PENDAHULUAN
1
2
metabolisme ikan. Sisa pakan dan hasil metabolisme ikan (feses dan urin) aka n
menghasilkan limbah berupa amonia. Amonia yang terlalu banyak dalam wadah
budidaya akan menjadi racun bagi ikan. Pada sistem akuaponik, bakteri yang
terdapat dalam media tumbuh tanaman dan wadah pemeliharaan ikan akan
mengubah amonia menjadi nitrit dan nitrat. Pada tanaman, nitrat berfungsi sebagai
nutrisi. Air yang kaya nutrisi dari wadah pemeliharaa n di salurkan kepada
tanaman, kemudian dimanfaatkan sebagai sebagai pupuk (Mullen, 2003).
Sistem akuaponik sangat cocok digunakan pada tanaman akuatik maupun semi-
akuatik. Kangkung darat (Ipomea reptans) merupakan salah satu jenis sayuran
yang cocok tanam pada sistem aquaponik karena bersifat semi-akuatik. Kangkung
merupakan sumber gizi murah dan sangat mudah ditemukan. Kangkung darat
yang memerlukan pengairan dan pemupukan akan mendapat air dan nutrisi yang
dibutuhkan melalui sistem akuaponik.
Kunci dari sistem akuaponik adalah pada proses biofiltrasi. Pada biofilter tumbuh
bakteri-bakteri pengurai amonia, bakteri-bakteri ini yang berkerja mengubah
amonia yang terdapat dalam perairan, tanpa bakteri ini sistem ini tidak akan
berjalan maksimal. Selama ini bakteri pengurai ammonia (Nitrosomonas sp. dan
Nitrospira sp.) dibiarkan berkembangbiak secara alamiah pada biofilter, sehingga
timbul pemikiran untuk menambahkan mikroorganisme lain untuk membantu
mempercepat proses nitrifikasi.
Ikan air tawar yang dapat digunakan dalam akuaponik sangat beragam, salah
satunya adalah ikan nilem. Ikan nilem yang merupakan ikan lokal Jawa Barat
yang sangat berpotensi untuk dikembangkan dengan sistem ini. Usaha budidaya
ikan nilem sebelum tahun 1970-an setara dengan ikan-ikan mas, gurame, tawes,
dan sepat siam serta berkembang pesat terutama di Jawa Barat. Jawa Barat saat itu
masih merupakan pusat budidaya ikan air tawar di Asia Tenggara. Setelah tahun
1970-an, popularitas ikan nilem mulai menurun dibandingkan ikan budidaya
lainnya. Hingga saat ini ikan nilem hanya popular di habitat aslinya di sekitar
Kabupaten Tasikmalaya dan Banyumas.
Atas dasar ini, perlu dilakukan penelitian mengenai pengaruh pemberian EM4
pada media biofilter terhadap ikan nilem. Adapun parameter yang diamati untuk
melihat pengaruh EM4 pada media biofilter adalah laju pertumbuhan dan
kelangsungan hidup ikan nilem dengan sistem akuaponik.
Penelitian ini diharapkan memberi informasi dan saran kepada peneliti mengenai
pengaruh EM4 pada media biofilter dengan sistem akuaponik.
Penggunaan EM memberikan hasil yang positif dalam budidaya ikan dan udang.
Teknologi EM sangat sukses digunakan pada budidaya udang di Thailand. EM
terbukti mengurangi biaya yang dikeluarkan sebesar 50%, mengurangi konsentrasi
amonia, methan dan H2S, udang menjadi bebas penyakit sehingga mengurangi
biaya untuk antibiotik dan air pada tambak menjadi lebih bersih sehingga tidak
perlu penggantian berulang kali. Pada budidaya ikan, dengan mencampurkan EM
pada pakan dapat meningkatkan laju pertumbuhan dan produktivitas ikan hingga
1-5% (Kyan et al. 1999).
Budidaya udang organik yang diberi EM pada salinitas yang berb eda dapat
mengendalikan kualitas air seperti pH, amonia dan fosfat, walaupun tidak
dilakukan pergantian air. Biaya produksi yang dikeluarkan lebih rendah, sehingga
pembudidaya medapat keuntungan lebih (Pongdit dan Thongkaew, 2002).
Pemberian EM4 berpengaruh terhadap perbaikan kualitas limbah cair tahu dan
tingkat kelangsungan hidup benih ikan mas (Cyprinus carpio L.) Penggunaan
EM4 dengan konsentrasi 35 mL/L memberikan parameter perbaikan kualitas
media pemeliharaan limbah cair tahu tertinggi dibandingkan dengan konsentrasi
lainnya yaitu pH 8,47, DO 5,00 mg/L, BOD 42,40 mg/L, ammonia 0,22 mg/L,
nitrat 1,57 mg/L dan H2S 0,02 mg/L. (Kusnaningsih, 2005).
Penelitian yang dilakukan terhadap larva ikan mas dengan media yang tidak
2
disiphon selama 15 hari pada padat penebaran 150 ekor/m menunjukkan bahwa
pemberian EM4 dengan konsentrasi 10 mL/L memberikan perbaikan terhadap
parameter kualitas media budidaya seperti pH (5,64-7,94), DO (1,26-6 mg/L),
Amonia (0,01- 0,535 mg/L) dengan derajat kelangsungan hidup ikan mas
mencapai 69, 78% (Murtiati, 2003 dalam Kusnaningsih, 2005).
1.6 Hipotesis