Anda di halaman 1dari 4

Menyoal Ecoside di Indonesia

Fajar Fahmi

Sudah bertahun-tahun lamanya, mulai zaman kolonial hingga saat ini, di mana-mana
lingkungan hidup selalu menjadi tumbal dari berbagai konsep dan praktik pembangunan. Kerusakan
lingkungan hidup di Indonesia pada umumnya pada khususnya kian hari kian bertambah parah.
Sayangnya, tak ada yang signifikan dapat dilihat dari upaya perbaikan. Alih-alih pembangunan
berkelanjutan justru memperlihatkan implementasinya yang buruk. Walaupun telah dibungkus
dengan sejumlah konsep terapannya, hampir tak ada yang dirasakan. Rupanya kerusakan lingkungan
hidup secara fisik, belum begitu dekat dengan kebijakan para elite politik tentang nasib dan kondisi
lingkungan hidup kita saat ini.

Ecoside Adalah kata untuk menggambarkan apa yang terjadi pada planet kita; kerusakan
massal dan kehancuran alam hidup. Secara harfiah berarti “membunuh rumah”. Dan saat ini, di
sebagian besar dunia termasuk Indonesia, tidak ada yang bertanggung jawab. Ecocide sudah diakui
oleh kamus dunia, tetapi definisi Higgins yang lebih legal adalah: “Kehancuran yang luas, kerusakan
atau hilangnya ekosistem dari wilayah tertentu, baik oleh agen manusia atau oleh penyebab lain,
sedemikian rupa sehingga perdamaian kenikmatan oleh penduduk wilayah itu telah sangat
berkurang.

Hingga saat ini, diksi ecocide belum masuk dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Ecocide
mulai diperkenalkan atau diungkapkan bersamaan dengan genocide, culture genoside, dan ertnocide
pada 1933. Ecocide diambil dari Bahasa Latin, yakni oeco yang berarti lingkungan hidup, dan caedere
yang artinya pembunuhan atau pemusnahan. Maka, artinya ecocide adalah pemusnahan habitat
atau lingkungan hidup.

Jika kita merasakan atau menyaksikan dampak buruk yang terjadi terhadap manusia dan
lingkungannya, akibat aktivitas ekonomi ekstraktif di Indonesia selama 20 tahun terakhir, seperti
yang berlangsung di Pulau Sumatera, Kepulauan Bangka-Belitung, Jawa, Kalimantan, Sulawesi hingga
Papua, maka kita akan tertarik dan merasa butuh membaca buku Ecocide: Melawan Pelanggaran
Berat HAM di Indonesia yang ditulis M. Ridha Saleh [2020]. Dijelaskan Saleh, di kalangan akademik
belum ada definisi tunggal secara ilmiah mengenai ecocide, seperti dalam definisi hukum konkret.
Definisi ecocide dapat ditemukan dalam berbagai pendapat para ahli yang mendalami bidang biologi,
ekologi politik, hukum kejahatan internasional dan hak asasi manusia.

Pada 2019, Paus Fransiskus mendesak Asosiasi Hukum Pidana Internasional untuk mengakui
ecoside sebagai “kategori kelima kejahatan terhadap perdamaian.” Aktivis Greta Thunberg
menyumbangkan uang hadiah 100.000 euro kepada Stop Ecocide Foundation. Presiden Prancis
Emmanuel Macron pada tahun 2019 menggambarkan kebakaran hutan di Brasil sebagai ecoside dan
telah berjanji untuk “melanjutkan perjuangan ini atas nama Prancis.” Menteri Luar Negeri Belgia
Sophie Wilmes juga telah menyatakan dukungan bersama dengan para politisi dari Vanuatu dan
Maladewa, negara-negara yang rentan terhadap kenaikan permukaan laut.

Melihat dan merasakan kian meluasnya dampak kejahatan lingkungan hidup di dunia,
termasuk di Indonesia, tampaknya ecocide harus terus diperjuangkan sebagai kejahatan
internasional. Menjadi kejahatan kelima setelah genosida, kejahatan melawan kemanusiaan,
kejahatan perang, dan kejahatan agresi.

Ecoside di Indonesia
Ecocide di negara ini, menurut penulis begitu penting harus diwacanakan kini dan di sini
karena pertama, eksploitasi lingkungan hidup selama ini sudah mengarah pada tindakan
pemusnahan sumber-sumber kehidupan manusia. Kedua, pemusnahan tersebut merupakan
tindakan yang berkaitan erat dengan praktik penghilangan hak-hak hidup manusia bahkan telah
menyebabkan hak hidup ekosistem didalamnya ikut terhilangkan kelayakannya. Ketiga, menjadi
bagian dari eksploitasi sumberdaya alam yang mengarah pada terancamnya keamanan hidup
manusia saat ini dan kehidupan generasi yang akan datang. Demikian pula ancaman terhadap
punahnya keberagaman hidup dan keanekaragaman hayati lainnya. Tentunya dari alasan itu, praktik
ecoside juga kategori pelanggaran HAM.

Mary Robinson, Komisaris Tinggi Urusan Hak Asasi Manusia (HAM) saat berpidato dihari
terakhir pada pertemuan Badan Urusan Hak Asasi Manusia (HAM) dan Lingkungan PBB tahun 2002
lalu menyatakan secara tegas bahwa sekarang adalah saat yang ideal untuk memeriksa kaitan antara
kerusakan lingkungan hidup, kemiskinan struktural dan sejumlah kejahatan dan pelanggaran Hak
Asasi Manusia (HAM). Ia berpandangan bahwa kerusakan lingkungan hidup dan kemiskinan
struktural seharusnya dilihat sebagai masalah pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), yang
penyelesaiannya dibutuhkan komitmen dan tanggung jawab negara/pemerintah untuk menjamin
penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak atas lingkungan hidup sebagai Hak Asasi Manusia.
Karena bagaimanapun, eksploitasi sumber daya alam membuat kerusakan lingkungan yang luas,
berdampak bukan hanya pada flora dan fauna, juga manusia.

Di Indonesia, misalnya lumpur panas Lapindo Brantas di Sidoarjo, Jawa Timur,


memusnahkan lahan pertanian, pasar, perkampungan warga, sekolah, rumah ibadah, jalan dan
infrastruktur lainnya. Perampasan tanah, kekerasan dan pembunuhan, serta pencemaran lingkungan
hidup adalah sejarah kelam peradaban manusia yang terjadi di wilayah konsesi PT. Freeport
McMoran di Timika, Papua. Bendungan Koto Panjang menenggelamkan ribuan kilometer persegi
area hutan dan perkampungan masyarakat adat Sumatera Barat. Terus, kebakaran hutan dan lahan
di Sumatera dan Kalimantan, yang menyebabkan kerugian luar biasa. Kemudian apakah hal itu akan
terus terjadi? Jawabannya Ya. Salah satu contohnya mengenai pengesahan Undang-Undang Mineral
dan Batubara [UU Minerba]. Saat negara sedang bertarung dengan Covid-19, pada saat itu juga
pemangku kepentingan negara mencuri momentum itu setelah melewati dan mengabaikan berbagai
penolakan dari beragam elemen masyarakat, khususnya para aktifis agraria, lingkungan hidup, dan
korban tambang.

Sayang seribu sayang, pada tahun 2012, Komnas HAM mengeluarkan keputusan bencana
Lumpur Lapindo bukan pelanggaran HAM berat. Komnas HAM memasukan kasus Lumpur Lapindo
dalam kategori pemusnahan lingkungan atau ecocide dan menilai kejahatan ini termasuk dalam
kejahatan berat serta berdampak sangat luas bagi kehidupan manusia. Kasus Lumpur Lapindo tidak
dapat menggunakan argumen pelanggaran HAM berat karena menurut UU No.26 Tahun 200 tentang
Pengadilan HAM, hanya ada dua kategori pelanggaran HAM yaitu kejahatan kemanusiaan dan
genosida. Selain itu, yurisprudensi pelanggaran HAM berat dilakukan oleh Negara, bukan korporasi.
Sebagai rekomendasi, Komnas HAM memasukan klausul ecocide dalam draf amandemen UU No.26
Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.

Pengadilan Kriminal Internasional sendiri telah meningkatkan penekanan pada penuntutan


kejahatan lingkungan dalam batasan yurisdiksi yang ada. Sebuah makalah kebijakan 2016 tentang
pemilihan kasus menyoroti kecenderungan pengadilan untuk menuntut kejahatan yang melibatkan
eksploitasi sumber daya alam ilegal, perampasan tanah, dan kerusakan lingkungan . Meskipun ini
tidak mengubah status quo, hal itu “dapat dianggap sebagai langkah penting menuju pembentukan
kejahatan ekosida di bawah hukum internasional.”
Meski begitu, konsep ecocide memiliki keterbatasan. David Whyte, profesor studi sosio-
hukum di University of Liverpool dan penulis buku Ecocide, memperingatkan bahwa hukum
internasional tidak akan menjadi peluru perak yang menghapus perusakan lingkungan. Korporasi
tidak dapat dituntut di bawah hukum pidana internasional, yang hanya berlaku untuk individu,
Whyte menunjukkan – dan menjatuhkan CEO mungkin tidak benar-benar mengendalikan bisnis itu
sendiri. Namun pada 2017, Partai Hijau Eropa mempertimbangkan rancangan resolusi untuk
pengakuan internasional atas kejahatan ecocide. Dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia [Walhi]
sejak 2004 mulai mendokumentasikan dan mengkampanyekan wacana dan sejumlah kasus
terhubung dengan kejahatan ecocide, seperti kasus pembangunan Bendungan Koto Panjang, serta
beberapa kasus pertambangan di Kalimantan.

Penutup

Haruskah membunuh alam menjadi kejahatan? Ini menjadi pertanyaan besar bagi kita
semua untuk membangun narasi kritis terhadap kerusakan lingkungan yang terus terjadi. Sangat
penting untuk mengubah bahasa kita dan cara kita berpikir tentang apa yang merusak lingkungan di
negara ini. Kita harus mendorong kejahatan ecoside ini sebagai kejahatan HAM tetapi itu tidak akan
mengubah apa pun kecuali, pada saat yang sama, kita mengubah model kapitalisme korporat di
negeri ini. Hukum internasional tentang ecoside juga akan sulit dari perspektif hukum. Jika kita
memikirkan semua bagian dari penuntutan pidana, kita perlu memiliki individu. Jadi siapa individu
yang bertanggung jawab atas ecocide? Perlu ada niat – jadi bagaimana kita membuktikan niat untuk
menghancurkan suatu wilayah? Semua hal berbeda yang membangun pengadilan kriminal ini
menjadi sangat rumit ketika kita berpikir tentang ecoside.

Namun demikian, selain kekurangan prosedural kejahatan “ecocide” yang diusulkan, masih
bisa diperdebatkan apakah kejahatan mendasar yang berdiri sendiri diperlukan untuk melindungi
dan melestarikan lingkungan dengan tepat. Namun, mengingat besarnya potensi bahaya yang
ditimbulkan oleh kerusakan lingkungan dan sifatnya yang tidak dapat diubah. Bagi penulis, Stop
Ecocide adalah solusi yang sangat nyata. Jelas, itu bukan satu-satunya solusi, tetapi ini adalah bagian
besar dari teka-teki karena benar-benar mengatakan bahwa menyebabkan kerusakan lingkungan ini
tidak baik. selalu ada alasan untuk tidak bertindak, selalu ada sesuatu yang harus dilakukan terlebih
dahulu, selalu ada sesuatu yang lebih penting untuk dilihat.

M. Ridha Saleh dalam bukunya Ecoside; Melawan Pelanggaran Berat HAM di Indonesia
menawarkan pilihan. Dunia internasional, termasuk Indonesia, harus mengakui ecoside sebagai
kejahatan terhadap kemanusiaan. Pilihan lainnya, membuang jauh-jauh sistem ekonomi kapitalistik
neoliberal dan menggantinya dengan suatu sistem ekonomi demokrasi kerakyatan. Yakni aktivitas
ekonomi dikosentrasikan pada pembangunan kapasitas produktivitas rakyat, bukan bertumpu pada
ilusi pertumbuhan yang dinilai menjelang kebangkrutan. Selain itu sangat dibutuhkan upaya
kampanye terus-menerus mengenai ecocide. Usulan Polly Higgins kepada Komisi Hukum PBB untuk
mengubah Statuta Roma dengan memasukan ecocide sebagai kejahatan kelima adalah kampanye,
termasuk pengadilan tiruan internasional di Den Haag pada 15 Oktober 2016.

Apakah prosesnya terjadi begitu cepat atau tidak, atau bahkan terjadi sama sekali, ecocide
telah terbukti menjadi ide yang kuat. Ini telah mengkristalkan konsep yang sering hilang dalam
diskusi tentang kebijakan dan teknologi: banyak yang melihat bahwa ada garis merah moral dalam
hal perusakan lingkungan. Dan ini adalah pengingat bahwa itu bukan tindakan tanpa korban: ketika
hutan terbakar dan lautan naik , manusia menderita di seluruh dunia. Apalagi para pelaku perbuatan
tersebut bukannya tidak bercacat. Justru demikian, kampanye mengkriminalisasi ecocide adalah
cara untuk menghentikan perusakan ekosistem bumi dan mereka yang hidup di dalamnya.***
(Penulis Merupakan Staff di Walhi Sumut)

Anda mungkin juga menyukai