Anda di halaman 1dari 6

Bab 6

RESUSITASI KARDIOPULMONAL
DEFINISI
Cardiopulmonary arrest adalah berhentinya ventilasi dan sirkulasi spontan setelah
kejadian cardiac atau respiratori. Resusitasi cardiopulmonal (cardiopumonary
resuscitation, CPR) memberikan ventilasi dan sirkulasi buatan sampai
diberikannya adavanced cardiac life support (ACLS) dan sirkulasi kembali
normal.
PATOFISIOLOGI
Cardiopumonary arrest pada dewasa biasanya sebagai akibat dari aritmia. Aritmia
paling umum (80%) adalah ventricullar fibrillation (VT) dan ventricular
tachycardia tanpa denyut (pulseless). Pada anak-anak, cardiopulmonary arrest
seringkali merupakan lanjutan dari syok progresif atau kegagalan bernafas.
Dua teori mengenai mekanisme aliran darah pada CPR. Teori pompa kardiak
menyataan bahwa kompresi aktif pada jantung antara sternum dan vertebrae
menciptakan sistole artifisial yang mana tekanan intraventricular meningkat,
katup atrioventrikular menutup, katup aorta membuka, dan darah dipaksa keluar
dari ventrikel. Ketika kompresi ventrikular dihentikan, penurunan pada tekanan
intraventrikular menyebabkan katup mitral dan trikuspid membuka, dan pengisian
ventrikular dimulai. Teori pompa torak yang lebih baru berdasar pada
kepercayaan bahwa aliran darah selama CPR merupakan hasil dari perubahan
tekanan intratorakis yang dirangsang oleh kompresi dada. Selama kompresi
(sistole), gradien tekanan terbentuk antara arteri intratorakis dan vena
ekstratorakis, menyebabkan aliran darah diarahkan dari paru ke sirkulasi sistemik.
Setelah kompresi berakhir (diastole), tekanan intratorakis menurun dan aliran
darah kembali ke paru. Komponen dari kedua teori bisa diterapkan selama CPR.
CIRI KLINIK
Onset cardiac arrest bisa dicirikan oleh simtom tipikal kejadian cardiac akut
(seperti, angina yang diperpanjang atau rasa sakit akibat infark myocardiac),
dispnea (kesulitan bernafas) akut atau orthopnea, palpitasi, atau kepala terasa
ringan. Yang lain seperti kehilangan kesadaran dan denyutan bisa terjadi tanpa
peringatan.
DIAGNOSIS
Diagnosis cepat adalah vital untuk kesuksesan CPR. Pasien harus menerima
intervensi secepat mungkin untuk mencegah ritme kardia berubah menjadi
aritmia.
Cardiac arrest didiagnosa pertama dengan observasi manifestasi klinik untuk
cardiac arrest. Diagnosis dipastikan dengan mengevaluasi tanda vital, terutama
denyut jantung dan pernafasan.
Electrocardiography (ECG) berguna untuk menentukan ritme cardia, yang lalu
menentuan terapi obat.
VF adalah electrical anarchy dari venrtrikel yang berakibat tidak ada cardiac
output dan kolap cardiovaskular.
Pulseless electrical activity (PEA) adalah absennya denyut yang bisa terdeteksi
dan munculnya aktivitas elektrik selain VF atau PVT.
Asistole adalah munculnya garis mendatar pada monitor ECG.
HASIL YANG DIINGINKAN
Tujuan CPR adalah mengembalikan ventilasi dan sirkulasi yang efektif secepat
mungkin untuk memperkecil kerusakan akibat hipoksi pada organ vital.
Setelah resusitasi yang sukses, tujuan utama termasuk optimasi suply oksigen ke
jaringan, mengenali penyebab arrest, dan mencegah serangan susulan.
PERAWATAN
Filosofi penyediaan CPR dan emergency cardiovascular care (ECC) telah diatur
oleh American Heart Asociation (AHA). Rekomendasi terbaru untuk CPR dan
EEC berasal dari Guidelines 2000 Conference (Gambar 6-1).
Kemungkinan resusitasi yang berhasil diperbesar jika empat elemen kritis pada
rantai (chains) keberhasilan diterapkan dengan benar: (1) memberikan
pertolongan dengan cepat, segera setelah kejadian sebelum paramedis datang; (2)
segera memberikan basic life support dan CPR; (3) defibrilasi secepatnya,
termasuk penggunaan automatic electrical defibrillator (AED) oleh paramedik
atau orang lain yang terlatih; dan (4) penerapan ACLS secepatnya.
Basic life support (sokongan kehidupan dasar) berdasar pada perkiraan dan
penerapan ABC: airway (jalan udara), breathing (bernafas) dan circulation. Jika
tidak ada pernafasan spontan, jalan udara harus dibuka dan dilakukan usaha
pertolongan nafas. Jika tidak ada denyutan, diberikan kompresi (tekanan) pada
dada yang sejalan dengan pertolongan nafas. Basic life support harus dilanjutkan
sampai sirkulasi spontan tercapai, diberikannya ACLS, atau tidak
dimungkinkannya melanjutkan pertolongan.
ACLS termasuk CPR, defibrilasi elektrik, pengaturan jalan udara, monitoring
ECG, dan pemberian obat.
Penggunaan kateter vena sentral adalah metode terbaik untuk pemberian obat dan
memberi hasil lebih cepat dan puncak konsentrasi obat lebih tinggi pemberian
melalui vena perifer. Karena tidak praktis untuk menyela CPR untuk penempatan
vena sentral, bisa digunakan vena perifer jika vena sentral tidak disiapkan. Vena
antecubital adalah target pertama untuk akses IV perifer.
Jika akses sentral atau perifer tersedia, atropine, lidocaine, dan epinefrin bisa
diberikan secara endotrakeal. Dosis endotrakeal sebaiknya lebih besar 2-2,5 kali
daripada dosis IV. Dosis endotrakeal dilarutkan dalam 10 ml aqua steril atau
normal saline untuk memberikan distribusi sebesar mungkin. CPR harus disela
dan pemberian dosis melalui ujung tube endotrakeal. Segera setelahnya, diberikan
inslufasi (meniupkan udara ke rongga tubuh) tiga sampai lima kali menggunakan
kantung udara untuk meng-aerosolkan obat dan memperbesar bioavalaibilitas.
Gambar 6-1
Pada pasien anak, rute intraosseous bisa digunakan sementara jika rute lain tidak
tersedia.
Pemberian melalui intracardiac tidak lagi disarankan karena potensi komplikasi
seperti myocardial laceration, coronary arterial laceration, hemopericardium, dan
pneumopericardium.
Perawatan VT dan PVT
Perawatan non Farmakologis
Orang dengan VT atau PVT sebaiknya menerima defibrilasi elektrik dengan
paling tidak tiga sengatan dengan 200 J untuk sengatan pertama dan 200-360 J
untuk yang kedua dan ketiga. Setelah tiga percobaan defibrilasi yang tidak
berhasil pasien harus mendapatkan CPR selama 1 menit. Intubasi (memasukkan
tube ke) endotrakeal dan akses IV harus diberikan saat ini. Setelah jalan udara
didapatkan, pasien harus diventilasi dengan 100% oksigen. Agen farmakologis
tidak terlalu berperan disini dan tidak disarankan sampai didapatkan jalan udara
dan diberikan akses IV.
Terapi Farmakologi
Simpatomimetik
Tujuan terapi simpatomimetik untuk memperbesar perfusi koroner dan cerebral
selama keadaan aliran darah yang rendah terkait CPR. Agen ini meningkatkan
vsikonstriksi arteriol sistemik, sehingga meningkatkan perfusi korner dan
cerebral, serta mempertahankan tonus vascular, menurunkan kolaps arterial, dan
mengirim darah ke otak dan jantung dan otak.
Epinefrin adalah pilihan pertama untuk VF, PVT, asistole, dan PEA. Epinefrin
merupakan agonis reseptor 1, 2, 1 dan 2. Keefektifannya terutama karena efek
pada reseptor .
Dosis standar epinefrin untuk dewasa adalah 1 mg secara intravena push (IVP)
tiap 3-5 menit. Jika dosis 1 mg tidak berhasil, dosis lebih tinggi (sampai 0,2
mg/kg bisa diberikan. Meski beberapa studi menunjukkan dosis tinggi (misal 5
mg) bisa meningkatkan laju resusitasi awal, tingkat keselamatan tidak berubah
secara signifikan.
Vasopresin
Vasopresin bisa digunakan sebagai obat pilihan pertama untuk VF atau PVT
daripada epinefrin. Vasopresin adalah vasokonstriktor poten yang meningkatkan
tekanan darah dan tahanan vaskular. Vasopresin mempunyai beberapa
keuntungan daripada epinefrin. Pertama, asidosis metabolik yang sering
menyertai cardiapulmonary arrest bisa mengurangi efek vasokonstriksi dari
epinefrin: ini tidak terjadi dengan vasopresin. Kedua, stimulasi reseptor beta oleh
epinefrin bisa meningkatkan kebutuhan oksigen myokardial dan memperumit fase
pasca-resusitasi dari CPR. Alasan penggunaan vasopresin untuk cardiac arrest
termasuk: (1) laporan adanya vaskonstriksi arteri koroner dengan iskemi
myocardia pada dosis rendah; dan (2) waktu paruhnya lumayan lama (18 menit)
sehingga efek vaskonstriksi pasca-resusitasi bisa bertahan lebih lama daripada
penggunaan epinefrin.
Dosis tunggal 40-unit IV vasopresin bisa digunakan menggantikan epinefrin
setelah tiga kali defibrilasi yang tidak berhasil. Jika tidak ada respon terhadap
vasopresin dalam 5-10 enit, terapi epinefrin bisa dilanjutkan.
Antiaritmia
Alasan utama penggunaan antiaritmia setelah defibrilasi yang tidak berhasil dan
pemberian vasopresor adalah untuk mencegah terbentuknya atau terulangnya VF
dan PVT dengan meningkatmya ambang fibrilasi. Karena ada bukti mengenai
efek ini, agen ini dikelompokkan oleh Guidelines 2000 Conference sebagai
bermanfaat tanpa menyebabkan efek samping (amiodarone, magnesium,
procaineamide) atau bisa digunakan tapi tidak dianjurkan (lidocaine).
Amiodarone dianggap banyak ahli sebagai antiaritmia pilihan untuk intervensi
sekunder. Dosis awal untuk dewasa adalah 300 mg dilarutkan dalam 20-30
normal saline atau D5W dan diinfuskan dengan cepat (misal lebih dari 10 menit).
Dosis tambahan 150 mg bisa diberikan dengan infusi cepat untuk VF/PVT
berulang atau refrakter, diikuti infusi 1 mg/menit selama 6 jam dan lalu 0,5
mg/menit, dengan dosis maksimum harian 2 g.
Hipotensi terjadi pada sekitar 20% pasien tapi bisa diatasi dengan menurunkan
laju infus. Efek akut lain termasuk demam, tes fungsi liver yang meningkat,
confusion, mual, dan trombositopeni.
Lidocaine ini dianggap sebagai bisa diterima tapi tidak disarankan. Pada beberapa
studi lidocaine terlihat menaikkan ambang VF dan menurunkan jumlah energi
yang dibutuhkan untuk mengubah VF menjadi ritme yang lebih stabil. Lidocaine
lebih disukai daripada bretylium karena efek sampingnya lebih kecil dengan efek
yang tidak berbeda signifikan.
Dosis awal untuk dewasa adalah 2,5 mg/kg secara IVP. Jika perawatan ini untuk
menstabilkan ritme, infusi berkelanjutan 2-4 mg/menit diperbolehkan. Munculnya
aritmia selama pemberian infus bisa diatasi dengan pemberian dosis kecil
lidocaine (0,5 mg/kg) secara IV bolus dan meningkatkan laju infusi.
Konsentrasi plasma lidocaine harus dimonitor selama infusi penjagaan
(maintenance) yang diperlama, dan pasien harus dimonitor untuk efek samping
slurred speech, perubahan kesadaran, kontraksi otot, dan kejang.
Bretyllium masih diterima penggunaannya tapi telah dikeluarkan dari Guidelines
2000 karena sering munculnya efek samping, adanya agen lain yang lebih aman
dengan efek sama, dan terbatasnya ketersediaan obat.
Penggunaan Procainemide diterima untuk VF refrakter atau berulang dan PVT.
Tetapi, manfaatnya dibatasi oleh kebutuhan untuk memperpanjang waktu
pemberian, yang membutany tidak sesuai untuk cardiac arrest.
Alternatif untuk VF Refrakter atau PVT.
VF berulang atau persisten atau PVT setelah pemberian antiaritmia bisa
dihubungkan dengan abnormalitas elektrolit, terutama hiperkalemia, hipokalemia,
dan hipomagnesia. Pemberian magnesium disarankan hanya ketika rendahnya
konsentrasi serum magnesium yang dicurigai merupakan penyebab aritmia atau
ketika pasien mengalami TdP. Perawatan dengan magnesium digolongkan
sebagai bisa bermanfat tanpa menyebkan bahaya pada VT polymorphic (TdP) dan
hipomagnesia. Magnesium sulfate, 1-2 g, dilarutkan dalam 100 ml D5W dan
diberikan iv selama 1-2 menit. Untuk perawatan TdP, loading dose 1-2 mg dalam
50-100 ml D5W bisa diberikan selama 5-60 menit, diikuti oleh infusi 0,5-1 g/jam.
Perawatan PEA dan Asistole
Terapi non Farmakologi
Kesuksesan perawatan PEA dan asistole tergantung hampir seluruhnya pada
diagnosa penyebab. Penyebab reversibel termasuk: (1) hipovolemia; (2) hipoksia;
(3) sedang mengalami asidosis; (4) hiperkalemia; (5) hipotermia; (6) over dosis
obat; (7) cardiac tamponade; (8) tension pneumothorax; (9) trombosis koroner;
dan (10) trombosis pulmonal.
Perawatan PEA serupa dengan perawatan asistole. Kedua kondisi ini
membutuhkan CPR, intubasi, dan akses iv. Defibrilasi sebaiknya dihindari pada
asistole karena parasympathetic discharge yang dihasilkan bisa mengurangi
kemungkinan untuk ROSC dan memperburuk kemungknan keselamatan. Jika
tersedia, pacing transkutaneus bisa diberikan.
Terapi Farmakologis
Epinefrin bisa diberikan dengan dosis yang sama dengan yang digunakan untuk
perawatn VF/PVT.
Atropine adalah antimuskarinik yang menghadang efek depresan dari asetilkolin
pada node sinus dan atriventrikular, sehingga menurunkan tonus parasimpatik.
Selama asistole, tonus parasimpatik bisa meningkat karena stimulasi vagal dari
intubasi, hipoksia dan asidosis, atau perubahan pada keseimbangan kontrol
simpatik dan parasimpatik. Dari uji acak yang dilakukan tidak terlihat manfaat
atropine pada perawatan asistole; bukti terbatas pada serangkaian kasus kecil atau
tinjauan retrospektif. Secara umum, hasil menunjukkan bahwa meski atropin bisa
menghasilkan ROSC pada beberapa kesempatan, asistolik arrest hampir selalu
fatal. Sehingga, penggunaan atropne untuk indikasi ini tidak berbahaya, tapi
manfaatnya terbatas. Untuk perawatan PEA, atropine bisa digunakan jika lajunya
lambat. Dosis yang direkomendasikan adalah 1 mg iv, diulangi jika perlu tiap 3-5
menit sampai dosis total 0,04mg/kg. Dosis <0,5 mg sebaiknya dihindari untuk
mencegah bradikardi paradoks.
Penanganan Asam-Basa selama CPR
Asidosis terjadi selama cardiac arrest karena penurunan aliran darah dam ventilasi
yang kurang. Penekanan dada hanya memunculkan 20-30% dari cardiac output
normal, sehingga bisa terjadi kurangnya perfusi organ, hipoksia jaringan, dan
asidosis metabolik. Lebih jauh, kurangnya ventilasi menyebabkan retensi karbon
dioksida, yang bisa menyebabkan asidosis respiratori. Gabungan asidosis ini
mengurangi kontraktilitas myokard dan bisa menyebabkan aritmia karena
rendahnya ambang fibrilasi.
Pada awal mengalami cardiac arrest, kurangnya ventilasi alveolar adalah
penyebab utama pembatasan akumulasi karbon dioksida dan mengontrol
ketidakseimbangan asam-basa. Pada arrest yang durasinya lama, terapi buffer
seringkali penting.
Pemberian natrium bikarbonat untuk cardiac arrest masih kontroversi karena
hanya ada sedikit data klinik yang mendukung penggunaannya dan mungkin
mempunyai efek yang membahayakan. Menurut Guidelines 2000, natrium
bikarbonat sesuai dan bermanfaat untuk pasien yang diketahui mengalami
hiperkalemia. Juga dianggap bisa bermanfaat untuk asidosis karena respon-
bikarbonat yang sedang dialami dan over dosis trisiklik anti depresan dan untuk
membasakan urin pada over dosis aspirin dan obat lain. Natrium bikarbonat juga
mungkin bermanfaat pada pasien dengan interval arrest yang panjang yang
mendapatkan intubasi dan ventilasi. Natrium bikarbonat bisa berbahaya pada
asidosis hipercarbic, dan sebaiknya tidak diberikan pada situasi ini.
Dosis awal natrium bikarbonat yang disarankan adalah 1 mEq/kg iv. Terapi
sebaiknya diberikan mengikuti konsentrasi bikarbonat atau base deficit yang
dihitung dari analisis gas darah atau pengukuran laboratorium. Koreksi total base
deficit sebaiknya dihindari untuk memperkecil resiko alkalosis yang dirangsang
secara iatrogenical.
EVALUASI HASIL TERAPI
Untuk mengukur sukses CPR, monitring hasil terapi sebaiknya dilakukan selama
percobaan resusitasi dan fase pasca resusitasi. Hasil optimal setelah CPR adalah
pasien sadar, merespon, dan bernafas secara spontan. Idealnya, pasien harus tetap
tidak tersentuh dari resiko tambahan setelah resusitasi.
Denyut jantung, ritme cardiac, dan tekanan darah harus diukur dan direkam
selama usaha resusitasi dan setelah intervensi. Penentuan ada tidaknya denyut
sangat penting untuk menentukan intervensi mana yang sesuai. Tidak adanya
respon terhadap rangkaian intervensi bisa berarti bahwa resusitasi tidak
dimungkinkan.
Dokter harus mempertimbangkan faktor penyebab cardiac arrest, seperti infark
myocard akut, ketidakseimbangan elektrolit, atau aritmia. Kondisi sebelum arrest
harus ditinjau dengan seksama, terutama apakah pasien sedang menerima terapi
obat.
Pemeriksaan laboratorium, termasuk 12-lead ECG, pemeriksaan sinar x dada,
pengukuran gas darah arterial, dan penentuan kimia darah, adalah perlu.
Perubahan fungsi cardiac, hepatik, dan renal karena iskemi selama arrest
membutuhkan perhatian khusus.
Fungsi neural sebaiknya diukur menurut Glasgos Coma Scale dan Cerebral
Performance Category.

Anda mungkin juga menyukai