Anda di halaman 1dari 26

BAB I

LAPORAN KASUS

2.1 Identitas Penderita


Nama penderita : An. AF Nama Ayah : Tn. F
Umur : 7 tahun 5 bulan 7 hari Umur : 47 tahun
Tanggal lahir : 24 Maret 2017 Pekerjaan : Pegawai Swasta
Jenis kelamin : Laki-laki Pendidikan : SMP
Alamat : Tanjungsari, Kendal Nama Ibu : Ny. M
No. RM/Reg : C6502XX/91221xx Umur : 39 tahun
Masuk RS : 16 Agustus 2017 Pekerjaan : ibu rumah tangga
Bangsal : Anak Pendidikan : SMP

2.2 DATA DASAR


Anamnesis
Alloanamnesis terhadap ibu pasien, dan data pemeriksaan penunjang dari rekam medis
pasien pertama kali pada Agustus 2017 pukul 10.00 di bangsal anak C1 lantai 1
a. Keluhan Utama : Muncul kemerahan di kulit
b. Riwayat Penyakit Sekarang:
Tujuh hari sebelum masuk rumah sakit pasien mendapatkan imunisasi MR Setelah
mendapatkan imunisasi pasien tidak menunjukkan gejala apapun. Keesokan harinya pasien
mengalami demam, demam tidak diukur sehingga ibu tidak tahu pasti berapa suhu anak,
kemudian ibu pasien memberi obat parasetamol. Setelah minum obat tersebut, demam
sempat turun namun kembali naik.

Lima hari kemudian, demam masih dirasakan anak, demam dirasakan terus menerus
sepanjang hari, keluhan demam hilang dengan minum parasetamol namun kembali naik.
Batuk (-), pilek (-), BAB dan BAK tidak ada keluhan. Muncul bercak kemerahan di kulit.
bercak merah tidak meninggi dan tidak gatal. Bercak merah mulai timbul di bahu,
kemudian menyebar ke seluruh badan dan anggota gerak, sampai merata mengenai
seluruh tubuh. Ibu pasien juga menyadari mata pasien kemerahan, banyak didapatkan

1
kotoran di mata sehingga mata pasien lengket dan sulit untuk membuka mata, selain itu ibu
mengeluhkan bulu mata pasien rontok. Pasien juga menderita sariawan yang dirasakan
semakin lama semakin banyak, sangat nyeri, berdarah dan menjadi kering menghitam, hal ini
membuat pasien sulit untuk membuka mulutnya.

Keesokan harinya, orang tua pasien membawa pasien ke RSUD Kendal. Di RSUD
Kendal pasien masih demam, bercak merah di kulit seluruh tubuh menjadi menghitam, mata
pasien masih lengket, banyak kotoran mata dan sulit dibuka, pasien juga tidak bisa makan
karena sulit membuka mulutnya. Di RSUD Kendal pasien hanya diberi obat penurun panas
dan salep untuk kulitnya, kemudian dirujuk ke RSUP dr Kariadi.

c. Riwayat penyakit dahulu


Riwayat demam lama disangkal
Riwayat sering sesak disangkal
Riwayat alergi makanan dan obat-obatan disangkal
Riwayat alergi dingin/debu disangkal

d. Riwayat penyakit keluarga dan pohon keluarga (diberikan oleh ibu)


- Riwayat keluarga dengan alergi obat, cuaca maupun debu disangkal
- Riwayat batuk lama di keluarga disangkal
- Tidak ada anggota keluarga dengan keganasan.

Pohon Keluarga

I.

II.

III. SB , 8 bln

2
e. Riwayat Sosial Ekonomi
Ayah penderita seorang lulusan SMA, bekerja sebagai karyawan swasta di kantor
dengan penghasilan Rp 3.000.000 per bulan, ibu penderita lulusan SMA sebagi ibu rumah
tangga. Keluarga menanggung dua orang anak yang belum mandiri. Biaya pengobatan
menggunakan BPJS Non-PBI.

Kriteria Sosial Ekonomi menurut BPS (Badan Pusat Statistik)


1. Jumlah anggota keluarga (9)
(skor : 0)
2. Luas lantai bangunan :
a. < 8 m2 per kapita
b. > 8 m2 per kapita
(skor :0)
3. Jenis lantai bangunan tempat tinggal terluas :
a. Bambu/ rumbia/ kayu berkualitas rendah/ tembok tanpa diplester
b. Semen/ keramik/ kayu berkualitas tinggi
(skor : 1)
4. Jenis dinding bangunan tempat tinggal terluas :
a. Bambu/ rumbia/ kayu berkualitas rendah
b. Tembok/ kayu berkualitas tinggi
(skor : 1)
5. Fasilitas untuk buang air besar :
a. Bersama/ umum/ lainnya
b. Sendiri
(skor : 1)
6. Sumber air minum :
a. Sumur atau mata air tak terlindungi/ sungai/ air hujan
b. Air kemasan/ledeng/pompa/sumur atau mata air terlindungi
(skor : 1)

3
7. Sumber penerangan utama :
a. Bukan listrik
b. Listrik (PLN/non PLN)
(skor : 1)
8. Jenis bahan bakar untuk memasak sehari-hari :
a. Kayu/ arang/ minyak tanah
b. Gas/ listrik
(skor : 1)
9. Berapa kali dalam seminggu rumah tangga membeli daging/ susu/ ayam :
a. Tidak pernah membeli/ satu kali
b. Dua kali atau lebih
(skor : 0)
10. Berapa kali sehari biasanya rumah tangga makan :
a. Satu kali/ dua kali
b. Tiga kali atau lebih
(skor : 1)
11. Berapa stel pakaian baru dalam setahun biasanya dibeli oleh/ untuk setiap/
sebagian besar anggota keluarga :
a. Tidak pernah membeli/ satu kali
b. Lebih dari satu kali
(skor : 1)
12. Apabila ada anggota keluarga yang sakit apakah mampu berobat ke
Puskesmas atau Poliklinik :
a. Ya
b. Tidak
(skor : 1)
13. Lapangan pekerjaan utama kepala rumah tangga :
a. Tidak bekerja/ pertanian padi/ palawija
b. Perkebunan/ peternakan/ perikanan/ industri/ perdagangan/ angkutan/
jasa lainnya
(skor : 1)

4
14. Pendidikan tertinggi yang ditamatkan kepala keluarga :
a. SD/ MI ke bawah/ SLTP
b. SLTA ke atas
(skor : 1)
15. Apakah keluarga memiliki barang-barang berikut yang masing-masing
bernilai paling sedikit Rp 500.000,- :
a. Tidak ada
b. Tabungan/emas/TV berwarna/ternak/sepeda motor
(skor : 1)
16. Apakah rumah tangga pernah menerima kredit UKM/KUKM setahun lalu?
a. Tidak
b. Ya
(skor: 0)
Jumlah skor : 12
Kriteria BPS: Jumlah skor <10 = miskin, jumlah skor 10 = tidak miskin.
Kesimpulan : Keluarga tidak miskin menurut BPS.

2.3 Data Khusus


a. Riwayat Perinatal
Riwayat Prenatal
Pasien lahir dari ibu G1P0A0, 25 tahun, hamil 9 bulan. Saat hamil periksa > 4x di
bidan Puskesmas, minum vitamin dan tablet tambah darah, disuntik TT 1 kali.
Minum jamu/obat diluar resep dokter disangkal. riwayat demam tinggi disertai
kulit kemerahan/ruam (-), penyakit gula (-), darah tinggi (-), trauma (-), infeksi
selama kehamilan (-)

Riwayat Natal
Anak lahir spontan, di RSUD Wonosobo ditolong dokter. Lahir langsung menangis
dengan berat badan lahir 3200 gram, panjang badan lahir 49 cm, lingkar kepala tidak
diketahui, tidak biru-biru, tidak kuning, tidak sesak nafas. Anak terlihat aktif dan
menyusu dengan kuat.

5
Riwayat postnatal
Bayi rutin dibawa ke posyandu untuk imunisasi dan mengukur panjang badan, berat
badan, lingkar lengan atas, dan lingkar kepala

b. Riwayat perinatal pasien.

Keadaan
Riwayat Persalinan saat ini
No L/P Umur
(berat/keadaan lahir/penolong) (sehat/sakit/
meninggal)
1 L Aterm, spontan, lahir ditolong dokter, bayi lahir 7 tahun Sakit
langsung menangis, berat lahir 3200 gram,
panjang badan lahir 49 cm

c. Riwayat Kontrasepsi
Ibu pasien tidak pernah menggunakan KB

d. Riwayat Imunisasi
BCG : 1 x ( 1 bulan ), scar (+)
DPT : 3x ( 2,3,4 bulan )
Polio : 4x ( 0,2,3,4 bulan )
Hepatitis B : 4x ( 0,2,3,4 bulan )
Campak : 1x (9 bulan)
Kesan : Imunisasi dasar lengkap.

e. Riwayat nutrisi
Lahir 6 bulan: Asi ad libitum
6bulan- 12bulan: Asi ad libitum, nasi tim+lauk+sayur 3 kali sehari
12bulan-sekarang: Asi ad libitum, masakan keluarga porsi kecil 3 kali sehari
Kesan : ASI eksklusif, kualitas baik, kuantitas cukup

6
f. Riwayat tumbuh kembang
Pertumbuhan:
Berat badan lahir : 3300 gram
Panjang badan lahir : 50 cm
Berat badan bulan lalu : 18 kg
Berat badan sekarang : 18 kg
Panjang badan : 125 cm

-Longitudinal : arah garis pertumbuhan : loss of growth (T3)

Berdasarkan status srthropometri dengan WHO anthro plus :


WAZ : -1,73
HAZ : 0,19
WHZ : -3,16
Kesan: -Cross sectional: Gizi kurang, perawakan normal

7
Perkembangan :
Milestone
Tersenyum : 2 bulan
Miring : 3 bulan
Tengkurap : 4 bulan
Perkembangan sesuai usia

Riwayat kebutuhan dasar anak


Asuh : - ASI diberikan sejak lahir sampai saat ini usia 6 bulan
- Anak diberi makanan tambahan bubur susu 1x sehari, dan susu formula 1x
sehari
- Imunisasi DPT, Hepatitis B, dan polio belum diberikan
- Bila sakit anak diberikan obat yang dijual bebas terlebih dulu, bila tidak
sembuh baru berobat ke puskesmas atau rumah sakit
- Anak tinggal dengan paman, bibi dan sepupunya di dalam rumah permanen
milik paman.
- Sejak lahir anak diasuh oleh ibu, karena ayah telah meninggal dunia. Anak
tinggal di rumah kakek, bersama nenek dan paman.

Asih : - Anak merupakan anak yang diinginkan oleh keluarga.


- Kasih sayang diberikan oleh ibu, nenek, kakek, dan paman. Ayah penderita
meninggal sejak anak di kandungan usia 8 bulan
Asah : - Anak saat ini mengalami kemunduran motorik kasar semenjak sakit
dan dirawat.

2.4 Pemeriksaan Fisik


Anak laki-laki usia 6 bulan 4 hari, berat badan 5,6 kg panjang badan 64 cm, dengan LILA
12 cm
Keadaan umum: sadar, tampak ikterik, perut membesar
Tanda Vital : Frekuensi jantung : 122 x/mnt

8
Nadi : regular, isi dan tegangan cukup
Frekuensi nafas : 32 x/mnt
Suhu : 36,8 C
Saturasi oksigen : 99% (dengan O2 nasal 0,5L/mnt)
Kepala : Mesosefal
Rambut : hitam, tidak mudah dicabut,
Mata : konjungtiva palpebra tidak anemis, tidak ada sklera ikterik, mata merah
(+/+), bulu mata rontok (+/+)
Pupil : isokor 3 mm/3 mm, refleks cahaya/bulu mata/kornea normal
Telinga : tidak ada sekret, tidak teraba pembesaran kelenjar limfe retroaurikula.
Hidung : tidak ada napas cuping, tidak ada sekret
Mulut
Bibir : kering, krusta kehitaman
Mukosa : tidak kering, tidak ada bercak putih maupun ulkus.
Lidah : tidak ada atrofi papil, tidak ada bercak putih.
Tenggorok :Tonsil: T1-T1, tidak hiperemis
Faring : mukosa tidak hiperemis.
Leher : simetris, tidak ada pembesaran kelenjar limfe
Dada : bentuk dada normal, simetris statis dinamis, tidak ada retraksi
Paru
Inspeksi :simetris statis dinamis, tidak ada retraksi
Palpasi : stem fremitus kanan = kiri
Perkusi :sonor seluruh lapangan paru
Auskultasi :suara dasar: vesikuler normal, terdapat hantaran, ronkhi -/-
Jantung
Inspeksi : Iktus kordis tidak tampak.
Palpasi :Iktus kordis tidak kuat angkat.
Perkusi : Batas kanan atas : sela iga IIgaris parasternal kanan
Batas kanan bawah : sela iga IV garis parasternal kanan
Batas kiri atas : sela iga IIgaris parasternal kiri
Batas kiri bawah : sela iga V1 cm lateral garis midklavikularis kiri

9
Auskultasi :suara jantung I dan II normal, tidak ada bising, tidak ada gallop.
Abdomen
Inspeksi : cembung, venektasi (+)
Auskultasi : bising usus normal
Perkusi : timpani, pekak sisi meningkat, terdapat pekak alih
Palpasi :supel, tidak teraba massa,
Limpa : tidak teraba
Hepar : teraba 2 cm bawah arcus costae, permukaan rata, tepi tumpul
Inguinal : tidak teraba pembesaran kelenjar limfe.
Anggota gerak
superior inferior

Edema -/- -/-

Sianosis -/- -/-

Refleks fisiologis +/+ normal +/+ normal

Refleks Patologis -/-

Gerakan Simetris

Tonus Normotonus

Klonus -/-

Kekuatan otot 5/5/5 5/5/5

Pucat -/- -/-

Pemeriksaan N.craniales
N. I : mencium bau : sulit dinilai
N.II, III : Refleks cahaya : normal
N.III, IV, VI : Gerak bola mata : normal
N.V, VII : Refleks kornea : normal

10
N.VIII : Respon pendengaran : normal
N.IX, X : Refleks menelan : normal
N. XI : Menoleh : normal
N.XII : Tidak ada deviasi lidah (-)

Pemeriksaan Status Nutrisi


- BB: 5600 gram. PB: 64cm. Lingkar kepala: 40 cm LILA : 12 cm
BBI: ..
- WAZ : -3,14SD
- HAZ : -1,75 SD
- WHZ : -2,87 SD
- HC :-2,77 SD
Kesan : Cross sectional : Gizi kurang, perawakan normal, mikrosefal

Pemeriksaan Penunjang
Hematologi
RSUD KRT Setjonegoro Wonosobo
Pemeriksaan Rujukan Satuan 16/8/17 24/8/17 28/8/17 14/8/17 15/8/17
Hematologi
Hemoglobin 10.1 12,9 g/ dL 11,9
Hematokrit 32 44 % 37,5
Eritrosit 3,2 5.2 10^6/ uL 4,87
MCH 21.00 33.00 Pg 24,4
MCV 73 109 fL 77
MCHC 26.0 34.0 g/dL 31,7
Leukosit 6 17.5 10^3/uL 11
Trombosit 150 400 10^3/uL 565
RDW 11,60 14,80 % 12,4
MPV 4,00 11,00 fL 8,1
Hitung jenis
Eosinofil 15 % 6
Basofil 01 % 0
Batang 25 % 2
Segmen 25 - 70 % 40
Limfosit 20 40 % 39
Monosit 48 % 10
Serologi

11
Tubex TF/Salmonella Interpretasi: (2) /
Typhi IgM <=2 : negatif
negative
3 : borderline
4-5 : indikasi
infeksi
demam
typhoid
>=6 : indikasi
kuat infeksi
demam
typhoid
Hasil Kultur Darah Tidak
ada
pertum
buhan
kuman

Imunoserologi
Feritin 30-350 Ng/mL 83557

X-Foto Thoraks AP 12/8/2017 di RSUD KRT Setjonegoro


Hasil : Tampak perselubungan semiopak inhomogen batas tak tegas di kedua pulmo, air
bronkogram (+)
Tak tampak penebalan pleural space bilateral
Kedua diafragma licin, tak mendatar
Cor, konfigurasi normal
Sistema tulang yang tervisualisasi intak
Kesan :
Pneumonia bilateral
Konfigurasi cor normal

12
BAB II
PEMBAHASAN

Nekrolisis epidermal toksik (Toxic Epidermal Necrolysis/TEN) adalah lesi kulit parah
yang disebabkan karena efek samping obat- obatan, ditandai dengan pengelupasan epidermis dan
membrane mukosa yang luas dengan angka kematian 30% -40%.1 Peningkatan angka kejadian
reaksi obat terlihat pada pasien dengan infeksi virus human immunodeficiency (HIV).2 TEN
merupakan gangguan yang berpotensi mengancam jiwa yang ditandai dengan eritema luas,
nekrosis, dan pengelupasan bula dari epidermis dan membrane mukosa. Tanpa penatalaksanaan
yang tepat, TEN dapat menyebabkan sepsis yang dapat berakibat pada kematian pasien. TEN
sebagian besar diinduksi oleh obat, isoniazid (INH) jarang dikaitkan dengan TEN.3 TEN
merupakan reaksi obat yang mengenai kulit yang jarang terjadi dengan angka kematian rata-rata
25% -35%, terutama pada pasien lansia pasien dengan multimorbiditas. Belum ada panduan
terapeutik yang dipatenkan, dan masih banyak kontroversi yang mendasari pemberian regimen
pengobatan.4 TEN merupakan reaksi mukokutan yang unik dan cepat berkembang yang ditandai
dengan adanya eritema, nekrosis dan pengelupasan bula dari epidermis yang hampir miripp
dengan kulit yang mengelupas karena luka bakar. TEN merupakan penyakit yang terjadi sangat
cepat dan berakibat fatal.5 Nekrolisis epidermal toksik (TEN) pertama kali diperkenalkan oleh
Lyell dan saat ini TEN disebut juga sindrom Lyell. Telah jelas disebutkan bahwa penyebab TEN
adalah penggunaan obat-obatan seperti sulfonamide, pyrazolon, barbiturate dan obat-obatan
antiepilepsi yang paling banyak memicu terjadinya TEN.1, 6
SJS dan TEN termasuk dua spektrum akhir dari epidermolisis kulit yang hebat yang
disebabkan oleh reaksi obat, keduanya dibedakan hanya dari seberapa luas pengelupasan kulit
yang terjadi. Kesamaan gambaran klinis, histopatologis, etiologi akibat obat, dan
mekanisme, membuat SJS dan TEN dikelompokkan menjadi satu kelompok penyakit
epidermal necrolysis. Karakteristik epidermal necrolysis (EN) adalah apoptosis keratinosit
dan pengelupasan epidermis sehingga area dermis terpapar lingkungan luar, serupa dengan luka
bakar. TEN dan SJS dibedakan berdasarkan luas perlukaan tubuh yang terlibat. Karakteristik SJS
adalah pengelupasan kulit kurang dari 10% total body surface area (TBSA), sedangkan lebih dari
30% TBSA terlibat pada TEN. Nekrolisis yang melibatkan 10% - 30% TBSA didefinisikan
sebagai SJS-TEN overlaping.1, 7

13
Luas permukaan tubuh yang terlibat pada pasien dapat dihitung menggunakan rumus
perhitungan luas luka bakar. Pada orang dewasa terdapat beberapa cara untuk menghitung
luas permukaan tubuh yang terlibat dalam luka bakar. Role of 9 merupakan cara yang paling
sering digunakan, dengan tambahan age-adjusted burn chart/diagram untuk perhitungan
luas permukaan tubuh dengan lebih detail. Cara-cara menghitung luas permukaan tubuh
dalam penanganan luka bakar tersaji dalam tiga gambar berikut ini:

14
Irwin Richard S., & Rippe James M. 2008. Burn Management, dalam: Irwin and
Rippes Intensive Care Medicine, 6th Edition. Lippincott Williams and Wilkins. p. (e-
book)

15
Sumber: Fritz, David A. 2008. Burn and Smoke Inhalation, dalam: Current Diagnosis and
Treatment Emergency Medicine, 6th Edition. Lange Medical Book Mcgraw-Hill
Companies. p. (e-book).

Luas area tubuh yang terlibat pada EN bukan hanya dihitung berdasarkan luas denuded area,
yaitu dermis yang terkelupas, namun juga luas denudable area yang ditandai dengan
Nikolsky sign (+). Denuded area pada pasien ini terdapat pada seluruh bagian belakang
tubuhnya, mulai dari regio cervikalis posterior sampai sebatas poplitea, dan ekstremitas
superior proksimal. Nikolsky sign pada pasien ini positif pada seluruh wilayah tubuh bagian
depan kecuali kulit kepala, kedua telapak tangan dan telapak kaki, dan pada regio cruris
posterior. Maka berdasarkan Berkow chart dan aged adjusted burn diagram jumlah
persentase luas area permukaan tubuh yang terlibat adalah:
Wajah (setengah permukaan kepala) : 3,5
Leher depan & belakang : 2
16
Tubuh depan-belakang : 26
Bokong kiri & kanan : 5
Genitalia : 1
Ekstremitas atas kanan kec. telapak : 8,25
Ekstremitas atas kiri kec. telapak : 8,25
Ekstremitas bawah kanan kec. telapak : 18,25
Ekstremitas bawah kiri kec. telapak : 18,25
Total : 90,5%
Berdasarkan klasifikasi penentuan diagnosis dalam kelompok penyakit EN yang digolongkan
menurut luas permukaan tubuh yang terlibat, pasien ini terdiagnosis menderita TEN atau
Toxic Epidermal Necrolysis.

Gejala dan Tanda


TEN mempengaruhi beberapa bagian tubuh, namun membrane mukosa adalah yang paling parah
terkena, seperti mulut, mata, dan vagina. Temuan yang parah dari TEN sering didahului dengan
demam yang terjadi 1 sampai 2 minggu. Gejala ini menyerupai gejala pada infeksi saluran
pernapasan atas yang umum terjadi. Saat ruam muncul, ruam dapat membesar dan bervariasi
mengenai bagian tubuh, dan biasanya perabaan hangat dan tampak kemerahan. Lapisan dermis
diisi dengan cairan yang merupakan reaksi sistem imun tubuh,biasanya akibat reaksi negative
terhadap antibiotik. Kemudian kulit mulai melorot dan dengan mudah akan mengelupas. Mulut
menjadi melepuh dan mengalami erosi, menyebabkan kesulitan dalam makan dan terkadang
mengharuskan makan melalui selang nasogastric melalui hidung atau selang lambung langsung
ke dalam perut. Mata juga terpengaruh, dimana akan menjadi bengkak, terbentuk krusta, dan
ulcerasi dan bahkan bisa terjadi kebutaan.1

17
Gambar 1. Tampilan khas pada TEN1

Diagnosis banding8

18
Patologi
TEN, seperti SJS dan EM, ditandai dengan adanya nekrosis epidermis dengan sedikit
berhubungan dengan inflamasi.

Penyebab
Alergi obat merupakan reaksi efek samping klinis yang didasari dan dapat dibuktikan secara
imunologis. Reaksi alergi obat tidak seperti kerja farmakologis obat dan dapat terjadi pada
pemberian dosis terapeutik. Reaksi alergi obat tidak dapat diprediksi; Meskipun demikian, ada
peningkatan risiko hipersensitivitas obat pada:
(1) Pasien dengan fibrosis kistik yang mendapat antibiotik;
(2) Penderita HIV / AIDS yang mendapat trimetoprim / sulfametoksazol dan menerima terapi
antiretroviral, abacavir;
(3) Populasi rentan lainnya seperti HanChinese yang memiliki gen HLA-B * 1502 (+) yang
menyebabkan SSJ dan TEN dari karbamazepin. Subjek yang memiliki HLA-B * 5801 (+)
memiliki risiko tinggi seperti pada allopurinol;
(4) Pasien dengan riwayat alergi yang kompatibel sebelumnya terhadap obat yang sama, kelas
yang sama, atau terapi yang potensial lainnya.9
TEN adalah reaksi merugikan yang jarang terjadi dan biasanya parah Riwayat penggunaan obat
terdaoat pada lebih dari 95% pasien dengan TEN. Obat-obatan yang banyak menyebabkan
terjadinya TEN adalah antibiotik seperti sulfonamida, obat anti inflamasi nonsteroid, allopurinol,
antimetabolite (metotreksat), obat antiretroviral, kortikosteroid, chlormezanone (anxiolytic), dan
antikonvulsan seperti fenobarbital, fenitoin, karbamazepin, dan asam valproate.6 Kondisi ini

19
mungkin juga diakibatkan oleh infeksi pada agen seperti Mycoplasma pneumoniae (M.
pneumoniae) atau virus herpes; dan transplantasi sumsum tulang atau organ lain.

Patogenesis
Secara mikroskopis, TEN menyebabkan kematian sel epidermis. Keratinosit, yang merupakan
sel yang sedikit ditemukan pada epidermis, dan sel kulit mengalami nekrosis (kematian sel).
TEN adalah reaksi obat yang mengenai kulit dengan angka kematian sekitar 30%. Ciri khas TEN
adalah pelebaran epidermis yang meluas akibat apoptosis keratinosit.5, 8, 10, 11 Terdapat asosiasi
genetic antara TEN dan populasi etnik tertentu. Patofisiologi TEN belum sepenuhnya dipahami;
Namun, model patogen saat ini mengimplikasikan ligan Fas, granulysin, dan oksigen reaktif.
Beberapa jenis terapi saat ini, seperti intravena imunoglobulin (IVIG) dan kortikosteroid, masih
membutuhkan evaluasi lebih lanjut.1

Diagnosis
Secara umum, jika terdapat riwayat klinis yang konsisten dengan SJS, dan lesi kulit mencakup
lebih dari 30% dari luas permukaan tubuh, diagnosis TEN dapat ditegakkan. Namun, terkadang
pemeriksaan jaringan secara mikroskopis diperlukan untuk membedakannya antara entitas lain
semacam itu seperti staphylococcal scalded skin syndrome. Kriteria histologis khas TEN
termasuk infiltrasi ringan limfosit yang mungkin mengaburkan dermoepidermal junction dan
menonjolkan kematian sel dengan perubahan vakuolar basal dan nekrosis sel. Tanda Nikolsky
hampir selalu ada pada TEN.

20
Gambar 2. Tanda Nikolsky1

Diagnosis dan Metode diagnostic

Diagnosis di satu sisi bergantung pada gejala klinis dan di sisi lain pada fitur histologis. Tanda
klinis yang khas awalnya meliputi daerah eritematosa dan makula pada kulit, di mana tanda
Nikolsky positif dapat diinduksi dengan tekanan mekanis pada kulit, diikuti beberapa menit
sampai jam onset pengelupasan epidermis yang ditandai dengan lecet. Yang perlu diperhatikan
adalah bahwa tanda Nikolsky tidak spesifik untuk identidikasi SJS /TEN. Keterlibatan mucosa,
termasuk okular, terjadi sesaat sebelum atau bersamaan dengan tanda di kulit pada hampir semua
kasus Untuk membedakan SJS, SJS-TEN dan TEN dapat digunakan Luas permukaan
pengelupasan kulit yang merupakan pembeda utama. Pemeriksaan histologis dari cryosections
langsung atau pemeriksaan formalin-fixed dari kulit yang mengalami nekrosis epidermis tersebar
luas pada semua lapisan mengkonfirmasi diagnosis. Untuk mengesampingkan adanya penyakit
autoimun, dilakukan pemeriksaan tambahan pewarnaan fluoresensi imun langsung dan tidak
adanya immunoglobulin dan / atau deposisi komplemen di epidermis dan / atau zona epidermal-

21
dermal harus terdeteksi. Diagnosis banding utama SJS / TEN adalah penyakit autoimun,
termasuk dermatosis IgA linier dan pemfigus paraneoplastik dan juga pemfiigus vulgaris dan
pemphigus bulosa, AGEP, erupsi obat bulosa diseminata dan staphylococcal scalded skin
syndrome (SSSS). SSSS adalah salah satu diagnosis banding yang paling penting di masa lalu,
namun kejadian saat ini sangat rendah dengan 0,09 dan 0,13 kasus per satu juta penduduk per
tahun.

Terapi obat

Beberapa modalitas terapi diberikan sebagai tambahan untuk terapi suportif pada beberapa
literatur. Steroid sistemik merupakan terapi standar yang digunakan hingga tahun 1990,
meskipun tidak ada manfaat yang berarti yang dibuktikan dengan control trial. Tidak adanya
bukti yang kuat mengenai manfaat, dan karena perbedaan pedoman dalam pemberian regimen
terapi steroid (terapi jangka pendek vs jangka panjang, variasi dosis regimen), penggunaannya
masih diperdebatkan. Studi monocenter retrospektif terbaru menunjukkan bahwa penggunaan
jangka pendek kortikosteroid dosis tinggi (dexamethasone) dapat memberikan manfaat. Studi
case control retrospektif terbaru oleh Schneck et al di Prancis dan Jerman menyimpulkan bahwa
kortikosteroid tidak memberikan manfaat yang signifikan pada angka mortalitas dibandingkan
dengan hanya pemberian terapi suportif.

Sebagian besar kasus tampaknya terkait dengan reaksi obat idiosinkratik. Obat yang paling
sering menyebabkan TEN adalah antibiotik (misalnya sulfonamida, beta-laktam, tetrasiklin dan
quinolones); antikonvulsan (misalnya fenitoin, fenobarbital dan carbamazapine); obat
antiretroviral; obat anti-inflamasi nonsteroid, dan allopurinol.6 Terdapat sebuah kesepakatan
umum dalam mempertimbangkan TEN sebagai manifestasi dari reaksi imun yang tidak
terregulasi terhadap sel epitel dan anti angiogenetik telah dievaluasi untuk pengobatan TEN.
Sayangnya, pada sebuah studi double blind, acak, dengan placebo terkontrol, mortalitas yang
lebih tinggi didapatkan pada kelompok yang diberi thalidomide, hal ini menunjukkan bahwa
thalidomide memiliki efek merugikan pada TEN

22
Mekanisme patogen yang diusulkan masih diperdebatkan, dan bukti manfaat perawatan individu
tidak memadai, dan dalam beberapa kasus bertentangan. Angka kematian tetap tinggi, dan
literature mengenai patogenesis TEN dan reaksi obat pada umumnya. Infeksi terutama pada M.
pneumoniae dan HSV telah dilaporkan menjadi penyebab yang paling umum untuk SJS pada
anak-anak di negara maju, dan obat-obatan merupakan pemicu terbanyak yang dilaporkan dalam
di India. IVIG muncul sebagai pilihan terapeutik dan bukan glukokortikoid.8 Tedapat kasus SSJ
dengan M. pneumoniae pada anak perempuan berusia 5 tahun yang sembuh dengan terapi IVIG,
hal ini menegaskan adanya tolerasi yang sangat baik dan dan potensi racun rendah dari IVIG saat
digunakan dengan tindakan pencegahan yang tepat pada pasien dengan factor risiko yang
potensial (insufisiensi ginjal, insufisiensi jantung, defisiensi IgA, risiko trombo-emboli)

Pendekatan terapeutik baru menargetkan pada sitokin proinflamasi TNFalfa yang telah diusulkan
oleh Hunger et al [48]. Mereka mengobati satu pasien dengan dosis tunggal antibodi antiTNF
chimeric (infliximab 5 mg / kg) dan melaporkan progresi penyakit tersebut berhenti dalam waktu
24 jam diikuti oleh reepitelialisasi lengkap dalam 5 hari. Meiss et al. melaporkan tiga kasus
dengan pustula exanthematous akut generalisata dan TEN serta respon terapi terhadap
infliximab. Pemberian etanercept reseptor TNF 25 mg pada hari ke 4 dan 8 setelah onset awal
pada satu kasus mengakibatkan terhentinya pengelupasan epidermis dalam 24 jam namun
berakibat pada kematian pasien. data saat ini tidak cukup untuk menyimpulkan potensi terapeutik
antagonis TNF pada TEN.

Meskipun belum ada standar intervensi terapeutik pada TEN, plasmapharesis (PP) dapat
digunakan untuk terapi pada pasien TEN yang kritis.12 Namun hal ini masih kontroversial.
Sebuah studi di Jepang menguji efektifitas plasmapheresis ditinjau dari jenis plasmapheresis,
pemberian berapa kali, dan outcome yang dihasilkan, namun dari data tersebut belum dapat
disimpulkan tentang potensinya karena jumlah sampel yang terlalu sedikit, factor perancu
termasuk terapi kombinasi dan factor lain yang berpotensi membiaskan hasil. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa pengobatan tidak diberikan karena pathogenesis yang belum jelas dan
kurangnya uji klinis acak. Peran kortikosteroid dan plasmaferesis pada pengobatan TEN masih
kontroversial.

23
TEN secara tradisional diobati dengan imunomodulator seperti glukokortikoid, gammaglobulin
intravena, siklofosfamid, thalidomida atau plasmapheresis. Cyclosporin A telah diuji sebagai
sebuah immunomodulator tunggal pada pasien dengan TEN.12 Meskipun Efek menguntungkan
CPP disarankan oleh penulis pada percobaan skala kecil ini, diperlukan penelitian yang lebih
besar untuk menegaskan hal ini dengan memberi perhatian khusus pada efek potensialnya.

Tatalaksana

Tatalaksana awal adalah menghentikan obat, melakukan perawatan di ruang perawatan


intensif/ICU, managemen suportif dan perbaikan nutrisi.5 Terapi pilihan kedua adalah IVIG.
Meskipun beberapa studi menunjukkan efek yang kurang berarti dengan pemberian terapi
IVIG.8, 13 Studi kontrol acak dibutuhkan untuk membuktikan manfaat IVIG pada TEN. Terapi
pilihan ketiga adalah siklosporin, siklofosfamid, plasmaferesis, pentoksifilin, N-acetylcysteine,
ulinastatin, infliximab, dan / atau koloni granulosit-faktor stimulasi (jika terdapat TEN dengan
leukopenia)

Prognosis
Dubia ad malam

Complications in the acute phase, prognosis and long-term sequelae Transdermal fluid loss may lead to
hypovolemia, changes in electrolyte levels and finally to increased catabolic metabolism in the blistering
conditions. Septicemia, mainly introduced through central venous lines, is the most frequent cause of
death in patients with TEN. The combination of hypovolemia and septicemia increases the risk for shock
and multi-organ failure.23,33 Involvement of tracheal and bronchial epithelium, which may develop in
up to 20% of the patients with TEN, is one of the most severe complications. Hypoxemia, hypocapnia
and metabolic alkalosis are indications for mechanical ventilation and result in an increased risk of
death.34 The prognosis of individual patients can be evaluated by applying the severity of illness score,
SCORTEN. Seven independent factors including age, skin detachment of 10% or more related to the BSA,
underlying malignant diseases, tachycardia and certain lab values are considered. For each positive item,
a score value (weight) of one is given, leading to a total between 0 and 7 with the higher score values
being indicative of a poorer prognosis (Table 3). SCORTEN is a reliable instrument concerning the
prognosis quoad vitam, but was not designed to predict any long-term sequelae.8, 14

Prognosis is linked to rapid identification of the causative drug and its discontinuation. It is crucial to
quickly establish proper clinical diagnosis, so that the causative drug may be discontinued and
appropriate treatment initiated. In SJS, the mortality rate is typically less than 5%, and sepsis is the main
cause of death. Prognosis does not seem to be affected by the type or the dose of the causative drug, or

24
by HIV infection. A score called SCORTEN developed by Bastuji-Garin et al. determines the variables as
predictors of prognosis and risk of death in patients with SJS and TEN.18 In addition to the SCORTEN
predictors, other factors determinant of poor prognosis include late withdrawal of the causative drug
and delay to transfer the patient to an aseptic or burn unit.15

1. Tiwari P, Panik R, Bhattacharya A, Ahirwa D. Toxic epidermal necrolysis: an update. Asian pacific
Journal of Tropical Disease 2013;3:85-92.
2. Saraogi PP, Nayak CS, Pereira RR, Dhurat RS. Inadvertent

provocative oral ondansetron use leading to toxic epidermal

necrolysis in an HIV-infected patient. Indian J Dermatol

25
2012; 57(6): 503.
3. Swami A, Gupta B, Bhattacharjee P. Response to Modified Antitubercular Drug Regime and
Antiretroviral Therapy in a Case of HIV Infection with Disseminated Tuberculosis with Isoniazid Induced
Toxic Epidermal Necrolysis. Case reports in infectious diseases 2012;2012:626709.
4. Patmanidis K, Sidiras A, Dolianitis K, et al. Combination of infliximab and high-dose intravenous
immunoglobulin for toxic epidermal necrolysis: successful treatment of an elderly patient. Case reports
in dermatological medicine 2012;2012:915314.
5. Ellender RP, Peters CW, Albritton HL, Garcia AJ, Kaye AD. Clinical considerations for epidermal
necrolysis. The Ochsner journal 2014;14:413-7.
6. Selvarajah LR, Derm AM, Choon SE, FRCP. Incidence of cutaneous adverse drug reactions among

medical inpatients of Sultanah Aminah Hospital Johor

Bahru. PubMed 2017;72.


7. Downey A, Jackson C, Harun N, Cooper A. Toxic epidermal necrolysis: review of pathogenesis
and management. Journal of the American Academy of Dermatology 2012;66:995-1003.
8. Mockenhaupt M. Stevens-Johnson syndrome and toxic epidermal necrolysis: clinical patterns,
diagnostic considerations, etiology, and therapeutic management. Seminars in cutaneous medicine and
surgery 2014;33:10-6.
9. Greenberger PA. Drug allergy. Allergy Asthma Proc 2012; 33(Suppl 1): S103-S107.
10. Oliveira A, Sanches M, Selores M. [Stevens-Johnson syndrome and toxic epidermal necrolysis].
Acta medica portuguesa 2011;24 Suppl 4:995-1002.
11. Schwartz RA, McDonough PH, Lee BW. Toxic epidermal necrolysis: Part I.

Introduction, history, classification, clinical features, systemic manifestations,

etiology, and immunopathogenesis. J Am Acad Dermatol. 2013; 69(2):173.e1-13.


12. . Schwartz RA, McDonough PH, Lee BW. Toxic epidermal necrolysis: Part II.

Prognosis, sequelae, diagnosis, differential diagnosis, prevention, and

treatment. J Am Acad Dermatol. 2013; 69(2):187.e1-16.


13. Fracaroli TS, Miranda LQ, Sodre JL, Chaves M, Gripp A. Toxic epidermal necrolysis induced by
lansoprazole. Anais brasileiros de dermatologia 2013;88:117-20.
14. W F, Endorf M, Cancio LC. Toxic epidermal Necrolysis Clinical Guidelines. Journal of Burn Care
and Research 2008;29.
15. Wong A, Malvestiti AA, Hafner Mde F. Stevens-Johnson syndrome and toxic epidermal
necrolysis: a review. Revista da Associacao Medica Brasileira 2016;62:468-73.

26

Anda mungkin juga menyukai