Anda di halaman 1dari 6

Life is Not Only about Rank

Rabu, 7 Oktober 2016, H+1 Pengumuman Peringkat UTS

Ada suasana baru yang kurasakan hari ini, entah rasanya senang dan lega. Aku sedang
mengharapkan sesuatu yang baik akan terjadi. Aku harap ekspresi dari wajah itu akan kembali
hadir. Diluar sana suasana pagi amat cerah, dan seperti biasa aku melewati koridor dan bertemu
dengan banyak teman yang lewat.

Satu dua orang tersenyum kepadaku, pun bibirku tak berhenti menyunggingkan senyum
untuk mereka. Ruang kelas XI-MIA 1 hanya beberapa langkah lagi, dan Randy memanggilku.

Will! Tunggu aku, aku sering berangkat ke sekolah bersama Randy dengan naik bus.
Namun, hari ini aku tak bersamanya, kupikir dia sudah naik bus sebelumku.

Randy meraih pundakku dan kami berjalan bersama.

Sesampainya dipintu kelas, aku langsung melirik barisan bangku ketiga dari pintu,
tepatnya tempat duduk nomer dua dari depan kelas. Masih kosong. Tidak seperti biasanya, atau
barangkali dia butuh waktu untuk kejadian semalam. Semua yang dikatakannya benar-benar
meyakinkanku, meyakinkan perubahannya.

Wah, akhirnya juara baru kita hadir, nih,

Aku yakin si Rasya itu ga hadir hari ini. Kalaupun hadir, itu artinya dia siap menerima
kembali segala caci maki yang pernah dia lakukan. Iya, kan Wil?,

Aku masih terdiam dan hanya duduk di tempat dudukku. Sepuluh menit lagi bel masuk
berbunyi. Aku tidak akan berpikir mengenai kemungkinan yang terburuk. Baiklah, tunggu saja.
Semua yang dikatakan teman-teman sebelum pelajaran dimulai ini, kurasa untuk
menyembunyikan penasaran dengan kehadiran Rasya yang kali ini termasuk terlambat.

Akhirnya, hingga bel masuk berbunyi. Tepat, temanku yang satu itu menampakkan diri di
ambang pintu. Selamat Pagi, ujarnya sambil melempar senyum.

Aku tahu, dia adalah Rasya yang dulu kukenal.


Selasa, 6 Oktober, Hari Pengumuman Peringkat UTS, pukul 19.30

Aku bersama adikku, ayah, dan ibu menikmati hidangan makan malam di ruang makan.
Acara makan malam tersebut dalam merayakan keberhasilanku meraih peringkat 1 untuk nilai
UTS. Kali ini ibu memasak banyak lauk, tidak seperti biasanya.

Kita makan malam saja di rumah yaa? Kita akan makan malam diluar jika prestasimu
berlanjut hingga akhir semester, ujar ayah.

Seperti ini saja sudah menyenangkan, kok, jawabku.

Kami mengobrol banyak sekali. Acara makan malam memang sederhana, namun bagiku
hal tersebut memang sudah istimewa. Ayahku yang seringkali kerja lembur bahkan sangat jarang
bisa berkumpul bersama untuk sekedar makan malam.

Baru berlangsung kurang lebih setengah jam, ponselku bordering. Ada panggilan masuk,
dari Rasya.

Wil, tolong aku, ujar suara dari seberang sana.

Ras?, aku mengerutkan kening. Dimana?,

Di atap sekolah,

Tanpa bertanya lebih lanjut, aku bergegas menuju kamar untuk mengambil jaketku. Aku
berpamitan kepada orang-orang yang masih berada di ruang makan. Mereka sedang bertanya-
tanya ada apa, mau kemana aku pergi, dan lain-lain, namun aku menghindari semuanya.
Firasatku buruk.

Gila, malam hari kembali ke sekolah. Selama menaiki sepeda, aku banyak menerka
mengenai apa yang terjadi disana. Firasat burukku sebenarnya sudah dimulai sejak pengumuman
peringkat tadi pagi. Aku diposisi pertama dan Rasya tepat dibawahku.

Sejak jam istirahat siang, Rasya menghilang. Rasya meninggalkan tasnya di kelas.

Palingan dia masih bingung untuk menempatkan mukanya, komentar Joe.

Aku nih, kalau jadi dia udah bunuh diri saja kali, timpal lainnya.
Peringkatku dua dari bawah tapi so, Im still enjoy, guys, ujar Rino.

Itu karena kau sudah biasa, No, sahut Randy.

Gini, nih masalah orang pintar yang pelitnya minta ampun,

Hai, Will. Good job for you, Randy menyenggol bahuku sepulang sekolah.

Aku berteman dengan Rasya semenjak SMP. Dia memang siswa yang pandai, seringkali
kami rival. Entah saat ulangan harian, mengerjakan tugas, dan ulangan semester. Kadang kalau
bukan aku yang diposisi pertama, sudah bisa dipastikan dialah yang menempati posisi itu. Dan
seterusnya. Namun, kami jarang terlibat dalam permusuhan.

Rasya mulai berubah di tahun terakhir SMP hingga masuk bangku SMA. Saat itu
bertepatan dengan meninggalnya ibunda Rasya. Lalu selang beberapa minggu kemudian ayahnya
menikah lagi dengan wanita lain. Rasyas got the step-mother.

Aku merasa semakin ada jarak antara aku dengan Rasya. Hal yang kurasakan adalah
Rasya berubah menjadi sosok yang menyebalkan dan sombong.

Hai, Sya. Ke kantin, yukk!, ajakku suatu ketika.

Dia hanya diam dan masih berkutat dengan buku yang dibacanya, kutanya sekali lagi.

Kau lihat? Aku sibuk. Aku tak bisa makan lebih lama dan membuang-buang waktu lalu
aku kehilangan waktu belajarku, jawabnya.

Oh God. Aku tercengang mendapat responnya dan aku meninggalkannya.

Pernah, saat itu adalah hari perayaan dies natalis sekolah. Tidak ada jam pelajaran dan
diganti acara classmeeting. Pulang sekolah yang biasanya berakhir hingga pukul 2.30 berakhir
sebelum pukul 12.00. Tapi, aku terlibat dalam kepanitiaan dan jam pulangku tidak berubah.

Sebelum pulang, aku, Randy, dan Joe mampir ke kelas untuk mengambil beberapa barang
di loker. Disana aku menemukan Rasya masih duduk diam dan menatap arloji yang melingkari
pergelangan tangannya di tempat duduknya.
Anak sombong itu ngapain juga dia masih disini, Randy hampir saja melangkahkan
kaki untuk mendekati Rasya, namun aku raih lengannya.

Biarkan saja,

Dia sama sekali tak membantu kelas kita di classmeeting. Toh, peringkatnya kupikir
juga ga bakalan turun hanya dengan beberapa jam lepas dari tumpukan buku pelajaran, ujar Joe.

Kalian duluan saja, ujarku.

Serius, Wil? Kau masih mau buang-buang waktu buat ngomong sama dia,

Aku tersenyum mendengar kalimat Randy.

Aku memutuskan untuk duduk dibelakang Rasya. Aku paham, Rasya sedang menunggu
hingga jam benar-benar menunjukkan pukul 2.30. Baginya, mau ada acara apapun di sekolah ia
akan tetap masuk kelas pukul 07.00 dan keluar kelas pukul 2.30. Dia berubah mirip robot yang
kaku.

Tepat pukul 2.30, tanpa menyapaku. Dia langsung bergegas meninggalkanku.

Hati-hati, ujarku kemudian.

Aku tak bisa memahami segala perubahannya. Bagaimana perasaannya dan apa
alasannya. Dia memilih untuk menjalani kehidupannya serba sendiri. Kegiatan diskusi kelompok
tak pernah berjalan baik bila bersamanya. Kegiatan presentasinya selalu berbeda dan lebih baik
dari yang lain. Ketika jam istirahat, dia jarang terlihat makan bersama dengan orang lain dan
menolak tawaranku untuk bergabung. Terlepas dari itu semua, guru-guru justru menilainya
sebagai siswa yang sering dijadikan contoh dan semakin membuat teman-teman sebal.

Sesampainya di sekolah, aku berjalan melewati pintu kecil disebelah gerbang utama.
Suasana sekolah terlihat sepi. Aku bergegas menaiki tangga dan menuju atap.

Rasya!, panggilku saat membuka pintu atap.

Aku langsung bisa melihatnya. Dia sedang duduk sembari memeluk lututnya dibawah
pagar. Aku berjalan pelan mendekatinya. Dia masih mengenakan seragam sekolahnya.
Rasya, panggilku pelan. Entah, dia sedang menatapku atau fokus pada hal lain.

Dia masih diam. Aku duduk disebelahnya. Kau sepertinya baru saja menangis, ujarku.

Kau lama sekali, ujarnya. Dia mengusap bekas air mata di pipinya walau hal itu tetap
tak bisa menghilangkan ekspresi matanya yang masih saja berkaca-kaca.

Apa ada yang bisa ku bantu? Tadi kau bilang minta tolong?,

Hari ini aku banyak berpikir tentang banyak hal. Aku merasa banyak orang
menyalahkanku. Kupikir apa yang kulakukan adalah hal yang benar. Aku merasa kehilangan
banyak teman. Tapi, diantaranya semuanya aku terpikir tentangmu. Aku merasa kau yang bisa
membantuku.

Sepertinya aku tak bisa pulang hari ini. Ibuku takkan mengizinkanku untuk tidur di
rumah. Bahkan ketika nilaiku bukan yang tertinggi, aku kehilangan makan malamku. Dia seperti
tak membiarkanku untuk hidup. Hari ini yang turun adalah peringkatku, kali ini aku rasa dia
akan segera membunuhku. Jadi, selama ini kenapa aku menjadi jauh dari kalian? Padahal aku
hanya ingin bertahan hidup.

Bagaimana dengan ayahmu?, tanyaku.

Sudah dua bulan ini dia belum pulang dari Jepang. Entah, dia tak lagi percaya padaku,

Aku menepuk pundaknya. Kau sedang stress, Ras. Coba kau pikirkan saat kau mendapat
nilai yang terbaik dan apa yang dilakukan ibumu padamu? Apa dia memang orang yang kejam?
Aku melihat ibumu itu sangat berlebihan,

Rasya berbalik menatapku, Bahkan aku tetap tak bisa untuk berbuat sesukaku,

Aku mengajaknya untuk beranjak dari duduk. Pun aku menatapnya dan memegang kedua
pundaknya. Dengar, jika itu adalah hal yang salah, pernah kau coba untuk membangkang?,

Rasya tak menjawabku. Namun, dia menggeleng kemudian mengalihkan pandangannya.


Dia berbalik memandang keluar pagar. Saat itu kami sedang berdiri di atap gedung sekolah
empat lantai. Tidak banyak pemandangan yang bisa kami lihat dari sini.
Andai saja aku tak meneleponmu, atau andai saja kau mengabaikan teleponku. Mungkin
sekarang aku sudah ada di bawah sana, Wil,

Astaga! Astaghfirullah!,

Kau pikir aku pantas meski peringkat dua? Kupikir aku ini lebih parah dari itu.
Seringkali aku iri denganmu, kulihat kau lebih pintar walau aku jarang melihatmu serius
membaca buku, kau punya banyak teman, kau ikut organisasi ini dan organisasi itu.

Sedangkan aku?, Rasya menunjuk dirinya dengan menepukkan telapak tangan ke


dadanya.

Aku menggelengkan kepala, Tiap orang bukankah selalu memiliki sisi baik dan sisi
buruk. Barangkali karena kau hanya melihat sisi baikku.

Angin malam bertiup lembut menampar-nampar wajah kami. Beberapa saat kami
memutuskan untuk saling diam, sibuk dengan pikiran masing-masing.

Wil, asal kau tahu. Entah ini pertama kalinya aku menginjakkan kakiku di atap sekolah,

Serius?, aku takjub. Aku juga, ujarku. Saat itu aku melihat ada ekspresi berbeda yang
muncul di wajah Rasya. Dia tersenyum dan hampir tertawa.

Sebenarnya, tadi aku berniat untuk mengambil barang-barangku yang masih tertinggal
di kelas. Saat itu aku masih frusatasi, sih dan aku belum menemui pak Satpam. Tiba-tiba saja
pikiran bodoh itu terlintas begitu saja. Thanks ya, Wil, aku tak pernah mengira kau jenius dan
bijaksana sekali, Rasya menawarkan high-five denganku.

Aku menerimanya.

Perasaanku sudah lebih baik. Ibuku pasti akan memarahiku, namun seperti katamu,
karena hal yang benar dan yang salah itu kini terlihat jelas.

Jam tanganku menunjukkan pukul 20.30, aku mengajaknya untuk pulang. Sepedaku juga
belum terparkir dengan benar, entah semoga saja masih ada di tempat. Sementara Rasya pulang
dengan menaiki taksi. Melalui percakapan tadi, kuharap aka nada perubahan di hari esok.

Anda mungkin juga menyukai