Anda di halaman 1dari 8

KELOMPOK 5 :

1. Victory Christin Natalia S


2. Waritsa Yolanda
3. Alifia Ayu Kinanti Sinaga
4. Deksha Putri Firdaus
5. Razulul Azmi
6. Tri Dede Wulandari
7. Muftita Irza

PERSPEKTIF GLOBALISME

Tulisan ini merupakan review mengenai perspektif globalisme yang


dikutip dari buku International Relations Theory: Realism, Pluralism, Globalism
Paul R. Viotti dan Mark V. Kauppi, buku Hubungan Internasional: Perspektif dan
Tema karya Jill Steans dan Lloyd Pettiford, dan buku Politik Global dalam Teori
& Praktik oleh Aleksius Jemadu.

Jika kaum realis bertanya mengenai bagaimana stabilitas tetap bertahan di


dunia yang anarkis ini dan liberalisme berpikiran bagaimana cara menciptakan
perdamaian di dunia yang semakin bergantungan satu sama lain, dalam hal ini
globalisme cenderung berpikir mengapa begitu banyak Negara-negara Dunia
Ketiga di Amerika Latin, Afrika, dan Asia yang sulit untuk berkembang.
Pertanyaan-pertanyaan lain yang diajukan oleh para globalis adalah bagaimana
dan mengapa kapitalisme berkembang di Eropa Barat? Bagaimana kapitalisme itu
berkembang ke benua lain? Apakah mekanisme khusus dari dependency yang bisa
terus membiarkan sistem internasional yang eksploitatif ini untuk bertahan?
Apakah hubungan antara elit-elit dari Negara Core yang kaya (Dunia Pertama)
dan elit-elit dari periphery yang lebih terbelakang? Apakah mungkin bagi negara-
negara yang kurang berkembang lepas dari situasi ketergantungannya? Semua
jawaban dari pertanyaan-pertanyaan ini akan dijelaskan melalui perspektif
globalisme.

Globalisme adalah sebuah perspektif yang banyak dipengaruhi, baik secara


langsung maupun tidak langsung dari pemikiran Karl Marx, sehingga perspektif
ini disebut juga strukturalisme, neo-marxisme, marxisme struktural atau

1
Marxisme ilmiah.1 Analisis dan diskusi Marx mengenai kapitalisme telah
mempengaruhi para globalis dalam tiga aspek.2 Pertama, adanya eksploitasi oleh
kaum borjuis terhadap seluruh kaum proletar. Kedua, pola sejarah yang dapat
dilihat dari perkembangan dan ekspansi kapitalis. Ketiga, pentingnya memahami
masyarakat secara keseluruhan, bukan hanya sebagian saja.

Analisis dari Marx ini kemudian ditambahkan oleh John A. Hobson (1858-
1940), seorang non-marxist ahli ekonomi Inggris. Hobson mengatakan bahwa
masyarakat kapitalis menghadapi tiga masalah dasar yang saling berkaitan, yaitu
produksi berlebih, kelas buruh mengalami kekurangan konsumsi, sedangkan kelas
kapitalis memiliki kekayaan yang berlebih. Solusinya bagi kapitalis adalah
menciptakan Dunia Ketiga yang dihasilkan melalui imperialisme. Hobson
berpendapat bahwa sebenarnya imperialisme hanya mengutungkan beberapa
kelompok saja, seperti industrialis, pemilik modal, dan individu-individu yang
bekerja di kerajaan kolonial yang memperoleh keuntungan.3

Secara tidak langsung, para globalis juga terpengaruh oleh perspektif


Lenin yang menekankan dunia yang sifatnya kapitalisme dan sifat ke-eksploitasif-
an nya yang tidak bisa dilepaskan dan justru menguntungkan kaum borjuis
(sebagaimana yang juga dijelaskan oleh Marx). Tulisan Lenin bukan hanya
sebuah teori, namun juga bersifat revolusionaris yang mana mendorong terjadinya
revolusi sosial.4

Berdasarkan pemikiran-pemikiran dari tokoh-tokoh di atas, globalisme


menghasilkan empat asumsi dasar, yang mana asumsi-asumsi dasar ini nantinya
akan membentuk varian teori yang sangat penting dalam hubungan internasional,
yaitu dependency theory dan Capitalist World System.

Pertama, penting untuk memahami konteks global dimana negara dan


aktor-aktor lain berinteraksi. Kedua, globalis menekankan pentingnya analisis

1
Steans, Jill dan Lloyd Pettiford. 2009. Hubungan Internasional: Perspektif dan Tema.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hal. 151
2
Viotti, Paul R. dan Mark V. Kauppi. 1987. International Relations Theory: Realism, Pluralism,
Globalism and Beyond. USA: Macmillan Publishing Company. Hal 343.
3
Ibid
4
Ibid

2
secara sejarah dalam memahami sistem internasional. Ketiga, globalis
berpendapat bahwa mekanisme dominasi hadir untuk menghalangi Dunia Ketiga
berkembang dan akhirnya menghasilkan perkembangan yang tidak adil. Keempat,
globalis berpendapat bahwa faktor-faktor ekonomi sangatlah penting dalam
menjelaskan suatu perkembangan.

Tabel 1.1

Globalisme
Unit Analisis Kelas-kelas, negara, masyarakat, aktor non-negara sebagai
bagian dari sistem kapitalis
Pandangan tentang Hubungan Internasional dilihat dari sudut pandang
Aktor sejarah, terutama tentang perkembangan dunia kapitalis.
Dinamika Tingkah Memfokuskan pada pola-pola dominasi didalam dominasi.
Laku
Isu-isu yang Dibahas Isu-isu yang berkaitan dengan ekonomi lebih penting.

(Sumber : Sumber: Bahan Ajar Mata Kuliah Pengantar Hubungan Internasional. Rendy
Prayuda S.IP M.Si)

Immanuel Wallerstein dan The Capitalist World System

Wallerstein memulai analisisnya mengenai kemunculan kapitalisme di


Eropa pada abad ke-16 yang kemudian menyebar keseluruh dunia akibat ekspansi
kapitalisme. Lalu Wallerstein membagi beberapa jenis Negara di dunia dan
masing-masing Negara membentuk fungsi yang berbeda dalam ekonomi yang
disebut dengan world-system theory. Jenis-jenis Negara itu adalah; Negara Core,
Negara Semi-periphery dan Negara Periphery.

Pertama, Negara core adalah Negara yang maju di bidang ekonomi seperti
banking, manufaktur, teknologi agrikultur, dan pembangunan secara keseluruhan.
Contohnya adalah Negara Amerika Serikat, Inggris, Jepang, dan Belanda. Kedua,
Negara periphery menyediakan bahan-bahan mentah seperti bahan tambang dan
kayu untuk mendukung ekspansi ekonomi Negara Core. Contohnya adalah
Negara Kamboja, Zimbabwe, dan Somalia. Ketiga, Negara semi-periphery yang
memiliki ciri-ciri negara core maupun periphery. Contohnya India, Brazil,
Indonesia, dan Afrika Selatan. Dasar pemikiran Wallerstein adalah kapitalisme

3
adalah hierarki yang didasarkan pada eksploitasi kelompok miskin (periphery)
oleh kelompok kaya (core). (Lihat tabel 1.2)

Tabel 1.2

Negara Core Negara Periphery Negara


Semiperiphery
Pemerintahan Demokratik Tidak Demokratik Otoriter
Upah Kerja Tinggi Rendah Rendah
Impor Bahan Mentah Manufaktur Manufaktur, bahan
mentah
Ekspor Manufaktur Bahan mentah Manufaktur, bahan
mentah
Investasi Tinggi Rendah Rendah
Layanan jasa Ada Tidak ada Rendah
masyarakat
(Sumber: Bahan Ajar Mata Kuliah Pengantar Hubungan Internasional. Rendy Prayuda
S.IP M.Si)

Dependency Theory

Dependency theory atau teori ketergantungan muncul pada tahun 1960-an


hingga 1970 an yang dikemukakan oleh para intelektual Amerika Latin, antara
lain: Andre Gunder Frank, Raul Prebisch, dan Henrique Fenando Cardoso dan
Enzo Felatto. Para pakar teori ini berasal dari gabungan antara Economics
Comission on Latin America (ECLA) dan United Nation Conference on Trade
and Development (UNCTAD). Walalupun berkaitan dengan teori sistem dunia
Wallerstein, namun Andre Gunder Frank mengkritik sistem dunia Wallerstein
dalam bukunya yang berjudul Reorient: Global Economy in The Asian Age
(1998), yang mana Frank menyatakan sistem dunia itu tidak dimulai dari Eropa,
tetapi di Asia. Karena jauh sebelum masa kejayaan Eropa pada abad ke-16. Eropa
sebelumnya adalah wilayah periphery terhadap sistem dunia yang berpusat di
Timur Tengah.

Dependency theory berkembang sebagai suatu kritikan terhadap teori


modernisasi liberal, sebuah teori yang dikaitkan dengan pembangunan dan
industrialisasi kapitalis, penemuan teknologi, konsumerisme, ekonomi pasar, dan

4
pertumbuhan populasi.5 Teori ini mempertanyakan mengapa banyak Negara di
dunia ini terutama Negara di dunia ketiga tidak berkembang dengan semestinya
seperti yang telah direncanakan. Secara tradisional jawabannya adalah karena
Negara-negara itu tidak memberlakukan kebijakan ekonomi yang tepat atau
sistem pemerintahannya yang otoriter dan korup. Namun dependency theory
menyatakan bahwa yang menyebabkan Negara-negara ini tidak berkembang
adalah karena sistem internasional sendiri lah yang menghalangi mereka untuk
berkembang. Sistem internasional ini bersifat exploitative atau eksploitasi yang
mana diciri-cirikan dengan adanya dominasi beberapa Negara terhadap Negara
lain.

Dengan adanya pembagian jenis Negara menurut Immanuel Wellerstein --


Negara core, Negara semi-periphery, dan Negara periphery--, dependency theory
menghasilkan tiga konsep sistem, yaitu :
1. International Division of Labour, adanya pembagian tenaga kerja dalam
sistem dunia internasional. Dalam hal ini, Negara periphery akan menjadi
buruh di Negara semi-periphery dan Negara Core. Lalu Negara semi-
periphery akan bekerja kepada Negara Core.
2. Class Distinction, adanya kesenjangan kelas diantara jenis-jenis Negara.
Elit-elit di Negara core, semi-periphery, dan periphery akan saling
bekerjasama sehingga sistem dunia yang ketergantungan itu akan tetap
terpelihara.
3. Global Capitalism, argumentasi ini menyatakan bahwa struktur pembagian
tenaga kerja dan kesenjangan kelas itu ada di dalam sebuah sistem global
yang lebih luas, yang disebut dengan Kapitalisme Global. Dalam sistem
ini, teori ekonomi liberal, perdagangan dan keuangan mendominasi dan
semuanya menyediakan semua yang dibutuhkan oleh Negara core.
Ditambah lagi, mulai dari MNC, perbankan, lembaga internasional seperti
World Bank, IMF, serta sistem pendidikan dan media global, semua itu
merupakan instrument bagi kaum-kaum borjuis di Negara core.6

5
Steans, op.cit., hal. 166-170
6
Bahan Ajar Allen G. Sens Ph.D, Queen's, Dosen Hubungan Internasional Universitas British
Columbia, mengenai Dependency Theory melalui
https://www.youtube.com/watch?v=JN6LlMY2ApQ&t=114s, pada 24 Maret 2017

5
Oleh karena itu, semua konsep sistem diatas menyediakan kebutuhan
Negara-negara Core dan tidak memberikan perkembangan atau kesempatan yang
sama kepada semua Negara, mereka justru memberikan dukungan terhadap
dominasi dan eksploitasi. Dari dependency theory, mereka menanyakan
bagaimana bisa Negara-negara dari Dunia Ketiga berkembang di dalam sistem
yang mengahalangi mereka untuk berkembang, sehingga hal ini disebut sebagai
underdevelopment (pinggiran).

Salah satu contoh dari dependency theory yang bisa kita lihat di Indonesia
adalah adanya perusahaan minyak Indonesia, yang rela melepaskan
kewenangannya mengolah dalam pengeboran minyak sendiri dan dialihkan
kepada hak asing untuk mengekspolorasi kekayaan Indonesia. Dalam hal ini
Indonesia hanya mendapatkan keuntungan yang jauh lebih sedikit dibandingkan
Negara yang mengelolanya. Kasus ini menunjukkan betapa ketergantungan
Indonesia sebagai Negara semi-periphery terhadap Negara-negara maju atau
Negara core, terutama dalam hal finansial yang ditandai dengan masuknya FDI
(Foreign Direct Investment) dan MNC (Multinational Coorporation) yang justru
memiliki kekuasaan lebih besar dibanding Indonesia selaku pemilik "tanah" serta
transfer teknologi yang di berikan pihak asing. Sifat ketergantungan Indonesia
terhadap negara maju tak bisa dielakkan begitu saja, sehingga Indonesia hal perlu
mereformasi sistem dan kebijakan pemerintah pada sektor ekonomi dan sektor
lainnya sehingga ketergantungan Indonesia terhadapa negara-negara maju dapat
diminimalisir.

Kritikan terhadap Globalisme

Menurut Steans dan Pettiford, kritik terbesar mengenai globalisme adalah


Pertama, Kelompok globalism menekankan bahwa negara-negara miskin hanya
memiliki sedikit kemungkinan untuk memperbaiki posisi mereka. Hal ini
menunjukkan bahwa kelompok globalism mengabaikan eksistensi perjuangan dan
usaha-usaha yang dilakukan oleh masyarakat di negara-negara miskin untuk
memperbaiki keadaan mereka. Kedua, globalisme mampu menunjukkan kejahatan
kapitalisme internasional tetapi tidak punya cara untuk mengubahnya. Ketiga,
kritik selanjutnya adalah globalisme bersifat reduksionis. Dengan kata lain,

6
globalisme mereduksi semua fenomena---perang, krisis ekonomi, kesenjangan,
aspek-apek identitas, dan sebagainyake dalam dinamika kelas sosial dan
perjuangan kelas. Ini berarti bahwa kaum globalism telah gagal mempertanyakan
seluruh pertanyaan tentang gender, etnititasm dan identitas lainnya. Keempat,
kritik lainnya memusatkan perhatian pada cara memahami ide tentang
kepentingan. Benarkah kepentingan-kepentingan itu ditentukan oleh kelas sosial?
Apakah kepentingan-kepentingan tersebut benar-benar terbatas pada kelas sosial
saja?

Perspektif Globalisme Dewasa Ini

Globalisme dewasa ini lebih menampilkan pemikiran yang menjelaskan


perkembangan dan ciri-ciri masyarakat modern dalam skala global yang sudah
dipengaruhi oleh perkembangan ekonomi dan teknologi. Menurut Castells dalam
era informasi perekonomian makin dicirikan oleh jejaring global yang
mengintegrasikan modal, manajemen dan informasi di mana akses kepada
teknologi menentukan produktivitas dan daya saing. Bersamaan dengan itu,
identitas diri (self) makin dipengaruhi oleh jejaring masif yang melingkupinya
yang pada gilirannya menentukan parameter tentang inklusivitas dan ekslusivitas
dalam interaksi sosial.7

Selain itu, Michael Hardt dan Antonio Negri berasumsi bahwa daripada
menggunakan konsep imperialisme, sebaiknya digunakan konsep empire yang
memiliki jaringan-jaringan tersendiri di negara-negara dan perusahaan yang
mendominasi sistem perekonomian dunia.

Proses globalisasi ekonomi juga ditandai dengan adanya lembaga


keuangan internasional seperti IMF dan World Bank yang berorientasi pada pasar
telah memunculkan kesadaran akan pentingnya demokrasi global. Selain
demokrasi pada sebuah negara (nation state), ternyata dunia juga membutuhkan
demokrasi global untuk mencapai tujuan-tujuan perekonomiannya. Sebenarnya,
tatanan dan struktur ekonomi global yang ada pada saat ini merupakan warisan
dari sistem Bretton Woods yang diciptakan pada akhir Perang Dunia II. Sistem ini
7
Manuel Castells dalam Jemadu, Aleksius. 2008. Politik Global dalam Teori & Praktik. Jakarta:
Graha Ilmu.

7
berkembang dengan tiga lembaga utama, yaitu IMF, World Bank (IBRD) dan
GATT (WTO). Dasar pemikiran pada saat itu adalah untuk mencapai stabilitas
ekonomi dan menghindari perang dunia, maka haruslah tercipta koordinasi
internasional di mana pada setiap negara akan tercipta rasa saling ketergantungan
satu sama lain. Selain itu, didirikanlah lembaga-lembaga internasional dengan
sistem tertutup yang bisa dikatakan digunakan sebagai alat bagi negara-negara
maju. IMF, World Bank, dan WTO memiliki sinergi yang kuat di mana ketiganya
bekerja secara terpadu dan saling memperkuat fungsi masing-masing.

Kesimpulan

Globalisme merupakan sebuah perspektif luas yang merujuk pada


pemikiran Marxis, Hobson, dan Lenin. Menurut perspektif globalisme, pertanyaan
dasar adalah mengapa Negara-negara Dunia Ketiga tidak berkembang
sebagaimana telah direncanakan, sehingga muncullah dua varian perspektif
globalisme yang pling terkenal, yaitu teori ketergantungan (dependency theory)
dan teori sistem dunia. Menurut teori ini, tatanan dunia dibentuk oleh sistem
kapitalis global, yang mana ditandai dengan adanya kesenjangan dan eksploitasi
kaum proletar oleh kaum borjuis. Teori-teori inilah menjawab mengapa banyak
Negara-negara dunia ketiga tetap dalam keadaan underdevelopment (terbelakang).

Referensi

Manuel Castells dalam Jemadu, Aleksius. 2008. Politik Global dalam Teori & Praktik. Jakarta:
Graha Ilmu.

Prayuda, Rendy. 2015. Globalism/Structuralism. Materi disampaikan pada perkuliahan Pengantar


Hubungan Internasional, Departemen Hubungan Internasional, Universitas Riau.

Sens, Allen G. Dependency Theory. Universitas British Columbia, melalui


https://www.youtube.com/watch?v=JN6LlMY2ApQ&t=114s, pada 24 Maret 2017.

Steans, Jill dan Lloyd Pettiford. 2009. Hubungan Internasional: Perspektif dan Tema. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.

Viotti, Paul R. dan Mark V. Kauppi. 1987. International Relations Theory: Realism, Pluralism,
Globalism and Beyond. USA: Macmillan Publishing Company.

Anda mungkin juga menyukai