Anda di halaman 1dari 9

Pengertian Psikologi Islam

Menurut Wilhelm Wundt, psikologi adalah ilmu pengetahuan tentang kehidupan mental,
s]=eperti pikiran, perhatian, persepsi, kemauan, dan ingatan. Plato dan Aristoteles
mengemukakan bahwa psikologi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang
hakikat jiwa serta prosesnya sampai akhir.
Kata Islam berasal dari kata aslama yang berarti patuh atau berserah diri. Secara
terminologi Islam adalah wahyu Allah yang disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW
sebagaimana terdapat dalam al-Quran dan al-Sunnah sebagai petunjuk bagi seluruh
manusia untuk mencapai kesejahteraan dan kedamaian hidup di dunia dan di akhirat.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa psikologi Islam adalah ilmu yang mempelajari
jiwa manusia dalam berinteraksi di kehidupan dunia yang berpedoman pada ajaran agama
Islam untuk mencapai kedamaian dunia dan akhirat.
Psikologi Islam adalah usaha membangun sebuah teori dari khazanah kepustakaan Islam,
baik dari al-Quran, al-Sunnah ataupun al-Hadist.
Menurut Hanna Djumhana Bastaman menjelaskan bahwa Psikologi Islam adalah corak
psikologi berlandaskan citra manusia menurut ajaran Islam yang mempelajari keunikan dan
pola pengalaman manusia berinteraksi dengan diri sendiri, lingkungan sekitar, dan alam
keruhanian dengan tujuan meningkatkan kesehatan mental dan kualitas keberagamaan.
Menurut Baharuddin, psikologi Islam adalah sebuah aliran baru dalam dunia psikologi yang
mendasarkan seluruh bangunan teori-teori dan konsep-konsepnya kepada Islam.[3]

Perbedaan Psikologi Islam


Psikologi Islami (Islamic Psychologi) dan bukan Psikologi Islam (Psychology of Islam)
didasarkan pada pandangan dunia Islam, tanpa melakukan penolakan terhadap pan-dangan
yang positif dan konstruktif dari Barat.
Subandi (1994) menyampai-kan argumentasinya bahwa psikologi Islami lebih luas
cakupannya, karena dapat menam-pung berbagai pemikiran, baik dari agama Islam sendiri
maupun dari luar, sebab pada hakikatnya esensi nilai-nilai Islami tidak hanya monopoli pada
agama Islam saja, tapi juga tersimpan dalam agama-agama dan tradisi pemikiran psikologi,
baik dari Timur maupun Barat, sepanjang tidak bertentangan dengan ajaran Islam.
Penggunaan nama Psikologi Islam dipelopori oleh Abdul Mujib & Jusuf Mudzakir, dengan
alasan bahwa psikologi Islam merupakan salah satu dari kajian keislaman. Penempatan kata
Islam di sini memiliki arti, corak, cara pandang, pola pikir, paradigma atau aliran psikologi
yang dibangun bercorak ajaran Islam, sebagaimana yang berlaku dalam tradisi keilmuan
Islam.
Dr Fuad Nashori mengungkapkan bahwa dua istilah tersebut mewakili dua arus yang
bertentangan. Yaitu psikologi Islami mewakili pilihan para ahli untuk menonjolkan ilmu
psikologi yang dilatari oleh konsep Islam, sedang psikologi Islam dimaksudkan sebagai
bagian dari studi Islam untuk menjelaskan berbagai fenomena psikologi.
Ruang lingkup
Menurut Djamaludin Ancok dan Fuat Nashori Suroso (2004:148) Kajian Psikologi Islam
meliputi jiwa dengan memperhatikan badan. Keadaan tubuh manusia bisa jadi merupakan
cerminan jiwanya. Ekspresi badan hanyalah salah satu fenomena kejiwaan.
Dalam merumuskan siapa manusia itu, Psikologi Islam melihat manusia tidak semata-mata
dari perilaku yang diperlihatkan badannya. Bukan pula berdasarkan spekulasi tentang apa
dan siapa manusia.
Psikologi Islam bermaksud menjelaskan manusia dengan memulainya dengan merumuskan
apa kata Tuhan tentang manusia. Psikologi Islam menyadari adanya kompleksitas dalam diri
manusia di mana hanya Sang Penciptalah yang mampu memahami dan mengurai
kompleksitas itu.
Psikologi Islam merupakan salah satu disiplin yang membantu seseorang untuk memahami
ekspresi diri, aktualisasi diri, kontrol diri, realisasi diri,konsep diri, citra diri, harga diri,
kesadaran diri, kontrol diri, dan evaluasi diri, baik untuk diri sendiri atau orang lain.
Menurut Djamaludin Ancok dan Fuat Nashori (2004) ada beberapa hal yang harus menjadi
catatan, yang pertama bahwa kajian mengenai manusia bukanlah kajian yang berdiri sendiri,
tetapi digunakan untuk menuju Allah (Abdul Hamid al-Hashimi, 1991), yang kedua adalah
untuk mengenal siapa manusia kita tidak semata-mata menggunakan teks Al-Quran (ayat
kauniyah), tapi juga dengan menggunakan, memikirkan dan merefleksikan kejadian-kejadian
di alam semesta (ayat kauliyah) dengan akal pikiran, indra dan intuisi.
Catatan ketiga kita harus membedakan kebenaran Al-Quran dan kebenaran penafsiran Al-
Quran. Secara mutlak Al-Quran adalah benar, tetapi penafsiran atasnya mungkin saja bias.
Oleh karena itu rumusan tentang apa dan siapa manusia yang didasarkan pada Al-Quran
juga mungkin mengandung bias, kerena bias dalam penafsirannya. Kalau perbedaan
penafsiran itu terjadi, maka tugas kita adalah mengembalikannya pada Al-Quran, Al-Quran
tidak pernah salah dalam memandang siapa manusia, yang salah adalah penafsiran atasnya.
Terdapat enam pemahaman mengenai psikologi Islam yaitu, (1) psikologi Islam disamakan
dengan psikologi agama, (2) psikologi dipandang sebagai bidang studi atau mata kuliah, (3)
psikologi dipandang sebagai cara pandang, pola berpikir, atau sistem pendekatan dalam
mengkaji psikologi, dan (4) psikologi Islam dipandang sebagai lembaga.
Tipe manusia dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu tipe yang berkepribadian
ammmarah, kepribadian lawwamah, dan kepribadian muthmainnah (Mujib, 2007: 175-179).

Psikologi Islam akan mengkaji jiwa dengan memperhatikan badan, keadaan tubuh
manusia merupakan salah satu cerminan jiwa. Ekspresi badan hanyalah salah satu
fenomena kejiwaan. Psikologi Islam tidak melihat manusia hanya dari perilaku yang
diperlihatkan badannya, bukan pula berdasar spekulasi tentang apa dan siapa manusia.
Psikologi Isalam bermaksud menjelaskan manusia dengan merumuskan kata Tuhan tentang
manusia. Dalam diri manusia terdapat kompleksitas, hanya Sang Pencipta yang mampu
memahami dan menguraikannya (Nashori dan Ancok, 2005: 149). Oleh karena itu, dalam
menguraikan manusia psikologi Islam tidak hanya berpegang pada perilaku nyata manusia,
tetapi juga dalil-dalil yang diambil dari ungkapan Tuhan.
Psikologi Islam sebagai bagian dari diskursus yang sedang berkembang, memunculkan
berbagai interpretasi di kalangan peminat dan pemerhatinya. Terdapat enam pemahaman
mengenai psikologi Islam yaitu, (1) psikologi Islam disamakan dengan psikologi agama, (2)
psikologi dipandang sebagai bidang studi atau mata kuliah, (3) psikologi dipandang sebagai
cara pandang, pola berpikir, atau sistem pendekatan dalam mengkaji psikologi, dan (4)
psikologi Islam dipandang sebagai lembaga. Pengertian psikologi Islam yang
sesuai dengan penelitian ini adalah pengertian yang ketiga yaitu psikologi Islam dipandang
sebagai cara pandang, pola pikir, atau sistem pendekatan dalam mengkaji psikologi.
Psikologi Islam merupakan satu keutuhan cara berpikir dalam memahami universalitas
ajaran Islam ditinjau dari sudut pandang psikologis. Semua nyang termuat dalam Al Qur-an
dan al Sunnah menjadi aksioma-psikologis yang mau tidak mau harus diterima, sekalipun
tidak atau belum ditemukan secara empiris (Mujib, 2007: 6-10). Keberadaan al-ruh,
malaikat, jin, setan, kehidupan setelah mati (eskatologi) serta fenomena di alam akhirat
merupakan aspek-aspek psikologis yang harus diterima.
2. Kepribadian Psikologi Islam
Disiplin psikologi terbagi atas dua macam, yaitu psikologi umum dan psikologi khusus.
Psikologi umum membicarakan kognisi, emosi, dan konasi. Psikologi khusus dibagi menjadi
dua bagian, yaitu psikologi khusus murni dan psikologi khusus terpakai. Kedudukan
psikologi kepribadian di sini adalah sebagai psikologi khusus terpakai (Mujib, 2007: 39).
Psikologi kepribadian Islam memiliki arti bagaimana Islam mendefinisikan kepribadian
dari sudut pandang psikologis. Freme kajiannya tetap pada studi Islam yang menelaah
terhadap fenomena perilaku manusia dari sudut pandang psikologis. Dari uraian tersebut
dapat ditarok kesimpulan bahwa psikologi kepribadian Islam adalah studi Islam yang
berhubungan dengan tingkah laku manusia berdasarkan pendekatan psikologis dalam
relasinya dengan alam, sesamanya, dan kepada sang Khalik-nya agar dapat meningkatkan
kualitas hidup di dunia dan akhirat (Mujib, 2007: 33-34).
Manusia dalam konsepsi kepribadian Islam merupakan makhluk mulia yang memiliki
sruktur kompleks , meliputi struktur jasmani, ruhani, dan nafsani. Struktur ruhani lebih
dahulu adanya daripada struktur jasmani. Kedua struktur itu sama-sama merupakan
substansi yang menyatu dalam satu struktur yang disebut nafsani. Oleh sebab itu,
pemahaman kepribadian manusia tidak hanya bertumpu pada struktur jasmani melainkan
harus meliputi struktur ruhani (Mujib, 2007: 116).
Unsur nafsani sebagai bentuk pembentuk kepribadian memiliki tiga komponen pokok,
yaitu kalbu, akal, dan hawa nafsu. Ketiga komponen tersebut memiliki natur, fungsi, daya,
cara kerja, dan mekanisme tersendiri. Meskipun demikian, ketiganya saling berinteraksi satu
sama lain dan tidak mungkin dapat dipisahkan. Kepribadian sesungguhnya merupakan
produk dari interaksi diantara ketiga komponen tersebut. Masing-masing komponen
memiliki peran dalam pembentukan kepribadian walaupun salah satu diantaranya ada yang
lebih dominan. Kepribadian muthmainah (nafs al-amarah) adalah kepribadian yang
didominasi daya kalbu yang dibantu oleh daya akal dan daya nafsu.
Kepribadian lawwamah (nafs al-lawwamah) adalah kepribadian yang didominasi daya akal
yang dibantu oleh daya kalbu dan daya nafsu. Bantuan daya kalbu sama kuatnya dengan
bantuan daya nafsu. Kepribadian ammarah (nafs al-ammarah) adalah kepribadian yang
didominasi oleh daya hawa nafsu yang dibantu oleh daya akal dan daya kalbu (Mujib, 2007:
143-151).
Tipe manusia dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu tipe yang
berkepribadianammmarah, kepribadian lawwamah, dan kepribadian muthmainnah (Mujib,
2007: 175-179).
1. Kepribadian Ammarah
Kepribadian ammarah adalah kepribadian yang cenderung melakukan perbuatan-
perbuatan rendah sesuai dengan naluri primitifnya, sehingga merupakan tempat dan
sumber kejelekan dan perbuatan tercela. Kepribadian tersebut mengikuti tabiat jasad adan
mengejar pada prinsip-prinsip kenikmatan (pleasure principle) syahwati. Bentuk kepibadian
ammarah antara lain syirik, kufur, riya, fitnah, khianat, sombong, mengikuti hawa nafsu
syahwat, sombong dan ujub (angkuh), membuat kerusakan, boros, memakan riba,
mengumpat, pelit, durhaka atau membangkah, benci, pengecut atau takut, fitnah, memata-
matai, angan-angan atau menghayal, hasut, khianat, senang dengan duka yang lain, ragu-
ragu, buruk sangka, rakus, aniaya atau zalim, marah, menceritakan kejelekan orang lain,
menipu, jahat atau fujur, dusta, sumpah palsu, berbuat keji, menuduh zina, maker, bunuh
diri, adu domba. Bentuk-bentuk kepribadian ini disebut penyimpangan kepribadian Islam
atau kepribadian abnormal dalam Islam. Kepribadian menusia yang menyimpang atau yang
sering disebut dengan gangguan kepribadian (Mujib, 2007: 361-386) adalah sebagai berikut:
a. Kepribadian syirik (menyekutukan Allah) yaitu sikap dan perilaku menduakan terhadap
masalah-maslah yang berkaitan dengan keyakinan atau keimanan kepada Allah swt
b. Kepribadian kufur (ingkar) yaitu sikap dan perilaku yang tertutup dan mengingkari
terhadap sesuatu yang sebenarnya
c. Kepribadian nifaq (bermuka dua) yaitu sikap dan perilaku yang menampakkan suatu yang
dipandang baik oleh orang lain, padahal di dalam hatinya tersembunyi kebusukan,
keburukan, dan keborokan.
d. Kepribadian fusuq (fasiq) yaitu sikap dan perilaku yang selalu melakukan kemaksiatan,
sekalipun dalam dirinya beriman kepad Allah swt.
e. Kepribadian riya (suka pamer) yaitu sikap dan perilaku yang menampakkan apa yang
tidak sebenarnya, untuk tujuan pamrih, pamer, atau cari muka kepada orang lain.
f. Kepribadian ghadhab (pemarah) yaitu sikap dan perilaku yang menolak dan menganggap
musuh pada orng lain.
g. Kepribadian ghaflah atau nisyan (pelupa atau lalai) yaitu sikap dan perilaku yang sengaja
melupakan atau tidak memperlihatkan sesuatu yang seharusnya menjadi bagian yang tak
terpisahkan dari esensi kehidupan.
h. Kepribadian was-was (kepribadian yang mengikuti bisikan setan) yaitu sikap dan perilaku
ragu-ragu terhadap kebenaran, karena mengikuti bisikan halus setan.
i. Kepribadian al yais wa qunuth (apatis dan pesimis) yaitu hilangnya gairah, semangat,
energy, dan motivasi hidup setelah seseorang tidak berhasil menggapai sesuatu yang
diinginkan, atau sebelum ia berbuat.
j. Kepribadian thama (rakus) yaitu sikap dan perilaku yang selalu meras kurang terhadap
apa yang dimiliki, meskipun apa yang dimiliki itu telah memenuhi kelayakan dan standar.
k. Kepribadian ghurur (tertipu dan terperdaya) yaiut sikap dan perilaku yang percaya atau
metakini sesuatu yang tidak hakiki dan tidak substantif.
l. Kepribadian ujub (membanggakan diri) dan takabbur (sombong) yaitu sikap dan perilaku
congkak dan menganggap besar dirinya sendiri tanpa disertai kemampuan yang memadai,
sehingga merasa dirinya paling besar, padahal keadaan sebenarnya kecil.
m. Kepribadian hasad dan haqid (iri dan dengki) yaitu sikap dan perilaku yang tidak merasa
nyaman terhadap nikmat, krunia, prestasi, dan kelebihan yang dimiliki orang lain.
n. Kepribadian al-ghibah (menceritakan keburukan orang lain) dan al-naminah (mengadu
domba) yaitu mencari-mencari dan menyebut-nyebut kesalahan orag lain, padahal ia tidak
mampu mengadakan penyesuaian diri.
o. Kepribadian hub al-dunya (cinta dunia), pelit (al bukhl), dan berlebih-lebih atau
menghambur-hamburkan harta benda (al-israf ata al-tabdir). Cinta dunia yaitu menjadikan
dunia dan sisnya sebagai tujuan akhir hidupnya dan bukan sebagai sarana hidup.
p. Kepribadian al-tamanni (penghayal) yaitu sikap atau perilaku yang tenggelam dalam dunia
khayal dan tidak realistik; dan
q. Kepribadian al-jubn (picik atau penakut) yaitu sikap dan perilaku yang tidak berani
menghadapi kenyataan yang sesungguhnya.
2. Kepribadian Lawwamah
Kepribadian lawwamah adalah kepribadian yang mencela perbuatan buruknya setelah
memperoleh cahaya kalbu. Orang dengan kepribadian tersebut bangkit untuk memperbaiki
kebimbangannya dan kadang-kadang tumbuh perbuatan buruk yang disebabkan oleh watak
gelapnya (zhulma-niyyah), tetapi kemudian diingatkan oleh nur ilahi, sehingga ia bertaubat
dan memohon ampun (istighfar). Kepribadian ini merupakan kepribadian antara
kepribadian muthmainah dan kepribadian ammarah yang berniali netral. Kepribadian ini
jarang sekali ditemukan karena berada pada tengah-tengah antara dua kepribadian yang
bertentangan, dan kepribadian ini merupakan penyeimbang antara dua kepribadian
tersebut.
3. Kepribadian Muthmainah
Kepribadian Muthmainah adalah kepribadian yang tenang setelah diberi kesempurnaan
nur kalbu, sehingga dapat meninggalkan sifat-sifat tercela dan tumbuh sifat-sifat yang baik.
Kepribadian ini selalu berorientasi ke komponen kalbu untuk mendapatkan kesucian dan
menghilangkan segala kotoran. Kepribadian Muthmainah terbagi atas tiga kategori sebagai
berikut:
a. Kepribadian mukmin, yang memiliki enam bentuk kepribadian, yaitu kepribadian Rabbani
atau ilahi, kepribadian maliki, kepribadian qurani, kepribadian rasuli, kepribadian yawm
akhiri, kepribadian taqdiri;
b. Kepribadiam muslim, yang memiliki lima bentuk kepribadian yaitu, kepribadian
syahadatain, kepribadian mushalli, kepribadian shaim, kepribadian muzakki, kepribadian
haji; dan
c. Kepribadian muhsin, yang memiliki multi bentuk kepribadian. Pengertian muhsin (Mujib,
2007: 305) adalah orang yang berbuat ikhsan. Kata ikhsan artinya baik atau bagus, seluruh
perilaku yang mendatangkan manfaat dan menghindarkan kemudharatan. Kepribadian
muhsin adalah kepribadian yang dapat memperbaiki dan mempercantik individu, baik
berhubungan dengan diri sendiri, alam semesta, dan kepada Tuhan yang vdiniatkan hanya
untuk mencari ridho-Nya.
Mujib (2007: 308-350) menguraikan dua puluh macam kepribadian muhsin, sebagai berikut:
a. Karakter taib (yang bertaubat) yaitu karakter yang menyesal karena melakukan dosa,
melepaskan seluruh perilaku yang mengandung dosa seketika itu juga dan bertekad bulat
untuk tidak mengulanginya lagi, baik dosa kepada Allah maupun dosa-dosa sosial.
b. Karakter zahid (yang zuhud) yaitu karakter yang berpaling, menganggap hina dan kecil
serta tidak merasa butuh kepada sesuatu yang bersifat material.
c. Karakter wari (yuang wara) yaitu karakter yang menjaga diri dari perbuatan yang tidak
patut, yang dapat menurunkan derajat dan kewibawaan diri seseorang.
d. Karakter khaif (yang khawf) yaitu karakter yang takut akan kebencian, kemurkaan, dan
siksaan Allah swt akibat melanggar larangan-larangan-Nya dan takut akan kebesara-Nya.
e. Karakter raji (yang raja) yaitu karakter yang berharap kepada sesuatu kebajikan kepada
Allah swt dengan disertai usaha yang sungguh-sungguh dan tawakal.
f. Karakter mukhlash (yang ikhlas) yaitu karakter yang murni dan taat seluruh perilakunya
hanya ditujukan kepada Allah semata, dengan cara memebersihkan perbuatan baik lahir
maupun batin, dan perhatian makhluk.
g. Karakter mustaqim (yang istiqomah) yaitu karakter yamh melakukan suatu p0ekerjaan
yang lurus secar kontinu dan abadi. Karakter mustaqim membutuhkan niat yang benar
dengan jalan yang benar juga, dan tidak berlaku niat dan jalan yang salah. Bentuk karakter
mustaqim antara lain disiplin, tepat waktu, memiliki komitmen yang kokoh, dan dedikasi
yang tinggi.
h. Karakter shabri (yang sabar) yaitu menahan diri atau lebih tepatnya mengendalikan diri.
i. Karakter mutawakil (yang bertawakal) yaitu karakter yang menyerahkan diri dan apa yang
dimiliki dengan sepenuh hati kepada kekuatan dan kehendak Allah swt sehingga dalam
hatinya tiada beban psikologids yang dirasakan.
j. Karakter qani (yang qanaah) yaitu dalam menerima apa adanya atau seadanya (nrimo ing
pandum).
k. Karakter radhi (yang ridha) yaitu rela terhadap apa yang dimiliki dan diberikan.
l. Karakter syakir (yang bersyukur) yaitu menapakkan nikmat Allah swt yang diberikan
kepadanya.
m. Karakter malu (al haya) yaitu kepekaan diri yang mendorong untuk meninggalkan
keburukan dan menunaikan kewajiban.
n. Karakter shadiq (yang jujur) yaitu kesesuaian yang diucapkan dengan kejadian yang
sesungguhnya, kesesuaian di hati dengan yang ditampakkan, dan perkataan yang benar
ketika berhadapan dengan orang yang ditakuti atau diharapkan.
o. Karakter mutsir (yang itsar) yaitu karakter yang mementingkan atau mendahulukan
kepentingan orang lain.
p. Karakter mutawadhi yaitu sikap kalbu yang tenang, berwibawa, rendah hati, lemah
lembut, tanpa disertai rasa congkak, jahat, dan sombong.
q. Karakter muri (yang muruah) yaitu karakter keperwiraan yang menjunjung tinggi sifat-
sifat kemanusiaan yang agung.
r. Karakter muhibb (yang mahabbah) yaitu kelekatan jiwa individu pada individu lain yang
ditopang oleh perasaan saling memperhatikan, memepercayai, dan mendekat, sehingga
keduanya ingin tetap bersatu baik lahir maupun batin.
s. Karakter mukhbit yaitu karakter yang memiliki kerendahan dan kelembutan hati, merasa
tenang dan khusyuk di hadapan Allah, dan tidak menganiaya pada orang lain, dan
t. Karakter muttaqi (yang taqwa) yaitu takut terhadap murka atau siksa Allah swt.
3. Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan kepribadian tokoh
Kepribadian manusia menurut William Stern (dalam Walgito, 1985: 44-47)
mengemukakan bahwa perkembangan individu itu ditentukan oleh dua factor, yaitu factor
dalam (endogen) dan faktor luar (eksogen). Faktor dalam (endogen) adalah faktor yang
dibawa sejak lahir, dan faktor luar (eksogen) terdiri dari lingkungan, pengalaman, dan
pendidikan.
Islam mengakui adanya struktur ruh yang dapat bereksistensi dengan sendirinya,
sekalipun tanpa jasad. Karena perkembangan psikis di dalam Al Qur-an tidak semata-mata
diawali dengan sinergi antar ruh dan jasad, tetapi terdapat fase sebelum dan sesudahnya,
sekalipun fase ini tidak dapat ditelaah secara empiris. Fase-fase tersebut menurut Mujib
(2007: 396-408) adalah sebagai berikut:
a. Fase pra-konsepsi, yaitu perkembangan manusia sebelum masa pembuahan sperma dan
ovum.
b. Fase pra-natal, yaitu fase perkembangan manusia yang dimulai dari pembuahan sperma
dan ovum sampai masa kehamilan.
c. Fase neo-natus, yaitu dimulai dari kelahiran sampai kira-kira minggu keempat.
d. Fase kanak-kanak (al-thifl) adalah fase yang dimulai dari usia sebulan sampai usia sekitar
tujuh tahun.
e. Fase tamyiz, yaitu fase ketika anak mulai mampu membedakan mana yang baik dan mana
yang buruk.
f. Fase baligh, yaitu fase ketika manusia telah sampai dewasa. Fase ini merupakan fase yang
terpenting dalam rentang hidup manusia., karena merupakan awal aktualisasi dirinya dalam
memennuhi perjanjian yang pernah diucapkan di alam pra kehidupan.
g. Fase azm al-umr atau syuyukh, yaitu fase kearifan dan kebijaksanaan. Diman seseorang
memiliki tingkat kesadaran dan kecerdasan emosional, moral, spiritual, dan agama secara
mendalam.
h. Fase menjelang kemaatian, yaitu nyawa akan hilang dari jasad manusia.

4. Konflik
Konflik (KBBI, 2002: 587) adalah ketegangan atau pertentangan di dalam cerita rekaan
atau drama (pertentangan antara dua kekuatan), pertentangan dalam diri satu tokoh,
pertentangan antara dua tokoh, dan sebagainya. Selanjutnya juga diuraikan tentang konflik
batin yaitu konflik yang disebabkan oleh adanya dua gagasan atau lebih atau keinginan yang
saling bertentangan untuk menguasai diri sehingga mempengaruhi tingkah laku; konflik
kebudayaan yaitu persaingan antara dua masyarakat social yang mempunyai kebudayaan
hamper sama; konflik sosial yaitu pertentangan antaranggota masyarakat yang bersifat
menyeluruh dalam kehidupan.
Konflik adalah unsur yang tergolong penting untuk melengkapi perkembangan alur
cerita dalam sebuah novel. Menurut Wellek dan Werren (dalam Nurgiyantoro, 2007: 122),
konflik adalah sesuatu yang dramatik mengacu pada pertarungan antara dua kekuatan yang
seimbang yang menyiratkan adanya aksi dan aksi balasan. Dengan demikian, dalam
pandangan kehidupan yang normal watak faktual artinya bukan dalam cerita menyaran
pada konotasi yang negatif atau sesuatu yang tidak menyenangkan itulah sebabnya orang
lain lebih baik memilih menghindari konflik dan menghendaki kehidupan yang tenang.
Stanton dalam Nurgiyantoro (2007: 124) membagi konflik menjadi dua kategori, yaitu:
a. Konflik eksternal (eksternal conflict) adalah konflik yang terjadi antara seorang tokoh
dengan sesuatu yang ada di luar dirinya, mungkin dengan lingkungan alam dan mungkin
juga dengan manusia itu sendiri. Konflik eksternal ini diobedakan menjadi dua macam yaitu:
1) Konflik fisik (physical conflict) konflik fisik atau konflik elemental adalah konflik yang
disebabkan oleh adanya benturan antara tokoh dengan lingkungan alam.
2) Konflik social (social conflict) merupakan konflik yang terjadi kareena adanya interaksi
antar manusia. Berbagai masalah manusia dalam hubungannya dengan manusia itu sendiri.
b. Konflik internal (internal conflict) sering juga konfliki kejiwaan. Konflik ini merupakan
konflik yang terjadi pertentangan hati atau jiwa seorang tokoh dengan tokoh lain. Konflik ini
juga bias terjadi dalam diri seorang tokoh itu sendiri. Konflik jiwa terjadi akibat adanya
pertentangan atau gangguan batin seorang tokoh antara dua keinginan, keyakinan, pilihan
yang berbeda, harapan-harapan, atau masalah-masalah lainnya. Konflik batin yang terus
menerus terjadi menyebabkan pribadi, watak, dan pemikiran yang menyimpang. Biasanya
konflik jiwa lahir dari hubungan antar manusia atau tokoh.

5. Penyelesaian konflik
Menurut Aristoteles (dalam Nurgiyantoro, 2007: 146) tahap penyelesaian cerita
dibedakan ke dalam dua macam kemungkinan yaitu kebahagiaan (happy end) dan
kesedihan (sad end). Dalam perkembangan berikutnya penyelesaian cerita dapat
dikategorikan ke dalam dua golongan yaitu penyelesaian tertutup dan penyelesaian
terbuka. Penyelesaian tertutup menunjuk pada keadaan akhir sebuah karya fiksi yang
memang sudah selesai, cerita sudah habis sesuai tuntutan logika cerita yang dikembangkan.
Sesuai dengan logika cerita itu pula para tokoh telah menerima nasib sebagaiman peran
yang disandangnya. Di sini pembaca tidak mempunai kesempatan ikut menentukan
kemungkinan penyelesaian secara lain. Sedangkan penyelesaian terbuka yaitu akhir cerita
yang memberi kesempatan kepada pembaca untuk memikirkan, mengimajinasikan, dan
mengekspresikan bagaimana kira-kira penyelesaiannya. Pembaca bebas untuk
mengekspresikan penyelesaian cerita itu sesuai dengan harapan, tetapi tidak bertentangan
dengan tuntutan dan logika cerita yang telah dikembangkan sebelumnya.

Daftar Pustaka

Abdul Rahman Shaleh, Psikologi: Suatu Pengantar dalam Perspektif Islam (dengan
perubahan), (Jakarta: Kencana, 2008), hlm. 5-7.
Hanna Djumhana Bastaman, Integrasi Psikologi dengan Islam: Menuju Psikologi
Islam(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997) hlm. 228.
Djamaludin Ancok & Fuad Nashori,Psikologi Islami, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2005.
Hanna D. Bastaman, Integrasi Psikologi dengan Islam, Pustaka Pelajar, Jogyakarta,1997, hal.
3-13.

Anda mungkin juga menyukai