Anda di halaman 1dari 44

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

B. Rumusan Masalah

BAB II

PEMBAHASAN

A. KOMPLIKASI PASCAOPERATIF RENAL FAILURE

1. Hiperkalemia

a. Definisi hiperkalemia

Hiperkalemia adalah kelebihan kalium atau kadar kalium serum.

Hiperkalemia lebih jarang terjadi dibandingkan hipokalemia dan jarang

terjadi pada klien yang memiliki fungsi ginjal normal. Namun,

hiperkalemia lebih berbahaya dibandingkan hipokalemia dan dapat

menyebabkan henti jantung. Biasanya setelah penghentian terapi

glukosa insulin suatu keseimbangan baru antara kalium intraseluler dan

ekstraseluler akan terbentuk karena hampir 98% dari total kalium berada

di intrasel, perubahan yang dramatis kalium serum dapat diobservasi.


2

Kadar normal kalium serum berkisar antara 3,5-5,3 mmol/L.

Hiperkalemia meningkatkan permeabilitas membran miokard terhadap

kalium, menyebabkan peningkatan kecepatan repolarisasi dan

penurunan durasi aksi potensial. Pada hiperkalemia sedang, aksi dari

kalium dapat menurun untuk berkembangnya suatu aritmia. Konduksi

abnormal dari Atrioventrikuler ( AV) dan intraventrikuler dan juga

ditemukan pada hiperkalemia berat. Pasien-pasien ini mempunyai

resiko tinggi untuk berkembang menjadi aritmia yang fatal, seperti pada

fibrilasi ventrikel persisten atau asistol. Peningkatan kalium serum tidak

hanya dapat mempengaruhi konduksi jantung tetapi juga dapat

menyebabkan penurunan kontraktilitas dari jantung.

b. Pemeriksaan penunjang

Untuk mengetahui terjadinya hiperkalemia:

1) Hati-hati terhadap sesuatu yang menyebabkan hyperkalemia

2) Analisa EKG didapatkan :

a) Elevasi gelombang T-wave

b) Pelebaran kompleks QRS

c) Interval PR yang memanjang

d) Gelombang P menghilang

3) Pengukuran kalium serum.

c. Manifestasi

Manifestasi dini suatu hiperkalemia ditandai dengan adanya

elevasi dan penyempitan gelombang T yang biasanya ditemukan ketika


3

konsentrasi kalium plasma berkisar 5,5 mmol/L(fig13-1). Perubahan

gelombang T ini jelas terlihat pada pemasangan precordial Lead EKG.

Pada hiperkalemia yang berat, interval PR memanjang, amplitudo QRS

menurun dan interval QRS melebar (biasanya terlihat pada nilai kalium

> 6,5 mmol/L). Pada pokoknya , gel P menghilang. Pada hiperkalemia

preterminal ditandai dengan melebarnya kompleks QRS dengan

gelombang T, gambaran EKG berupa sine wave. Pada keadaan ini

juga terjadi flutter dan fibrilasi ventrikel atau asistole biasanya terjadi

dalam jangka waktu yang singkat.

Hubungan antara tingkat hiperkalemia dengan efeknya pada

jaringan lebih baik pada konsentrasi kalium yang lebih tinggi dari pada

konsentrasi yang rendah. Jadi, pelebaran dari kompleks QRS lebih

dipercaya dalam memperkirakan nilai kalium serum dari pada elevasi

dari gel T. Meskipun perubahan EKG dapat dideteksi selama fase awal

hiperkalemia. Pada suatu kecurigaan klinik dan pengukuran

laboratorium kalium serum adalah esensial untuk diagnosa pasti

hiperkalemia dan untuk menghindari morbiditas dan mortalitas yang

berhubungan dengan keadaan ini.

d. Faktor Resiko

Hiperkalemia dapat diakibatkan:

1) Suplementasi kalium

2) Pemberian kalium bersama diuretic

3) Insufisiensi renal
4

4) Trauma

5) Kelainan neuromuscular

6) Suksinilkolin

a) Luka bakar

b) Miopati

c) Hemiplegia atau paraplegia

d) Tetanus

e) Encephalitis

f) Hemolisis

7) Kelainan endokrin (hiperaldosteronisme)

8) Asidosis

(a) Ketoasidosis

(b) Hipoventilsi

9) Karena pembedahan ginjal

10) Tranfusi darah massif

Karena pembedahan itu sendiri dan atau proses suatu

penyakit dapat menyebabkan perubahan eksresi dan keseimbangan

kalium, pasien yang menerima terapi kalium atau pemberian

diuretik bersama kalium sebelum operasi mempunyai resiko

menjadi hiperkalemia. Kondisi lain yang berperan terhadap

suseptibilitas pasien untuk mengalami hiperkalemia adalah gagal

ginjal. Pasien dengan insufisiensi renal lanjut tidak berespon secara

normal dengan aldosteron dan kemampuan mereka untuk


5

mengekresi kalium olehnya tidak dapat diperbaiki. Gangguan sel

oleh berbagai hal menyebabkan kebocoran kalium intraseluler ke

sirkulasi dan sering menyebabkan hiperkalemia. Beberapa tingkat

hiperkalemia dapat dilihat pada berbagai situasi darurat seperti

trauma, luka bakar. Selama proses hemolisis sejumlah besar kalium

dibebaskan dalam waktu yang singkat. Reperfusi pada daerah yang

iskemik dapat memobilisasi kalum ini. Hiperkalemia juga dapat

memperburuk asidosis pada jaringan yang mengalami iskemik.

Para anestesiolog umumnya mengalami masalah-masalah ini

intraoperative selama operasi aorta sentral. Suksinil kolin obat

pelumpuh otot depolarisasi dapat menyebabkan peningkatan

sementara kalium serum yang dapat membahayakan terutama pada

keadaan hiperkalemia. Karena suatu proliferasi pada suatu reseptor

nikotinik dan atau perubahan kinetik pada saluran yang terbuka

(misalnya : saluran yang terbuka lebar), suksinilkolin dapat

menyebabkan peningkatan konsentrasi kalium serum dalam suatu

jenis penyakit seperti luka bakar, penyakit neuromuskuler).

Distribusi kalium antara ruang intrasel dan ekstrasel tergantung

pada kekuatan pH. Suatu penurunan pH 0,1 kira-kira menyebabkan

peningkatan 1 mmol/L kalium serum. Oleh karena itu asidosis

metabolik atau asidosis respiratorius berpotensial menyebabkan

hiperkalemia berat dengan kalium intraseluler keluar dari sel.

Sebagai contoh hipoventilasi penyebab utama hiperkalemia dalam


6

keadaan teranestesi. Demikian juga ,ketoasidosis diabetik sebagai

akibat kekurangan Insulin (Diabetes tergantung insulin) atau

asidosis diabetik adalah penyebab utama hiperkalemia di UGD.

Ahli anestesi harus tahu bahwa hiperkalemia bisa terjadi pada

pasien diabetik ketoasidosis yang menjalani pembedahan darurat.

Pada pasien-pasien tersebut, meskipun terjadi hiperkalemia, tetapi

total kalium tubuh berkurang. Beberapa kondisi lain yang bisa

menyebabkan hiperkalemia klinis secara signifikan jarang.

Transfusi darah masif dapat menyebabkan hiperkalemia dengan

pelepasan kalium yang terakumulasi selama penyimpanan

darah..Jumlah sitrat yang masif juga dapat mengikat kalium dan

memperburuk efek jantung dari hiperkalemia.

e. Penatalaksanaan

1) Kalsium glukonat atau klorida melawan secara cepat efek jantung

dari kalium

2) Redistribusi kalium dalam sel

a) b-agonis

b) sodium bikarbonat

c) hiperventilasi

d) glukosa insulin

3) Membuang kalium dari tubuh

a) furosemida

b) Resin pengikat kalium(kayexalate)


7

c) Dialisis

Pada situasi darurat sangatlah penting untuk menurunkan

konsentrsi kalium ekstraseluler dan melawan efek hiperkalemia

terhadap fungsi miokardium. Walaupun menormalkan total kalium

tubuh merupakan tujuan terapi jangka panjang, Ca-glukonat atau

klorida dapat digunakan secara cepat untuk melawan efek kalium pada

membran sel jantung. Seperti halnya, agen b-adrenergik dan insulin

meredistribusi kalium kembali kedalam sel dan menghasilkan efek

inotropik positif pada miokardium. Koreksi ketidakseimbangan asam

basa dan menciptakan alkalosis moderate sangat efektif dalam

merubah kalium intraseluler. Na Bikarbonat (1-2 mmol/kg) dan

hiperventilasi sedang (ph 7,45-7,50) merupakan terapi yang efektif

untuk menurunkan kalium serum cepat.

Sebagai tambahan infus glukosa lebih kurang 1,5 gram/kg dan

insulin (1 unit/3 gr glukosa) sangat efektif dan merupakan cara yang

lebih cepat dalam mengoreksi kalium intraseluler. Pengukuran yang

berulang dari kalium serum sangat penting karena hyperkalemia yang

bermakna dapat terjadi karena perpindahan kalium ke intraseluler

secara cepat. Kandungan total kalium tubuh dapat dikurangi dengan

diuretik seperti furosemid atau resin pengganti Kation seperti Ca

oksalat yang mengikat kalium di usus. Walaupun modalitas terapi ini

sangat efektif aksinya lebih lambat terjadi sehingga mereka paling

baik direkomendasikan. Dialisis (hemodialisis) peritoneal dialisis atau


8

hemofitrasi diindikasikan pada insufisiensi renal yang berat atau pada

situasi lain dengan dinamai stabilitas fisiologis tidak dapat dicapai

dengan berbagai cara.

f. Pencegahan

Memperhatikan terhadap tanda klinik yang memungkinkan

terjadinya hiperkalemia merupakan faktor yang sangat penting untuk

mencegah hiperkalemia dan komplikasinya. Penggunaan kalium

sebelum operasi atau kombinasi kalium diuretik selalu harus diingat.

Selama anastesi berlangsung, harus selalu memonitor EKG, dan end

tidal CO2 yang sesuai. Dengan memperhatikan kensentrasi CO2

tertutup, asidosis yang disebabkan oleh hipoventilasi dapat dihindari.

Dicurigai pada kasus hiperkalemia, perubahan gel T biasanya

terlihat lebih awal sebelum tanda klinik meningkat. Pelebaran QRS

compleks merupakan indikasi adanya perubahan yang berat. Pada

pasien yang kritis pengukuran kalium serum dan gas darah areri

(keadaan asam basa) sangatlah penting. Meskipun hipokalemia mudah

diobati dengan menggunakan kalium tetapi prinsip keseimbangna

kalium harus diperhatikan sebelum dan selama anastesi biasanya lebih

aman untuk tidak mengobati hipokalemia ringan.

Masalah dalam sirkulasi dapat menyebabkan terjadinya asidosis

metabolik yang berat yang mana akan terjadi perpindahan kalium dari

ruang intraseluler ke ekstraseluler. Pada pasien hiperkalemia

penggunaan suksinilkolin harus selalu dihindari karena dapat


9

menyebabkan peningkatan kalium. Peningkatan ini dapat menjadi lebih

hebat pada pasien luka bakar, gangguan variasi neuromuskuler atau

sejumlah massa otot yang mengalami devervasi.

2. Infeksi saluran kemih

a. Definisi

Infeksi saluran kemih adalah suatu infeksi yang melibatkan

ginjal, ureter, buli-buli, ataupun uretra. Infeksi saluran kemih (ISK)

adalah istilah umum yang menunjukkan keberadaan mikroorganisme

(MO) dalam urin (Sukandar, E., 2004).

Bakteriuria bermakna (significant bacteriuria): bakteriuria

bermakna menunjukkan pertumbuhan mikroorganisme murni lebih dari


5
10 colony forming unit (cfu/ml) pada biakan urin.

Bakteriuria bermakna mungkin tanpa disertai presentasi klinis

ISK dinamakan bakteriuria asimtomatik (convert bacteriuria).

Sebaliknya bakteriuria bermakna disertai persentasi klinis ISK

dinamakan bakteriuria bermakna asimtomatik. Pada beberapa keadaan

pasien dengan persentasi klinis tanpa bekteriuria bermakna. Piuria

bermakna (significant pyuria), bila ditemukan netrofil >10 per lapangan

pandang. (Sukandar, E., 2004)

b. Klasifikasi
10

Infeksi dapat diklasifikasikan berdasarkan lokasi infeksi di

dalam saluran kemih. Akan tetapi karena adanya hubungan satu lokasi

dengan lokasi lain sering didapatkan bakteri di dua lokasi yang berbeda.

Klasifikasi diagnosis Infeksi Saluran Kemih dan Genitalia Pria yang

dimodifikasikan dari panduan EAU (European Association of Urology)

dan IDSA (Infectious Disease Society of America) terbagi kepada ISK

non komplikata akut pada wanita, pielonefritis non komplikata akut,

ISK komplikata, bakteriuri asimtomatik, ISK rekurens, uretritis dan

urosepsis (Naber KG et al).

Pielonefritis akut (PNA) adalah proses inflamasi parenkim ginjal

yang disebabkan infeksi bakteri. Pielonefritis kronis (PNK) mungkin

akibat lanjut dari infeksi bakteri berkepanjangan atau infeksi sejak masa

kecil. Obstruksi saluran kemih dan refluks vesikoureter dengan atau

tanpa bakteriuria kronik sering diikuti pembentukan jaringan ikat

parenkim ginjal yang ditandai pielonifritis kronik yang spesifik

(Sukandar, E., 2004).

Selain itu, ISK juga dinyatakan sebagai ISK uncomplicated

(simple) dan ISK complicated. ISK simple adalah infeksi yang terjadi

pada insan sehat dan tidak menyebar ke tempat tubuh yang lain. ISK

simple ini biasanya sembuh sempurna sesuai dengan pemberian obat.

Sementara ISK complicated adalah infeksi yang disebabkan oleh

kelainan anatomis pada seluran kemih, menyebar ke bagian tubuh yang

lain, bertambah berat dengan underlying disease, ataupun bersifat


11

resisten terhadap pengobatan. Berbanding dengan yang simple, ISK

complicated lebih sukar diobati.

c. Etiologi

Pada keadaan normal urin adalah steril. Umumnya ISK

disebabkan oleh kuman gram negatif. Escherichia coli merupakan

penyebab terbanyak baik pada yang simtomatik maupun yang

asimtomatik yaitu 70 - 90%. Enterobakteria seperti Proteus mirabilis

(30 % dari infeksi saluran kemih pada anak laki-laki tetapi kurang dari

5 % pada anak perempuan ), Klebsiella pneumonia dan Pseudomonas

aeruginosa dapat juga sebagai penyebab.

Organisme gram positif seperti Streptococcus faecalis

(enterokokus), Staphylococcus epidermidis dan Streptococcus viridans

jarang ditemukan. Pada uropati obstruktif dan kelainan struktur saluran

kemih pada anak laki-laki sering ditemukan Proteus species. Pada ISK

nosokomial atau ISK kompleks lebih sering ditemukan kuman Proteus

dan Pseudomonas (Lumbanbatu, S.M., 2003).

d. Pemeriksaan penunjang diagnosis ISK

Analisa urin rutin, pemeriksaan mikroskop urin segar tanpa puter,

kultur urin, serta jumlah kuman/mL urin merupakan protocol standar

untuk pendekatan diagnosis ISK. Pengambilan dan koleksi urin, suhu,

dan teknik transportasi sampel urin harus sesuai dengan protocol yang

dianjurkan. (Sukandar, E., 2004)


12

Investigasi lanjutan terutama renal imaging procedures tidak

boleh rutin, harus berdasarkan indikasi yang kuat.

Pemeriksaan radiologis dimaksudkan untuk mengetahui adanya

batu atau kelainan anatomis yang merupakan faktor predisposisi

ISK.Renal imaging procedures untuk investigasi faktor predisposisi ISK

termasuklah ultrasonogram (USG), radiografi (foto polos perut,

pielografi IV, micturating cystogram), dan isotop scanning (Sukandar,

E., 2004).

1) Pemeriksaan laboratorium

a) Urinalisis

(1) Leukosuria

Leukosuria atau piuria merupakan salah satu petunjuk

penting terhadap dugaan adalah ISK. Dinyatakan positif bila

terdapat > 5 leukosit/lapang pandang besar (LPB) sedimen

air kemih. Adanya leukosit silinder pada sediment urin

menunjukkan adanya keterlibatan ginjal. Namun adanya

leukosuria tidak selalu menyatakan adanya ISK karena dapat

pula dijumpai pada inflamasi tanpa infeksi. Apabila didapat

leukosituri yang bermakna, perlu dilanjutkan dengan

pemeriksaan kultur.

(2) Hematuria
13

Dipakai oleh beberapa peneliti sebagai petunjuk

adanya ISK, yaitu bila dijumpai 5-10 eritrosit/LPB sedimen

urin. Dapat juga disebabkan oleh berbagai keadaan patologis

baik berupa kerusakan glomerulus ataupun oleh sebab lain

misalnya urolitiasis, tumor ginjal, atau nekrosis papilaris.

b) Bakteriologis

Dapat digunakan urin segar tanpa diputar atau tanpa

pewarnaan gram. Dinyatakan positif bila dijumpai 1 bakteri

/lapangan pandang minyak emersi.

(1) Biakan bakteri

Dimaksudkan untuk memastikan diagnosis ISK yaitu bila

ditemukan bakteri dalam jumlah bermakna sesuai dengan

criteria Cattell, 1996:

(a) Wanita, simtomatik

2
i. >10 organisme koliform/ml urin plus piuria, atau

5
ii. 10 organisme pathogen apapun/ml urin, atau

iii. Adanya pertumbuhan organisme pathogen apapun

pada urin yang diambil dengan cara aspirasi

suprapubik.

(b) Laki-laki, simtomatik

3
i. >10 organisme patogen/ml urin
14

ii. Pasien asimtomatik


5
iii. 10 organisme patogen/ml urin pada 2 contoh urin

berurutan

c) Tes kimiawi

Yang paling sering dipakai ialah tes reduksi griess nitrate.

Dasarnya adalah sebagian besar mikroba kecuali enterokoki,

mereduksi nitrat bila dijumpai lebih dari 100.000 - 1.000.000

bakteri. Konversi ini dapat dijumpai dengan perubahan warna

pada uji tarik. Sensitivitas 90,7% dan spesifisitas 99,1% untuk

mendeteksi Gram-negatif. Hasil palsu terjadi bila pasien

sebelumnya diet rendah nitrat, diuresis banyak, infeksi oleh

enterokoki dan asinetobakter.

e. Manajemen ISK

1) Infeksi saluran kemih bawah

Prinsip manajemen ISK bawah meliputi intake cairan yang

banyak, antibiotika yang adekuat, dan kalau perlu terapi asimtomatik

untuk alkalinisasi urin: Hampir 80% pasien akan memberikan respon

setelah 48jam dengan antibiotika tunggal; seperti ampisilin 3 gram,

trimetoprim 200mg.

a) Bila infeksi menetap disertai kelainan urinalisi (lekositoria)

diperlukan terapi konvensional selama 5-10 hari.

b) Pemeriksaan mikroskopik urin dan biakan urin tidak diperlukan

bila semua gejala hilang dan tanpa lekositoria.


15

Reinfeksi berulang (frequent re-infection)

(1) Disertai faktor predisposisi. Terapi antimikroba yang intensif

diikuti koreksi faktor resiko.

(2) Tanpa faktor predisposisi - Asupan cairan banyak

(a) Cuci setelah melakukan senggama diikuti terapi

antimikroba takaran tunggal (misal trimetroprim 200mg).

(b) Terapi antimikroba jangka lama sampai 6 bulan.

Sindroma uretra akut (SUA). Pasien dengan SUA dengan hitungan


3 5
kuman 10 -10 memerlukan antibiotika yang adekuat. Infeksi

klamidia memberikan hasi l yang baik dengan tetrasiklin. Infeksi

disebabkan MO anaerobic diperlukan antimikroba yang serasi,

misal golongan kuinolon (Sukandar, E., 2004).

2) Infeksi saluran kemih atas

Pielonefritis akut. Pada umumnya pasien dengan pielonefritis

akut memerlukan rawat inap untuk memlihara status hidrasi dan

terapi antibiotika parenteral paling sedikit 48 jam. Indikasi rawat

inap pielonefritis akut adalah seperti berikut:

a) Kegagalan mempertahankan hidrasi normal atau toleransi

terhadap antibiotika oral.

b) Pasien sakit berat atau debilitasi.

c) Terapi antibiotika oral selama rawat jalan mengalami kegagalan.


16

d) Diperlukan invesstigasi lanjutan.

e) Faktor predisposisi untuk ISK tipe berkomplikasi.

The Infection Disease of America menganjurkan satu dari tiga

alternatif terapi antibiotik IV sebagai terapi awal selama 48-72jam

sebelum diketahui MO sebagai penyebabnya yaitu fluorokuinolon,

amiglikosida dengan atau tanpa ampisilin dan sefalosporin dengan

spectrum luas dengan atau tanpa aminoglikosida.

Antibiotika merupakan terapi utama pada ISK. Hasil uji

kultur dan tes sensitivitas sangat membantu dalam pemilihan

antibiotika yang tepat. Efektivitas terapi antibiotika pada ISK dapat

dilihat dari penurunan angka lekosit urin disamping hasil

pembiakan bakteri dari urin setelah terapi dan perbaikan status

klinis pasien. Idealnya antibiotika yang dipilih untuk pengobatan

ISK harus memiliki sifat-sifat sebagai berikut : dapat diabsorpsi

dengan baik, ditoleransi oleh pasien, dapat mencapai kadar yang

tinggi dalam urin, serta memiliki spektrum terbatas untuk mikroba

yang diketahui atau dicurigai. Pemilihan antibiotika harus

disesuaikan dengan pola resistensi lokal, disamping juga

memperhatikan riwayat antibiotika yang digunakan pasien (Coyle

& Prince, 2005).

f. Pencegahan
17

Data epidemiologi klinik mengungkapkan uji saring bakteriuria

asimtomatik bersifat selektif dengan tujuan utama untuk mencegah

menjadi bakteriuria disertai presentasi klinik ISK. Uji saring bakteriuria

harus rutin dengan jadual tertentu untuk kelompok pasien perempuan

hamil, pasien DM terutama perempuan, dan pasca transplantasi ginjal

perempuan dan laki-laki, dan kateterasi laki-laki dan perempuan.

(Sukandar, E., 2004).

3. Retensi urin

a. Pengertian

Retensi urine adalah suatu keadaan penumpukan urine di kandung

kemih dan tidak mempunyai kemampuan untuk mengosongkannya

secara sempurna. Retensi urine adalah kesulitan miksi karena kegagalan

urine dari fesika urinaria (Kapita Selekta Kedokteran).

Retensi urine adalah tertahannya urine di dalam kandung kemih,

dapat terjadi secara akut maupun kronis (Depkes RI Pusdiknakes,

1995). Retensi urine adalah ketidakmampuan untuk melakukan urinasi

meskipun terdapat keinginan atau dorongan terhadap hal tersebut

(Brunner & Suddarth).

b. Etiologi

Adapun penyebab dari penyakit retensi urine adalah sebagai

berikut:

1) supra vesikal berupa kerusakan pada pusat miksi di medulla

spinallis. Kerusakan saraf simpatis dan parasimpatis baik sebagian


18

ataupun seluruhnya, misalnya pada operasi miles dan mesenterasi

pelvis, kelainan medulla spinalis, misalnya miningokel, tabes

doraslis, atau spasmus sfinkter yang ditandai dengan rasa sakit

yang hebat.

2) Vesikal berupa kelemahan otot detrusor karena lama teregang,

atoni pada pasien DM atau penyakit neurologi, divertikel yang

besar.

3) Intravesikal berupa pembesaran prostate, kekakuan leher vesika,

striktur, batu kecil, tumor pada leher vesika, atau fimosis.

4) Dapat disebabkan oleh kecemasan, pembesaran porstat, kelainan

patologi urethra (infeksi,tumor, kalkulus), trauma, disfungsi

neurogenik kandung kemih.

5) Beberapa obat mencakup preparat antikolinergik antispasmotik

(atropine), preparat antidepresan antipsikotik (Fenotiazin), preparat

antihistamin (Pseudoefedrin hidroklorida=Sudafed), preparat

penyekat adrenergic (Propanolol), preparat antihipertensi

(hidralasin).

c. Patofisiologi

Pada retensi urine, penderita tidak dapat miksi, buli-buli penuh

disertai rasa sakit yang hebat di daerah suprapubik dan hasrat

ingin miksi yang hebat disertai mengejan. Retensi urine dapat

terjadi menurut lokasi, faktor obat dan faktor lainnya seperti

ansietas, kelainan patologi urethra, trauma dan lain sebagainya.


19

Berdasarkan lokasi bisa dibagi menjadi supra vesikal berupa

kerusakan pusat miksi di medulla spinalis menyebabkan kerusaan

simpatis dan parasimpatis sebagian atau seluruhnya sehingga tidak

terjadi koneksi dengan otot detrusor yang mengakibatkan tidak

adanya atau menurunnya relaksasi otot spinkter internal, vesikal

berupa kelemahan otot detrusor karena lama teregang, intravesikal

berupa hipertrofi prostate, tumor atau kekakuan leher vesika, striktur,

batu kecil menyebabkan obstruksi urethra sehingga urine sisa

meningkat dan terjadi dilatasi bladder kemudian distensi abdomen.

Faktor obat dapat mempengaruhi proses BAK, menurunkan tekanan

darah, menurunkan filtrasi glumerolus sehingga menyebabkan

produksi urine menurun. Faktor lain berupa kecemasan, kelainan

patologi urethra, trauma dan lain sebagainya yang dapat

meningkatkan tensi otot perut, peri anal, spinkter anal eksterna tidak

dapat relaksasi dengan baik. Dari semua faktor di atas menyebabkan

urine mengalir labat kemudian terjadi poliuria karena pengosongan

kandung kemih tidak efisien. Selanjutnya terjadi distensi bladder

dan distensi abdomen sehingga memerlukan tindakan, salah

satunya berupa kateterisasi uretra.

d. Tanda dan gejala

Diawali dengan urine mengalir lambat. Kemudian terjadi

poliuria yang makin lama menjadi parah karena pengosongan

kandung kemih tidak efisien. Terjadi distensi abdomen akibat dilatasi


20

kandung kemih. Terasa ada tekanan, kadang terasa nyeri dan merasa

ingin BAK. Pada retensi berat bisa mencapai 2000 -3000 cc.

e. Pemeriksaan diagostik

Pemeriksaan diagnostik yang dapar dilakukan pada kasus

Retensi Urine adalah pemeriksaan specimen urine. Pada pemeriksaan ini

diambil hasil dari :

1) Pengambilan: steril, random, midstream.

2) Penagambilan umum: pH, BJ, Kultur, Protein, Glukosa, Hb.

3) Sistoskopy, IVP.

f. Penatalaksanaan

1) Kateterisasai uretra

2) Drainase suprapubik

4. Trauma ginjal

a. Pendahuluan

Ginjal terletak di rongga retroperitonium dan terlindung oleh otot-

otot punggung di sebelah posterior dan oleh organ-organ intraperitoneal

di sebelah anteriornya. Karena itu cedera ginjal tidak jarang diikuti oleh

cedera organ-organ yang mengitarinya. trauma ginjal merupakan

trauma terbanyak pada sistem urogenital, lebih kurang 10% dari trauma

pada abdomen mencederai ginjal.

Abdominal trauma merupakan cedera ke bagian perut. Mungkin

tumpul atau tajam dan mungkin melibatkan kerusakan pada Abdominal


21

organ. Tanda-tanda dan gejala meliputi nyeri pada perut, kesakitan,

kaku, dan lebam dari perut eksternal. Abdominal trauma menyajikan

risiko berat kehilangan darah dan infeksi. Diagnosa mungkin

melibatkan ultrasonography, Computed Tomography, dan Peritoneal

lavage, dan mungkin memerlukan perawatan operasi.

Trauma ginjal adalah cedera pada ginjal yang disebabkan oleh

berbagai macam rudapaksa baik tumpul maupun tajam.

b. Penyebab Trauma

Cedera ginjal dapat terjadi secara (1) langsung akibat benturan

yang mengenai daerah pinggang atau (2) tidak langsung yaitu

merupakan cedera deselerasi akibat pergerakan ginjal secara tiba-tiba di

dalam rongga retroperitonium. Goncangan ginjal di dalam rongga

retroperitonium menyebabkan regangan pedikel ginjal sehingga

menimbulkan robekan tunika intima arteri renalis. Robekan ini akan

memacu terbentuknya bekuan-bekuan darah yang selanjutnya dapat

menimbulkan trombosis arteri renalis beserta cabang-cabangnya.

Cedera ginjal dipermudah jika sebelumnya sudah ada kelainan pada

ginjal, antara lain hidronefrosis, kista ginjal, atau tumor ginjal.

Ada 3 penyebab utama dari trauma ginjal, yaitu

1) Trauma tajam

2) Trauma iatrogenik
22

3) Trauma tumpul

Trauma tajam seperti tembakan dan tikaman pada abdomen

bagian atas atau pinggang merupakan 10 20 % penyebab trauma pada

ginjal di Indonesia.

Trauma iatrogenik pada ginjal dapat disebabkan oleh tindakan

operasi atau radiologi intervensi, dimana di dalamnya termasuk

retrograde pyelography, percutaneous nephrostomy, dan percutaneous

lithotripsy. Dengan semakin meningkatnya popularitas dari teknik

teknik di atas, insidens trauma iatrogenik semakin meningkat , tetapi

kemudian menurun setelah diperkenalkan ESWL. Biopsi ginjal juga

dapat menyebabkan trauma ginjal .

Trauma tumpul merupakan penyebab utama dari trauma ginjal.

Dengan lajunya pembangunan, penambahan ruas jalan dan jumlah

kendaraan, kejadian trauma akibat kecelakaan lalu lintas juga semakin

meningkat.

Trauma tumpul ginjal dapat bersifat langsung maupun tidak

langsung. Trauma langsung biasanya disebabkan oleh kecelakaan lalu

lintas, olah raga, kerja atau perkelahian. Trauma ginjal biasanya

menyertai trauma berat yang juga mengenai organ organ lain. Trauma

tidak langsung misalnya jatuh dari ketinggian yang menyebabkan

pergerakan ginjal secara tiba tiba di dalam rongga peritoneum. Kejadian

ini dapat menyebabkan avulsi pedikel ginjal atau robekan tunika intima

arteri renalis yang menimbulkan trombosis.


23

Gambar 2.1 Trauma ginjal deselerasi

Gambar 2.2 Trauma ginjal tumpul

Ada beberapa faktor yang turut menyebebkan terjadinya trauma

ginjal. Ginjal yang relatif mobile dapat bergerak mengenai costae atau

corpus vertebrae, baik karena trauma langsung ataupun tidak langsung

akibat deselerasi. Kedua, trauma yang demikian dapat menyebabkan

peningkatan tekanan subcortical dan intracaliceal yang cepat sehingga


24

mengakibatkan terjadinya ruptur. Yang ketiga adalah keadaan patologis

dari ginjal itu sendiri.

Sebagai tambahan, jika base line dari tekanan intrapelvis

meningkat maka kenaikan sedikit saja dari tekanan tersebut sudah dapat

menyebabkan terjadinya trauma ginjal. Hal ini menjelaskan mengapa

pada pasien yang yang memiliki kelainan pada ginjalnya mudah terjadi

trauma ginjal.

c. Klasifikasi Trauma

Tujuan pengklasifikasian trauma ginjal adalah untuk

memberikan pegangan dalam terapi dan prognosis.

Menurut derajat berat ringannya kerusakan pada ginjal, trauma

ginjal dibedakan menjadi (1) cedera minor, (2) cedera mayor, (3)

cedera pada pedikel atau pembuluh darah ginjal. Sebagian besar

(85%) trauma ginjal merupakan cedera minor (derajat I dan II), 15%

termasuk cedera mayor (derajat III dan IV), dan 1% termasuk cedera

pedikel ginjal.

Klasifikasi trauma ginjal menurut Sargeant dan Marquadt yang

dimodifikasi oleh Federle :

Derajat Jenis kerusakan

Grade I 1. Kontusio ginjal.


25

2. Minor laserasi korteks dan medulla tanpa gangguan pada

sistem pelviocalices.

3. Hematom minor dari subcapsular atau perinefron (kadang

kadang).

4. 75 80 % dari keseluruhan trauma ginjal.

1. Laserasi parenkim yang berhubungan dengan tubulus

kolektivus sehingga terjadi extravasasi urine.

Grade 2. Sering terjadi hematom perinefron.

II 3. Luka yang terjadi biasanya dalam dan meluas sampai ke

medulla.

4. 10 15 % dari keseluruhan trauma ginjal.

1. Laserasi ginjal sampai pada medulla ginjal, mungkin

Grade terdapat trombosis arteri segmentalis.

III 2. Trauma pada vaskularisasi pedikel ginjal

3. 5 % dari keseluruhan trauma ginjal

Grade 1. Laserasi sampai mengenai kalikes ginjal.

IV 2. Laserasi dari pelvis renal

1. Avulsi pedikel ginjal, mungkin terjadi trombosis arteri


Grade
renalis.
V
2. Ginjal terbelah (shattered).

d. Diagnosis

Kecurigaan terhadap adanya cedera ginjal jika terdapat:


26

1) Trauma di daerah pinggang, punggung, dada sebelah bawah, dan

perut bagian atas dengan disertai nyeri atau didapatkan adanya

jejas pada daerah itu.

2) Hematuria.

3) Fraktur costa sebelah bawah (T8-T12) atau fraktur prosesus

spinosus vertebra.

4) Trauma tembus pada daerah abdomen atau pinggang.

5) Cedera deselerasi yang berat akibat jatuh dari ketinggian atau

kecelakaan lalu lintas.

Gambaran klinis yang ditunjukkan oleh pasien trauma ginjal

sangat bervariasi tergantung pada derajat trauma dan ada atau tidaknya

trauma pada organ lain yang menyertainya. Perlu ditanyakan

mekanisme cedera untuk memperkirakan luas kerusakan yang terjadi.

Pada trauma derajat ringan mungkin hanya didapatkan nyeri di

daerah pinggang, terlihat jejas berupa ekimosis, dan terdapat hematuria

makroskopik ataupun mikroskopik. Pada trauma mayor atau ruptur

pedikel seringkali pasien dating dalam keadaan syok berat dan terdapat

hematom di daerah pinggang yang makin lama makin membesar.

Dalam keadaan ini mungkin pasien tidak sempat menjalani

pemeriksaan PIV karena usaha untuk memperbaiki hemodinamik

seringkali tidak membuahkan hasil akibat perdarahan yang keluar dari

ginjal cukup deras. Untuk itu perlu segera dilakukan eksplorasi

laparotomi untuk menghentikan perdarahan.


27

e. Penatalaksanaan

Pada setiap trauma tajam yang diduga mengenai ginjal harus

dipikirkan untuk melakukan tindakan eksplorasi, tetapi pada trauma

tumpul, sebagian besar tidak memerlukan operasi. Terapi pada trauma

ginjal adalah:

1) Konservatif

Tindakan konservatif ditujukan pada trauma minor. Dilakukan

observasi tanda-tanda vital, kemungkinan adanya

penambahan massa di pinggang, adanya pembesaran lingkaran perut,

penurunan kadar haemoglobin darah, dan perubahan warna urine.

Jika selama tindakan konservatif terdapat tanda-tanda

perdarahan atau kebocoran urine yang menimbulkan infeksi, harus

segera dilakukan tindakan operasi.

2) Operasi

Operasi ditujukan pada trauma ginjal mayor dengan tujuan

untuk segera menghentikan perdarahan. Indikasi eksplorasi ginjal,

yaitu syok yang tidak teratasi dan syok berulang. Selanjutnya perlu

dilakukan debridement, reparasi ginjal atau tidak jarang harus

dilakukan nefrektomi parsial bahkan nefrektomi total karena

kerusakan ginjal yang sangat berat.

5. Gagal Ginjal

Insufisiensi ginjal merupakan komplikasi serius, apakah ia timbul

dalam pasien bedah atau nonbedah, tetapi ia telah menambah bermakna


28

dalam yang pertama, karena ia disertai dengan angka mortilitas 50% atau

lebih tinggi. Curah urin kurang dari 50 ml per hari atau kurang dari 0,5 ml

per kg per jam didefinisikan sebagai oliguria dan merupakan tanda

ancaman gagal ginjal akut (ARF). Anuria total jarang ditemukan dan

terutama terlihat pada pasien obstruksi pasca renal atau nekrosis korteks

tak reversible.

Insufisiensi ginjal bisa juga dimanifestasikan oleh non oliguria atau

bahkan curah urin volume tinggi dan karena itu bisa tidak dihargai pada

awal perjalanannya. Di samping untuk mengklasifikasi insufisiensi ginjal

menurut jumlah produksi urin, komplikasi ini telah dibagi secara klasik ke

dalam tiga kategori yang tergantung atas tempat fisiologis abnormal: (1)

azotemia prarenal (hipovolemia) (2) azotemia renal (cedera ginjal) dan (3)

azotemia pascarenal (uropati obstrutif).

Perkembangan insufisiensi ginjal lebih lazim pada pasien tua

terutama yang menjalani tindakan kardiovaskular dengan pintas

kardiopulmoner atau klem silang aorta. Komplikasi ini bisa timbul dalam

kelompok usia berapun jika ada faktor predisposisi yang tepat.

a. Azotemia prarenal

1) Etiologi

Hipoperfusi ginjal merupakan sebab terlazim azotemia

prarenal dalam pasien bedah. Karena azotemia prarenal mudah

reversible jika segera dikenal dan diterapi, maka ia harus


29

dicurigai pada pasien manapun yang menderita oliguria atau

disfungsi ginjal biokimia. Perfusi ginjal dan fungsi nantinya

tergantung atas berapa faktor, yang mencakup curah jantung,

tekanan darah, volume intravascular dan tenaga neuroendokrin

yang mempengaruhi laju filtrasi glomerulus (GFR) serta

ekskresi garam dan air sehingga evaluasi awal pasien oliguria

diarahkan ke penntuan apakah ada kelainan dalam faktor ini.

Misalnya takikardi jantung bisa diikuti oleh pengisapan

ventrikel kiri. Tak lengkap dan kemudian penurunan curah

jantung. Tetapi lebih lazim penurunan volume vascular

merupakan sebab primer pengurangan aliran darah ginjal dan

penurunan GFR. Hal ini dapat dikenal sebagai gambaran klinik.

Hipovolemia harus dicurigai pada pasien yang telah

menderita trauma serius atau yang telah mengalami perdarahan

berlebihan akibat perdarahan selama dan setelah operasi.

Dengan azotemia prarenal ginjal masih tak cedera, sehingga

responnya terhadap hipoperfusi dapat diramalkan. Konsentrasi

urin akan meningkat karena ginjal berusaha menghemat air dan

natrium, hal ini meningkatkan berat jenis (bisaanya lebih dari

1,020), osmolalitas urin lebih dari 500 m0sm.

2) Terapi
30

Karena banyak pasien bedah dengan tanda azotemia

prarenal terdeplesi cairan, maka terapi diharapkan ke pergantian

cepat adekuat pada pasien yang jelas tanpa payah jantung

kongesif. Hal ini dapat dicapai dengan pemberia bolus cairan

intravena antara 500 dan 1000 m3 normal atau laktat ringer

dalam masa singkat (30-60 menit). Biasanya iya

mengekspansikan volume vascular yang cukup untuk

meningkatkan curah urin ke toingkat yang memuaskan, jika

tidak, harus diberikan bolus kedua dan jika mungkin harus di

ukur tekanan vena central (cvv) atau tekanan wedge

pulmonalis (pwp). Nilai kurang dari 12mm.Hg dalam kasus

mana pun menunjukan volume vascular dan membenarkan

resusitasi cairan yang kontiniu sampek urin membaik.

Sebab lain dari azotemia prarenal yang mencakup payah

jantung kongesif (CHF), perdarahan gastrointestinal dengan

statis intra lumen dan pemberian intravena asam amino

konsentrasi tinggi dalam pasien dengan fungsi ginjal marginal,

memerlukan pendekatan terapi agak berbeda.

b. Azotemia Renal

Azotemia renal atau gagal ginjal akut terutama terlihat dalam

keadaan hipoperfusi ginjal menetap dan parah, sehingga harus dicurigai

pada pasien yang sama, yang berisiko timbulnya azotemia prarenal.


31

Terlazim ARF merupakan jenis oliguria, tetapi ia juga bisa tampil

dengan pengeluaran uri normal sampai tinggi. Walaupun etiologi gagal

ginjal oliguria dan nonuliguria tumpang tindih, namun telah diusulkan

bahwa ARF penegluaran tinggi mungkin lebih sering karena obat

nefrotoksis ketimbang ARF oliguria. Di sampi g itu dirasakan

bahwapasien ARF nonoliguria mengalami perjalan rumah sakit yang

kurang abnormal, memerlukan lebih sedikit dialysis dan mempunyai

kelangsungan hidup yang lebih besar secara keseluruhan daripada

oliguria.

Iskemia ginjal merupakan faktor menonjol dalam patofisiologis

dalam ARF dan menimbulkan cedera pada glomerulus dan tubulus

renalis. Nekrosis tubulus ATN yang pernah dianggap dalam unsure

dominan dalam ARF dimanifestasikan segera secara morfologi oleh

dilatasi tubulus distalis yang terdiri dari epitel yang mendatar, serta

yang mengandung silinder leukosit dan sel-sel neukrotik. Di samping

itu, edema intestinal, infiltrate sel ringan dan area nekrosis fokal serta

regenerasi terlihat dalam tubulus proksimal. Tetapi apakah perubahan

morfologi ini menyebabkan disfungsi tubulus atau tidak, agak

controversial. Sebaliknya bukti percobaan menggambarkan bahwa

aliran darah glomerulus dan filtrasi berikutnya jelas menurunkan

setelah deraan nefrotoksik atau iskemik, sehingga bisa juga menyokong

bermakna pada sebab oliguria. Berbeda dari apa yang terlihat dalam

tubulus renalis, glomerulus tampak normal secara mikroskopi kecuali


32

bagi adanya endapan fibrin, sehingga penjelasan anatomi untuk

penurunan fitrasi glomerulus ini tidak tersedia. Namun dalam ARF

pintas darah menjauhi korteks renalis tidak terjadi. Apakah ini karena

tekanan neuroendokrin seperti rangsangan daraf simpatik dan pelepasan

katekolamin yang menyertai syok, aktivasi sistem rennin, anglotensin

atau hanya obstruksi vascular intra glomerulus, belum jelas.

1) Diagnosis

Diagnosis ARF didasarkan atas adanya disfungsi ginjal

dalam pasien dominan uligoria, tempat telah disingkirkan sebab

parenal dan pascarenal bagi azotemia. Berbeda dari azotemia

prarenal, ginjal dalam ARF cedera, sehinga rerponya terhadap

hipoperfungsibginjal tidak tepat. Walaupin ada oliguria, konservasi

garam tidak timbul dan natrium urina biasanya meningkat (lebih

dari 40 mEq. Per liter). Kemampuan memekatkan hilang, yang

menyebabkan prosuksi isotenuria dengan osmolalitas urina kurang

dari 400 mosm. Dan tampa glikosuria dan proteinuria, maka berat

jenis sekitar 1,1010. Risiko kosentrasi urea urina/plasma biasanya

kurang dari 4 serta rasio kosentrasi urea plasma terhadap kereatinin

plasma kurang dari 10. Pemeriksaan sedimen irin bisa menunjukan

sel-sel tubulus serta silender sebagai bukti cidera perenkim.

Skitigrafi ginjal memeperlihatkan pengurangan aliran darah

dibandingkan dengan aortadan tidak dibersihkannya penjejak

(tracter) pada fase parenkima. Perbandingan nilai laboraturium


33

dankritria klinik yang lazim digunakan untuk membedakan

azotemia dan renal.

2) Terapi

Kebanyakan pasien ARF yang baru terjadi harus diterapi

dengan ujicoba resusitasi cairan seperti yang telah diuraikan

sebelumnya untuk azotemia prateral, karena kadang-kadang sulit

membedakan keduanya pada saat mulai. Aliran darah ginjal bisa

meningkat dalam sejumlah kasus oleh memberikan dopamin,

karena obat ini meningkatkan aliran renalis splanchnicus bila

digunakan dalam dosis rendah nonvasopresif ( 2 sampai 5 g per

kg. Per menit) furosemid yang diberikan intervena dalam dosis

besar (100 sampai 1000 mg) bisa bermanfaat dalam menegakkan

diagnosis, karena gagal ginjal prarenal berespon dengan diuresis,

sedangkan ginjal dala ARF tidak.

Setelah diagnosis ARF ditegakkan, terapi terauma terdiri

dari pembatasan cairan jika volume intravaskuler adekuat. Bagi

kebanyakan pasien, masukan dibatasi antara 500 sampai 700 ml

per hari. Ia kebutuhan cairan pemeliharaan total dan harus

mencakup semua memberi intravena tambahan seperti obat.

Sesuai senyawa yang munngkin toksik yang diekskresikan

ginjal harus dihentikan dari terapi atau dosisnya disesuaikan

dengan tepat. Yang terpentin dari ini adalah kaliaum dan

antibiotika yang mengandung garam kalium harus disesuaikan


34

dengan akuvalen natriumnya. Sebaliknya pasien AGF

berpengaruh tinggi sebenarnya bisa mengekskresikan kalium

disamping menghilangkan airnya yang banyak. Anatesi elektlorit

urin bermanfaat, sehingga dapat dilakukan penambahan kalisium

ketimbang pembatasan yang diperlukan

3) Pemulihan

Untuk bertahap hidup terhadap ARF, lama disfungsi ginjal

yang biasa 7 sampai 21 hari, dengan jumlah disfungsi menetap

sela,a beberapa minggu lebih lama. Jarang pemulihan lengkap

cidra ginjal yang berlansung lebih dari 4 minggu, walaupun

kadang-kadang terlihat. Selama masa kelemahan ginjal ini, kadar

reaktinin serum umumnya meningkat pada kecepatan tetap ekitar

2,0 mg per 100 ml. Per hari, sedangkan luas peningkatan BUN

kurang dapat diramaikan. Pemulihan dari ARF dimanifestasikan

oleh kembalinya pengeluaran urina normal dan bisa disertai oleh

p[enurunan cepat dalam sulut. Beberapa pasien, terutama yang

menderita jenis ARF oleguria, sebenarnya bisa mengalami fase

poliuria yang singkat selama awal pemulihan. Karena masa

oliguria bisa berlansung singkat, maka terapi dialisis di samping

tindakan yang diuraikan sebelumnya tidak selalu diperlukan.

Dialisis harus ditahan sampai komplikasi dengan pendarahan

gastrointestinalis, somnolen dan koma, ginjal biasanya disertai

denagan kadar BUN lebih dari 150 mg. Per 100 ml, tetapi
35

kemunculannya bervariasi dan sulit dugunakan kosentrasi BUN

sebagai pembimbing satu-satunya bagi keperluan untuk terapi.

Tetapi perkembangan berlebihan beban cairan dengan paya

jantung kongestif nantinya dan edema paru, hiperkalemia atau

asidosis yang tak dapat dikendalikan serta adanya dalm darah

senyawa toksis, yang dieksresikan ginjal, maka semuanya

memerlukan dialisis mendesak.

4) Dialisis

a) Hemodialisi

Terapi dialisis dapat dicapai dengan hemodialisis atau

dialisis peritoneum. Hemodialisis memungkinkan koreksi

lebih cepat bagi hiperkalemia asidosiskan serta pembuangan

senyawa toksis dibandingkan dialisis peritonium, walaupun

kelebihan cairan intravaskular dapat dubuang secara efesien

dengan metode apa pun Hemodialisis memerlukan jalan

vaskular serta ia dapat mudah dicapai dengan kunlasi perkutis

vena besar. Jika hal ini tidak mungkin, maka pintas anterio

venosa dapat dikostruksikan dengan menggunakan kanula

teflon dan pipa selastic seperti uratikan oleh Quinti dan

Scribne. Dua tempat yan tersering dugunakan untuk

menempatkan adalah pengelangan tangan melalui anteria

radialis dan vena cephalica serta pengelangan kali melalui

anteria tibialis posterior dan vena sabhena.


36

b) Dialisis peritonium

Dialisis peritinium jaka singkat (1 sampa 3 hati) dicapai

dengan penepatan kateter pirkuis yang menggunakan dalam

bilas peritonium diagnosis untuk trauma abdomen. Ia tidak

layak digunakan pada pasien dengan beberapa parut abdomen

(karena memungkinkan secara tak sengaja mencederai usus

yang mungkin melekat kedinding abdomen) atau pada pasien

yang memerlukan terapi jangka lama.

Jika dialisis peritoneum bisa merupakan terapi dialisis

terpilih bagi pasie ARF yang menyertai panlkereati parah.

Juga karena manfaat tambahan membuang toksin

intraabdomen yang dilepaskan oleh pankreas yang cidra.

Sebaliknnya ada peritonitis yang telah terbentu dengan cakup

usus yang luas tidak mengakibatkan tercapainya dialisis

peritonium, komlikasi kateterdialisis peritonium yang

ditempatkan perkutis terutama melibatkan terauma pada

visera yang mendasari dengan pendarahan dan sepsis.

Kontaminasi kateter atau dialisat dengan peritonisis

berikutnya tetap komlikasi terlazim dalam bentuk terapi akuta

dan kronika.

6. Ketidakseimbangan cairan dan elektrolit

c. Deskripsi
37

Prosedur pembedahan menyebabkan perubahan keseimbangan

cairan pada hari ke dua sampai hari ke lima setelah pembedahan karena

respon stress tubuh terhadap trauma pembedahan. Semakin luas

pembedahan, semakin besar respon tubuh. Peningkatan sekresi

aldosteron dan gluko kortikoid selama 24-48 jam menyebabkan retensi

cairan, natrium, klorida, sedangkan kalium diekskresikan. Peningkatan

sekresi ADH menyebabkan penurunan haluaran urin. Selama fase

retensi cairan, mekanisme dan respon system saraf simpatik membantu

mempertahankan volume sirkulasi darah dan tekanan darah setelah

pembedahan. Setelah hari ke dua pasca pembedahan, dimulaifase

diuretic; kadar hormone kembali ke nilai normal sehingga kelebihan

natrium dan air diekskresikan.

Setelah pembedahan, klien dapat memperlihatkan banyak

perubahan dalam asam-basa. Klien yang enggan mengambil napas

dalam dan batuk dapat mengalami asidosis respiratorik akibat

tertahannya CO2 sehingga terjadi peningkatan PaCO2. Pengisapan

melalui selang nasogastrik pada klien dapat menyebabkan alkalosis

metabolik akibat kehilangan asam lambung, cairan dan elektrolit.

d. Asuhan Keperawatan Pada Pasien Keseimbangan Cairan dan Elektrolit

1) Pengkajian

a) Perubahan berat badan


38

Turun 2%-5% (kekurangan volume cairanringan), turun 5%-

10% (kekurangan volume cairan sedang), turun 10%-15%

(kekurangan volume cairan berat).

b) Kepala

Sakit kepala, pusing.

c) Kesadaran

Iritabilitas, letargi, konfusi, disorientasi.

d) Mata

Matacekung, konjungtiva kering, air mata berkurang atau tidak

ada.

e) Tenggorokan dan mulut

Membrane mukosa kering, lengket, bibirpecah-pecah dan

kering, saliva menurun, lidah di bagian longitudinal mengerut.

f) Sistemkardiovaskuler

Vena leher datar, denyut nadi lemah, tekanan darah rendah

atau tanpa perubahantekanan darah pada posisi ortostatik.

g) Sistem gastrointestinal

Abdomen cekung, muntah, hiperistaltik disertai diare.

h) Kulit

Suhu tubuh menurut, kulit kering dan kemerahan, turgor kulit

tidak elastic, kulit dingin dan lembab.

2) Diagnosa
39

a. Gangguan keseimbangan cairan: kurang dari kebutuhan tubuh

berhubungan dengan perdarahan selama pembedahan.

3) Perencanaan dan Implementasi

Tujuan Kriteriahasil Intervensi Rasional

Menyeimbangkan a. Meningkatkan masukan a. Pantau hasil a. Untuk

volume cairan cairan minimal 2000 pemeriksaan elektrolit mengidentifikasiindi

sesuai dengan ml/hari (kecuali bila ada dan pantau masukan kasi kemajuan

kebutuhan tubuh. kontraindikasi) dan haluaran urin kearah atau

b. Memepertahankan berat setiap 8 jam atau setiap penyimpangan dari

jenis urin dalam batas jam bila ada gejala hasil yang

normal. syok tanda vital setiap diharapkan

c. Memperlihatkan tidak 2 jam atau setiap 4 jam b. Untuk

adanya tanda dan gejala bilastabil. menggantikan

dehidrasi. b. Pertahankan terapi kehilangan cairan

intravena yang dan memperbaiki

diresepkan yang dapat syok hipovolemik.

meliputi larutan Ringer Perdarahan dan

Laktat (RL) atau perpindahan cairan

plasma ekspander. dari ruang

c. Pasang kateter Foley intravaskuler ke

sesuai order untuk ruang interstisial.

pengkajian akurat Curah jantung turun

terhadap haluaran dan gejala syok


40

ginjal. Beri tahu dokter hipovolemik hilang.

bila haluaran urin c. Penurunan haluaran

turun di bawah 30 urin terjadi dengan

ml/jam atau 240 ml/8 syok hipovolemik.

jam. Temuan ini juga

menandakan

ketidak-adekuatan

terapi penggantian

cairan.

4) Evaluasi

a) Haluaran urin normal (70 ml/jam).

b) Berat jenis urin menurun (1,030).

c) Tidak menunjukkan adanya tanda-tanda dehidrasi.


41

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Ada beberapa komplikasi pada pasien bedah yang berpengaruh terhadap

ginjalnya, diantaranya adalah :

1. Hiperkalemia

Hiperkalemia adalah kelebihan kalium atau kadar kalium serum.

Hiperkalemia lebih jarang terjadi dibandingkan hipokalemia dan jarang

terjadi pada klien yang memiliki fungsi ginjal normal. Namun,

hiperkalemia lebih berbahaya dibandingkan hipokalemia dan dapat


42

menyebabkan henti jantung. Biasanya setelah penghentian terapi glukosa

insulin suatu keseimbangan baru antara kalium intraseluler dan

ekstraseluler akan terbentuk karena hampir 98% dari total kalium berada

di intrasel, perubahan yang dramatis kalium serum dapat diobservasi.

2. Infeksi saluran kemih

Infeksi saluran kemih adalah suatu infeksi yang melibatkan ginjal,

ureter, buli-buli, ataupun uretra. Infeksi saluran kemih (ISK) adalah istilah

umum yang menunjukkan keberadaan mikroorganisme (MO) dalam urin

(Sukandar, E., 2004).

3. Retensi urin

Retensi urine adalah suatu keadaan penumpukan urine di kandung

kemih dan tidak mempunyai kemampuan untuk mengosongkannya secara

sempurna. Retensi urine adalah kesulitan miksi karena kegagalan urine

dari fesika urinaria (Kapita Selekta Kedokteran).

Retensi urine adalah tertahannya urine di dalam kandung kemih,

dapat terjadi secara akut maupun kronis (Depkes RI Pusdiknakes, 1995).

Retensi urine adalah ketidakmampuan untuk melakukan urinasi meskipun

terdapat keinginan atau dorongan terhadap hal tersebut (Brunner &

Suddarth).

4. Trauma ginjal

Trauma ginjal adalah cedera pada ginjal yang disebabkan oleh

berbagai macam rudapaksa baik tumpul maupun tajam.


43

Abdominal trauma merupakan cedera ke bagian perut. Mungkin

tumpul atau tajam dan mungkin melibatkan kerusakan pada Abdominal

organ. Tanda-tanda dan gejala meliputi nyeri pada perut, kesakitan, kaku,

dan lebam dari perut eksternal. Abdominal trauma menyajikan risiko berat

kehilangan darah dan infeksi. Diagnosa mungkin melibatkan

ultrasonography, Computed Tomography, dan Peritoneal lavage, dan

mungkin memerlukan perawatan operasi.

B. Saran

Untuk mengetahui komplikasi tersebut, perawat harus benar benar

melakukakan pengkajian pascaoperasi dengan teliti, jika pasien mendapatkan

komplikasi pascaoperatif, maka penanganan harus segera dilakukan untuk

mencegah keparahan dari komplikasi tersebut.

REFERENSI

Adi, Afri. http://www.scribd.com/doc/136227655/TRAUMA-GINJAL-docx.

Diunduh pada tanggal 28 September 2013

Potter, A. Patricia, Perry Anne Griffin.(2005). Fundamental Keperawatan.

Jakarta:EGC.

Sabiston, D. C. 1995. Buku Ajar Bedah. Jakaerta: EGC.

Smeltzer, S. C. & Bare, B. G. 2001. Keperawatan Medikal Bedah. Ed. 8. Jakarta:

EGC.
44

http://www.jevuska.com/2008/12/15/hiperkalemia

Anda mungkin juga menyukai