Anda di halaman 1dari 49

BAB I

PENDAHULUAN

Laser femtosecond (FS) adalah laser inframerah dengan durasi yang sangat
cepat yaitu kisaran (10-15 s) dengan panjang gelombang 1053 nm. Durasi yang
sangat cepat ini memungkinkan untuk memberikan energi laser yang tepat dengan
zona kerusakan yang minimal. Laser ini menghasilkan energi cahaya yang akhirnya
diserap dan menimbulkan fotoablasi.
Teknologi laser femtosecond pertama kali digunakan untuk penggantian
microkeratome mekanik dalam tindakan (LASIK) di oftalmologi. Kemampuan laser
FS untuk fotodisrupsi jaringan dengan kerusakan kolateral yang minimal telah
menjadi pertimbangan bahwa alat ini menguntungkan untuk operasi kornea. Untuk
mengevaluasi potensi pembedahan refraktif,
Dengan perbaikan teknologi ini, laser FS bisa diaplikasikan di semua bidang
operasi kornea termasuk cincin terowongan intrastromal, lamelar dan penetrasi
keratoplasti, keratotomi silindris dengan peningkatan keamanan dan prediktabilitas.
Baru-baru ini, selain operasi kornea, laser FS juga telah digunakan dalam operasi
katarak untuk membuat capsulorhexis dan fragmentasi lensa yang tepat. Spektrum
aplikasi FS laser terus berkembang setiap hari, contohnya adalah untuk (1)
Pembuatan flap LASIK, (2) Ekstraksi lenticular refraktif / ReLEx (yang terdiri dari
ekstraksi lenticular laser femtosecond / FLEx, dan ekstraksi lenticular insisi kecil /
SMILE), (3) Penanganan presbiopi dengan INTRACOR, tambalan kornea, dan
lentotomi laser femtosecond, (4) Keratoplasti yang terdiri dari keratoplasti peneterasi,
anterior lamellar keratoplasti, dan keratoplasti endothelial, (5) keratotomy
astigmatisme, (6) Intrastrromal corneal ring segment (ICRS) untuk menunda atau
mencegah transplantasi kornea pada pasien dengan ektasia kornea., (7) collagen cross
linking, (8) operasi katarak, (9) corneal tattooing, dan (10) keperluan diagnostik.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi dan Fisiologi Mata


2.1.1. Anatomi Kelopak Mata
Kelopak mata atau palpebra mempunyai fungsi melindungi bola mata, serta
mengeluarkan sekresi kelenjarnya membentuk film air mata di depan kornea.
Palpebra merupakan alat menutup mata yang berguna untuk melindungi bola mata
terhadap trauma, trauma sinar, dan pengeringan bola mata (Ilyas, 2010). Kelopak
mata mempunyai lapisan kulit yang tipis pada bagian depan, sedang di bagian
belakang ditutupi selaput lendir tarsus yang disebut konjungtiva tarsal. Gangguan
penutupan kelopak akan mengakibatkan keringnya permukaan mata sehingga
terjadinya keratitis et lagoftalmos.
Pada kelopak terdapat bagian :
a. Kelenjar seperti : kelenjar sebasea, kelenjar Moll atau kelenjar keringat,
kelenjar Zeis pada pangkal rambut, dan kelenjar Meibom pada tarsus.
b. Otot seperti : M. orbikularis okuli yang berjalan melingkar di dalam
kelopak atas dan bawah, dan terletak di bawah kulit kelopak. Pada dekat tepi margo
palpebra terdapat otot orbikularis okuli yang disebut sebagai M. Rioland. M.
Orbicularis berfungsi menutup bola mata yang dipersarafi Nervus Fasial M. Levator
palpebra, yang berorigo pada annulus foramen orbita dan berinsersi pada tarsus atas
dengan sebagian menembus M. Orbicularis okuli menuju kulit kelopak bagian
tengah. Bagian kulit tempat insersi M. levator palpebra terlihat sebagai sulkus
(lipatan) palpebra. Otot ini depersarafi oleh n.III, yang berfungsi untuk mengangkat
kelopak mata.
c. Didalam mata terdapat tarsus yang merupakan jaringan ikat dengan kelenjar
didalamnya atau kelenjar Meibom yang bermuara pada margo palpebra.
d. Septum orbita yang merupakan jaringan fibrosis berasal dari rima orbita
merupakan batas isi orbita dengan kelopak depan.
e. Tarsus ditahan oleh septum orbita yang melekat pada rima orbita pada
seluruh lingkaran pembukaan rongga orbita. Pembuluh darah yang memperdarahinya
adalah a. palpebra.
f. Persarafan sensorik kelopak mata atas di dapatkan dari rumus frontal n.V,
sedang kelopak bawah oleh cabang ke II saraf ke V. Konjungtiva tarsal yang terletak
di belakang kelopak hanya dapat dilihat dengan melakukan eversi kelopak.
Konjungtiva tarsal melalui forniks menutup bulbus okuli. Konjungtiva merupakan
membran mukosa yang mempunyai sel Goblet yang menghasilkan musin (Ilyas,
2010).
2.1.2. Anatomi Sistem Lakrimal
Sistem sekresi air mata atau lakrimal terletak di daerah temporal bola mata.
Sistem ekskresi mulai pada pungtum lakrimal, kanalikuli lakrimal, sakus lakrimal,
duktus nasolakrimal, meatus inferior.
Sistem lakrimal terdiri atas 2 bagian, yaitu : a. Sistem produksi atau glandula
lakrimal. Glandula lakrimal terletak di temporo antero superior rongga orbita. b.
Sistem ekskresi, yang terdiri atas pungtum lakrimal, kanalikuli lakrimal, sakus
lakrimal dan duktus nasolakrimal. Sakus lakrimal terletak di bagian depan rongga
orbita. Air mata dari duktus lakrimal akan mengalir ke dalam rongga hidung di dalam
meatus inferior (Ilyas, 2010). Film air mata sangat berguna untuk kesehatan mata. Air
mata akan masuk kedalam sakus lakrimal melalui pungtum lakrimal. Bila pungtum
lakrimal tidak menyinggung bola mata, maka air mata akan keluar melalui margo
palpebra yang disebut epifora. Epifora juga akan terjadi akibat pengeluaran air mata
yang berlebihan dari kelenjar lakrimal (Ilyas, 2010). Untuk melihat adanya sumbatan
pada duktus nasolakrimal, maka sebaiknya di lakukan penekanan pada sakus
lakrimal. Bila terdapat penyumbatan yang disertai dakriosistitis, maka cairan
berlendir kental akan keluar melalui pungtum lakrimal (Ilyas, 2010).
2.1.3 Anatomi Konjungtiva
Konjungtiva merupakan membran yang menutupi sklera dan kelopak bagian
belakang. Bermaca-macam obat mata dapat diserap melalui konjungtiva ini.
Konjungtiva mengandung kelenjar musin yang di hasilkan oleh sel Goblet. Musin
bersifat membasahi bola mata terutama kornea.
Konjungtiva terdiri atas tiga bagian, yaitu : a. Konjungtiva tarsal yang
menututpi tarsus, konjungtiva tarsal sukar di gerakkan dari tasus. b. Konjungtiva
bulbi menututpi sklera dan mudah di gerakkan dari sklera di bawahnya. c.
Konjungtiva fornises atau forniks konjungtiva yang merupakan tempat peralihan
konjungtiva tarsal dengan konjungtiva bulbi. Konjungtiva bulbi dan forniks
berhubungan dengan sangat longgar dengan jaringan di bawahnya sehingga bola mata
mudah bergerak (Ilyas, 2010).

2.1.4 Anatomi Bola Mata


Bola mata berbentuk bulat dengan panjang maksimal 24 mm. Bola mata di
bagian depan (kornea) mempunyai kelengkungan yang lebih tajam sehingga terdapat
bentuk dengan 2 kelengkungan yang berbeda. Bola mata dibungkus oleh 3 lapis
jaringan, yaitu : 1. Sklera merupakan jaringan ikat yang kenyal dan memberikan
bentuk pada mata, merupakan bagian terluar yang melindungi bola mata. Bagian
terdepan sklera disebeut kornea yang bersifat transparan yang memudahkan sinar
masuk ke dalam bola mata. Kelengkungan kornea lebih besar dibanding sklera. 2.
Jaringan uvea merupakan jaringan vaskular. Jaringan sklera dan uvea dibatasi oleh
ruang yang potensial mudah dimasuki darah bila terjadi perdarahan pada ruda paksa
yang disebut perdarahan suprakoroid. Badan siliar yang terletak di belakang iris
menghasilkan cairan bilik mata (akuous humor), yang dikeluarkan melalui
trabekulum yang terletak pada pangkal iris di batas kornea dan sklera. 3. Lapis ketiga
bola mata adalah retina yang terletak paling dalam dan mempunyai susunan lapis
sebanyak 10 lapis yang merupakan lapis membran neurosensoris yang akan merubah
sinar menjadi rangsangan pada saraf optik dan diteruskan ke otak.
Badan kaca mengisi rongga di dalam bola mata dan bersifat gelatin dan hanya
menempel papil saraf optik, makula dan pars plana. Bila terdapat jaringan ikat
didalam badan kaca disertai dengan tarikan pada retina, maka akan robek dan terjadi
ablasi retina (Ilyas, 2010). Lensa terletak dibelakang pupil yang dipegang di daerah
ekuatornya pada badan siliar melalui Zonula Zinn. Lensa mata mempunyai peran dan
akomodasi atau melihat dekat sehingga sinar dapat difokuskan di daerah makula lutea
(Ilyas, 2010). Terdapat 6 otot pergerakkan bola mata, dan terdapat kelenjar lakrimal
yang terletak di daerah temporal atas di dalam rongga orbita.
A. Kornea
Kornea (Latin cornum = seperti tanduk)adalah selaput bening mata,
bagian selaput mata yang tembus cahaya, merupakan lapis jaringan yang
menutup bola mata sebelah depan dan terdiri dari atas lapis : 1. Epitel a.
Tebalnya 50 m, terdiri atas 5 lapis sel epitel tidak bertanduk yang saling
tumpang tindih; satu lapis sel basal, sel polygonal dan sel gepeng. b. Pada
sel basal sering terlihat mitosis sel. Universitas Sumatera Utara c. Sel
basal menghasilkan membran basal yang melekat erat kepadanya. Bila
terjadi gangguan akan mengakibatkan erosi rekuren. d. Epitel berasal dari
ektoderm permukaan. 2. Membran Bowman a. Terletak di bawah
membran basal epitel kornea yang merupakan kolagen yang tersusun tidak
teratur seperti stroma dan berasal dari bagian depan stroma. b. Lapis ini
tidak mempunyai daya regenerasi. 3. Stroma a. Terdiri atas lamel yang
merupakan susunan kolagen yang sejajar satu dengan lainnya, pada
permukaan terlihat anyaman yang teratur sedang di bagian perifer serat
kolagen ini bercabang. 4. Membran descement a. Merupakan membran
aseluler dan merupakan batas belakang stroma kornea dihasilkan sel
endotel dan merupakan membran basalnya. b. Bersifat sangat elastik dan
berkembang seumur hidup, mempunyai tebal 40 m. 5. Endotel a. Berasal
dari mesotelium, berlapis satu, bentuk heksagonal, besar 20-40 m.
Endotel melekat pada membran descement melalui hemidesmosom dan
zonula okluden. b. Kornea dipersarafi oleh banyak saraf sensoris terutama
berasal dari saraf siliar longus, saraf nasosiliar, saraf ke V saraf siliar
longus berjalan suprakoroid, masuk kedalam stroma kornea, menembus
membran Bowman melepaskan selubung Schwannya (Ilyas, 2010). c.
Kornea merupakan bagian mata yang tembus cahaya dan menutup bola
mata di sebelah depan. Pembiasan sinar terkuat dilakukan oleh kornea,
dimana 40 dioptri dari 50 dioptri pembiasan sinar masuk kornea dilakukan
oleh kornea (Ilyas, 2010).
B. Uvea
Lapis vaskular di dalam bola mata yang terdiri atas iris, badan siliar dan
koroid. Persarafan uvea didapatkan dari ganglion siliar yang terletak
antara bola mata dengan otot rektus lateral, 1 cm di depan foramen optik,
yang menerima 3 akar saraf di bagian posterior yaitu : 1. Saraf sensoris,
yang berasal dari saraf nasosiliar yang mengandung serabut sensoris untuk
kornea, iris dan badan siliar. 2. Saraf simpatis yang membuat pupil
berdilatasi, yang berasal dari saraf simpatis yang melingkari arteri karotis;
mempersarafi pembuluh darah uvea dan untuk dilatasi pupil. 3. Akar saraf
motor yang akan memberikan saraf parasimpatis untuk mengecilkan pupil.
Pada ganglion siliar hanya saraf parasimpatis yang melakukan sinaps. Iris
terdiri dari atas bagian pupil dan bagian tepi siliar, badan siliar terletak
antara iris dan koroid. Batas antara korneosklera dengan badan siliar
belakang adalah 8 mm temporal dan 7 mm nasal. Di dalam badan siliar
terdapat 3 otot akomodasi yaitu longitudinal, radiar dan sirkular (Ilyas,
2010). Iris mempunyai kemampuan mengatur secara otomatis masuknya
sinar ke dalam bola mata. Reaksi pupil ini merupakan juga indikator untuk
fungsi simpatis (midriasis) dan parasimpatis (miosis) pupil. Badan siliar
merupakan susunan otot melingkar dan mempunyai sistem ekskresi di
belakang limbus. Radang badan siliar akan mengakibatkan melebarnya
pembuluh darah di daerah limbus, yang akan mengakibatkan mata merah
yang merupakan gambaran karakteristik peradangan intraocular (Ilyas,
2010). Otot longitudinal badan siliar yang berinsersi di daerah baji sklera
bila berkonstraksi akan membuka anyaman trabekula dan mempercepat
pengaliran cairan mata melalui sudut bilik mata (Ilyas, 2010). Universitas
Sumatera Utara Otot melingkar badan siliar bila berkontraksi pada
akomodasi akan mengakibatkan mengendornya zonula Zinn sehingga
terjadi pencembungan lensa (Ilyas, 2010). Kedua otot ini dipersarafi oleh
saraf parasimpatik dan bereaksi baik terhadap obat parasimpatomimetik.
C. Pupil
Pupil anak-anak berukuran kecil akibat belum berkembangnya saraf
simpatis. Orang dewasa ukuran pupil adalah sedang, dan pada orang tua,
pupil mengecil akibat rasa silau yang dibangkitkan oleh lensa yang
sklerosis (Ilyas, 2010). Pupil waktu tidur kecil, hal ini dipakai sebagai
ukuran tidur, simulasi, koma dan tidur sesungguhnya. Pupil kecil waktu
tidur akibat dari : 1. Berkurangnya rangsangan simpatis 2. Kurangnya
rangsangan hambatan miosis Bila subkorteks bekerja sempurna maka
terjadi miosis. Di waktu bangun korteks menghambat pusat subkorteks
sehingga terjadi midriasis. Waktu tidur hambatan subkorteks hilang
sehingga terjadi kerja subkorteks yang sempurna yang akan
meningkatakan miosis. Fungsi mengecilnya pupil untuk mencegah aberasi
kromatis pada akomodasi dan untuk memperdalam fokus seperti pada
kamera foto yang diafragmanya di kecilkan (Ilyas, 2010).
D. Sudut Bilik Mata Depan
Sudut bilik mata yang dibentuk jaringan korneosklera dengan pangkal iris.
Pada bagian ini terjadi pengaliran keluar cairan bilik mata. Bila terdapat
hambatan pengaliran keluar cairan mata akan terjadi penimbunan cairan
bilik mata di dalam bola mata sehingga tekanan bola mata meninggi atau
glaukoma. Berdekatan dengan sudut ini di dapatkan jaringan trabekulum,
kanal Schlemm, baji sklera, garis Schwalbe dan jonjot iris (Ilyas, 2010).
E. Lensa Mata
Jaringan ini berasal dari ektoderm permukaan yang berbentuk lensa di
dalam mata dan bersifat bening. Lensa di dalam bola mata terletak di
belakang iris yang terdiri dari zat tembus cahaya berbentuk seperti cakram
yang dapat menebal dan menipis pada saat terjadinya akomodasi (Ilyas,
2010).
Secara fisiologik lensa mempunyai sifat tertentu, yaitu : a. Kenyal atau
lentur karena memegang peranan terpenting dalam akomodasi untuk
menjadi cembung. b. Jernih atau transparan karena diperlukan sebagai
media penglihatan. c. Terletak di tempatnya.
Keadaan patologik lensa ini dapat berupa : a. Tidak kenyal pada orang
dewasa yang akan mengakibatkan presbiopia, b. Keruh atau apa yang
disebut katarak, c. Tidak berada di tempat atau subluksasi dan dislokasi.
F. Badan Kaca
Badan kaca merupakan suatu jaringan seperti kaca bening yang terletak
antara lensa dan retina. Badan kaca bersifat semi cair di dalam bola mata.
Mengandung air sebanyak 90% sehingga tidak dapat lagi menyerap air
(Ilyas, 2010).
G. Retina
Retina atau selaput jala, merupakan bagian mata yang mengandung
reseptor yang menerima rangsangan cahaya (Ilyas, 2010). Retina berbatas
dengan koroid dengan sel pigmen epitel retina, dan terdiri atas lapisan : 1.
Lapis fotoreseptor, merupakan lapis terluar retina terdiri atas sel batang
yang mempunyai bentuk ramping dan sel kerucut. 2. Membran limitan
eksterna yang merupakan membran ilusi. 3. Lapis nukleus luar,
merupakan susunan lapisan nukleus sel kerucut dan batang. Ketiga lapis
diatas avaskular dan mendapat metabolisme dari kapiler koroid. 4. Lapis
fleksiform luar, merupakan lapis aselular dan merupakan tempat asinapsis
sel fotoreseptor dengan sel bipolar dan sel horizontal. 5. Lapis nukleus
dalam, merupakan tubuh sel bipolar, sel horizontal dan sel muller lapis ini
mendapat metabolisme dari arteri retina sentral. 6. Lapis fleksiform dalam,
merupakan lapis aselular merupakan tempat sinaps bipolar, sel amakrin
dengan sel ganglion. 7. Lapis sel ganglion yang merupakan lapis badan sel
daripada neuron kedua. 8. Lapis serabut saraf, merupakan lapis akson sel
ganglion menuju saraf optik. Di dalam lapisan-lapisan ini terletak
sebagian besar pembuluh darah retina. 9. Membran limitan interna,
merupakan membran hialin antara retina dan badan kaca. Pembuluh darah
di dalam retina merupakan cabang arteri oftalmika, arteri retina sentral
masuk retina melalui papil saraf optik yang akan memberikan nutrisi pada
retina dalam (Ilyas, 2010).
Lapisan luar retina atau sel kerucut dan batang mendapat nutrisi dan
koroid. Untuk melihat fungsi retina maka dilakukan pemeriksaan
subyektif retina seperti : tajam penglihatan, penglihatan warna, dan
lapangan pandang. Pemeriksaan obyektif adalah elektroretinografi (ERG),
elektrookulografi (EOG), dan visual evoked respons (VER) (Ilyas, 2010).
H. Saraf Optik
Saraf optik yang keluar dari polus posterior bola mata membawa 2 jenis
serabut saraf, yaitu : saraf penglihat dan serabut pupilomotor. Kelainan
saraf optik menggambarkan gangguan yang diakibatkan tekanan langsung
atau tidak langsung terhadap saraf optik ataupun perbuatan toksik dan
anoksik yang mempengaruhi penyaluran aliran listrik (Ilyas, 2010).
I. Sklera
Bagian putih bola mata yang bersama-sama dengan kornea merupakan
pembungkus dan pelindung isi bola mata. Sklera berjalan dari papil saraf
optik sampai kornea.
J. Rongga Orbita
Rongga orbita adalah rongga yang berisi bola mata dan terdapat 7 tulang
yang membentuk dinding orbita yaitu : lakrimal, etmoid, sfenoid, frontal,
dan dasar orbita yang terutama terdiri atas tulang maksila, bersama-sama
tulang palatinum dan zigomatikus (Ilyas, 2010). Rongga orbita yang
berbentuk pyramid ini terletak pada kedua sisi rongga hidung. Dinding
lateral orbita membentuki sudut 45 derajat dengan dinding medialnya.
Dinding orbita terdiri atas tulang : 1. Atap atau superior : os.frontal 2.
Lateral : os.frontal, os. zigomatik, ala magna os sfenoid 3. Inferior : os.
zigomatik, os. maksila, os. palatin 4. Nasal : os. maksila, os. lakrimal, os.
etmoid Foramen optik terletak pada apeks rongga orbita, dilalui oleh saraf
optik, arteri, vena, dan saraf simpatik yang berasal dari pleksus karotid.
Fisura orbita superior di sudut orbita atas temporal dilalui oleh saraf
lakrimal (V), saraf frontal (V), saraf troklear (IV), saraf okulomotor (III),
saraf nasosiliar (V), abdusen (VI), dan arteri vena oftalmik. Fisura orbita
inferior terletak di dasar tengah temporal orbita dilalui oleh saraf infra-
orbita, zigomatik dan arteri infra orbita. Fosa lakrimal terletak di sebelah
temporal atas tempat duduknya kelenjar lakrimal.
K. Otot Penggerak Mata
Otot ini menggerakkan mata dengan fungsi ganda dan untuk pergerakan
mata tergantung pada letak dan sumbu penglihatan sewaktu aksi otot
(Ilyas, 2010). Otot penggerak mata terdiri atas 6 otot yaitu :
1. Oblik inferior mempunyai origo pada fosa lakrimal tulang lakrimal,
berinsersi pada sklera posterior 2 mm dari kedudukan makula, dipersarafi
saraf okulomotor, bekerja untuk menggerakkan mata keatas, abduksi dan
eksiklotorsi (Ilyas, 2010).
2. Otot Oblik Superior Oblik superior berorigo pada anulus Zinn dan ala
parva tulang sfenoid di atas foramen optik, berjalan menuju troklea dan
dikatrol balik dan kemudian berjalan di atas otot rektus superior, yang
kemudian berinsersi pada sklera dibagian temporal belakang bola mata.
Oblik superior dipersarafi saraf ke IV atau saraf troklear yang keluar dari
bagian dorsal susunan saraf pusat (Ilyas, 2010).
3. Otot Rektus Inferior Rektus inferior mempunyai origo pada anulus
Zinn, berjalan antara oblik inferior dan bola mata atau sklera dan insersi 6
mm di belakang limbus yang pada persilangan dengan oblik inferior diikat
kuat oleh ligamen Lockwood. Rektus inferior dipersarafi oleh n. III (Ilyas,
2010). Fungsi menggerakkan mata : - Depresi - Eksoklotorsi (gerak
sekunder) - Aduksi (gerak sekunder)
4. Otot Rektus Lateral Rektus lateral mempunyai origo pada anulus Zinn
di atas dan di bawah foramen optik. Rektus lateral dipersarafi oleh N. VI.
Dengan pekerjaan menggerakkan mata terutama abduksi (Ilyas, 2010).
5. Otot Rektus Medius Rektus medius mempunyai origo pada anulus Zinn
dan pembungkus dura saraf optik yang sering memberikan dan rasa sakit
pada pergerakkan mata bila terdapat retrobulbar, dan berinsersi 5 mm di
belakang limbus. Rektus medius merupakan otot mata yang paling tebal
dengan tendon terpendek. Menggerakkan mata untuk aduksi (gerakan
primer) (Ilyas, 2010).
6. Otot Rektus Superior Rektus superior mempunyai origo pada anulus
Zinn dekat fisura orbita superior beserta lapis dura saraf optik yang akan
memberikan rasa sakit pada pergerakkan bola mata bila terdapat neuritis
retrobulbar. Otot ini berinsersi 7 mm di belakang limbus dan dipersarafi
cabang superior N.III (Ilyas, 2010). Fungsinya menggerakkan mata-
elevasi, terutama bila mata melihat ke lateral : - Aduksi, terutama bila
tidak melihat ke lateral Insiklotorsi
2.1.5. Proses Visual
Mata Proses visual mata dimulai saat cahaya memasuki mata, terfokus
pada retina dan menghasilkan sebuah bayangan yang kecil dan terbalik. Ketika
dilatasi maksimal, pupil dapat dilalui cahaya sebanyak lima kali lebih banyak
dibandingkan ketika sedang kontraksi maksimal. Diameter pupil ini sendiri diatur
oleh dua elemen kontraktil pada iris yaitu papillary constrictor yang terdiri dari
otot-otot sirkuler dan papillary dilator yang terdiri dari sel-sel epithelial kontraktil
yang telah termodifikasi. Sel-sel tersebut dikenal juga sebagai myoephitelial cells
(Saladdin, 2006).
Jika sistem saraf simpatis teraktivasi, sel-sel ini berkontraksi dan
melebarkan pupil sehingga lebih banyak cahaya yang dapat memasuki mata.
Kontraksi dan dilatasi pupil terjadi pada kondisi dimana intensitas cahaya berubah
dan ketika memindahkan arah pandangan kita ke benda atau objek yang dekat
atau jauh.
Pada tahap selanjutnya, setelah cahaya memasuki mata, pembentukan
bayangan pada retina bergantung pada kemampuan refraksi mata (Saladdin,
2006). Beberapa media refraksi mata yaitu kornea (n=1.38), aqueous humor
(n=1.33), dan lensa (n=1.40). Kornea merefraksi cahaya lebih banyak
dibandingkan lensa. Lensa hanya berfungsi untuk menajamkan bayangan yang
ditangkap saat mata terfokus pada benda yang dekat dan jauh.
Setelah cahaya mengalami refraksi, melewati pupil dan mencapai retina,
tahap terakhir dalam proses visual adalah perubahan energi cahaya menjadi aksi
potensial yang dapat diteruskan ke korteks serebri. Proses perubahan ini terjadi
pada retina (Saladdin,2006). Retina memiliki dua komponen utama yakni
pigmented retina dan sensory retina. Pada pigmented retina, terdapat selapis sel-
sel yang berisi pigmen melanin yang bersama-sama dengan pigmen pada choroid
membentuk suatu matriks hitam yang mempertajam penglihatan dengan
mengurangi penyebaran cahaya dan mengisoloasi fotoreseptor-fotoreseptor yang
ada.
Pada sensory retina, terdapat tiga lapis neuron yaitu lapisan fotoreseptor,
bipolar dan ganglionic. Badan sel dari setiap neuron ini dipisahkan oleh plexiform
layer dimana neuron dari berbagai lapisan bersatu. Lapisan pleksiformis luar
berada diantara lapisan sel bipolar dan ganglionic sedangkan lapisan pleksiformis
dalam terletak diantara lapisan sel bipolar dan ganglionic (Seeley, 2006). Setelah
aksi potensial dibentuk pada lapisan sensori retina, sinyal yang terbentuk akan
diteruskan ke nervus optikus, optic chiasm, optic tract, lateral geniculate dari
thalamus, superior colliculi dan korteks serebri (Seeley, 2006). Gambaran jaras
penglihatan yang telah dijelaskan sebelumnya dapat dilihat pada gambar berikut.

Penglihatan manusia dapat dibagi menjadi dua, yaitu :


1. Central Vision
Central vision adalah penglihatan yang timbul pada saat cahaya jatuh
pada area makula lutea retina dan memberikan stimulus pada
fotoreseptor yang berada pada area tersebut. (Riordan-Eva, 2007).
2. Peripheral Vision
Peripheral vision adalah penglihatan yang timbul pada saat cahaya
jatuh pada area diluar macula lutea retina dan memberikan stimulus
pada fotoreseptor yang berada pada area tersebut. Penglihatan perifer
dapat ditinjau secara cepat dengan menggunakan confrontation testing.
Pada pemeriksaan ini, mata yang tidak diperiksa ditutup dengan
menggunakan telapak tangan dan pemeriksa duduk sejajar dengan
pasien. Jika mata kanan pasien diperiksa, maka mata kiri pasien
ditutup dan mata kanan pemeriksa ditutup. Pasien diminta untuk
melihat lurus sejajar dengan mata kiri pemeriksa. Untuk mendeteksi
adanya gangguan, pemeriksa menunjukan angka tertentu dengan
menggunakan jari tangan yang diletakkan diantara pasien dan
pemeriksa pada keempat kuadran penglihatan. Pasien diminta untuk
mengidentifikasi angka yang ditunjukkan (Riordan-Eva, 2007).

2.2. Penggunaan Femtosecond Laser Pada Kasus Myopia


Keratomileusis pertama kali dilakukan oleh Professor Jose Ignacio Barraquer.
Teknik ini terus berkembang hingga penggunaan femtosecond laser untuk bedah
refraksi pertama kali diperkenalkan pada tahun 2001. Mekanisme kerja dari
femtosecond laser adalah photodisruption. Pada tahun 2006 diperkenalkan metode
baru intrastromal keratomileusis yaitu refractive lenticule extraction. Refractice
lenticule extraction mempunyai dua prosedur yaitu Femtosecond Lenticule Extraction
dan Small Incision Lenticule Extraction. Pada Femtosecond Lenticule Extraction
masih menggunakan flap seperti pada LASIK untuk menjangkau lentikula stroma.
Pada Small Incision Lenticule Extraction hanya insisi kecil yang dibuat sehingga
meminimalisir trauma pada permukaan kornea.
Pada Femtosecond Lenticule Extraction pasien awalnya diberikan anastesi topical 5
menit dan 1 menit sebelum dilakukan operasi dan selanjutnya pasien diposisikan pada alat
femtosecond laser. Pertama laser femtosecond membuat bagian belakang lentikula
intrastromal dari perifer ke sentral dengan mekanisme photodisruption. Lalu bagian depan
lentikula dibuat sampai ke permukaan dan pada bagian atas dibuat engsel untuk flap. Ukuran
diameter flap yang dibuat adalah 8 mm sedangkan diameter lentikula adalah 6,5 mm. Spatula
tumpul digunakan untuk memisahkan flap dan lentikula, selanjutnya flap diangkat dan
lentikula diangkat menggunakan forsep. Setelah selesai flap diposisikan kembali ke posisi
semula lalu permukaan kornea diberikan larutan salin. Pada akhir prosedur pasien
mendapatkan satu tetes chloramphenicol dan satu tetes diclofenac.
Perbedaan metode pada Femtosecond Lenticule Extraction dengan Small Incision
Lenticule Extraction akan memberikan hasil dan efek yang berbeda. Pada bahasan
selanjutnya bertujuan untuk membandingkan dan mengevaluasi efikasi, keamanan,
sensitivitas kontras, abrasi cahaya dan kepuasan pasien setelah Femtosecond Lenticule
Extraction dan Small Incision Lenticule Extraction pada pasien myopia tinggi. Perbandingan
dilakukan dengan cara memberikan perlakuan yang berbeda pada kedua mata. Pada mata
yang satu dilakukan operasi Femtosecond Lenticule Extraction dan Small Incision Lenticule
Extraction pada mata lainnya.
Untuk mengetahui perbedaan tersebut dilakukan penelitian yang memiliki beberapa
kriteria inklusi dan kriteia eksklusi. Kriteria inklusinya adalah pasien dengan umur 25-45
tahun, myopia stabil satu tahun terkahir, Corrected Distance Visual Acuity (CDVA) 20/25
atau lebih baik, Sferical Equivalent (SE) -6.00 sampai -10.00 dioptri dengan perbedaan
kurang dari 2 dioptri pada masing-masing mata dan pasien harus berhenti menggunakan soft
contact lens sejak 2 hari sebelum tindakan. Kriteria eksklusinya adalah penggunaan hard
contact lens, central cornea thickness (CCT) kurang dari 480 m, kehamilan atau menyusui
dan kondisi mata lainnya.
Perbandingan dilakukan pada ketajaman visus, sensitivitas kontras, higher order
aberration, dan kepuasan pasien. Ketajaman visus yang dinilai adalah CDVA dan
Uncorrected Distance Visual Acuity (UDVA) dengan menggunakan Landolt C optotype of
1.1 logMAR. Sensitivitas kontras diukur menggunakan Freiburg Acuity and Contrast
Sensitivity. Higher order aberration diukur menggunakan Wasca Analyzer. Untuk kepuasan
pasien dinilai melalui kuesioner yang sudah tervalidasi sebelumnya. Pasien diharapkan
kembali pada 1 minggu, 1 bulan, 3 bulan dan 6 bulan setelah operasi untuk dilakukan
pemeriksaan.
Hasil UDVA yang dicapai tidak jauh berbeda pada tindakan Femtosecond Lenticule
Extraction dan Small Incision Lenticule Extraction. UDVA yang dicapai pada hari pertama
setelah operasi 90% lebih baik dari 20/40 sedangkan pada 6 bulan setelah operasi dicapai
0.02 0.14 logMAR (sebanding dengan 1 huruf lebih buruk daripada 20/20) pada
Femtosecond Lenticule Extraction dan -0.02 0.08 logMAR (sebanding dengan 1 huruf
lebih baik daripada 20/20) pada Small Incision Lenticule Extraction. Rata-rata CDVA
sebelum operasi -0.04 0.06 logMAR (sebanding dengan 2 huruf lebih baik daripada 20/20).
Setelah operasi hanya ada 1 orang yang mengalami kemunduran 1 garis pada CDVA sisanya
tidak ada perubahan atau bahkan mengalami kemajuan 1 garis pada CDVA.
Ada 1 yang mengalami sedikit perubahan zona optik pada tindakan Femtosecond
Lenticule Extraction dan ada 2 pada tindakan Small Incision Lenticule Extraction. Terdapat
tiga komplikasi intraoperative pada tiga mata yang diberikan tindakan Small Incision
Lenticule Extraction. Pada pemeriksaan slitlamp seusai operasi tidak ada tanda-tanda ectasia
dan perforasi. Tidak ada perbedaan yang signifikan antara hasil refraksi yang diharapkan
dengan yang didapat. Pada kedua kelompok percobaan tidak ada perbedaan yang berarti pada
penilaian HOA. HOA meningkat setelah 6 bulan operasi pada kedua kelompok tersebut
meskipun pada corneal spherical aberration terjadi penurunan. Pada sesitivitas kontras rata-
rata logCS sebelum operasi adalah 1.50 0.10 pada kedua grup. 6 bulan setelah operasi rata-
rata logCS menjadi 1.47 0.11 pada Femtosecond Lenticule Extraction dan 1.47 0.10 pada
Small Incision Lenticule Extraction. Tidak ada perbedaan yang signifikan pada kedua teknik
tersebut dalam hal sesitivitas terhadap kontras. Tingkat kepuasan pasien yang dinilai
menggunakan kuesioner menunjukan bahwa semua pasien merasa puas dan sangat puas
terhadap kedua operasi tersebut meskipun ada 1 pasien yang tidak terlalu puas karena masih
harus menggunakan kacamata dan 4 pasien ada yang mengeluh pengelihatannya sedikit
terganggu pada malam hari.
Manfaat, keamanan, kemungkinan refraksi, dan kepuasan pasien pada kedua teknik
tersebut hampir sama, hal ini sesuai dengan penelitian sebelumnya. Hal ini disebabkan karena
perbedaan teknik ini hanya pada pembuatan flap dan insisi kecil. Komplikasi intraoperatif
yang terjadi lebih sering pada Small Incision Lenticule Extraction. Ini mungkin terjadi karena
lebih sulitnya teknik yang digunakan dibandingkan dengan Femtosecond Lenticule
Extraction, meskipun teknik tanpa menggunakan flap dianggap akan menjadi keuntungan
karena mengurangi denervasi kornea dan gejala pada permukaan mata. Pada hasil penelitian
walaupun terjadi peningkatan abrasi tapi tidak ada perbedaan HOA pada teknik Femtosecond
Lenticule Extraction dan Small Incision Lenticule Extraction sebelum dan sesudah 6 bulan
operasi. Pada penelitian, sensitivitas kontras tidak ditemukan secara objektif maupun
subjektif di Femtosecond Lenticule Extraction atau di Small Incision Lenticule Extraction.

2.3. Penggunaan Femtosecond Laser Dalam Penanganan Koreksi Miopia dan


Miopia Astigmatisme (SMILE)

Dalam prosedur keratomileusis asli untuk miopia, inisi tebal sekitar 300 mm telah
dibedah dari kornea anterior dengan cara bebas dan dibentuk kembali dengan menggunakan
cryolathe. Pada akhir 1980-an Ruiz mengembangkan sebuah microkeratome otomatis yang
mengendalikan kecepatan saat melewati kornea, menyebabkan hasil yang lebih konsisten.
Prosedurnya telah dikenal sebagai keratoplasti lamelar otomatis (ALK). Pada 1990-an,
kombinasi dari microkeratome dan laser excimer (untuk potongan bias) dikembangkan oleh
Pallikaris, Burato dan yang lainnya, yang selanjutnya memperbaiki prediktabilitas prosedur
refraktif. Adalah prosedur yang dikenal dengan istilah laser assisted in situ keratomileusis
(LASIK) yang telah mendapat penerimaan luas di seluruh dunia. Keterbatasan prosedur ini
telah terbukti dalam penelitian follow-up 6 dan 10 tahun yang terkait dengan induksi
penyimpangan dan regresi. Baru-baru ini, femtosecond laser telah tersedia untuk pemotongan
lenticular intrastromal dan ekstraksi lentikular berikutnya. Dalam teknik femtosecond untuk
koreksi kesalahan refraksi (ekstraksi lentikule femtosecond), lenticular intrastromal
dikeluarkan dengan menggunakan akses seperti flap. Pada sayatan lentikule sayatan kecil
(SMILE), sayatan diminimalkan dan prosedurnya tidak menggunakan flap. Kedua jenis
prosedur ini tampak aman dan menjanjikan koreksi kornea miopia, walaupun ekstraksi
lentikular kecil belum dilakukan secara luas.

Prosedur operasi
Pasien diberi obat penenang (Diazepam) 30 menit sebelum operasi. Anestesi topikal
diberikan (Oxibuprocaine hydrochloride 0,4%) dan setelah scrub povidone-iodine (Betadine)
pada kulit dan kelopak mata, pasien terbungkus handuk kepala steril, bulu mata mereka
ditempel dengan pita steril dan diposisikan pada ergonomis.
Prosedur femtosecond dimulai dengan aplikasi spekulum kelopak mata agar mata
tetap terbuka; Mata pasien diposisikan di bawah. Kornea yang benar-benar bersih dan sangat
basah dipastikan menggunakan mikrospons basah. Laser femtosecond pertama yang
digunakan adalah versi 2.7.3 dengan jarak tempuh maksimum 3,0 m.
Dengan menggunakan prosedur ini, sekali kontak terbuat antara kornea dan kaca
kontak, pasien dapat melihat target fiksasi berkedip dalam fokus yang jelas. Kerja sama
pasien sangat penting untuk penanganan yang benar. Bila aplikasi kaca kontak dapat tercapai,
mata diimobilisasi, dan laser diaktivasi oleh ahli bedah dengan menekan pedal kaki. Sinar
laser yang sangat akurat dipusatkan ke kornea, dimana sinar laser bergerak melintasi dan
Melalui kornea secara spiral, menciptakan lapisan gelembung sangat kecil di bawah jalannya.
Gelembung ini cepat hilang, dan jaringan di atas gelembung menjadi lentikular kornea yang
bisa dengan mudah diangkat oleh dokter operator.
Dalam prosedur SMILE, hanya sayatan kecil yang dibuat, dan flap tidak pernah
diangkat. Sebaliknya, lenticular dihisap dari dalam kornea melalui sayatan kecil.
Dalam kasus ini, durasi keseluruhan prosedur relatif konsisten, dari 50 sampai 55
detik, terlepas dari kesalahan refraksi yang harus diperbaiki. Adalah keuntungan dalam hal
penilaian pasca operasi hasil di antara kelompok koreksi yang berbeda. Bentuk lenticular
yang dihasilkan dirancang untuk memperbaiki kesalahan refraktif. Dalam semua kasus pada
kelompok studi pendahuluan ini, permukaan anterior lenticule berukuran 100 m dan
diameter maksimum bidang pembelahan pertama, 6,0 mm. Untuk alasan teknis, koreksi
astigmatismeamenghasilkan permukaan posterior oval dari lenticule.
Untuk semua koreksi myopia, ukuran zona optik adalah 6,0 mm. Jarak tempuh dan
jarak untuk bidang belahan dada, yang merupakan permukaan posterior lenticular sedikit
lebih tinggi dari jarak tempuh dan jalur untuk bidang pembelahan, yang merupakan
permukaan anterior dari lenticular. Bagian posterior lenticular diciptakan oleh pemindaian
laser secara spiral dari pusat pupil ke pinggiran zona optik. Bagian anterior lenticular dibuat
oleh pemindaian laser secara spiral dari pinggiran ke pusat pupil. Semua perubahan jarak dan
jarak tempuh dan jarak tempuh secara otomatis dilakukan oleh perangkat lunak dan
perangkat keras laser tanpa intervensi pasien.

Gambar 1. Tahapan prosedur operasi menggunakan SMILE

Sumber: (http://www.journalofemmetropia.org/numeros/pdf/4-4/Journal-article-3.pdf)

Hasil
Selama 20 tahun terakhir, penelitian telah mendokumentasikan bahwa efisiensi ablasi
laser excimer dipengaruhi oleh beberapa faktor dimana pengobatan efektif tergantung pada
kelengkungan kornea dan hidrasi kornea. SMILE adalah prosedur operasi refraksi kornea
yang cukup baru. Publikasi terakhir termasuk hingga 150 pasien, menunjukkan bahwa
prosedur refraksi laser femtosecond ap-free ini menunjukkan prediktabilitas, keamanan, dan
efikasi yang serupa dengan LASIK laser femtosecond. Studi lain melibatkan perawatan
miopia moderat dan tinggi pada 670 mata yang menunjukkan bahwa SMILE dapat diprediksi,
efektif, dan aman.SMILE memberikan hasil yang baik dalam hal pembiasan dan juga
manfaat tambahan, seperti pengurangan penyebaran yang mengarah pada kualitas penglihatan
yang lebih baik.Meskipun terbukti dengan LASIK, masih memerlukan penggunaan dua
mesin: satu untuk membuat flap dan satu lagi untuk ablasi Excimer. Adalah meningkatkan
biaya serta waktu operasi untuk prosedur ini. SMILE hanya menggunakan satu mesin laser,
sehingga berpotensi mengurangi waktu dan biaya operasi. Selain itu, SMILE tidak
melibatkan pembuatan flap, yang berpotensi mengurangi risiko efek samping seperti mata
kering dan komplikasi terkait flap lainnya. Dalam penelitian kami, rata-rata SPH pasca
operasi adalah -0,09 dan rata-rata postoperative CYL adalah -0,29 dengan sumbu rata-rata
pada 120,67 pada akhir periode tindak lanjut. Kesalahan refraksi secara signifikan dan
semakin menurun setelah operasi dan tetap stabil selama masa tindak lanjut.
SMILE adalah bentuk operasi refraksi baru, yang berpotensi menggantikan LASIK
dan mengubah praktik klinis. Prosedur ini mungkin memiliki dampak positif pada perawatan
kesehatan karena waktu dan biaya pembedahan dapat dikurangi dengan prosedur laser "all-in-
one" terbaru ini. Prosedur SMILE menghilangkan perpindahan flap, dan tidak ada risiko
dislokasi dengan trauma pada mata di kemudian hari. Manfaat tambahan meliputi
pengurangan pascaoperasi atau penghapusan masalah mata kering dan perbaikan stabilitas
biomekanik kornea.

2.4. Penggunaan Femtosecond Laser Dalam Autokeratoplasti Refraktif


Keratoconus adalah kelainan kornea bilateral yang secara klinis bermanifestasi
dalam bentuk penonjolan dan penipisan kornea secara progresif berbentuk kerucut,
dengan penurunan penglihatan yang diakibatkan oleh astigmatisme ireguler kornea.
Insidensi keratokonus bervariasi di antara etnik yang berbeda, dengan 57 pasien per
100.000 orang pada populasi Kaukasia dan 229 pasien per 100.000 orang Asia.
Etiologi dan patogenesis keratokonus masih belum sepenuhnya dimengerti. Insidensi
keratokonus lebih banyak terjadi pada laki-laki.
Beberapa pilihan telah dijelaskan untuk penanganan dan rehabilitasi penglihatan pada
keratokonus, seperti koreksi kacamata, lensa kontak, implantasi segmen cincin
intrakornea, corneal collagen cross-linking, ablasi dengan panduan topografi, dan
keratoplasti lamellar atau penetrasi. Pada kasus keratokonus lanjut (stadium III dan
IV), terdapat penurunan fungsi penglihatan dengan kemajuan rendah atau tidak ada
kemajuan dengan penggunaan kacamata atau lensa kontak. Pada kasus tersebut
diperlukan pilihan operasi untuk mendapatkan kemajuan penglihatan dan
menghindari progresifitas penyakit.
Corneal collagen cross-linking didasarkan pada fotopolimerisasi serat kolagen
kornea setelah mengaktifkan photosensibilizer riboflavin dengan menggunakan
radiasi ultraviolet. Hal ini menyebabkan perubahan sifat mekanik kornea. Penelitian
jangka panjang telah menunjukkan bahwa keefektifan terapi yang lebih tinggi untuk
stabilisasi dan peningkatan parameter topografi dan ketajaman visual tercapai untuk
stadium I atau II keratokonus. Implantasi segmen cincin intrakornea telah
menunjukkan hasil fungsional terbaiknya pada keratokonus stadium II dan III. Pada
keratokonus stadium III dan IV, keratoplasti lamelar dalam anterior dianggap sebagai
pilihan pengobatan yang efisien yang dapat melindungi membran Descemet dan
endothelium pasien, sehingga mengakibatkan penurunan tingkat penolakan graft
secara signifikan. Keratoplasti penetrasi hanya boleh dipertimbangkan pada kasus
bekas luka kasar dan ruptur membran Descemet.
Penerapan teknologi berbasis femtosecond laser dalam oftalmologi pada
dekade terakhir niscaya telah membuka kemungkinan baru dalam pengobatan pasien
dengan keadaan patologis kornea, memberikan kontribusi secara khusus untuk
memperbaiki hasil fungsional setelah transplantasi kornea. Femtosecond laser
memungkinkan pemotongan jaringan kornea dengan profil terpilih serta akurasi dan
reproduktifitas yang tinggi, sekaligus memberikan kemungkinan pendekatan
individual terhadap perencanaan bedah. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
mengembangkan metode baru autokeratoplasti refraktif dengan penggunaan teknologi
femtosecond laser untuk penanganan pasien dengan keratokonus lanjut dan untuk
mengevaluasi hasil klinis awal dari perawatan ini.

2.4.1. Metode

Pasien
Studi ini menggunakan 17 pasien (15 laki-laki, 2 perempuan) dengan
keratokonus lanjut dan rata-rata usia 33 8,4 tahun (median: 31 tahun).
Semua pasien menjalani autokeratoplasti refraktif berbasis femtosecond
(FRAK) dengan menggunakan IntraLase platform pada periode Oktober 2014
sampai Juni 2015 di rumah sakit Municipal Clinical.
Kriteria inklusi penelitian ini adalah keratokonus stadium III-IV
berdasarkan sistem Amsler-Krumeich, keratokonus tidak berkembang selama
1.5 tahun terakhir, tebal kornea bagian apex 330 m atau lebih, tebal kornea
di area 7-10 mm sekitar 500 m atau lebih, kedalaman COA > 3,5 mm, sudut
COA terbuka, TIO normal, toleransi rendah terhadap kacamata atau kontak
lensa, dan tidak ada ruptur membran Descemets atau kekeruhan stroma yang
berat. Lensa kontak kaku permeabel gas digunakan oleh 4 pasien sampel,
dengan hanya satu di antaranya yang memakainya 6 sampai 8 jam per hari.
Tiga pasien lainnya yang memakai lensa kontak dilaporkan memiliki toleransi
rendah, yang tidak memungkinkan untuk penggunaan lebih dari 2 sampai 4
jam sehari. Pemasangan lensa kontak permeabel yang kaku tidak
memungkinkan dilakukan pada 13 pasien lainnya. Analisis statistik dilakukan
dengan SPSS. Setiap p value < 0,05 dapat dikatakan signifikan.

Protokol Pemeriksaan
Semua pasien melakukan pemeriksaan lengkap oftalmologi sebelum
operasi dan selama followup. Tes yang dilakukan adalah pengukuran UDVA
dan CDVA, manifestasi refraksi, pneumotonometri, biomikroskopi,
keratometri dan pakimetri, evaluasi tomografi koheren optic segmen anterior,
dan mikroskopis endothelial kornea.

Prosedur Operasi
Operasi dilakukan dengan anestesi lokal. Antibiotik drop fluorokuinolon
diresepkan 6-12 jam sebelum operasi. Insisi kornea dilakukan dengan
IntraLase 60 kHz. Laser femtosecond IntraLase 60 kHz (program
Keratoplasti) digunakan dalam semua kasus untuk melakukan pemotongan
kornea dengan kedalaman dan sudut yang diprediksi. Perhitungan parameter
yang menentukan pemotongan dilakukan secara terpisah, berdasarkan data
pakimetri dan topografi. Lebar daerah ektatik kornea dan lokasi relatifnya
terhadap aksis visual dipertimbangkan untuk pemilihan diameter potong.
Kedalaman insisi sekitar 90% dari ketebalan rata-rata kornea pada area yang
ditentukan. Area sentral kornea dengan diameter 6 mm ditandai dengan
penanda kornea untuk memudahkan sentrasi laser. Setelah mendapatkan
aplanasi kornea yang memadai, insisi sirkular kornea dilakukan sepanjang
zona ectasia (diameter tidak kurang dari 8 mm) dengan sudut yang terhitung
dapat mencapai 90% ketebalan stroma kornea. Insisi kedua dilakukan
perpendicular terhadap permukaan dengan pemisahan antara potongan
pertama sekitar 150-300 nm. Kedua potongan berpotongan pada kedalaman
yang direncanakan, menciptakan flap kornea sirkular dengan profil berbentuk
baji.
Setelah diseksi flap, pasien ditempatkan di bawah mikroskop bedah dimana
bagian kedua dari prosedur pembedahan dilakukan. Kornea ditandai lagi
dengan spidol bedah atau penanda jahitan kornea untuk mendapatkan
perkiraan margin luka yang lebih tepat apabila diperlukan. Flap kornea mudah
diangkat dengan menggunakan forceps dan spatula sambil mengendalikan
integritas luka kornea dan ketidakadaan tanda perforasi kamera okuli anterior
(filtrasi cairan intraokular). Dalam beberapa kasus, parasentesis dilakukan
untuk mengurangi kedalaman ruang anterior dan memfasilitasi adaptasi dari
margin luka. Setelah tahap ini, empat jahitan utama ditempatkan pada
pinggiran sayatan kornea pada arah jam 3,6,9, dan 12. Jumlah jahitan berkisar
antara 8-12 jahitan. Terapi farmakologi pasca operasi adalah antibiotik drop
5x sehari selama 3 hari dan dilanjutkan 4x sehari sampai 7 hari, deksametason
drop 0,1% 4x sehari selama 10 hari, kemudian 3x sehari sampai 1 bulan pasca
operasi, dan dilanjutkan 2x sehari, asam pantotenik 5% setiap 3 jam selama 3
hari dan dilanjutkan 4x sehari.
Gagasan utama teknik bedah ini adalah untuk mencapai perataan
permukaan kornea dan perbaikan visual. Untuk alasan ini, dua tahap reseksi
stroma kornea dilakukan dengan penggunaan laser femtosecond, diikuti
dengan penyisipan jahitan kornea.

Gambar tahapan autokeratoplasti refraktif dengan laser femtosecond


3. Hasil
Semua pasien memiliki miopia dan astigmatisme sebelum operasi. Diagnosis
keratokonus telah dilakukan dari 4 sampai 14 tahun sebelum pemeriksaan pra
operasi. Sebanyak 3 dari 14 pasien memiliki keratokonus stadium III dan IV.
Keratokonus pada tahap yang sama terdapat pada kedua mata pasien yang sama
dalam 9 kasus. Corneal collagen crosslinking sebelumnya telah dilakukan pada 4
pasien antara 1,4 sampai 4 tahun sebelum pemeriksaan pra operasi. Dalam kasus
yang tersisa, crosslinking belum dilakukan karena stadium penyakit yang serius.
Pada 2 pasien, keratoplasti penetrasi telah dilakukan pada mata kanan, dengan
astigmatisme pasca operasi tingkat tinggi (9,5 dan 12 D). Rata-rata desimal
ketajaman penglihatan yang tidak dikoreksi (UDVA) dan yang dikoreksi (CDVA)
sebelum operasi pada sampel masing-masing adalah 0,07 dan 0,15.
Perbandingan data pakimetri yang diperoleh dengan sistem TMS-5 (Tomey,
Jepang) dan Visante OCT (Carl Zeiss Meditec), selisih 35 sampai 57 m terdeteksi
pada meridian kornea yang sama, dengan nilai sistem TMS-5 yang lebih tinggi.
Untuk tujuan keselamatan, data pakimetri OCT digunakan untuk perhitungan
parameter pemotongan dengan laser femtosecond. Rata-rata kedalaman kamera
okuli anterior pra operasi pada keratokonus stadium III dan IV masing-masing
adalah 3,61 0,15 dan 3,78 0,17 mm.

Tabel data pakimetri dan topopgrafi kornea pre operasi


Perubahan visual dan refraktif
Follow up pasca operasi berkisar antara 3 sampai 10 bulan. Rata-rata
desimal UDVA meningkat secara signifikan dari 0,07 0,03 sebelum operasi
menjadi 0,26 0,13 pada 3 bulan setelah operasi (p <0,01). Peningkatan
CDVA diamati pada 94,1% kasus, dengan 76,5% peningkatan lebih dari 3
baris. Pada periode pasca operasi dari 3 sampai 6 bulan, tidak ada perubahan
signifikan yang terdeteksi pada UDVA dan CDVA (p> 0,05).

Gambar 2. Perubahan rata-rata ketajaman penglihatan yang dikoreksi (CDVA)


dan yang tidak dikoreksi (UDVA)

Perubahan topografi, pakimetri, dan segmen anterior


Keratometri maksimum berubah dari nilai rata-rata pre operatif 60,1 5,7
D menjadi 53,2 3,8 D (p <0,01) pada 3 bulan pasca operasi, sedangkan
keratometri minimum menurun dari 54,8 5,8 D sebelum operasi menjadi
46,4 3,6 D pasca operasi (p < 0,01).Besarnya astigmatisme kornea menurun
secara signifikan dari 9,1 3,8 sebelum operasi menjadi 4,4 2,75 D pasca
operasi (p <0,01). Follow up selama 8 bulan diselesaikan pada 4 pasien,
dengan tanpa perubahan signifikan selama periode pasca operasi dalam skala
indeks keratometrik (P> 0,05).
Data pakimetri tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan berkenaan
dengan nilai preoperatif pada 1, 3 dan 6 bulan pasca operasi (p> 0,05).
Pemulihan bertahap kamera okuli anterior diamati pada bulan pertama
pasca operasi, dengan nilai rata-rata 2,9 0,26 mm pada titik waktu ini. Tidak
ada perubahan signifikan yang diamati pada kamera okuli anterior antara 3
dan 6 bulan setelah operasi, dengan rata-rata nilai 6 bulan pasca operasi 3,10
0,23 mm.

Gambar segmen anterior mata pada pemeriksaan slit lamp hari pertama pasca
operasi

Perubahan endothelial kornea dan tekanan intraokular


Densitas sel endothelial kornea pra operasi tidak dapat diukur pada 15 dari
17 kasus karena adanya deformasi kornea kerucut. Pada 1 bulan setelah
operasi, rata-rata densitas sel endotel di zona tengah kornea adalah 2592,0
120,2 sel / mm2. Tidak ada perubahan signifikan dalam kepadatan sel yang
diamati pada periode pasca operasi dari 3 sampai 6 bulan setelah pembedahan
(p> 0,05), dengan nilai rata-rata pasca operasi 2569,0 113,8 sel / mm2.
Tekanan intraokular tidak meningkat secara signifikan, namun rata-rata nilai 6
bulan pasca operasi adalah 16,0 2,3 mmHg.
Gambar 4. Perubahan kedalaman kamera okuli anterior sebelum operasi dan 5
hari pasca operasi.

Komplikasi
Tidak ada komplikasi terkait dengan jahitan yang diamati selama masa follow
up (luka dehiscence, kendur, neovaskularisasi). Pengangkatan jahitan kornea
direncanakan pada 10 sampai 12 bulan setelah operasi. Karena penerapan vakum
fiksator pada tahap aplanasi kornea, perdarahan subkonjungtiva terjadi pada beberapa
kasus pada periode awal pasca operasi, namun dapat teratasi secara spontan dalam
beberapa hari. Keluhan fotofobia dan robekan pada tingkat keparahan yang berbeda
dilaporkan oleh sebagian besar pasien dalam 2 sampai 3 hari pertama setelah operasi.
Semua pasien melaporkan peningkatan kualitas visual yang subjektif pada mata yang
dioperasi pada 3 sampai 5 hari pasca operasi.

Diskusi
Transplantasi kornea harus dianggap sebagai salah satu pilihan terakhir dalam
penanganan keratokonus. Pedoman klinis untuk penyakit ini telah berubah secara
signifikan dalam dekade terakhir, sekarang difokuskan pada pelestarian jaringan
pasien sendiri dan pada pemilihan pengobatan yang paling tidak invasif jika
memungkinkan. Deep anterior lamellar corneal transplantation telah hampir
seluruhnya menggantikan keratoplasti penetrasi dan dianggap sebagai pengobatan
"standar emas" pada stadium lanjut keratokonus. Defisit donor jaringan kornea
merupakan hambatan penting. Untuk alasan ini, pilihan autokeratoplasti telah
dikembangkan dan diuji dalam beberapa kondisi. Manfaat utama autokeratoplasti
adalah retensi endothelium, sehingga menghilangkan risiko penolakan endotel dan
gesekan berkepanjangan sejumlah sel endotel yang terjadi setelah keratoplasti
penetrasi, dan berkurangnya kebutuhan terapi steroid pasca operasi dengan
komplikasi yang terkait.

Pasien dengan keratokonus tingkat lanjut umumnya berusia muda, dengan


kebutuhan dan harapan visual yang tinggi serta kebutuhan akan rehabilitasi visual
yang cepat dan pengurangan kecacatan. Pada tahap stabil penyakit ini, pelestarian
ketebalan dan transparansi kornea sangat penting dan pada saat bersamaan sifat optik
kornea pasien dimodifikasi untuk meningkatkan ketajaman visual dan kualitas hidup.
Hal ini telah dicoba dengan corneal collagen crosslinking dan implantasi segmen
cincin intrakorneal, dengan hasil yang sangat terbatas atau tidak berhasil. Penerapan
dan implementasi teknologi laser femtosecond dalam operasi okular memberikan
peluang baru mengenai akurasi, kemampuan programabilitas dan prediktabilitas
prosedur bedah, serta pendekatan individual pada tahap perencanaan dan pelaksanaan
operasi. Studi ini menggambarkan metode pengobatan baru untuk pasien dengan
keratokonus lanjut menggunakan teknologi laser femtosecond, femtosecond guided
refractive autokeratoplasty (FRAK).
Operasi FRAK menyebabkan peningkatan yang signifikan dari UDVA dan
CDVA pada pasien dengan keratokonus lanjut, termasuk pada stadium IV. Secara
khusus, CDVA meningkat pada 92,86% kasus, dengan peningkatan lebih dari 3 baris
pada 85,7%. Perbaikan visual ini dikaitkan dengan perataan kornea yang signifikan
dan pengurangan besarnya astigmatisme. Cunha et al, melaporkan hasil visual pada
15 pasien keratokonus setelah teknik autokeratoplasti penetrasi ipsilateral rotasi
secara manual (IRPAK) yang terkait dengan reseksi bentuk sabit sebanyak 0,5 mm
kornea inferior. Mereka juga menemukan pengurangan astigmatisme topografi dan
kelengkungan kornea maksimum dan rata-rata yang terkait dengan peningkatan visual
namun kurang dari pada studi ini. Tidak ada komplikasi yang terdeteksi selama
prosedur operasi dan pada periode awal pasca operasi dengan teknik ini. Sifatnya
yang tidak penetrasi membantu menghindari kemungkinan komplikasi serius yang
mungkin terjadi saat bola mata terbuka. Tidak ada penurunan jumlah sel endotel yang
diamati, seperti yang terjadi pada penelitian Cunha et al, mengevaluasi hasil IRPAK.

Studi ini mengusulkan teknik bedah baru yang mungkin merupakan pilihan
pengobatan alternatif pada keratokonus lanjut yang tidak progresif, yang
memungkinkan untuk menyelamatkan kornea pasien daripada transplantasi kornea.
Keuntungan potensial dari FRAK adalah akurasi dan kemampuan reproduksi yang
tinggi, pendekatan individual terhadap perencanaan bedah, perbaikan visual yang
relevan secara klinis, regularisasi kornea dan perataan. Keterbatasan penelitian ini
adalah sejumlah kecil peserta dan follow up yang pendek, namun hasil visual yang
baik dapat menyarankan penggunaan teknik ini dalam menilai keefektifannya dalam
rangkaian yang lebih besar dan mengevaluasi hasil jangka panjang.

2.5. Femtosecond Laser Assisted Cataract Surgery (FLACS)


Di seluruh dunia, penyebab terpenting gangguan penglihatan adalah katarak
terkait usia. Pembedahan untuk katarak pertama kali diperkenalkan oleh Sushruta di
India dan terdiri dari prosedur sederhana yang disebut couching dimana jarum
melengkung digunakan untuk mendorong lensa ke bagian belakang mata dan keluar
dari bidang penglihatan. Mata kemudian akan terendam mentega murni yang hangat
dan dibalut. Dia telah memperingatkan bahwa prosedur ini harus dilakukan saat
benar-benar diperlukan. Prosedur ini penuh dengan komplikasi dan digantikan
dengan ekstraksi katarak. Ekstraksi katarak pertama kali berhasil dilakukan oleh
dokter spesialis mata asal Perancis Jacques Daviel, yang melakukan prosedur tahun
1714 dan menjadi tanda dimulainya era modern operasi katarak.
Saat ini, salah satu prosedur operasi yang paling umum dilakukan di seluruh
dunia adalah operasi katarak. Operasi katarak sendiri merupakan prosedur bedah
cepat pada pasien rawat jalan dengan pemulihan fungsi visual dan morbiditas yang
tak berarti.

Prosedur pembedahan pilihan pada saat ini adalah phakoemulsifikasi karena


mempunyai catatan keamanan yang baik dan hasil visul yang baik juga.
Phakoemulsifkasi menggunakan getaran ultrasonik untuk memecah dan memutuskan
lensa katarak, yang memungkinkan lensa katarak lepas disingkirkan melalui insisi
kecil yang minim jaitan. Langkah utama dalam prosedur ini melibatkan pembuatan
insisi korena secara manual dan kapsulotomi anterior, diikuti dengan
phakoemulsifikasi dan penyisipan lensa intraokular sintetis. Walaupun begitu,
prosedur ini bukan tanpa komplikasi dan dapat mengakibatkan karusakan pada
kornea, iris atau kapsul lensa, sukluksasi lensa dan kehilangan vitreous. Hasil dari
prosedur manual ini juga bergantung pada keterampilan dokter.
Munculnya Femtosecond Lases Assisted Cataract Surgery (FLACS) bisa
menjadi salah satu perkembangan operasi katarak terpenting di era modern saat ini.
Dengan adanya kemajuan ini, FLACS membuka jalan untuk prosedur operasi katarak
yang lebih akurat dan teliti dengan hasil visual yang lebih baik untuk pasien.

Laser pada operasi katarak


Selama lebih dari 5 dekade, beragem laser telah digunakan sebagai jenis
penatalaksanaan beberapa gangguan mata. Laser yang digunakan untuk operasi
katarak telah diteliti sejak tahun 1970an.
Pada tahun 2001, femtosecond laser (FSL) telah diperkenalkan untuk membuat
lipatan kornea (flap) pada laser ini situ keratomilusis (LASIK). Flap ini lebih unggul
dibandingkan dengan yang dibuat secara manual, baik dari segini keseragaman dan
keamanan. Selain itu, ketebalannya juga lebih dekat dengan apa yang kita inginkan.
Penggunaan femtosecond laser pada operasi katarak telah memiliki potensi manfaat
yang serupa.
FSL bekerja dengan cara memotong jaringan dengan proses photodistrupsi. FSL
menggunakan waktu pulsa (arus) yang lebih pendek 10-15 detik. Waktu pulsa (arus)
yang lebih pendek menurunkan energi keluaran untuk efek yang diberikan dan ini
membantu dalam menjaga struktus mata, yang mengarahkan pada hasil visual yang
lebih baik. Panjang gelombang FSL adalah 1053 nm, yang hampir serupa dengan
spektrum infrared. Gelombang tersebut tidak diserap oleh struktur jaringan optik dan
tidak terpengaruh terhadap pembesaran kornea.

Penggunaan femtosecond laser dalam operasi katarak


FSL digunakan dalam operasi katarak untuk melakukan kapsulotomi anterior,
framentasi lensa, insisi korena dan irisan limbal.

Kapsulotomi anterior
Melakukan lengkung kapsulotomi yang terus menurus merupakan hal yang
krusial dalam operasi katarak. Pembuatan manual kapsulotomi adalah salah
satu aspek yang menantang dalam operasi katarak untuk dikuasai.
Femtosecond laser memberikan keunggulan tersendiri pada langkah ini,
karena bisa membuat kapsulotomi yang lebih akurat dalam ukuran dan
pembuatanya. FSL juga memproduksi lensa intra okuler yang tumpang tindih
oleh kapsul anterior yang akan menyebabkan posisi lensa intra okuler ke arah
yang lebih baik. Kapsulotomi yang optimal akan membuat penggunaan lensa
intra okuler yang lebih luas dengan hasil visual paska operasi yang lebih baik.
Fragmentasi lensa
Penggunaan energi ultrasound yang berlebihan selama proses
phakoemulsifikasi dapat menyebabkan kerusakan endothelium kornea dan
cedera termal pada kornea di tempat penyisipan insisi. Terlebih dahulu, sistem
femtosecond laser akan merawat lensa menggunakan pola fragmentasi untuk
segmen nukleus dan melembutkan katarak keras, yang bisa mengurangi
jumlah energi ultrasonik dari phakoemulsifikasi. Hal ini menurunkan jumlah
instrumen intraokular yang digunakan dan gerakan intraokular. Sistem FSL
telah terbukti mengurangi pemanfaatan energi ultrasonik untuk semua grade
Katarak. Namun, diperlukan lebih banyak penelitian untuk memastikan
apakah fragmentasi lensa laser secara signifikan akan memperbaiki profil dan
hasil keselamatan pperasi katarak.
Insisi kornea
Bagi sebagian besar dokter spesialis mata, metode yang disukai untuk
mengakses ruang anterior adalah pelepasan sendiri (self-sealing clear) insisi
kornea, dengan penyembuhan yang dan bagus hasil visual yang bagus.
Masalah yang dihadapi adalah saat di membram descmemt, dapat ditemukan
adanya celah di korna dan berisiko endofthalmitis. Pembuatan insisi kornea
merupakan aspek lain dari operasi katarak yang berpotensi mendapat manfaat
dari sistem FSL. Sebuah studi mata telah menunjukkan kondisi yang lebih
stabil jika menggunakan sistem FSL. Selain itu, tekanan mekanis pada mata
selama prosedur operasi FSL, dapat menyebabkan penyembuhan lebih cepat
dan lebih sedikit irisan. Namun dibutuhkan lebih banyak data dalam.
Insisi limbal
Insisi ini bisa memperbaiki astigimatisme dengan signifikan. Dengan teknis
dari sayatan manual dan hasil yang tidak konsisten, hanya kecil. persentase
pasien yang berpotensi terobati. FSL dapat menghasilkan insisi limbal kornea
yang sengat akurat. Hal ini mungkin nantinya akan membantu dalam
pengobatan astigmatisme yang sudah ada sebelumnya,

Kesimpulan
FLACS dapat menandai adanya kemajuan teknologi yang lebih akurat, teliti dan
adanya kemajuan beberapa langkah di operasi katarak. Saat ini, terutama digunakan
di insisi kornea, kapsulotomi anterior dan fragmentasi lensa dengan hasil yang sangat
menjanjikan. Namun, kemampuan finansial harus dipertimbangkan. Harus
dipersiapkan peralatan, pelatihan staf, penyesuaian alur kerja dan pendidikan
pasien.Teknologi FSL baru saja ada sejak beberapa tahun lalu dan studi lebih lanjut
mungkin diperlukan untuk penilaian yang lebih baik
Sebagai FLACS, semoga tahun-tahun mendatang akan dapat terbukti memiliki
manfaat yang lebih baik.

2.6. Keratoplasti Lamelar Dengan Laser Femtosecond


PKP merupakan jenis paling umum dari pembedahan transplantasi kornea
yang sekarang dilakukan. Walaupun ketajaman visual final mungkin sangat baik
setelah PKP, rehabilitasi visual kebanyakan terjadi dengan sangat lambat dan sering
diikuti dengan tingginya atau astigmatism yang terjadi secara sesekali. Pemaparan
dari operasi dengan jenis open-sky memberikan sedikit sekali perlindungan jika
pendarahan chorodial expulsive terjadi pada saat operasi. Setelah post-operasi,
bahkan bertahun-tahun setelah PKP, ketebalan menyeluruh dari sambungan graft-host
tidak akan pulih kembali ke kekuatan cornea aslinya. Luka besar yang mengelilingi
ini merupakan kelemahan yang terkenal rentan terhadap trauma dehiscence,
seringnya menyebabkan hilangnya penglihatan yang parah.

LKP terdiri dari proses transplantasi sebagian-ketebalan kornea donor ke


dalam penerima yang memiliki bagian mengisi satu sama lain yang telah bersih dari
anterior yang tidak normal ataupun posterior stroma. Meskipun pendekatan sebagian
ketebalan dapat menidadakan sebagian komplikasi dari PKP yang telah disebutkan,
pembedahan lamellar masih sangat sulit secara teknik. Dengan pembedahan manual,
tampilan lamellar seringnya memilikiketidaksamaan topografi yang dapat
mengurangi ketajaman visual yang baik sebanyak satu garis pada Grafik Snellen.
Berikut ini merupakan beberapa faktor yang mendukung ketidakpopularan
transplantasi lamellar. Namun, dengan perkembangan terbaru dalam teknologi, teknik
dan hasil visual dari LKP telah meningkat secara substansi. Hal ini tentunya akan
menghasilkan peningkatkan frekuensi dari transplantasi lamellar.

Saat ini, anterior LKP kebanyakan dilakukan untuk keperluan optical dan
tectonic pada cornea dengan endothelium yang sehat. Indikasi optikal yang spesifik
untuk anterior LKP melingkupi distrofi Reis-Buckler pada layer Bowman, distrofi
stromal dengan sebagian besar anterior, ketidaksamaan topografi pada permukaan
anterior yang terjadi karena penyakit atau trauma dan keractoconus yang terjadi
sesekali. LKP tectonic anterior kebanyakan dilakukan pada corneal actasias,
perforations, dan descemetoceles, namun juga merupakan indikasidari tumor jinak
kornea anterior dan untuk pterygia yang menutupi poros tengah visual.

Pada 1998, Melles mengembangkan dan menyempurnakan teknik dari LKP


posterior, yang lebih dikenal dengan DLEK sebagai alternative untuk PJP pada
penyakit corneal endothelial. Pada DLEK, lembaran lamellar yang tipis atau kancing
dari posterior stroma, bersama dengan endothelium diganti dengan lembaran lamellar
posterior dengan ukuran yang sama dari kornea donor. Sejak saat itu, beberapa variasi
serta penyempurnaan dari teknik pembedahan ini telah dilaporkan.

DLEK, seperti LKP anterior, menghindari banyak dari kekurangan pada PKP
dengan seluruh ketebalan, seperti kemungkinan besar error refractive, astigmatism
yang tidak teratur, anisometropia, masalah pada jahitan kornea, pendekatan bedah
open-sky yang sangat berbahaya, serta resiko dari luka dehiscence yang terjadi
setelah operasi. Sayangnya, pembedahan lamellar secara manual sangat sulit secara
teknik, memakan waktu dan tidak memiliki ketepatan.

Teknik DLEK dengan penggunaan beberapa pisau telah dikembangkan dalam


mencoba untuk memfasilitasi pembedahan lamellar posterior dan meningkatkan
tingkat kehalusan dari tampilan lamellar. Femtosecond clinical laser merupakan
inovasi lainnya yang dapat diprogram untuk menghasilkan potongan lamellar kornea
tanpa penggunaan pisau pada kedalaman apapun dengan potongan trephination
dengan diameter yang diinginkan padan kedua LKP anterior dan LKP posterior.
Laser ini juga dapat digunakan untuk memnotong jaringan donor pada DSAEK,
secara signifikan mengurangi tingkat kesulitan tekniknya dan meningkatkan
ketepatan pemotongan.
Latar Belakang Laser Femtosecond

Femtosecond laser merupakan inframerah jarak dekat yang menghasilkan


dorongan ultrashot yang dapat difokuskan dalam jarak femtosecond. Hal ini sangat
mirip dengan ndYAG laser yang lebih umum yang menggunakan dorongan dalam
jarak nanosecond. Pada saat durasi dorongan dikurangi dari nanosecond ke
femtosecond, energi yang diperlukan untuk merobek jaringan juga berkurang. Hal ini
menyebabkan pengurangan kerusakan dan pembakaran dari jaringan secara
berlebihan serya kerusakan termal ke jaringan sekelilingnya berkurang hingga kurang
dari 1 um. Melalui proses yang dikenal dengan photodisruption, femtosecond laser
menghilangkan jaringan dalam jumlah kecil, menghasilkan plasma dari gas ion panas
yang menyebar secara cepat. Gelombang shock yang dihasilkan diikuti dengan
formasi caviation bubble (CO2 dan H2O), yang terdapat dalam kornea, dan nantinya
akan keluar melalui jaringan stromal disekelilingnya.

Dengan energi laser menggunakan ketepatan yang telah dikontrol oleh


komputer, pemisahan spot, dan pola menembak, Intralase FS Laser mampu
memotong lamellar, axial atau pocket cuffs dengan kedalaman serta diameter yang
berbeda dalam kornea. Spot laser mungkin akan ditempakkan dalam pola spiral atau
pola zigzag secara menyebar untuk menghasilkan potongan pada lamellar. Tidak
seperti laser yang memiliki gelombang yang dapat terlihat, kemampuan dari laser
femtosecond untuk memotong kornea tidak terlalu dipengaruhi oleh ketidakjelasan
kornea tersebut, menjadikan laser ini ideal untuk mengobati kornea edematous.

Saat ini, FS Laser mendapatkan popularitas di USA sebagai alternative yang


lebih aman untuk mickrokeratome mechanical untuk menghasilkan tutup LASIK dan
telah dilaporkan menghasilkan hasil visual yang baik dan tingkat komplikasi yang
rendah. Dalam FS Laser, pilihan sendi dapat dengan mudah dimatikan dalam
perangkat lunak untuk menciptakan anterior LKP tanpa tutup terkontrol ataupun
kancing circular posterior pada DLEK dan DSAEK.

Perawatan laser femtececond pada kornea memerlukan lensa pengatur lining


(35 mmHg) untuk melumpuhkan mata dan untuk meratakan kornea anterior agar
memungkinkan perawatan struktur planar geometris sederhana. Baru-baru ini, lensa
applanating melengkung sedang diselidiki oleh IntraLase Corporation sebagai
alternatif lensa planar.

LKP Anterior Dengan Bantuan Laser Femtosecond


Untuk LKP anterior, FS laser diprogram untuk menghasilkan potongan
lamellar anterior dan trephination dengan kedalaman dan diameter yang diinginkan.
Lensa applanating yang standar digunakan untuk menciptakan tutup LASIK yang
juga digunakan pada LKP anterior dengan dukungan laser. Pengobatan laser dimulai
dengan formasi dari potongan lamellar dengan kedalaman yang ditentukan dari
tingkat kegelapan korneal. Potongan anterior trephination kemudian dilakukan
dengan memprogram pola melingkar dari spot laser yang berkesinambungan yang
akan bergerak secara anterior, dimulai dari permukaan lamellar dan berakhir sedikit
anterior ke kornea epithelium. Pada kebanyakan LKP anterior, energi yang ditentukan
untuk permukaan lamellar dan potongan trephination sama dengan yang digunakan
pada LASIK yaitu kurang lebih 3.3 0.1 J dan 4.0 0.1 J. trephination memerlukan
sedikit energi yang lebih tinggi dibandingkan potongan lamellar dikarenakan
potongan yang menyebrang, bukan menyamping, pada serat stromal.

Ukuran spot laser ditentukan pada 2.0-2.4 mdan tingkat pengiriman


dorongan adalah30-60 kHz. Untuk LKP anterior yang lebih dalam lagi, tingkat energi
laser dapat ditingkatkan dan pemisahan spot dibuat lebih dekat untuk menghindari
penyebaran dan atenuasi laser yang disebabkan oleh ketebalan tambahan dari stroma.
Kornea donor (entah dari keseluruhan atau kancing corneoscleral pada ruangan
anterior artifisial)diobati dengan cara yang identik.

Kancing lamellar anterior dipisahkan dari kornea baik pada penerima maupun
donor dengan cara mengangkat permukaan lamellar dengan potongan Barraquer iris
untuk memisahkan hubungan dengan stroma yang tidak terpotong. Kancing lamellar
anterior milik donor kemudian ditransfer ke penerima dan dijahit dengan jahitan 10-0
nilon secara langsung ataupun tidak langsung.

Femtosecond laser juga baru-baru ini digunakan padaLKP anterior untuk


menyiapkan kancing corneal baik pada penerima maupun donor dengan all-laser
lamellar kertoplasty tanpa jahitan (ALSLLK). Pada prosedur ini, bagian pinggir dari
luka lamellar akan dilaser dengan pelekatan diode-laser-induced, menghilangkan
jahitan secara konvensional.

DLEK dan DSAEK Dengan Bantuan Laser Femtosecond


Urutan pengobatan laser untuk DLEK dan DSAEK deprogram pada LKP
anterior secara terbalik, oleh karena itu, potongan trephination mendahului
pengobatan anterior lamellar. Ini menghindari cavitation bubble dari pengobatan
lamellar menutupi energi laser ke trephination posterior.
Lensa applanating yang lebih pendek harus digunakan dibandingkan lensa
applanating standar yang didesain untuk menghasilkan tutup LASIK dan kancing
LKP anterior. Fokus yang lebih pendek memberikan laser keleluasaan untuk focus ke
tempat yang lebih dalam dibandingkan pada LASIK dan LKP anterior. Ukuran spot
laser diatur pada 2.4 m dan dorongan laser sebesar 30-60 kHz.
Pada DLEK trephination posterior (6.0-8.0 mm diameter) dimulai dalam
ruangan anterior dan bergerak secara progresif menuju endothelium, membrane
Descemet dan stroma posterior. Untuk memastikan pemotongan menyeluruh dalam
korena edematous, energi trephination yang lebih tinggi(8.7 0.1 J) digunakan
dibandingkan pada LKP anterior. Lamellar kemudian dipotong sebesar 150 to 200
m anterior ke permukaan endhotelial, menggunakan energi yang lebih rendah (7.4
0.1 J) dibandingkan potongan trephination.

Kancing kornea donor baik pada DLEK maupun DSAEK dipotong mulai
entah dari keseluruhan atau kancing corneoscleral pada ruangan anterior artifisial.
Diameter dari potongan lamellar secara sengaja dibuat sebesar 1.0 hingga 2.0 mm
lebih besar dibandingkan pada diameter trephination, untuk memastikan kedua
potongan tersebut bertemu. Ini membuat cavitation bubbles keluar ke ruangan
anterior dan lembaran posterior untuk memisahkan dari pinggiran peripheral secara
mudah. Kantong samping lamellar terbentuk oleh pembesaran ini membuat pinggiran
peripheral dari lembaran donor dapat dimasukkan secara aman ke penerima pada
DLEK.

Permukaan lamellar dimasuki dari permukaan anterior entar dari kornea atau
sclera melalui 4 mm potongan tanpa menggunakan tangan atau potongan dengan
laser. Jembatan stromal pada permukaan lamellar dapat dengan mudah dipisahkan
dengan Barraquer iris dan kancing kornea posterior dihilankan melalui potongan
lorong dengan forsep utrata capsulorrhexis.

Dalam DLEK dan DSAEK, kancing donor dilipat taco-style dengan bagian
endhotelial didalam, dilindungi oleh lapisan bahan viscoelastic, dan dimasukan
melalui lorong prorongan kedalam ruangan anterior dengan forceps Utrata. Kancing
tersebut kemudian dibuka dalam ruangan anterior setelah sebelumnya dengan hati-
hati menghadapkan muka endothelial pada orientasi yang benar. Bahan viscoelastic
didalam ruangan anterior kemudia ditukar dengan balanced-salt solution dan buih
udara disuntikkan kedalam ruangan anterior untuk secara pneumatic mendorong
lapisan donor ke tempatnya. Potongan lorong tersebut dapat dijahit jika memang
diinginkan. Penelitian dari light-microscopic histologi dari pemotongan kornea
menggunakan laser menunjukkan potongan lamellar stromal yang halus dengan
pinggiran trephination yang lurus.

Pengecekan microscopic electron menunjukkan tekstur seperti stucoo pada


permukaan lamellar dan pinggiran trephination yang tam. Tekstur ini dapat
mengobati adesi dari kancing pad DLEK dan DSAEK. Percobaan klinikal pada
kelinci hidup pada satu bulan dan 6 bulan setelah operasi menunjukkan bagian tengah
kornea yang bersih dengan posterior pada tempat yang seharusnya, ditunjukkan
dengan kabut pada sekitaran kornea penerima.

Femtosecond laser-assisted anterior LKP tanpa pisau, LKP posterior dan


DSAEK menawarkan alternative yang menarik kepada bagian manual dan bagian
microkeratome-assisted. Femtosecond laser-assisted anterior LKP telah digunakan
pada manusia degan hasil yang baik, dimana teknik femtosecond-assisted DLEK
memerlukan perbaikan laboratorium dan investigasi sebelum percobaan pada
manusia dilakukan. Femtosecond laser juga digunakan di beberapa pusat dalam
memotong kancing kornea posterior donor dalam pembedahan DSAEK dan untuk
trephining complex, menggabungkan potongan dalam ketebalan-menyeluruh PKP.
2.7. Keratotomi Dengan Menggunakan Laser Femtosecond Intrastromal
Arkuata Untuk Mengurangi Astigmatisme

Astigmatisme adalah kesalahan bias umum. Pasien yang akan melakukan


operasi katarak, sebanyak 64,4% mempunyai astigmatisme antara 0,25 diopter (D)
dan 1,25 D.1 astigmatisme yang terjadi secara alami dan astigmatisme yang terjadi
setelah dilakukan operasi katarak berhubungan dengan penurunan visus dan pasien
merasa tidak puas.
Tersedia prosedur yang berbeda untuk mengurangi astigmatime yang terjadi
secara alami dengan astigmatisme yang terjadi setelah dilakukan operasi katarak
keratoplasti.2,5 Sayatan pada limbus dilakukan secara manual dengan keratotomy
potongan arkuata dengan prosedur yang sering mendapatkan hasil yang tidak terduga
dan komplikasi yang terjadi, seperti luka yang terbuka dengan pertumbuhan epitel ke
dalam sayatan dan terkadang terjadi perforasi.3,4

Selain prosedur ini, photorefractive keratectomy (PRK) dan laser in situ


keratomileusis telah dipelajari untuk penanganan pada astigmatisme namun namun
hasil dari prosedur ini tidak memuaskan dan banyak terjadi komplikasi.2,4

Desain Studi
Penelitian ini dilakukan juga oleh pasien yang terdaftar dalam sebuah studi
klinis di University Eye Clinic, Paracelsus Kedokteran Universitas Salzburg, Austria,
untuk mengevaluasi kelayakan dan keamanan laser femtosecond intrastromal arkuata
untuk pengoreksian . Studi klinis difokuskan pada keselamatan dan upaya yang
dilakukan pada pasien yang diobati dengan pola sayatan femtosecond yang sama.

Penelitian ini dilakukan sesuai dengan keputusan dari Helsinki dan disetujui
oleh Komite Etika, County Salzburg. Informed consent diberikan pada pasien
sebelum pasien mendaftar. Persyaratan utama dalam penelitian ini adalah
astigmatisme dengan bias munumal 0,75 D dan maksimal 7,00 D, dengan minimal
ketebalan kornea 480 m, dan usia minimal 21 tahun. Kriteria eksklusi penyakit mata
yang sedang aktif, penggunaan obat topical atau sistemik yang mungkin
memperburuk proses penyembuhan, dan diabetes. Pasien yang menggunakan obat
sistemik dengan efek samping ocular yang signifikan (misalnya kortikosteroid) tidak
masuk dalam penelitian.

Pemeriksaan sebelum operasi dan setelah operasi

Sebelum operasi, semua pasien dievaluasi mengenai manifestasi refraksi,


pengetahuan tentang keratometri, dan topografi kornea.

Untuk analisis, nilai rata-rata dihitung tekanan intraokular dengan


menggunakan Goldmann applanation tonometry, serta dilakukan pemeriksaan yang
rinci dari anterior hingga segmen posterior yang dilakukan sebelum dilakukan
pengobatan.

Pemeriksaan di follow up dengan jadwal 1 hari, 1 minggu, dan 1, 3, dan 6


bulan setelah keratotomy intrasomal arkuata. Semua pemeriksaan yang dilakukan
sebelum operasi dilakukan juga disaat setelah operasi selama kontrol.

Selain itu, kuisioner dibuat untuk dapat menilai hasil dan kepuasan pasien
seterlah keratotomy intrasomal arkuata. Sebelum perawatan dan selama kontrol
setelah operasi, follow up dilakukan pada 1, 3, dan 6 bulan.

Teknik pembedahan

Keratotomi intrasomal arkuata dilakukan oleh ahli bedah yang berpengalaman


pada semua pasien dalam waktu yang sama antara bulan juli 2010 dan april 2011.
Semua prosedur dilakukan dengan anastesi topikal.

Setelah sumbu 180 dan sumbu curam ditandai dengan penanda kornea,
kemudia sumbu diperiksa secara silang dengan topografi kornea intraoperative.
Porosnya dapat di modifikasi jika diperlukan.

Tujuan pembedahan adalah untuk membuat sayatan dengan potongan arkuata


setidaknya 100 m di anterior pada membran descement dan 100 m di bagian
bawah dari permukaan epitel. Untuk mencapai kedalaman sayatan yang akurat,
ultrasound intraoperative pachymetry dilakukan di 4 kuadran yang sudah
direncanakan sebelumnya.

Lengkungan sudut pada semua sayatan 90, dan sudah berpotongan pada sisi
yang ditetapkan pada 30. Hal ini dipilih untuk memaksimalkan area dari masing-
masing sayatan dengan harapan akan mencapai efek yang maksimal.

Semuanya dilakukan dengan laser femtosecond 150 kHz. Semua perawatam


dilakukan di lingkungan operasi dimana suhunya antara 29C-23C.

Setelah operasi, semua pasien diobati dengan kombinasi deksametason topical


dan gentamicin sulfat eyedrops 4 kali sehari dalam waktu 1 bulan dan dapat
dilanjutkan bila perlu.
Hasil

Enam belas dari 16 pasien (100%) terdaftar dalam penelitian ini. Hasil dari 16
pasien dimasukkan. Tiga belas pasien (81,3%) menunjukkan tanda-tanda nuclear
sclerosis dan dirujuk ke klinik untuk direncanakan operasi katarak. Dua pasien
(12,5%) tidak memilikinya. Tanda-tanda keburaman lensa sebanyak 1 pasien (6,3%)
memiliki katarak yang sudah dilakukan operasi sebelum penelitian ini.

Tabel 4 menunjukkan pra operasi versus 6 bulan selama pemeriksaan setelah


operasi. Sebelum operasi, 7 mata (43,8%)memiliki astigmatisme refraktif antara 1,00
D dan 2,00 D, dan 1 mata (6,3%) memiliki astigmatisme refraktif 3,50 D (Gambar 1).
Topografi Silindris sebelum operasi diukur dengan kornea Topografi antara 0,75 D
dan 1,00 D dalam 2 Pasien (12,5%), antara 1,00 D dan 2,00 D pada 12 pasien
(75,0%), dan antara 2,00 D dan 3,00 D pada 2 pasien (12,5%) (Gambar 1).

Keamanan dan komplikasi

Semua sayatan ditempatkan sebagaimana dimaksud; Tertutup di dalam stroma


kornea. Tidak ada penetrasi Membran Bowman atau Descemet terjadi. Ada 1
kejadian kehilangan alat hisap selama pengobatan karena gerakan pasien yang tidak
disengaja, yang berujung pada selisih yang kurang sempurna, tapi tetap saja Murni
intrastromal, sayatan tunggal setelahnya Pengisapan diaplikasikan kembali dan
sayatan tersebut diulang. Pemeriksaan slitlamp selama masa tindak lanjut tidak
menunjukkan tanda-tanda iritasi permukaan okular atau anterior Satu hari setelah
operasi, sayatan intrastromal hampir tidak terlihat pada pemeriksaan slitlamp.
DAFTAR PUSTAKA

1. Ferrer-Blasco T, Mont_es-Mic_o R, Peixoto-de-Matos SC, Gonz_alez-


M_eijome JM, Cervi~no A. Prevalence of corneal astigmatism before cataract
surgery. J Cataract Refract Surg 2009; 35:7075
2. Kook D, Buhren J, Klaproth OK, Bauch AS, Derhartunian V, Kohnen T.
Astigmatische Keratotomie mit dem Femtosekundenlaser. Korrektur hoher
Astigmatismen nach Keratoplastik [Astigmatic keratotomy with the
femtosecond laser. Correctionof high astigmatisms after keratoplasty].
Ophthalmologe 2011;108:143150
3. Kumar NL, Kaiserman I, Shehadeh-Mashor R, Sansanayudh W, Ritenour R,
Rootman DS. IntraLase-enabled astigmatic keratotomy for post-keratoplasty
astigmatism: on-axis vector analysis. Ophthalmology 2010; 117:12281235
4. Wu E. Femtosecond-assisted astigmatic keratotomy. Int Ophthalmol Clin
2011; 51(2):7785

5. Hoffart L, Proust H, Matonti F, Conrath J, Ridings B. Correction of


postkeratoplasty astigmatism by femtosecond laser compared with
mechanized astigmatic keratotomy. Am J Ophthalmol 2009; 147:779787
BAB III

KESIMPULAN

Salah satu terobosan terbaru dalam oftalmologi, terutama di bidang bedah


refraktif adalah pengenalan laser dengan pulsasi berkecepatan super. Pulsasi laser
inframerah ultra-pendek laser Femtosecond bisa tepat fokus di dalam jaringan kornea.
Pada area fokus operasi, jaringan nantinya akan dirusak lewat terbentuknya
gelembung kecil yang tersusun presisi satu sama lain dalam pola tertentu yang bisa
memberikan bentuk sayatan kornea yang sangat tepat dalam posisi apapun. Dengan
teknologi laser Femtosecond, adalah mungkin untuk mengurangi energi yang
diperlukan untuk menorehkan jaringan dan meminimalkan kerusakan termal dari
struktur sekitarnya. Akurasi, keamanan dan prediktabilitas teknologi baru ini adalah
manfaat yang paling penting dari teknologi laser Femtosecond.

Anda mungkin juga menyukai