Anda di halaman 1dari 32

.

REFERAT

PENYAKIT GINJAL KRONIS

Pembimbing:
dr. Yudistira Panji Santosa, Sp.PD. M.Kes

Penyaji:
Vincent Hans Limbri (2012-061-015)
Melya Arianti (2012-061-016)
Maria Arlene (2012-061-017)

Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Penyakit Dalam


Periode 7 Juli 20 September 2014
Fakultas Kedokteran Unika Atma Jaya Indonesia
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmatNya penulis

dapat menyelesaikan referat yang berjudul Penyakit Ginjal Kronis. Penulis juga ingin

mengucapkan terima kasih kepada dr. Yudistira Panji Santosa, Sp.PD, M.Kes (K) atas

kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk menyelesaikan referat ini.

Penulis mengangkat topik ini dikarenakan penyakit ginjal kronis merupakan fenomena

yang cukup sering terjadi pada kelompok dengan risiko tinggi dan memiliki tingkat progresifitas

yang tinggi, serta sifatnya yang ireversibel. Penting bagi penulis dan rekan sejawat selaku dokter

umum dalam mengenali faktor risiko dan kelompok rentan agar dapat melakukan deteksi dini

sebelum penderita penyakit ini berada pada tahapan penyakit yang lebih lanjut.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu,

penulis memohon maaf apabila terdapat kekurangan di dalamnya. Penulis juga mengharapkan

kritik dan saran yang membangun untuk perbaikan di kemudian hari.

Penulis berharap referat ini dapat bermanfaat bagi berbagai pihak yang turut membaca

untuk memahami penyakit ginjal kronis.

Jakarta, Agustus 2014

Penulis
DAFTAR ISI

Kata Pengantar.......................................................................................................................................i

Daftar Isi...............................................................................................................................................ii

BAB I. PENDAHULUAN..................................................................................................................1

1.1. Latar Belakang...........................................................................................................................1

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA.........................................................................................................

2.1. Definisi Penyakit Ginjal Kronis.............................................................................................

2.2. Epidemiologi dan Etiologi Penyakit Ginjal Kronis ............................................................

2.3. Faktor Risiko..............................................................................................................................

2.4. Manifestasi Penyakit Ginjal Kronis......................................................................................

2.5. Patofisiologi Penyakit Ginjal Kronis....................................................................................

2.6. Diagnosis Penyakit Ginjal Kronis.........................................................................................

2.7. Tatalaksana Penyakit Ginjal Kronis......................................................................................

BAB III. KESIMPULAN......................................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................................

LAMPIRAN
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Perubahan yang terjadi pada Penyakit Ginjal Kronis

Gambar 2.2 Metode Perumusan Penghitungan GFR

Gambar 2.3 Alur diagnosa PGK

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Definisi Penyakit ginjal kronis

Tabel 2.2 Klasifikasi Tahapan Penyakit Ginjal Kronis

Tabel 2.3 Jumlah Pasien Penyakit Gagal Ginjal Tahun 2011

Tabel 2.4. Jumlah Pasien Penyakit Gagal Ginjal Tahun 2012

Tabel 2.5. Manifestasi Klinis Pada Penderita PGK

Tabel 2.6 Faktor Risiko Penyakit Ginjal Kronik


Tabel 2.7 Penyebab Penurunan Fungsi Ginjal Reversibel

Tabel 2.8 Tatalaksana pada pasien Penyakit Ginjal Kronis sesuai dengan laju filtrasi glomerulus
BAB I
PENDAHULUAN

Penyakit Ginjal Kronis merupakan masalah kesehatan yang mendunia. Di Amerika

Serikat, terdapat peningkatan insidensi dan prevalensi dari gagal ginjal, berujung pada hasil yang

buruk dan biaya yang tinggi. Bahkan terdapat prevalensi yang lebih tinggi dari Penyakit Ginjal

Kronis stadium dini. Peningkatan angka kejadian stadium dini ini mengindikasikan bahwa

komplikasi dari Penyakit Ginjal Kronis seperti gagal ginjal, penyakit kardiovaskular, dan

kematian dapat dicegah atau ditunda. Stadium awal dari Penyakit Ginjal Kronis dapat dideteksi

melalui pemeriksaan laboratorium, dan pengobatan pada stadium ini efektif untuk

memperlambat progresi menuju gagal ginjal.1

Penyakit Ginjal Kronik terkait dengan angka mortalitas yang sangat tingi dan penyakit

kardiovaskular. Beberapa penelitan menunjukkan bahwa risiko kematian meningkat tajam pada

individu dengan kerusakan ginjal dan tidak dalam terapi dialisis dibandingkan dengan individu

dengan fungsi ginjal tidak terganggu. 2 Jungers et al. menemukan bahwa prevalensi penyakit

kardiovaskular pada Penyakit Ginjal Kronik meningkat hingga 74%. Saat ini Penyakit Ginjal

Kronik menempati urutan ke-12 sebagai penyebab kematian tertinggi dan ke-17 sebagai penyakit

yang menyebabkan kecacatan di dunia.3 Komplikasi pada Penyakit Ginjal Kronik termasuk

kardiovaskular, progresi ke penyakit ginjal lainnya, kerusakan ginjal akut, penurunan fungsi

kognitif, anemia, kelainan tulang dan mineral, serta fraktur. 4 Walaupun sudah terserdianya

teknologi dialisis yang semakin maju, namun pasien dengan terapi dialisis masih dalam risiko

terjadinya kematian prematur, akibat dari tingginya risiko komplikasi kardiovaskular dan infeksi

yang terkait dengan terapi tersebut. Penyebab utama kematian dari komplikasi kardiovaskular
adalah kematian mendadak, yang diperkirakan sekitar 100 kali lipat lebih sering pada pasien

dengan penyakit ginjal tahap akhir.

Penyakit Ginjal Kronis juga memiliki dampak biaya yang cukup berpengaruh.

Diperkirakan bahwa biaya total di seluruh dunia yang dihabiskan untuk menangani pasien

dengan Penyakit Ginjal Kronik melebihi satu triliun dolar Amerika. Memperkirakan tingginya

biaya tersebut, pilihan transplantasi ginjal sebenarnya dianggap lebih menguntungkan dari segi

biaya. Namun kurangnya organ donor menjadi masalah utama dalam hal ini. Karena itu

penghematan biaya juga menjadi salah satu masalah utama dalam penanganan Penyakit Ginjal

Kronis.5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi Penyakit Ginjal Kronis

Penyakit ginjal kronis merupakan istilah yang digunakan pada suatu proses
reduksi jumlah nefron signifikan yang bersifat continuous.6 Berdasarkan panduan yang
dibentuk oleh The National Kidney Foundation [Kidney Dialysis Outcomes Quality
Initiative (KDOQI)], Penyakit ginjal kronis didefinisikan sesuai dengan ada atau tidaknya
kerusakan pada ginjal dan tingkat fungsi ginjal, dengan tanpa mementingkan jenis dari
penyakit ginjal tersebut. 1,6

Tabel 2.1 Definisi Penyakit ginjal kronis

Kriteria
1. Kerusakan ginjal selama 3 bulan, didefinisikan sebagai kelainan
struktural atau fungsional dari ginjal, dengan atau tanpa penurunan
laju filtrasi glomerulus, yang terlihat dari:
-Kelainan patologikal; atau
-Tanda-tanda kerusakan ginjal, termasuk
Kelainan komposisi darah atau urin atau terdapat kelainan dalam
pemeriksaan dengan imaging
2. Glomerulus Filtration Rate (GFR) < 60 mL/menit/1.73 m2 selama 3
bulan, dengan atau tanpa kerusakan ginjal.
Sumber: Definisi Penyakit ginjal kronis KDOQI.6

Oleh karena penurunan laju filtrasi glomerulus yang bersifat progresif maka perlu

dibentuk suatu klasifikasi pembagian untuk menentukan progresivitas dari perjalanan

penyakit ini. Pembagian tersebut diharapkan dapat membantu menciptakan

tatalaksana yang sesuai dan evaluasi perjalanan penyakit dan kualitas hidup secara tepat .

Mengacu pada panduan yang dibentuk oleh KDOQI, klasifikasi Penyakit Ginjal Kronis dibagi

menjadi 5 tahapan penyakit. Berikut adalah tabel yang menjabarkan klasifikasi tersebut.
GFR Dengan Kerusakan Ginjal* Tanpa kerusakan Ginjal*
(mL/menit/1.73m2) Dengan Tekanan Tanpa Tekanan Dengan Tekanan Tanpa Tekanan
Darah Tinggi** Darah Tinggi** Darah Tinggi** Darah Tinggi**
90 1 1 Tekanan darah Normal
Tinggi
60-89 2 2 Tekanan darah Laju Filtrasi
Tinggi dengan Laju Glomerulusa
Filtrasi Glomerulus
30-59 3 3 3 3
15-29 4 4 4 4
<15 (atau dialisis) 5 5 5 5
Daerah yang diarsir mewakili Chronic Kidney Disease; angka menunjukkan staging Penyakit Ginjal Kronis

* Kerusakan ginjal didefinisikan sebagai kelainan patologis atau tanda-tanda kerusakan ginjal, termasuk kelainan
pada komposisi darah, urin atau pemeriksaan imaging.

** Tekanan darah tinggi didefinisikan sebagai tekanan darah 140/90 pada dewasa dan persentil 90 berdasarkan
tinggi badan dan jenis kelamin pada anak-anak

a Dapat merupakan hasil normal pada bayi dan pada lansia

Tabel 2.2 Klasifikasi Tahapan Penyakit Ginjal Kronis KDOQI 1

Individu dengan laju filtrasi glomerulus 60-89 tanpa kerusakan ginjal dikatakan

memiliki penurunan laju filtrasi glomerulus. Penurunan laju filtrasi glomerulus ini umum

ditemukan pada lansia. Seperti yang diperkirakan bahwa setelah usia 30 tahun terjadi penurunan

laju filtrasi glomerulus sebanyak 1 mL/menit/1.73 m 2 setiap tahun. Dengan mengacu pada nilai

rata-rata laju filtrasi glomerulus dewas muda yang normal (standar deviasi) yang adalah 120-130

(20-25) mL/menit/1.73 m2 maka pada usia 70 tahun atau lebih dapat ditemukan laju filtrasi

glomerulus 70 mL/menit/1.73 m2. Selain itu, terdapat beberapa faktor yang dapat menyebabkan

penurunan laju filtarsi glomerulus tanpa kerusakan ginjal seperti diet vegetarian, nefrektomi

unilateral, volume cairan eksraselular yang berkurang, dan kelainan sistemik yang terkait

penurunan perfusi ginjal sepeti dekompensasi kordis dan sirosis.1


2.2 Epidemiologi dan Etiologi Penyakit Ginjal Kronis

Data mengenai epidemiologi penyakit ginjal kronis (PGK) di Indonesia diperoleh melalui

laporan tahunan oleh Perhimpunan Nefrologi Indonesia (PERNEFRI) yang mendapatkan data

tersebut dari unit-unit hemodialisa diseluruh Indonesia. Laporan perkumpulan data oleh

PERNEFRI menunjukkan peningkatan jumlah pasien PGK. Pada tahun 2011, jumlah pasien

PGK adalah 12.466 pasien. Jumlah pasien PGK mengalami peningkatan yang signifikan pada

tahun 2012, dengan jumlah pasien mencapai 16.040 pasien. Kelompok usia 45-54 tahun

merupakan kelompok usia dengan penderita PGK tertinggi.7,8

Tabel 2.3 Jumlah Pasien Penyakit Gagal Ginjal Tahun 2011.7

Terdapat perbedaan antara penyebab PGK di Indonesia dengan data yang diperoleh

didunia. Berdasarkan laporan PERNEFRI, penyebab utama PGK di Indonesia adalah penyakit

ginjal hipertensi sebanyak 35% pada tahun 2012 meningkat 1% dari tahun 2011, berbeda dengan

data epidemiologi dunia yang menyatakan bahwa nefropati diabetika merupakan penyebab

utama PGK. Nefropati diabetika di Indonesia menduduki peringkat kedua sebanyak 26%
penyebab PGK, menurun 1% dari tahun 2011. Penyebab lain PGK di Indonesia adalah

glomerulopati primer (12%), nefropati lupus (1%), ginjal polikistik (1%), nefropati asam urat

(2%), nefropati obstruksi (8%), kronik pielonefritis (7%), dengan penyebab lain (6%) dan tidak

diketahui (2%).7,8

Tabel 2.4 Jumlah Pasien Penyakit Gagal Ginjal Tahun 2012.8

2.3. Faktor Risiko6

Faktor risiko untuk penyakit ginjal kronis antara lain adalah hipertensi, diabetes

mellitus, penyakit autoimun, usia tua, merupakan keturunan afrika-amerika, riwayat

keluarga terkena penyakit ginjal, riwayat terkena acute kidney injury, proteinuria,

sedimen urin yang abnormal, dan kelainan structural dari traktus urinarius.

2.4 Manifestasi Penyakit Ginjal Kronis

Manifestasi klinis yang muncul pada pasien dengan penyakit ginjal kronis lebih

sering disebabkan karena terjadi penumpukan hasil metabolisme yang tidak dapat
dikeluarkan dari tubuh oleh ginjal seperti ureum dan kreatinin. Penumpukan ureum dan

kreatinin akan menyebabkan peningkatan konsentrasi ureum dan kreatinin di dalam darah

dan akan menyebabkan kumpulan gejala yang disebut sindroma uremia. Uremia dapat

menyebabkan gangguan fungsi setiap sistem organ. Berikut beberapa gangguan yang

dapat disebabkan oleh uremia:5

Tabel 2.5. Manifestasi Klinis Pada Penderita PGK

Gangguan Manifestasi
Cairan dan elektrolit Peningkatan volume cairan ; Hiponatremia ;
Hiperkalemia; Hiperfosfatemia
Endokrin Hiperparatiroid sekunder ; Defisiensi
vitamin D; Osteomalasia; Gangguan
pertumbuhan dan perkembangan;
Hiperurisemia; Hipertrigliseridemia;
Infertilitas dan disfungsi seksual;
Amenorhea
Neuromuskular Malaise; Sakit kepala; Gangguan tidur,
letargi, koma; kejang; mioklonus; kram otot
Kardiovaskular Hipertensi; Gagal jantung kongestif; Edema
paru; Perikarditis; aterosklerosis; kalsifikasi
vaskular; Hipotensi; Aritmia;
Kardiomiopati hipertrofi dan dilatasi
Dermatologi Pucat; Hiperpigmentasi; Ekimosis; Pruritus
Gastrointestinal Anoreksia; Mual dan muntah;
Gastroenteritis; Ulkus peptikum;
Perdarahan saluran cerna; Peritonitis
Hematologi dan Imunologi Anemi; Leukopenia; Limfositopenia;
Trombositopenia; depresi imunitas
th
Sumber: Harison 18 Editions

1. Gangguan cairan, elektrolit, dan keseimbangan asam-basa


Pada sebagian besar pasien dengan PGK, kadar natrium dan air di dalam

tubuh meningkat, walaupun mungkin tidak nampak dalam pemeriksaan fisik.

Gangguan pada ginjal akan menyebabkan terganggunya keseimbangan

pembuangan air dan elektrolit, mengakibatkan terjadinya retensi natrium dan

kelebihan volume cairan ekstraseluler. Kelebihan ini dapat menyebabkan

hipertensi, yang semakin memperberat kerusakan nefron.

Hiperkalemia pada pasien PGK dapat disebabkan oleh peningkatan

asupan kalium dalam diet, katabolisme protein, hemolisis, perdarahan,

transfusi darah, dan asidosis metabolik. Beberapa obat-obatab seperti ACE

inhibitor dan spironolactone juga menghambat ekskresi kalium di ginjal.

Asidosis metabolik merupakan hal yang umum terjadi pada PGK

stadium lanjut. Pengasaman urin masih dapat terjadi, namun produksi amonia

semakin berkurang dan karena itu tidak dapat mengeksresi jumlah proton

yang cukup. Hiperkalemia juga semakin memperberat kekurangan produksi

amonia.

2. Gangguan metabolisme kalsium dan fosfat

Komplikasi akibat gangguan kalsium dan fosfat pada PGK terutama

terjadi di tulang dan pembuluh darah. Penyakit tulang dapat terjadi akibat

cepatnya pergantian sel-sel tulang dengan peningkatan kadar hormon

paratiroid (osteitis fibrosa kistika), atau akibat lambatnya pergantian sel tulang

dengan kadar hormon paratiroid yang rendah atau normal (penyakit tulang

adinamik dan osteomalasia). Pergantian sel-sel tulang yang cepat terjadi

akibat penurunan GFR yang mengakibatkan penurunan ekskresi fosfat (retensi


fosfat), sehingga fosfat ini menstimulasi peningkatan sintesis hormon

paratiroid dan pertumbuhan kelenjar paratiroid. Stimulasi hormon paratiroid

juga menyebabkan turunnya produksi kalsitriol, yang berujung pada

penurunan kadar kalsium yang terionisasi. Rendahnya kadar kalsitriol ini

berkontribusi pada hiperparatiroidisme, yang berujung pada hipokalsemia.

Penyakit tulang akibat lambatnya pergantian sel tulang dikelompokkan

menjadi dua: penyakit tulang adinamik dan osteomalasia. Komplikasi yang

dapat terjadi yaitu meningkatnya insidensi fraktur dan nyeri tulang.

3. Gangguan kardiovaskular

Penyakit kardiovaskular adanya penyebab utama dari morbiditas dan

mortalitas pada pasien PGK stadium apapun. Risiko penyakit kardiovaskular

pada pasien PGK meningkat 10 sampai 200 kali lipat, tergantung pada

stadium PGK tersebut. PGK meningkatkan risiko terjadinya penyakit iskemik

kardiovaskular, termasuk koroner oklusif, serebrovaskular, dan penyakit

vaskular perifer. Gangguan fungsi jantung akibat iskemik miokard, hipertrofi

verntrikel kiri, dan kardiomiopati, dalam kombinasi dengan retensi air dan

garam juga dapat terlihat pada pasien PGK.

4. Gangguan hematologi

Anemia normositik normokrom dapat ditemukan pada pasien PGK

stadium 3 dan 4. Penyebab utama dari anemia ini adalah ketidakcukupan

produksi dari EPO pada ginjal yang rusak. Faktor-faktor lainnya termasuk

defisiensi besi, inflamasi akut dan kronis dari penggunaan besi yang terganggu

(anemia pada penyakit kronis), hiperparatiroidisme berat dengan fibrosis


sumsum tulang, dan pemendekan usia sel darah merah pada lingkungan

uremia.

Anemia pada PGK menyebabkan penurunan perfusi dan utilisasi

oksigen jaringan perifer, peningkatan cardiac output, dilasi ventrikel, dan

hipertrofi ventrikel. Manifestasi klinis termasuk kelelahan dan toleransi

aktivitas yang semakin berkurang, angine, gagal jantung, penurunan kognisi,

dan gangguan pertahanan tubuh terhadap infeksi.

Pasien dengan PGK stadium lanjut juga dapat mengalami perpanjangan

waktu perdarahan, penuruna aktivitas faktor pembekuan III, perlekatan dan

agregrasi trombosit abnormal, dan konsumsi protrombin yang terganggu.

Manifestasi klinis dapat berupa kecenderungan mengalami perdarahan dan

lebam, perdarahan yang lebih panjang dari insisi operasi, menoragia, dan

perdarahan gastrointestinal spontan.

5. Gangguan neuromuskular

Adanya tahanan metabolit nitrogen dan molekul sedang, seperti hormon

paratiroid, berkontribusi terhadap patofisiologi dari gangguan neuromuskular.

Manifestasi klinis awal dari komplikasi SSP termasuk gangguan ringan pada

memori dan konsentrasi serta gangguan tidur. Iritabilitas neuromuskular,

termasuk cegukan, kram, dan fasikulasi otot menjadi lebih nyata pada stadium

yang lebih lanjut.

6. Gangguan gastrointestinal dan nutrisi


Gastritis, penyakit peptikum, dan ulkus mukosa terjadi pada pasien PGK

dan dapat menyebabkan nyeri perut, mual, muntah, dan perdarahan

gastrointestinal.

7. Gangguan dermatologi

Gatal merupakan hal yang sering terjadi, dan merupakan manifestasi

dari keadaan uremia. Pada CKD yang lebih lanjut, pasien akan menjadi lebih

berpigmen, dikarenakan deposisi dari metabolit berpigmen yang tertahan, atau

urokrom.6

2.5. Patofisiologi Penyakit Ginjal Kronis6

Patofisiologi dari penyakit ginjal kronis meliputi dua mekanisme kerusakan, yaitu

mekanisme pemicu yang spesifik terhadap suatu etiologi (Kelainan pembentukan ginjal,

doposisi kompleks imun, dan inflamasi dari tipe glomerulonephritis tertentu, atau

pemaparan toksin dari penyakit tubular ataupun interstisial ginjal) dan mekanisme

progresif yang melibatkan proses hiperfiltrasi dan hipertrofi dari nefron yang tersisa yang

merupakan konsekuensi dari berkurangnya massa renal. Respons terhadap berkurangnya

jumlah nefron dimediasi oleh hormone vasoaktif, sitokin, dan growth factor. Nantinya,

adaptasi jangka pendek ini akan menjadi maladaptive karena peningkatan tekanan dan

flow menjadi predisposisi perubahan arsitektur dari glomerulus, yang kemudian berubah

menjadi sklerotik.

Peningkatan aktivitas intra-renal dari aksis renin-angiotensin berkontribusi pada

proses hiperfiltrasi adaptif dan proses hipertrofi dan sclerosis maladaptive. Dimana

proses maladaptive distimulasi oleh TGF- (Transforming Growth Factor ). Proses ini
menjelaskan terjadinya penurunan massa renal yang progresif yang kronis pada suatu

kerusakan ginjal yang bersifat akut.

Gambar 2.1 - Perubahan yang terjadi pada Penyakit Ginjal Kronis.6

2.6. Diagnosis Penyakit Ginjal Kronis

Perjalanan klinik penyakit penyakit ginjal kronik biasanya perlahan dan tidak

dirasakan oleh pasien. Oleh karena itu, pengkajian klinik sangat bergantung pada hasil

pemeriksaan penunjang, meski anamnesis yang teliti sangat membantu dalam

menegakkan diagnosis yang tepat. Pada anamnesis yang terpenting yaitu mencari faktor

resiko dan riwayat penyakit yang dapat mengarah pada penyakit ginjal kronik. harison

Definisi PGK adalah keadaan saat laju filtrasi glomerulus < 60 ml/menit/1.73m2

selama lebih dari 3 bulan, adanya tanda-tanda kerusakan ginjal (abnormalitas patologis

atau penanda kerusakan, termasuk abnormalitas pada tes darah atau urin atau

pemeriksaan pencitraan).9
Diagnosis PGK ditegakkan berdasarkan gejala, pemeriksaan fisik dan hasil tes

laboratorium yang meliputi :

a. Sesuai penyakit yang mendasarinya


b. Penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan kadar ureum dan kreatinin serum, dan

penurunan GFR. Kadar kreatinin serum saja tidak cukup untuk memperkirakan fungsi

ginjal. Nilai laju filtrasi glomerulus merupakan parameter terbaik untuk ukuran fungsi

ginjal. Nilai laju filtrasi glomerulus didapat dari rumus Cockroft-Gault dengan

menggunakan data kreatinin serum. 10

LFG =

c. Kelainan biokimiawi darah meliputi penurunan kadar hemoglobin, peningkatan kadar

asam urat, hiper atau hipokalemia, hiponatremia, hiper atau hipokloremia,

hiperfosfatemia, asidosis metabolik.


d. Kelainan urinalisis meliputi proteinuria, hematuria, leukosuria, isostenuria.

Melalui guideline yang berbeda, dipublikasi oleh National Kidney Foundation , untuk

mendiagnosa suatu PGK, diharuskan untuk ditemukan kerusakan ginjal atau penurunan

LFG < 60ml/min selama 3 bulan atau lebih. Dalam menentukan klirens kreatinin dalam

memprediksi LFG, biasanya digunakan pengukuran kreatinin serum. Pengukuran

kreatinin serum ini sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor yang dapat mempengaruhi

prediksi LFG. Faktor pengukuran dalam laboratorium, substansi-substansi endogen

maupun eksogen, faktor usia, jenis kelamin, berat badan, massa otot, diet, dan obat-
obatan. LGF merupakan gold standart dalam menentukan fungsi ginjal namun hingga

saat ini masih cukup sulit untuk diimplementasikan. Untuk kepraktisan klinis,

pengukuran LFG dalam guideline ini juga menggunakan rumus Cockroft-Gault dan ada

penambahan rumus lainnya yaitu rumus modifikasi diet. BMJ-CKD


Gambar 2.2 Metode Perumusan Penghitungan GFR

Sumber: British Columbia Guideline & Protocols. Chronic Kidney Disease: Identification, Evaluation,

and Management of Patient. 2008. 9

Sumber: KDIGO 2013


Menurut guideline yang diterbitkan oleh KDIGO pada tahun 2013, selain penghitungan

LFG, diharuskan adanya pemenuhan satu atau lebih kriteria untuk dapat menegakkan diagnosa

Penyakit Ginjal Kronik. Serta, untuk mendapatkan hasil estimasi LFG yang lebih tepat lagi yaitu

dengan mempertimbangkan faktor jenis kelamin, usia, dan ras, sehingga tidak menimbulkan

adanya over-diagnosing maka ditetapkan perumusan LFG yang didasarkan atas perhitungkan

angka serum cystatin. Perumusannya terlampir pada gambar-gambar di atas.


Pemeriksaan penunjang lain untuk diagnosis PGK juga dapat dilakukan pemeriksaan

pencitraan dengan USG yang merupakan pemeriksaan yang paling sering digunakan dan efektif.
USG ginjal dapat memperlihatkan ukuran ginjal yang mengecil, korteks yang menipis, adanya

hidronefrosis dan batu ginjal, kista, massa, atau kalsifikasi.11,12


a. Foto polos abdomen, bisa tampak batu radio-opak
b. Pielografi intravena jarang dikerjakan, karena kontras sering tidak bisa melewati

filter glomerulus, juga dikhawatirkan efek toksik kontras terhadap ginjal yang sudah

mengalami kerusakan.
c. Pielografi retrograde atau anterograde merupakan alat investigasi yang lebih baik

pada beberapa kasus yang kompleks dalam menentukan lokasi obstruksi dengan

tepat. 12
d. Magnetic Resonance Angiography (MRA) sering digunakan untuk menggambarkan

keeadaan arteri dan vena renalis pada pasien dengan dugaan mengalami obstruksi

vaskular.

Selain pemeriksaan-pemeriksaan di atas, dapat dilakukan biopsi dan pemeriksaan

histopatologi ginjal. Pemeriksaan ini dilakukan apabila penyebab prerenal dan postrenal telah

dieksklusi dan penyebab intrinsik masih belum dapat ditegakkan dengan pemeriksaan

noninvasif. Biopsi dilakukan pada pasien dengan ukuran ginjal yang masih mendekati normal.

Deteksi Dini
Penyakit ginjal biasanya akan bersifat progresif saat LFG telah mengalami penurunan 25%

dari nilai normal. Deteksi dini dalam kasus ini sangatlah penting untuk mencegah kerusakan

struktur ginjal dan progresifitas penurunan fungsi ginjal lebih lanjut. Menurut KDOQI, dalam

deteksi dini kita harus mengenali faktor-faktor risiko yang dapat membuat seseorang berada

dalam kelompok risiko tinggi mengalami kerusakan struktur ginjal. Berikut ini adalah tabel yang

menggambarkan faktor risiko tersebut.1,9


Tabel 2.6 Faktor Risiko Penyakit Ginjal Kronik

FAKTOR RISIKO Usia, Diabetes, Hipertensi, Riwayat keluarga dengan


(meningkatkan risiko) penyakit ginjal, Transplantasi ginjal

FAKTOR INISIASI Diabetes, Hipertensi, Penyakit Autoimun, Glomerulopati


(memulai kerusakan)
Primer, Infeksi Sistemik, Agen Nefrotoksik

FAKTOR PROGRESI Proteinuri persisten, Peningkatan tekanan darah,


(menyebabkan penurunan fungsi ginjal secara
Peningkatan gula darah, Diet tinggi protein,
progresif)
Hiperlipidemia, Hiperfosfatemia, Anemia, Penyakit
Kardiovaskuler, Merokok.

Sumber: British Columbia Guideline & Protocols. Chronic Kidney Disease: Identification, Evaluation, and
Management of Patient. 2008. 9
Pasien dengan risiko tinggi haruslah menjalani evaluasi lebih lanjut dalam menentukan
apakah pada pasien ini telah terjadi penurunan fungsi ginjal. Evaluasi yang harus dilakukan
adalah penanda kerusakan struktur ginjal yaitu albuminuria, sedimen urin abnormal, peningkatan
serum kreatinin, dan prediksi LFG melalui kreatinin serum. Selain penanda di atas, juga harus
dievaluasi penyebab penurunan fungsi ginjal yang sifatnya reversibel seperti pada tabel berikut.

Tabel 2.7 Penyebab Penurunan Fungsi Ginjal Reversibel

Penurunan Volume Sirkulasi Dehidrasi, Gagal Jantung, Sepsis

Obstruksi Obstruksi Saluran Kemih

Hipertensi Hipertensi Tak Terkontrol

Penyebab Toksik Agen nefrotoksik, agen radiokontras

Sumber: British Columbia Guideline & Protocols. Chronic Kidney Disease: Identification, Evaluation, and
Management of Patient. 2008. 9
Gambar 2.3 Alur diagnosa PGK13

Sumber: Diagnosis and management of chronic kidney disease NHS13

2.7. Tatalaksana Penyakit Ginjal Kronis


Tatalaksana pasien dengan Penyakit Ginjal Kronis disesuikan dengan laju filtrasi
glomerulus. Secara garis besar jika dilihat dari laju filtrasi glomerulus maka tujuan tatalaksana
nya yaitu: 7,8,9

Tabel 2.8 Tatalaksana pada pasien Penyakit Ginjal Kronis sesuai dengan laju filtrasi glomerulus

Stage Deskripsi GFR Aksi


(ml/menit per
1,73m2)

1 Kerusakan ginjal dengan GFR normal >= 90 Diagnosis dan terapi, terapi kondisi komorbid,
atau meningkat menunda progresifitas penyakit, mengurangi
risiko penyakit kardiovaskular
2 Kerusakan ginjal dengan penurunan 60-89 Memperkirakan progesifitas
GFR ringan
3 Penurunan GFR sedang 30-59 Evaluasi dan terapi komplikasi
4 Penurunan GFR berat 15-29 Persiapan untuk terapi kidney replacement
5 Gagal ginjal <15 Kidney replacement (jika terjadi uremia)
(atau dengan dialysis)
Sumber : Bargman JM, Skoreckl K. Chronic Kidney Disease. Harrison's Principle of Internal Medicine.
th
18 edition. United States: McGraw-Hill.

Secara umum terdapat 3 target dalam penatalaksanaan Penyakit Ginjal Kronis yaitu : 7,8,9

1. Memperlambat progresi dari kerusakan ginjal


Pasien dengan PGK harus diperhatikan asupan dietnya. Diet memegang peranan
penting pada pasien PGK karena penderita rentan terhadap malnutrisi dan
hipoalbuminemia. Asupan kalori harus cukup untuk meningkatkan efisiensi protein
(protein-sparing effect) dan mencegah pasien dari proses katabolik. Diet restriksi protein
hingga kini masih menjadi perdebatan. Khususnya pasien PGK dengan laju fitrasi
glomerulus <30 ml/min/ 1.73 m2 dianjurkan untuk membatasi konsumsi protein yaitu
sebanyak 0.6-1 gram/kgBB/hari dan asupan kalori sebesar 30-35 kkal/kgBB/hari.
Sebaiknya pasien Penyakit Ginjal Kronis tidak mengonsumsi protein tinggi (>1.3
gram/kgBB/hari) pada pasien Penyakit Ginjal Kronis. 1
Selain protein, pasien juga dianjurkan untuk mengurangi konsumsi garam.
Rekomendasi untuk konsumsi garam yaitu kurang dari 90 mmol atau 2 gram per hari
(setara dengan 5 gram sodium klorida). Kelebihan protein menyebabkan akumulasi
racun uremik, sebaliknya asupan protein yang kurang mungkin menyebabkan hilangnya
massa otot, dan gizi buruk (sering pada orang tua). Manfaat pembatasan diet protein
bertujuan untuk mengurangi akumulasi metabolik produk limbah yang dapat menekan
nafsu makan dan merangsang timbulnya pemborosan protein otot.
Energi 35 kkal/kg BB, pada geriatri dimana umur > 60 tahun cukup 30 kkal/kg
BB, dengan ketentuan dan komposisi sebagai berikut:1,14
Karbohidrat sebagai sumber tenaga, 50-60% dari total kalori
Diet Rendah Protein untuk pemeliharaan jaringan tubuh dan mengganti sel-sel yang
rusak sebanyak 0.6-1 gram/kgBB/hari.
Lemak untuk mencukupi kebutuhan energi diperlukan 30 % diutamakan lemak
tidak jenuh.
Kebutuhan cairan disesuaikan dengan jumlah pengeluaran urine sehari ditambah IWL
500 ml.
Garam disesuaikan dengan ada tidaknya hipertensi serta penumpukan cairan dalam
tubuh. Pembatasan garam berkisar 2,5-7,6 g/hari setara dengan 1000-3000 mg
Na/hari.
Kalium disesuaikan dengan kondisi ada tidaknya hiperkalemia 40-70 meq/hari
Fosfor yang dianjurkan 10 mg/kg BB/hari
Kalsium 1400-1600 mg/hari

Direkomendasikan agar pasien dengan Penyakit Ginjal Kronis melakukan


aktivitas fisik yang dapat mendukung dan disesuaikan dengan kesehatan kardiovaskular,
minimal selama 30 menit sebanyak 5 kali seminggu. Target berat badan yaitu indeks
massa tubuh antara 20-25, disesuaikan dengan demografi masing-masing negara. Selain
itu jika pasien mempunyai kebiasaaan merokok, agar menghentikan kebiasaan merokok
tersebut. 1,11,13
Untuk tatalaksana medikamentosa Penyakit Ginjal Kronis yaitu harus
diperhatikan berdasarkan etiologinya. Pengobatan etiologi tidak selalu memungkinkan,
namun pengobatan etiologi memiliki peranan yang sangat penting untuk memperlambat
penurunan GFR, dan terdapat beberapa etiologi penurunan GFR pada PGK yang masih
bersifat reversible, dan harus segera ditangani sebelum kerusakan menjadi irreversibel.
Etiologi dari penurunan GFR yang reversibel ini dibagi menjadi 3, yaitu: etiologi prerenal
(gagal jantung kongestif, efusi perikardial, hipovolemia, stenosis arteri renal, aneurisme
aorta, emboli), etiologi intrarenal (penggunaan agen nefrotoksik seperti antibiotik
tertentu, OAINS, bahan kontras radiologik, penyakit sistemik yang menyebabkan
kerusakan glomerular seperti Systemic Lupus Eritmatosus, sarkoidosis; penyakit sistemik
dengan hipertensi maligna seperti scleroderma; penyakit infeksi yang dapat memicu
nephritis autoimun; penyakit infitratif seperti sarcoidosis dan limfoma; hiperkalsemia
dengan nepfrokalsinosis; nephropathy analgesik) dan etiologi post-renal (nefro-
urolithiasis; nekrosis papiler seperti yang ditemukan pada nefropati analgesik dan
nefropati diabetik, fibrosis retroperitoneal, hipertrofi prostat, karsinoma prostat, dan
tumor ginekologik).1,11,13
Beberapa bukti menyatakan bahwa tekanan darah yang terkontrol menurunkan
risiko terjadinya penyakit kardiovaskular dan memperlambat progresivitas PGK. Berbeda
dengan pengendalian hipertensi pada umumnya, pada PGK pembatasan cairan harus
dilakukan. Target tekanan darah pada pasien dengan PGK yaitu < 130/80 mmHg dan
<125/75 mmHg diperlukan pada pasien dengan proteinuria 1 gram/hari untuk
menghambat laju progresivitas penurunan fungsi ginjal. 11,13,15
Kontrol tekanan darah pada pasien PGK dengan proteinuria bertujuan untu
memperlambat penurunan GFR dan memperbaiki proteinuria. Kontrol ini diutamakan
pada pasien dengan proteinuria 1g / harinya, dengan target tekanan darah sistolik 130
mmHg. Kontrol tekanan darah dilakukan dengan menggunakan penghambat enzim
konversi angiotensin (ACEi) atau penghambat reseptor aldosteron (ARB), dan juga
diindikasikan penderita PGK dengan diabetes melitus tipe I maupun II dan
microalbuminuria. ACE-I dan ARB merupakan pilihan utama untuk pasien dengan PGK,
namun pada pasien dengan alergi terhadap ACE-I dan ARB, dapat diberikan non-
dihydropyridine calcium channel blocker.15 Keunggulan dari ACE-I dan ARB sangat
menguntungkan penderita PGK yaitu memiliki efek kardioprotektif dan renoprotektif,
dan juga memiliki efek dilatasi arteriole eferen ginjal, mengurangi hipertensi glomerulus,
dan mengurangi proteinuria.
Salah satu etiologi tersering PGK adalah diabetes melitus, sehingga kontrol
glikemik pada pasien PGK sangat penting untuk menghambat progresivitas dari
kerusakan ginjal. Pada pasien PGK, target dari kontrol glikemik adalah HbA1C < 7%,
dengan tujuan memperlambat progresi dari komplikasi mikrovaskular dari diabetes
melitus, namun target ini boleh ditinggikan pada pasien dengan risiko hipoglikemia tinggi
(pasien yang diterapi dengan insulin, sulfonil urea dan secretagogue lainnya), pasien
dengan ko-morbiditas dan harapan hidup pendek.1,11,13,15
Kontrol glikemik pada pasien PGK dapat menggunakan insulin atau Obat
Hipoglikemik Oral (OHO), maupun kombinasi keduanya. Biguanid seperti metformin
perlu dihindari pada pasien PGK, terutama pada stadium 4 dan 5 karena dapat
memberikan efek samping asidosis laktat. Insulin dan sulfonil urea dapat menyebabkan
hipoglikemia dan penggunaannya harus diperhatikan dan pasien harus diedukasi tentang
efek sampingnya. Thiazolidindione dimetabolisme di hepar dan relatif aman untuk pasien
PGK, namun memiliki efek samping retensi cairan sehingga perlu hati hati pada pasien
dengan komorbiditas CHF. Dipeptyl peptidase 4 inhibitor (DPP 4 inhibitor) dapat
dipakai sebagai adjuvan pada pasien PGK. Analog amylin dapat digunakan pada pasien
PGK stadium 1- 3. 13,15
2. Mencegah dan menangani komplikasi dari PGK
Anemia pada pasien PGK dapat ditangani lewat pemberian Erythropoiesis
Stimulating Agents (ESA), suplemen besi dan transfusi darah. Pemberian ESA ditambah
dengan suplemen besi merupakan pilihan utama dalam terapi PGK, karena transfusi
memiliki risiko yang lebih tinggi untuk efek samping dan iron overload akan membuat
pasien tersebut tidak dapat menjalani transplantasi ginjal apabila dibutuhkan.
Terapi ESA dibagi menjadi 2 tahap, yaitu tahap induksi dan tahap maintenance.
Pada pasien dengan terapi ESA pada tahap rumatan, diberikan suplemen besi, dan dapat
diberikan per oral atau per IV. Pasien pasien ini perlu memeriksakan serum ferritin dan
saturasi transferrin mereka selama menjalani terapi suplemen besi. Target untuk serum
ferritin adalah 200 500 g dan target range untuk saturasi transferrin adalah 20%.
Kebanyakan pasien memerlukan suplemen besi 600 1000 mg. Pada pasien dengan ESA
pada tahap induksi, dilakukan pemeriksaan Hb setiap 2 minggu sekali atau 1 bulan sekali,
atau dapat dilakukan lebih sering setelah perubahan dosis ESA. Setelah mencapai tahap
yang stabil, Hb dimonitor setiap 1 3 bulan sekali. 13,15
Asidosis metabolik merupakan salah satu komplikasi yang paling sering terjadi
pada pasien PGK dan memerlukan penanganan segera yang termasuk dialisis sesegera
mungkin. Karena itu, pada pasien PGK perlu dilakukan pencegahan asidosis metabolik,
di antaranya dalam bentuk pengontrolan diet protein (0.8 1.2 g / kgBB / hari, tidak lebih
rendah dan tidak lebih tinggi), dan pemberian suplemen sodium bikarbonat oral,
diberikan 3 hingga 4 kali sehari, setiap kalinya 500 mg 1 g.
Pasien PGK memiliki risiko tinggi untuk terkena penyakit kardiovaskular, dan
salah satu dari tujuan terapi PGK adalah untuk mencegah kejadian penyakit
kardiovaskular pada pasien PGK. Pasien PGK memiliki kemungkinan 20% dalam 10
tahun untuk terkena penyakit kardiovaskular. Salah satu hal usaha dalam mengurangi
penyakit kardiovaskular pada pasien PGK adalah menurunkan tekanan darah, menjaga
agar Hb pasien tidak melewati batas 13g/dL, menggunakan terapi anti-platelet pada
pasien PGK stadium 1 hingga 3, dan mengontrol profil lipid pasien, dengan target LDL <
2.5 serta TC / HDL ratio < 4. Pasien PGK juga dianjurkan untuk menjalani pemeriksaan
profil lipid rutin, minimal setahun sekali pada pasien yang target profil lipidnya telah
tercapai, atau setiap kali kontrol pada pasien yang target profil lipidnya belum
tercapai.13,15 Untuk mengontrol profil lipid, dilakukan dengan pemberian medikasi yang
menurunkan LDL-C, yaitu ezetimibe dan statin. Pemberian ezetimibe dan statin tidak
disarankan pada pasien yang telah menjalani dialisis, namun disarankan pada pasien
dengan transplantasi ginjal.1,11,13 Sebuah meta analisis membuktikan bahwa penggunaan
golongan statin 10 mg per hari menurunkan angka kejadian penyakit kardiovaskular
sebesar 40%.
Pasien dengan PGK merupakan pasien yang sistem imunnya terganggu, sehingga
pasien PGK memerlukan profilaksis terhadap infeksi yang lebih dibandingkan dengan
populasi dengan ginjal sehat. Pada pasien PGK, dianjurkan: 1,11,15
Melakukan vaksinasi influenza sekali setahun. Vaksin influenza yang
diberikan adalah yang merupakan inactivated vaccine, karena PGK
merupakan kontraindikasi pemberian live attenuated influenza vaccine.
Melakukan vaksinasi pneumococcal dan dapat diulang setiap 5 - 10 tahun.
Melakukan vaksinasi Hepatitis B, terutama sebelum GFR menjadi terlalu
buruk agar dapat terjadi serokonversi.

3. Mempersiapkan serta menginisiasi pasien untuk menjalani terapi pengganti ginjal pada
waktu yang tepat. Terdapat beberapa indikasi untuk memulai TPG, yaitu: 15,16
Asidosis metabolik berat
Hiperkalemia
Perikarditis uremika
Ensefalopati
Overload cairan yang tidak dapat diatasi dengan pemberian diuretik
Gagal tumbuh dan malnutrisi
Gejala gastrointestinal yang tidak dapat diatasi
Uremia
Laju filtrasi glomerulus < 10 ml / min / 1.73m2

Pilihan TPG pada pasien PGK antara lain adalah transplantasi ginjal, atau dialisa,
yang dapat dibedakan menjadi hemodialisis (HD), dan peritoneal dialisis (PD), yang
dibagi lagi menjadi 2, yaitu dialisis peritoneal otomatis (DPO) dan Continuous
Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD). TPG dipilih dan disesuaikan dengan
kemampuan pasien serta pemberi pelayanan pasien. Keunggulan dari terapi TPG berupa
transplantasi renal adalah ketidak tergantungan pasien terhadap mesin untuk membuang
produk sisa dari tubuh dan dapat mengurangi dosis obat lainnya. Namun, transplantasi
renal memiliki risiko Graft vs Host Disease (GVHD) yang cukup besar.
Manajemen dan Tatalaksana yang komprehensif dibutuhkan dalam menangani
penderita PGK, pada suatu guideline, mereka memaparkan sebuah tabel yang berisikan
tujuan dan target yang harus dijalani oleh seorang klinisi dalam menangani kasus PGK,
tujuannya adalah dengan adanya sistem yang komprehensif, segala aspek yang
mendukung progresifitas PGK dapat diperlambat dan dapat memiliki tingkat progresifitas
yang lebih rendah dibandingkan manajemen yang tidak dilakukan secara komprehensif.
Berikut ini adalah tabel target dan tujuan evaluasi dan penanganan yang dipublikasikan
dan akan kami lampirkan contoh evaluasi dan manajemen komprehensif pada pasien
penderita PGK. 9,11
BAB III
KESIMPULAN

3.1 Kesimpulan
Penyakit Ginjal Kronis adalah suatu sindroma klinis yang disebabkan penurunan fungsi

ginjal yang bersifat menahun, berlangung progesif dan ireversibel. Penyebab gagal ginjal kronik

adalah glomerulonefritis, diabetes mellitus, hipertensi, sumbatan karena batu dan infeksi saluran

kemih, kelainan bawaan dan lainnya. Bila penyakit ginjal kronik telah menimbulkan gejala

umumya diagnosis tidak sulit untuk ditegakkan, namun jika menunggu sampai timbulnya gejala

klinis, perjalanan penyakitnya sudah berada pada tahap yang lebih lanjut dan bersifat ireversibel.

Diagnosa dini dan screening pada kelompok berisiko tinggi harus dilakukan agar dapat

mendeteksi penyakit ini pada tahap dini. Dengan mendiagnosa secara dini juga dapat

mengurangi biaya yang dibutuhkan untuk pengobatan dibandingkan dengan pasien PGK yang

harus menjalani renal replacement therapy. Dalam mengevaluasi dan manajemen pasien PGK

diperlukan suatu penanganan yang sifatnya komprehensif sehingga dapat menunda progresifitas

perjalanan penyakitnya sehingga tidak dengan cepat jatuh pada tahap akhir.
DAFTAR PUSTAKA

1. KDOQI. Clinical Practice Guidelines for Chronic Kidney Disease: Evaluation,


Classification and Stratification. New York: National Kidney Foundation inc; 2002.
2. Tonelli M, Wiebe N, Culleton B, House A, Rabbat C, Fok M, et al. Chronic Kidney
Disease and Mortality Risk: A Systematic Review. J Am Socnephrol. 2005 Oct
18;17:2034-47.
3. Nugent RA, Fathima SF, Feigl AB, et al. The Burden of Chronic Kidney Disease on
Developing Nations: A 21st Century Challenge in Global Health. Nephron Clin Pract.
2011; 118: c269-c277.
4. Jha V, Garcia GC, Kunitoshilseki, et al. Chronic Kidney Disease : Global Dimension
and Perspectives. Lancet. 2013; 382: 260-72.
5. Stevinkel P. Chronic Kidney Disease: a Public Health Priority and Harbinger of
Premature Cardiovascular Disease. Journal of Internal Medicine. 2010; 268: 456-67.
6. Bargman JM, Skoreckl K. Chronic Kidney Disease. Harrison's Principle of Internal
Medicine. 18th edition. United States: McGraw-Hill. P 2308-2321.
7. Perhimpunan Nefrologi Indonesia. 4th Report of indonesian renal registry. Jakarta:
Perhimpunan Nefrologi Indonesia. 2011.
8. Perhimpunan Nefrologi Indonesia. 2012. 5th Report of indonesian renal registry.
Jakarta: Perhimpunan Nefrologi Indonesia.
9. British Columbia Guideline & Protocols. Chronic Kidney Disease: Identification,
Evaluation, and Management of Patient. 2008.
10. McBride G, Jonas GR. Differences between GFR Estimates using Cockroft and Gault
and MDRD Equations. AACB Annual Scientific Meeting Sydney. 2005.

11. Suwitra, K. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Universitas Indonesia Edisi 4. Penyakit
Ginjal Kronis. 2006.
12. Jameson JL & Loscalzo J. Harrisons Nephrology and Acid-base Disorders. United
States: The Mc-Graw-Hills Companies Inc; 2010.
13. Scottish Intercollegiate Guidelines Network. Diagnosis and Management of Chronic
Kidney Disease. NHS. 2008.
14. Joan B, Eating a Vegetarian Diet While Living with Kidney Disease. Vegetarian
Journal 2004.
15. KDIGO, 2012, Clinical Practice Guidelines for the Evaluation and Management of
Chronic KidneyDisease, Kidney International Supplements, 2, 279-335, Boston,
MA,USA.
16. Palliative Care Guidelines: Renal Paliative Care. Symptom Control in Patients with
Chronic Kidney Disease or Renal Impairment. 2011. NHS: Lothian.
LAMPIRAN

Anda mungkin juga menyukai