989 Basel Convention on the Control of
Transboundary Movement of Hazardous Wastes and Other Wastes and
their Disposal)
- IUU Fising (bertentangan dengan Conservation Management Measures
RFMOs).
- Illegal logging dan perdagangan batubara hasil curian (bertentangan
dengan hokum nasional negara-negara).

 Mutulal correlation approach. Berdasarkan pendekatan ini, IUU Fishing


dilihat sebagai suatu kejahatan yang tidak semata-mata berdiri sendiri, tapi
juga dapat memiliki keterkaitan dengan kejahatan-kejahatan lainnya. Judy
Putt dan Katherine Anderson dalam tulisannya “A national study of crime in
the Australian fishing industry”(2007), berpandangan bahwa ada indikasi kuat
bagaimana kejahatan terorganisir dapat menggunakan kapal perikanan
untuk memfasilitasi perdagangan tidak legal, ataupun perdagangan
perikanan yang disertakan pada perdagangan komoditas illegal lain.
Dicontohkan antara lain keterlibatan organisasi kejahtan terorganisir China
pada industry perikanan Afrika Selatan, Australia, dan SelandiaBaru.
Kesimpualn serupa juga dapat ditemukan dalamlaporan United Nations
Office on Drugs and Crimes (UNODC), “Transnational Organized Crimes in
Fishing Industry”, yang dirilis tanggal 13 April 2011, yang menyebutkan
adanya korelasi antara industry perikanan dengan trafficking in person,
people smuggling, drug trafficking, environmental crimes, corruption, dan
piracy.

Penutup
Kejahatan terhadap dibidang perikanan yang terjadi di Indonesia sudah sangat
memprihatinkan, dan memberi dampak baik secara langsung maupun tidak langsung
terhadap sosial budaya masyarakat perikanan, seperti kemiskinan, kerusakan
sumberdaya sumberdaya perikanan, dll. Hal tersebut tidak terlepas dari akibat
lemahnya sistem penegakan hukum dibidang perikanan di Indonesia, sehingga
Indonesia seringkali disebut sebagai surganya para pelaku kejahatan dibidang
perikanan, hal tersebut menjadi dilematis karena banyaknya kepentingan yang terdapat
didalamnya, sebagai negara berkembang Indonesia membutuhkan investasi dan
modal, selain itu meningkatnya angka pengangguran dan kemiskinan masyarkat
nelayan merupakan faktor-faktor yang perlu mendapat perhatian pemerintah, sehingga
efek ekologi maupun kerusakan dan pencemaran lingkungan laut menjadi terabaikan

14
Tor Seminar Strategi Implementasi Unia 1995, Biro Hukum dan Organisasi
dan tidak sejalan dengan konsep pembangunan berkelanjutan (suisstenable
development).
Konektifitas antara kegiatan perikanan dengan kejahatan transnational
crime dapat ditemukan dalam berbagai kasus yang pernah terjadi dengan berbagai
modus operandinya; antara lain dengan memanfaatkan regulasi yang ada sehingga
seolah-olah aktifitas perikanan ilegal menjadi tampak legal, berkelit bahwa pihaknya
sebagai pihak ketiga yang tidak mengetahui dari mana aktifitas itu tersebut berasal,
mencari keuntungan semata tanpa memperhatikan aspek kelestarian. Selain itu dari
sudut pelaku, keterlibatan pelaku lokal (Warga Negara Indonesia) dalam kejahatan
dibidnag perikanan di Indonesia justru menunjukkan karakteristik transnational
crime sebagai salah satu bagian dari hubungan transnasional. Bila melihat dari
alur illegal fishing di Indonesia, sebagaimana halnya pada kasus illegal logging dan
illegal maining, meskipun dilakukan oleh masyarakat biasa, namun hasil illegal fishing
tersebut mengalir ke berbagai perusahaan yang kemudian dijual untuk tujuan ekspor.
Demikian halnya eksploitasi terhadap sumber daya perikanan negara lain tanpa
memperhatikan aspek legalitas dan ketersediaan sumber daya bagi generasi
mendatang, adalah dimensi lain dari kejahatan Transnasional.
Untuk mengatasi aspek Kejahatan transnasional dari kejahatan dibidang
perikanan, diperlukan perubahan-perubahan pada rules dan praktek yang yang selama
ini terjadi. Dimana hal ini tidak hanya harus terjadi pada tingkat domestik saja namun
juga harus terjadi pada tingkat internasional. Permasalahan tidak akan selesai dengan
hanya memperbaiki aturan di bidang perikanan namun harus mencakup rule di bidang
politik, ekonomi, hukum, dan sosial-budaya. Selain itu diperlukan pula komunitas
epistemik yang berfungsi untuk mengkaji dan mengawasi terjadinya kejahatan terhadap
perikanan yang dapat menyebarluaskan informasi dan membentuk jaringan interaksi
dengan lembaga lain sejenis di daerah dan di negara lain.
Penegakan hukum perikanan melalui Sanksi pidana sesuai asas
Subsidiaritas hendaknya dipahami sebagai sanksi alternatif yang berdiri sendiri.
Artinya, tata cara dan sanksi pidana sebagai sanksi pengganti yang berdiri sendiri, tidak
dihubungkan dengan tata cara dan sanksi yang lain. Tata cara ini ditempuh, apabila
(alternatif atau kumulatif) tingkat kesalahan pelaku tergolong berat, dan atau akibat
perbuatan pelaku relatif besar, dan atau perbuatan pelaku meresahkan masyarakat.
Jadi tata cara ini tidak dikaitkan dengan efektif atau tidaknya sanksi-sanksi yang lain,
sehingga dengan demikian dapat memberikan rasa keadilan bagi para korban
kejahatan lingkungan hidup pada khususnya dan kedaulatan negara (Souveregenity)
pada konteks yang lebih global.
Sebagai negara penandatangan Konvensi PBB Menentang Kejahatan
Terorganisir Lintas Negara, Indonesia mempunyai kewajiban untuk turut serta dalam
memberantas dan mencegah TOC, termasuk di bidang perikanan, baik karena
pertimbangan kepentingan Indonesia dalam kerjasama internasional penanggulangan
kejahatan terorganisir. Meskipun sejauh ini IUU Fishing belum dapat diakomodir
sebagai TOC, namun demikian Indonesia perlu terus mengkampanyekan agar IUU
Fishing dimasukan ke dalam kejahatan terorganisir yang bersifat lintas negara.
Argumen yang dibangun Indonesia selama ini untuk mendorong IUU Fishing sebagai

15
Tor Seminar Strategi Implementasi Unia 1995, Biro Hukum dan Organisasi
TOC perlu diperkuat dengan mengadopsi argument-argumen yang digunakan pada
kasus illegal loging dan Traficking.

1
R. Makbul Padmanagara, Kejahatan Internasional, Tantangan dan Upaya Pemecahan, Majalah Interpol
Indonesia, 2007, hal. 58.
1
Sardjono, Kerjasama Internasional di Bidang Kepolisian, NCB Indonesia, Jakarta, 1996, hal. 132.

16
Tor Seminar Strategi Implementasi Unia 1995, Biro Hukum dan Organisasi
PUSTAKA

Cyrille Fijnaut, Transnational crime and the role of the United Nations in its Containment through
international cooperation: A challenge for the 21st century, European journal of crime, criminal law and
criminal justice 8(2) (2002)
Gerhard O. W. Mueller, Transnational Crime: Definitions and Concepts, Transnational Organized
Crime, No. 4 tahun 1998
Gunnar Stølsvik, Cases and materials on illegal fishing and organized crime.
http://www.regjeringen.no /upload/FKD/Vedlegg/Diverse/2010/FFA/CasesAndMaterials_FFApubl.pdf.
Desra Percvaya “Hasil-Hasil Pertemuan Sesi Ke-4 Negara-Negara Pihak Pada Konvensi PBB
Menentang Kejahatan Terorganisir Lintas Negara di Wina, 8 – 17 Oktober 2008”, Bandung, 5 Desember
2008.
Martin, J. M. and Romano, A. T., Multinational Crime-Terrorism, Espionage, Drug & Arms
Trafficking , SAGE Publications, 1992.
Mattalitti, Abdurrachman, dkk. 2001. Kerjasama ASEAN dalam Menanggulangi Kejahatan Lintas
Negara. Jakarta : Direktorat Jenderal Kerjasama ASEAN Departemen Luar Negeri Republik Indonesia.
Muladi, Demokratisasi, Hak Asasi Manusia, dan Reformasi Hukum di Indonesia, The
HabiebieCenter, Jakarta, 2002
Romli atmasasmamita. pengantar hukum pidana internasional bagian ll . PT hecca
mitra utama , Jakarta 2004
Romli Atmasasmita, Tindak Pidana Narkotika Transnasional dalam Sistem Hukum Pidana
Indonesia, Citra Aditya Bhakti, Bandung, 1997
Romli Atmasasmamita. Pengantar Hukum Pidana Internasional Bagian IIO. PT Hecca
Mitra Utama , Jakarta 2004.
Palermo Convention
R. Makbul Padmanagara, Kejahatan Internasional, Tantangan dan Upaya Pemecahan, Majalah
Interpol Indonesia, 2007, hal. 58.
Sardjono, Kerjasama Internasional di Bidang Kepolisian, NCB Indonesia, Jakarta, 1996
UN General Assembly resolution on Sustainable fisheries, including through the 1995 Agreement
for the Implementation of the Provisions of the United Nations Convention on the Law of the Sea of 10
December 1982 relating to the Conservation and Management of Straddling Fish Stocks and Highly
Migratory Fish Stocks, and related instruments (25 November 2008), paragraph 59. http://daccess-dds-
ny.un.org/doc/UNDOC/ GEN/N09/466/15/PDF/N0946615.pdf?OpenElement.

17
Tor Seminar Strategi Implementasi Unia 1995, Biro Hukum dan Organisasi

Anda mungkin juga menyukai