Anda di halaman 1dari 12

TINJAUAN KRIMINOLOGI TERHADAP PENEBANGAN HUTAN SECARA

LIAR (ILEGAL LOGGING)

ABSTRAK
Meningkatkan nilai ekonomi atas hasil hutan semakin memperkuat eksistensi
masyarakat dan pengusaha untuk semakin giat melakukan pengololaan atas hasil
hutan dengan salah satu alasan pendapatan ekonomi hasil hutan yang sangat besar hal
ini dibuktikan dengan ruang lingkup perdagangan hasil hutan keluar negeri melalui
proses ekspor yang diperjual belikan kenegara-negara yang sudah berkembang.
Namun satu hal yang harus diperhatikan adalah mengenaim ketentuan yang telah
diatur dalam pasal 50 ayat (3) huruf e Undang-Undang No.41 Tahun 1999 tentang
kehutanan , dinyatakan bahwa : setiap orang dilarang menebang pohon atau
memanen atau memungut hasil hutan didalam hutan tanpa memiliki hak atau izin dari
pejabat yang berwenang.

PENDAHULUAN
Negara Indonesia merupakan negara yang berbentuk republik yang terdiri atas
beberapa pulau dan daratan yang tersebar dari sabang sampai marauke.
Keanekaragaman dan Kemajemukkan satwa dan Penduduk Indonesia membuat
bangsa Indonesia dikenal sebagai bangsa yang heterogen dalam sebuah sistem
kemajemukan dalam satu konseptual bineka tunggal ika yang berari berbeda-beda
tetapi tetap satu juta.

Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi ikut mempengaruhi


berbagai system tatanan masyarakat baik dalam proses, sosial politik, budaya dan
ekonomi. Pergeseran tersebut diakibatkan adanya proses perpindahan pola berpikir
masyarakat yang lebih kritis dan mengedepankan system peningkatan tarap ekonomi
yang berbasis ekonomi kerakyatan. Ekonomi kerakyatan yang diusung Negara pada
prinsipnya tidak berjalan maksimal hal ini dibuktikan belum adanya pemerataan
pendapatan masyarakat dan hal tersebut diinstrumenkan masih terdapatnya
masyarakat yang hidup dibawah garis kemiskinan.

Meningkatnya angka kemiskinan di Indonesia memberikan dampak psikologis pada


masyarakat yang cukup besar sehingga berbagai pola kehidupan masyarakat di
terapkan demi suatu tuntutan ekonomi untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Salah
satu pola yang diterapkan masyarakat adalah melakukan proses penebangan hutan
secara liar meskipun terjadi proses pelanggaran hukum demi suatu tujuan ekonomi
yang hendak dicapai.

Meningkatnya nilai ekonomi atas hasil hutan semakin memperkuat eksistensi


masyarakat dan pengusaha untuk semakin giat melakukanh pengelolaan atas hasil
hutan dengan salah satu alasan pendapatan ekonomi hasil hutan yang sangat besar hal
ini dibuktikan dengan ruang lingkup perdagangan hasil hutan keluar negeri melalui
proses ekspor yang diperjualbelikan kenegara-negara yang sudah berkembang seperti
Belanda , Jepang, Cina, dan Negara-Negara Eropa Dunia.

Luas area hutan di indonesia terdapat pada daerah kepulauan Provinsi kalimantan
sedangkan kepulauan sulawesi berada pada urutan ketiga setelah Irian Jaya dan
Sulawesi Tenggara khususnya merupakan salah satu penghasil hutan terbanyak di
Sulawesi ini membuktikan luasnya area hutan mendorong masyarakat dan pengusaha
untuk menyandarkan kegiatan ekonominya pada hasil hutan sehingga mengakibatkan
terjadinya berbagai kejahatan terhadap hasil hutan yang dikenal dengan istilah Illegal
Logging.

Namun demikian keberadaan hutan jati di beberapa daerah dalam beberapa


tahun terakhir ini sedang mengalami proses penurunan kualitas dan kuantitas yang
semakin membuat kerisauan. Salah satu permasalahan pokoknya adalah telah terjadi
pengrusakan dan perambahan hutan jati yang semakin merajalela dan mengancam
punahnya tanaman jati. Yang sangat memprihatinkan saat ini adalah maraknya tindak
penebangan liar (Illegal Logging) hutan jati dan sekaligus pencurian kayu jati yang
dilakukan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Padahal instrumen hukum
dibidang kehutanan sudah cukup jelas mengatur mengenai ketentuan pidana bagi
setiap orang yang melakukan perbuatan melanggar hukum dibidang kehutanan.

Pasal 50 ayat (3) huruf e Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang kehutanan,
dinyatakan bahwa : setiap orang dilarang menebang pohonn atau memanen atau
memungut hasil hutan didalam hutan tanpa memiliki hak atau izin dari pejabat yang
berwenang .

Lebih lanjut dipertegas kembali pada Bab XIV mengenai ketentuan pidananya yaitu
pasal 78 ayat (5) yang menyatakan bahwa Barang siapa dengan sengaja melanggar
ketentuan hukum sebagai mana dimaksud dalam pasal 50 ayat (3) e diancam dengan
pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp.
5.000.000.000,00 (lima Miliyar Rupiah).

Sedacngkan dari aspek hukum pidananya telah diatur dalam pasal 362 KUH Pidana
dinyatakan bahwa Barang siapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau
sebagian kepunyaan orang lain,dengan maksud untuk dimiliki secara melawan
hukum, diancam karena pencurian , dengan pidana penjara paling lama lima tahun
atau denda paling banyak enam puluh rupiah.

PENGERTIAN KRIMINOLOGI
Disamping ilmu hukum pidana, yang sesungguhnya dapatu dinamakan ilmu tentang
hukumnya kejahatan, ada juga ilmu tentang kejahatannya sendiri yang dinamakan
kriminologi. Kecuali obyeknya berlainan, tujuannya pun berbeda, kalau obyek ilmu
hukum pidana adalah aturan-aturan hukum mengenai kejahatan atau bertalian dengan
pidana (hukum pidana positif ), tuhuannya agar dapat dimengerti dan digunakan
dengan sebaik-baiknya serta seadil-adilnya. Sedangkan obyek kriminologi adalah
orang yang melakukan kejahatan (sipenjahat) itu sendiri, dan tujuannya agar menjadi
mengerti apa sebab-sebabnya sehingga berbuat jahat.

Apakah memang abakatnya adalah jahat, ataukah didorong oleh keadaan masyarakat
disekitarnya baik keadaan sosiologis maupun keadaan ekonomis, ataukah ada sebab-
sebab lain lagi. Jika sebab-sebab itu sudah diketahui, maka disamping pemidanaan,
dapat diadakan tindakan-tindakan yang tepat agar orang lain tidak lagi berbuat
demikian, atau agar orang-orang lain tidak akan melakukan hal yang serupa
(Moeljatno, 1987;13).

Beberapa sarjana memberikan pengertian yang berbeda mengenai kriminologi, Paul


Mudigdo Mulyono menyatakan bahwa Kriminologi adalahilmu pengetahuan yang
ditunjang oleh berbagai ilmu yang membahas kejahatan sebagai masaal;ah manusia
Pengertian Kriminologi sebagaimana yang dikutip oleh Topo Santoso dan Eva
Achjani Zulfa (2002;9) :
1) Bonger memberikan definisi kriminologi sebagai (1982:42) menyatakan
ilmu pengetahuan yang bertujuan menyelidiki gejala kejahatan seluas-luasnya

2) Sutherland merumuskan kriminologi sebagai keseluruhan ilmu pengetahuan
yang bertalian dengan perbuatan kejahatan sebnagai gejala sosial dan
mencakup proses-proses perbuatan hukum, pelanggaran hukum dan reaksi
atas pelanggaran hukum
3) Wood berpendirian bahwa istilah kriminologi meliputi keseluruhan
pengetahuan yang diperoleh berdasarkan teori atau pengalaman yang bertalian
dengan perbuatan jahat dan penjahat dan,termaksud didalamnya reaksi dari
masyarakat terhadap perbuatan jahat dan para penjahat.
4) Noach merumuskan kriminologi sebagai ilmu pengetahuan tentang perbuatan
jahat dan perilaku tercela yang menyangkut orang-orang terlibat dalam
prilaku jahat dan perbuatan tercela itu.
5) Wolfgang dan Eva Achjani Zulfa,2002;sebagai kumpulan ilmu pengetahun
tentang kejahatan yang bertujuan untuk memperoleh pegetahuan dan
pengartian tentang gejala kejahatan dengan jalan mempelajari dan
menganalisa secara ilmiah keterangan-keterangan,keseragaman-
keseragaman,pola-pola dan faktor-faktor kausal yang berhubungan dengan
kejahatan,pelaku kejahatan serta reaksi masyarakat terhadap keduanya.

Berdasarkan pendapat-pendapat para pakar di atas,maka dapat disimpulkan bahwa


obyek study kriminologi meliputi :
1. Perbuatan yang disebut sebagai kejahatn
2. Pelaku kejahatan, dan
3. Reaksi masyarakat yang di tujukan baik pada perbuatan maupun
terhadap pelakunya.

Ketiga hal tersebut di atas tidak dapat dipisah-pisahkan. Suatu perbuatan baru dapat
dikatakan sebagai kejahatan bila ia mendapat reaksi dari masyarakat. Setiap orang
yang melakukan perbuatan yang menyimpang atau melanggar norma-norma yang ada
dalam masyarakat maka secara umum orang tersebut dapat di anggap sebagai
penjahat atau perbuatan yang di lakukan itu disebut perbuatan jahat (Hamdan, 1997 ;
42).

Dalam ilmu kriminologi dinyatakan bahwa gejala kejahatan merupakan suatu


konstruksi soaial, yaitu pada waktu suatu masyarakat menetepkan bahwa sejumlah
perilaku dan orang dinyatakan sebagai kejahatan penjahat. Dengan demikian
kejahatan dan penjahat bukanlah gejala yang secara obyektif dapat dipelajari oleh
ilmuwan, karena gejala ini hanya ada kalau ditentukan demikian oleh masyarakat
(Reksodiputro, 1994;86).

Selanjutnya yang perlu diperhatikan adalah apa sebabnya orang melakukan perbuatan
jahat tersebut. Dengan mengetahui latar belakang orang melakukan perbuaqtan jahat
atau latar belakang terjadinya kejahatan ini diharapkan dapat diketahui cara yang tepat
untuk mencegah ataupun menanggulangi kejahatan tersebut.
KROMINOLOGI DAN KONSEP KEJAHATAN
Para ahli mempunyai pendapat yang berbeda-beda mengenai ruang lingkup
kriminologi, di antaranya yaitu :
a. Menurut Soedjono Dirdjosisworo (1984: 11) mengemukakan bahwa yang
menjadi ruang lingkup kriminologi adalah :
1) apa yang dirumuskan sebagai kejahatan dan penomenanya yang
terjadi di dalam kehidupan masyarakat, kejahatan apa dan siapa
penjahatnya
2) faktor-faktor apa yang menjadi penyebab timbulnya atau di
lakukannya kejahatan.
b. Menurut Edwin H. Sutherland dan Donald R. Cressey (Soerdjono Soekanto,
1985:8) yang bertolak dari pandangan bahwa kriminologi adalah satu
kesatuan pengetahuan mengenai kejahatan sebagai gejala sosial,
mengemukakan bahwa ruang lingkup kriminologi mencakup proses-proses
pembentukan hukum, pelanggaran hukum, dan reaksi terhadap pelanggaran
hukum.
c. Menurut Martin L. Haskell dan Lewis Yablonsky (Mulyana W. Kusuma,
1981:5), kriminologi sebagai studi ilmiah tentang kejahatan dan penjahat
mencakup analisa tentang :
1) Sifat dan luas kejahatan.
2) Sebab-sebab kejahatan.
3) Perkembangan hukum pidana dan pelaksanaan peradilan pidana.
4) Ciri-ciri penjahat.
5) Pembinaan penjahat.
6) Pola-pola kriminalitas.
7) Akibat kejahatan atas perubahan sosial.

Selain daripada pengertian kriminologi yang dijadikan sebagai dasar pemikiran untuk
mengetahui kejahatan dari seseorang tersebut, hal yang juga tidak kala penting untuk
diketahui juga adalah mengenai kejahatan, sebagaimana yang telah dirumuskan oleh
beberapa pakar dibawah ini, antara lain :
a. Pengerian kejahatan menurut Sue titus Reid (Mulyana W. Kusuma, 1984:
21) untuk suatu perumusan hukum tentang kejahatan, maka hal-hal yang
perlu diperhatikan antara lain :
1) Kejahatan adalah suatu tindakan sengaja atau ommisi. Dalam
pengertian ini seseorang tidak dapat dihukum hanya karena
pikirannya, melainkan harus ada sesuatu tindakan atau kealpaan
dalam bertindak. Kegagalan dalam bertindak dapat juga merupakan
kejahatan, jika terdapat suatu kewajiban hukum untuk bertindak
dalam kasus tertentu. Di samping itu pula, harus ada niat jahat
(Criminal intent; means rea).
2) Merupakan pelanggaran hukum pidana;
3) Yang dilakukan tanpa adanya suatu pembelaan atau pembenaran
yang diakui secara umum;
4) Yang diberi sanksi oleh negara sebagai suatu kejahatan atau
pelanggaran.
b. Ada beberapa pendapat para ahli mengenai pengertian kejahatan itu, antara
lain :
1. Menurut Soesilo (Bosu, 1982: 19) membagi pengertian kejahatan
menjadi dua bagian, yaitu ditinjau dari :
a) Aspek yuridis, kejahatan yaitu suatu perbuatan/tingkah laku yang
bertentangan dengan Undang-undang. Untuk dapat menilai
apakah perbuatan itu bertentangan dengan Undang-undang, maka
peraturan atau Undang-undang itu haruslah diciptakan terlebih
dahulu sebelum adanya peristiwa pidana. Hal ini selain untuk
mencegah adanya tindakan yang sewenang-wenang dari tindak
penguasa, juga agar dapat memberikan kepastian hukum.
b) Aspek sosiologis, kejahatan yaitu perbuatan atau tingkah laku
yang selain merugikan si penderita, juga sangat merugikan
masyarakat yaitu berupa hilangnya keseimbangan ketentraman
dan ketertiban.
2. Menurut Made Darma Weda (1996: 11) melihat pengertian-pengertian
kejahatan dari dua segi, yaitu :
a) Dari segi yuridis, kejahatan berarti segala tingkah laku manusiaq
yang dapat di pidana, yang di atur dalam hukum pidana.
b) Dari segi kriminologi, setiap tindakan atau perbuatan tertentu
yang tidak disetujui oleh masyarakat diartikan sebagai kejahatan.
Ini berarti setiap kejahatan tidak harus dirumuskan terlebih
dahulu dalam suatu peraturan hukum pidana. Jadi, setiap
perbuatan yang anti sosial, merugikan serta menjengkelkan
masyarakat, secara kriminologis dapat dikatakan sebagai
kejahatan.

KAUSA KEJAHATAN
a. Ada empat mazhab yang menjelaskan tentang kausa kejahatan, Yaitu :
1) Mazhab klasik, menurut psikologi hedonistik, setiap perbuatan
manusia didasarkan atas pertimbangan rasa senang dan tidak senang.
Setiap manusia berhak memilih mana yang baik dan mana yang buruk,
perbuatan mana yang mendatangkan kesenangan dan mana yang tidak.
Menurut teori ini orang melakukan kejahatan karena perbuatan tersebut
lebih banyak mendatangkan kesenangan bagi dirinya sendiri (Made
Darma Weda, 1996 : 14).
2) Mazhab kartographik, yang dipentingkan dalam ajaran ini adalah
distribusi kejahatan dalam daerah-daerah tertentu, baik secara
geografis maupun sosial. Kejahatan dianggap merupakan suatu
ekspresi dari kondisi-kondisi sosial (Topo Santoso, 2004 : 29).
3) Mazhab sosialis, yang menjadi pusat perhatian ajaran inim adalah
determinisme ekonomi. Ajaran ini menghubungkan kondisi kejahatan
dengan kondisi ekonomi dianggap memiliki hubungan sebab akibat.
(Topo Santoso, 2004 : 29).
4) Mazhab tipologi, Ada tiga termasuk mazhab ini, yaitu :
1. Aliran Lombroso, menurut Lomroso kejahatan merupakan
bakat manusia yang dibawa sejak lahir. Ada beberapa proposisi
yang dikemukakan oleh Lombroso, (Made Darma Weda, 1996 :
16), yaitu :
a) Penjahat dilahirkan dan mempunyai tipe yang berbeda-
beda.
b) Tipe ini bisa dikenal dari beberapa ciri tertentu seperti
tengkorak yang asimetris, rahang bawah yang panjang,
hidung yang pesek, rambut janggut yang jarang, dan
tahan terhadap rasa sakit.
c) Tanda-tanda lahiriah ini bukan merupakan penyebab
kejahatan tapi merupakan tanda pengenal kepribadian
yang cenderung mempunyai prilaku kriminal.
d) Karena adanya kepribadian ini, maka mereka tidak
dapat terhindar dari melakukan kejahatan kecuali bila
lingkungan dan kesempatan tidak memungkinkan.
e) Penganut aliran ini mengemukakan bahwa penjahat-
penjahat seperti pencuri, pembunuh, pelanggar seks
dapat dibedakan oleh tanda-tanda atau ciri-ciri tertentu.
2. Mental tester, karena ajaran Lombroso mulai mundur, meski
logika dan metodologinya tetap dipertahankan, akan tetapi
feble mindedness (orang yang berotak lemah) menggantikan
tipe fisik, sebagai ciri-ciri penjahat. Menurut ajaran ini feeble
mindedness menyebabkan kejahatan karena orang tidak dapat
menilai sebab akibat dari perbuatannya atau menangkap serta
menilai arti hukum. Ajaran ini mundur karena terbukti bahwa
feeble mindedness terdapat pada penjahat dan bukan penjahat
(Topo Santoso, 2004 : 30 ).
3. Aliran psikiatrik, aliran ini lebih menekankan pada unsur
psikologis. Aliran psikiatrik lebih banyak di pengaruhi oleh
teori Sigmund Freud tentang struktur kepribadian. Menurut
Freud, kepribadian terdiri dari 3, (Made Darma Weda, 1996 :
19), yaitu :
a) Das es/id, yaitu alam tak sadar yang dimiliki oleh setiap
mahluk hidup, manusia dan hewan. Segala nafsu dan
keinginan, begitu pula naluri, berada di alam tak sadar.
b) Das ich/ego, yaitu alam sadar, Das es/id ini kemudian
mendesak das ich atau alam sadar untuk memenuhi
kebutuhannya. Berdasarkan desakan tersebut maka das
ich melaksanakan hal-hal yang diperlukan bagi
pemenuhan das es/id.
c) Super ego, adalah bagian yang terpenting. Super ego
inilah yang menilai/menentukan bagaimana cara
memenuhi keinginan ego, berdasarkan norma-norma
atau aturan-aturan yang diketahui. Dengan kata lain,
super ego menentukan perbuatan-perbuatan apa yang
boleh dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan.
4. Aliran sosiologis, menurut aliran ini proses terjadinya tingkah
laku jahat tidak berbeda dengan tingkah laku lainnya, termasuk
tingkah laku yang baik. (Made Darma Weda, 1996 : 20). Pokok
dari pangkal ini adalah bahwa kelakuan-kelakuan jahat
dihasilkan dari proses-proses yang sama seperti kelakuan-
kelakuan sosial lainnya (Topo Santoso, 2004 : 31).
PENGERTIAN HUTAN
Kata hutan merupakan terjemahan dari kata bos (Belanda) dan forrest (Inggris).
Forrest merupakan dataran tanah yang bergelombang, dan dapat dikembangkan untuk
kepentingan di luar kehutanan, seperti pariwisata. Di dalam hukum Inggris Kuno,
forrest (hutan) adalah suatu daerah tertentu yang tanahnya di tumbuhi pepohonan,
tempat hidup binatang buas dan burung-burung hutan (Salim, H.S., 2003; 40).

Menurut Dengler (Ngandung, 1975: 3), yang diartikan dengan hutan adalah sejumlah
pepohonan yang tumbuh pada lapangan yang cukup luas, sehingga suhu, kelembapan,
cahaya, angin, dan sebagainya tidak lagi menentukan lingkungannya, akan tetapi di
pengaruhi oleh tumbuh-tumbuhan atau pepohonan baru asalkan tumbuh pada tempat
yang cukup luas dan tumbuhnya cukup rapat (horizontal dan vertical).

Pengertian hutan menurut Pasal 1 ayat (2) UU Nomor 41 Tahun 1999 Tentang
Kehutanan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber
daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam
lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan.
a. Manfaat Hutan
Hutan mempunyai kedudukan dan peranan yang sangat penting dalam
menunjang pembangunan bangsa dan neraga. Hla ini disebabkan hutan dapat
memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kemakmuran dan
kesejahteraan rakyat. Menurut Salim, H.S, ada dua manfaat hutan, yaitu :
Manfaat langsung dan manfaat tidak langsung.
1. Manfaat langsung, yang dimaksud manfaat langsung adalah manfaat
yang dapat dirasakan /dinikmati secara langsung oleh masyarakat.
Yaitu masyrakat dapat menggunakan dan memanfaatkan hasil hutan,
antara lain kayu yang merupakan hasil utama hutan ikutan, seperti
rotan,getah, buah-buahan,madu dan lainnya.
2. Manfaat tidak langsung, manfaat tidak langsung adalah manfaat yang
tidak langsung dinikmaati oleh masyarakat, tetapi yang dapat dirasakan
adalh keberadaan hutan itu sendiri.
b. Jenis-jenis hutan
Untuk lebih memperjelas mengenai pengertian hutan maka penulis merasa
perlu untuk menguraikan jenis-jenis hutan berdasarkan Undang-undang nomor
41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, ditentukan empat jenis hutan, yaitu
berdasarkan statusnya, fungsinya, tujuan khususnya, serta pengaturan iklim
mikro, estetika, dan resapan air.
c. Keempat Jenis hutan itu dikemukakan sebagai berikut ini :
1. Hutan berdasarkan statusnya ( pasal 5 UU No.41 Tahun 1999), yang
dimaksud dengan hutan yang berdasarkan statusnya adalahsuatu
pembagian hutan yang didasarkan pada status (kedudukan) antara
orang, badan hukum, atau institusi yang melakukan pengelolaan,
pemanfaatan, dan perlindungan terhadap hutan tersebut.
Hutan berdasarkan statusnya dibagi lima (5) macam, yaitu :
a. Hutan hak, adalah hutan yang berada pada tanah yang dibebani
hak atas tanah (pasal 5 ayat (1) UU No.41 Tahun 1999 )
b. Hutan negara adalah hutan yang berada pada tanah yang tidak
dibebani hak atas tanah.Yang termasuk dalam kualifikasi hutan
negara adalah , hutan adat, hutan desa dan hutan
pemasyarakatan.
c. Hutan adat adalah hutan negara yang diserahkan pengelolaannya
kepada masyarakat hukum adat (rehtgemeenschap).
d. Hutan desa adalah hutan negara yang dikelola oleh desa dan
dimanfaatkan untuk kesejahteraan desa.
e. Hutan pemasyarakatan adalah hutan negara yang
pemanfaatannya untuk memberdayakan masyarakat.
2. Hutan berdasarkan Fungsinya (pasal 6 dan pasal 7 UU No.41 Tahun
1999.
Hutan berdasarkan fungsinya adalah pengelolaan hutan yang
didasarkan pada kegunaannya. Hutan ini dapat digolongkan menjadi
tiga macam, yaitu hutan konservasi, hutan lindung, dan hutan produksi.
Hutan konservasi adalah kawasan hutan dengan ciri khas tertentu yang
mempunyai fungsi pokok keawetan keanekaragaman tumbuhan dan
satwa beserta ekosistemnya.
Hutan konservasi terdiri atas tiga macam, yaitu kawasan hutan swaka
alam, kawasan hutan pelestarian alam dan taman baru.
3. Hutan pengaturan iklim mikro, estatika dan resapan air (pasal 9 UU
No.1 tahun 1999

Disetiap kota ditetapkan kawasan tertentu sebagai hutan kota. Hutan kota adalah
hutan yang berfungsi untuk pengaturan iklim mikro, estetika dan resapan air,
disamping pembagian itu, sebagaimana yang dikutif olh Salim, SH. (1997:42) dikenal
juga pembagian lain yang diatur dalam pasal 4 Reglemen 1927 tersebut yaitu hutan
yang dipertahankan dan tidak dipertahankan. Yang termasuk golongan hutan yang
dipertahankan, yaitu:
1. Hutan jati, yaitu tanahy dan tempat mempunyai ciri seperti berikut :
a) Seluruhnya atau sebahagian besar ditentukan oleh mentri kehutanan
untuk dipelihara
b) Ditumbuhi pepohonan atau tidak, yang oleh pemerintah telah ditunjuk
untuk perluasan hutan jati.
2. Hutan belukar yang ditentukan oleh mentri kehutanan untuk dipelihara
3. Hutan kayu belukar, yaitu hutan yang tidak dipertahankan, yang meliputi :
a) Hutan belukar yang tumbuh secara alami dan tidak ditunjuk untuk
dipelihara
b) Hutan jati dan kayu dalam peraturan mengenai batas-batas daerah
hutan yang telah dipelihara telah dihapuskan. Alasan untuk
mempertahankan hutan adalah karena :
1) Memenuhi akan kayu dan hasil-hasil hutan lainnya
2) Merupakan penata air
3) Merupakan pengatur iklim
4) Mempunyai nilai ekonomi
5) Memenuhi kepentingan umum lainnya.

Pembagian menjadi hutan yang dipertahankan dan tidak dipertahankan, semata-mata


adalah kewenangan pemerintah, yaitu dalam hal pengaturan, perencanaan dan
pengurusan hutan. Untuk hutan yang dipertahankan adalah kewajiban untuk
menentukan peruntukan agar hutan dapat berfungsi dengan baik.
PENEBANGAN LIAR DAN SANKSI HUKUMANNYA
Dalam peristilahan kehutanan sebagaimana yang dikutip oleh Poeworko Soebianto
(Kiniwia, 2003) yang di maksud dengan penebangan (logging) adalah suatu aktivitas
atau kegiatan penebangan kayu di dalam kawasan hutan yang di lakukan oleh seorang
atau sekelompok ataupun atas nama perusahaan berdasarkan izin yang di keluarkan
oleh pemerintah atau instansi yang berwenang (kehutanan) sesuai dengan prosedur
tata cara penebangan yang di atur dalam peraturan perundang-undangan kehutanan.
Pengertian di atas mengandung maksud bahwa logging atau penebangan dapat di
benarkan sepanjang mempunyai izin, mengikuti prosedur penebangan yang benar
berdasarkan aspek kelestarian lingkungan dan mengikuti prosedur pemanfaatan dan
peredaran hasil hutan berdasarkan ketentuan yang berlaku.

Aspek ekologi (kelestarian lingkungan) merupakan suatu prinsip pengelolaan hutan


yang berorientasi kepada usaha pemanfaatan hutan yang secara lestari dengan sistem
silvilkultur. Sistem ini meliputi proses penanaman, pemeliharaan, penebangan,
penggantian suatu yang akan menghasilkan kayu atau hasil hutan lainnya dalam
bentuk tertentu.

Poerwoko Soebianto (kiniwia, 2003) menyatakan juga memberikan definisi mengenai


illegal logging yaitu penebangan liar atau penebangan tanpa izin termaksud kejahatan
ekonomi dan lingkungan karena menimbulkan kerugian material bagi negara serta
kerusakan lingkungan atau ekosistem hutan dan dapat di kenakan sanksi pidana
dengan ancaman kurungan paling lama sepuluh sampai lima belas tahun dan denda
paling banyak Rp. 5-10 milyar (Undang-Undang N0. 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan Pasal 78).

Lebih lanjut Longgena Ginting menyebut illegal logging sebagai suatu operasi
penebangan yang tidak sah karena tidak memiliki izin resmi. Illegal dan legal hanya
di bedakan bahwa yang satu mempunyai legalitas surat resmi sementara yang lain
tidak.

Mengingat pokok bahasan penebangan liar hutan jati merupakan bagian dari
kehutanan, maka penulis merasa perlu membahas mengenai penebangan liar
berdasarkan ketentuan perundang undangan di bidang kehutanan yaitu Undang-
Undang No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan dan Peraturan Pemerintah No. 28
Tahun 1985 yang kemudian akan di kaitkan dengan kitab Undang-Undang Hukum
Pidana. Instrumen hukum di bidang kehutanan yang mengenai ketentuan pidana
terhadap praktek penebangan liar atau pencurian kayu (illegal logging) dapat di lihat
pada Pasal 50 ayat (3) huruf e UU No. 41 Tahun 1999 tentang kehutanan yang
menyatakan bahwa setiap orang di larang menebang pohon atau memanen atau
memungut hasil hutan di dalam hutan tanpa memiliki hak izin dari pejabat yang
berwenang.

Lebih lanjut di pertegas pada Bab XIV mengenai ketentuan pidananya yaitu barang
siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana di maksud dalam Pasal 50
ayat (3) huruf e di ancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan
denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (Lima Miliyar Rupiah).
Unsur-unsur dari Pasal 50 ayat (3) huruf e UU No. 41 Tahun 1999 di atas (Salim, SH,
2003: 155) yaitu :
1. Barang siapa
2. Menebang pohon atau memanen atau memungut hasil hutan
3. Di dalam hutan
4. Tanpa memiliki hak atau izin dari pejabat yang berwenang

Sedangkan dalam PP. No. 28 Tahun 1985 Tentang Perlindungan hutan, dapat dilihat
pada Pasal 9 ayat (2) yang menyatakan bahwa setiap orang di larang melakukan
penebangan pohon-pohon dalam hutan tanpa izin dari pejabat yang berwenang.
Unsur-unsur dari pasal tersebut adalah :
1. Barang siapa
2. Melakukan penebangan pohon-pohon
3. Dalam hutan
4. Tanpa izin dari pejabat yang berwenang

Berdasarkan unsur-unsur Pasal 50 ayat (3) huruf e UU No. 41 Tahun 1999 Tentang
Kehutanan dan Pasal 9 ayat (2) PP. No. 28 Tahun 1985 Tentang Perlindungan Hutan
diatas, dapat dilihat adanya persamaan dengan Pasal 362 Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana tentang pencurian yang menyebutkan bahwa Barang siapa
mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain,
dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau denda paling banyak enam puluh
ribu rupiah. Unsur-unsur Pasal 362 KUH Pidana Yaitu :
1. Perbuatan mengambil
2. Yang di ambil sesuatu barang
3. Barang itu harus seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain.
4. Pengambilan itu harus dilakukan dengan maksud untuk memiliki barang
itu dengan melawan hukum (Soesilo. R.1991 : 763).

KESIMPULAN
Masalah penegakan hukum dapat dibahas dari segi peraturan perundang-undangan,
segi aparat penegak hukum dan segi kesadaran masyarakat yang terkena peraturan itu.
Kajian terhadap UUPLH dan perangkat peraturan perundang-undangan lingkungan
mengungkapkan banyak kelemahan dan kerancuan perumusan yang memerlukan
pemahaman secara proporsional, khususnya dalam menerapkan sanksi pidana yang
bertujuan untuk menjerakan para pelanggar hukum lingkungan supaya tidak
mengulangi kesalahannya.

Lingkungan hidup adalah Anugrah Tuhan Yang Maha Esa kepada rakyat merupakan
Karunia dan Rahmat-Nya wajib dilestarikan dan dikembangkan kemampuannya agar
tetap menjadi sumber dan penunjang hidup bagi rakyat dan masyarakat serta makhluk
hidup lainnya demi kelangsungan dan peningkatan kualitas hidup itu sendiri.

Oleh karena itu, hakikat sanksi pidana adalah sarana atau alat untuk memidana
(menghukum) secara fisik dan materiil para pencemar lingkungan yang terbukti
bersalah melanggar hukum. Akan tetapi sanksi pidana dalam hukum lingkungan
adalah sebagai alternatif sanksi terakhir (ultimum remedium) dan bukan pula sanksi
utama (premium remedium) setelah sanksi administratif dan sanksi perdata tidak
mampu diterapkan dan menjerakan para pencemar lingkungan hidup. Penanggulangan
atau penyembuhan yang dilakukan oleh hukum pidana merupakan
penyembuhan/pengobatan simptomatis bukan pengobatan kausatif sehingga
pemidanaan (pengobatan) terhadap para pelanggar hukum bersifat individual/personal
dan tidak bersifat fungsional/struktural (Arif, 1998 :49).

Sebab, pemanfaatan lingkungan untuk pembangunan adalah sebagai upaya sadar


dalam mengolah dan memanfaatkan sumber daya alam untuk meningkatkan
kemakmuran rakyat, baik untuk mencapai kemakmuran lahir maupun untuk mencapai
kepuasan batin. Oleh karena itu, penggunaan sumber daya alam harus selaras, serasi
dan seimbang dengan fungsi lingkungan hidup.

Makna hakiki penegakan hukum (law enforcement) adalah suatu proses untuk
mewujudkan keinginan-keinginan hukum menjadi kenyataan. Keinginan hukum di
sini adalah pemikiran-pemikiran badan pembuat undang-undang yang dirumuskan
dalam peraturan-peraturan hukum yang bakal diterapkan dalam segenap aspek
kehidupan bermasyarakat dan bernegara (Rahardjo, 1983:15). Penegakan hukum
memuat aspek legalitas dari suatu peraturan atau undang-undang yang diterapkan
pada setiap orang dan atau badan hukum dengan adanya perintah, larangan dan sanksi
yang dapat dikenakan terhadap para pelanggarnya yang terbukti bersalah berdasarkan
putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Dalam rangka penegakan hukum lingkungan yang berkaitan erat dengan kemampuan
petugas penegak hukum dan keputusan warga masyarakat terhadap peraturan hukum
lingkungan yang berlaku (ius constitutum) dalam pelaksanaannya di lapangan (ius
operatum) dan meliputi tiga bidang hukum, yaitu administrasi, perdata dan pidana
pada perusakan/pencemaran lingkungan. Upaya penyelematan lingkungan yang asri
tergantung pada kesadaran bersama, baik pemerintah, pengusaha dan dunia usaha
maupun masyarakat setempat yang peduli dengan lingkungan hijau sebagai warisan
dan titipan anak cucu kelak.
DAFTAR PUSTAKA

Abdussalam. 2007. Kriminologi. Restu Agung : Jakarta

Bonger, W. A. 1995. Pengantar Tentang Kriminologi. PT.Pembangunan : Jakarta.

Bosu, B. 1982. Sendi-sendi Kriminologi. Usaha Nasional : Surabaya.

Hamdan, M. 1997. Politik Hukum Pidana. Jakarta : Raja Grafindo Persada.

Made Darma Weda. 1996. Kriminologi. Rajawali Pers : Jakarta.

Mulyana W. Kusuma. 1981. Aneka Permasalahan Dalam Ruang Lingkup


Kriminologi. Alumni : Bandung.

_________________, 1984. Kriminologi dan Masalah Kejahatan (Suatu Pengantar


Ringkas). Armico : Bandung.

Moeljatno. 1987. Azas-azas Hukum Pidana. Jakarta : Bina Aksara

Ngandung, I. B. 1976. Ketentuan Umum Pengantar Kehutanan di


Indonesia, Ujung Pandang : Pusat Latihan Kehutanan.

Salim, H. S. 2003. Dasar-dasar Hukum Kehutanan. Jakarta : Sinar Grafika.

Anda mungkin juga menyukai