Anda di halaman 1dari 33

LAPORAN KASUS KECIL

HIPERTIROIDISME DENGAN ATRIAL FIBRILASI

Penyusun :

Qorry Amanda, dr.

Pendamping :

Utariyah Budiastuti, dr.

PROGRAM DOKTER INTERNSIP

RSUD BATANG

2016

1
BORANG PORTOFOLIO

NamaPeserta : Qorry Amanda, dr.


NamaWahana : RSUD Batang
Topik :HIPERTIROIDISME DENGAN ATRIAL FIBRILASI

TanggalKasus :05 Januari 2016


NamaPasien :Tn. R. No RM : 3400887
TanggalPresentasi: 25-03-2016 NamaPendamping :Utariyah Budiastuti,
dr.
TempatPresentasi : Ruang Komite Medik RSUD Batang
ObyektifPresentasi :
Keilmuan Ketrampilan Penyegaran
TinjauanPustaka
Diagnostik Manajemen Masalah Istimewa
Neonatus Bayi Anak Remaja Dewasa Lansia
Bumil
Deskripsi :
Tujuan : diagnosis, manajemen, prevensi
Bahan Bahasan : TinjauanPustaka Riset Kasus
Audit
Cara Pembahasan : Diskusi Presentasi dan diskusi Email Pos

2
LAPORAN KASUS
A. IDENTITAS PASIEN

Nama : Tn. R

Usia : 43 tahun

Alamat : Ngebong RT 1/2 Tersono Batang

Tanggal Masuk RS : 5-1-2016

Jam Masuk RS : 06:15 WIB

No. CM : 340887

Pekerjaan : Wiraswasta

Cara Pembayaran : Umum

B. ANAMNESIS

Keluhan Utama: Pusing

Riwayat Penyakit Sekarang:

Pasien datang ke IGD RSUD Batang diantar oleh kakak laki-lakinya dengan
keluhan kepalanya terasa pusing seperti mau jatuh. Pusing terutama dirasakan bila
pasien berpindah posisi. Pusing sudah dirasakan pasien selama kurang lebih 7 hari
SMRS. Pusing tidak mereda dengan istirahat ataupun obat warung yang pasien
konsumsi. Pusing dirasakan sangat mengganggu aktivitas kesehariannya sehingga
pasien memutuskan berobat ke IGD. Selain itu, pasien juga sering merasa berdebar-
debar yang hilang timbul dan sudah berlangsung lama, kurang lebih selama 10
tahun.
Pasien juga menyatakan memiliki gangguan tidur yang sudah lama terjadi namun
tidak
merasa terganggu. Gangguan tidur berupa susah untuk masuk tidur dan seperti tidak
pernah mengantuk. Sehari-harinya pasien mengaku frekuensi BAB 2-3 kali sehari dan
lembek. Pasien sering sekali merasa lapar sehingga makan 4-5 porsi sehari, namun
postur tubuhnya dirasa tetap kurus. Pasien juga menyatakan mudah merasa panas dan

3
berkeringat banyak. Pasien mengalami penurunan BB sebanyak 15 kg sejak 10 tahun
yang lalu Riwayat merasakan sesak napas, nyeri dada, mual, dan muntah disangkal.

Riwayat Penyakit Dahulu:

Tidak ada riwayat menderita penyakit darah tinggi, jantung, kencing manis,
maupun hipertiroid sebelumnya.

Riwayat Penyakit Keluarga:

Pasien sehari-hari berkerja di bengkel motor miliknya sekitar 8 jam


seharinya,
pasien tidak merokok atau memiliki kebiasaan minum minuman beralkohol. Pasien
tidak pernah berolahraga karena merasa sudah sering berkeringat setiap harinya.
Pasien
jarang tidur dan bila tidur hanya dalam durasi 2-3 jam lantaran sudah tidak
merasa
mengantuk.

Riwayat Sosial Ekonomi:

Pasien sehari-hari berkerja di bengkel motor miliknya sekitar 8 jam


seharinya,
pasien tidak merokok atau memiliki kebiasaan minum minuman beralkohol. Pasien
tidak pernah berolahraga karena merasa sudah sering berkeringat setiap harinya.
Pasien
jarang tidur dan bila tidur hanya dalam durasi 2-3 jam lantaran sudah tidak
merasa
mengantuk.

Kesan Ekonomi: Menengah ke atas.

C. PEMERIKSAAN FISIK

Pemeriksaan fisik dilakukan di IGD RSUD Batang tanggal 5 Januari 2016

TTV:

1. Tekanan Darah: 150/80 mmHg


2. Nadi: 96 kali per menit
3. Respiration Rate: 24 kali per menit
4. Suhu: 36.5 C

4
STATUS GENERALIS:

1. Keadaan Umum : Tampak sakit ringan, kooperatif, koheren


2. Kesadaran : Composmentis; E4V5M6
3. Kepala : Mesocephal, warna rambut hitam tidak mudah dicabut
4. Mata : Eksoftalmos ++/++ Conjungtiva anemis -/- Sklera ikterik
-/-
Pupil isokor 2mm/2mm reaktif +/+
5. THT : Napas cuping hidung -/- discharge -/- darah -/-
6. Cavum Oris : Bibir kering (-), lidah typhoid (-)
7. Regio Colli : Struma (+) teraba massa diameter kurang lebih 3 cm di
midline, tunggal, diffuse, immobile, teraba padat dan ikut bergerak saat
menelan, bruit (-) Limfadenopati (-), JVP tidak naik
8. Thorax Pulmo : SDV +/+ Rhonki -/- Wheezing -/- Stridor -/-
9. Cor : S1S2 ireguler, murmur (-), gallop (+)
10. Abdomen : Datar, Bising Usus (+) meningkat, timpani, nyeri tekan (-)
11. Ekstremitas : Hangat, nadi isi dan tegangan kuat, reguler, cepat,
simetris
kanan dan kiri ; capillary refill <2/<2, edem -/-, fine tremor kedua tangan +/
+

STATUS NEUROLOGIS:

1. Kesadaran kualitatif : Composmentis


2. GCS : E4V5M6
3. Reflek fisiologis : +/+
4. Reflek patologis : -/-
5. Tonus : normal/normal
6. Klonus : -/-
7. Kekuatan : 5/5
8. Sensorik : normal/normal

5
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. EKG (5 Januari 2016)

6
Interpretasi:
1.Irama: asinus; atrial
2.Regularitas: ireguler
3.Frekuensi: 14 x 10 = 140 beats per minute
4.Axis: Normoaxis
5.Zona Transisi: V3
6.Gelombang P: kecil, banyak
7.PR interval: tidak dapat dinilai
8.Gelombang QRS: durasi 0.12 s; q patologis (-); s persisten (-)
9.ST segmen: Isoelektrik; Tidak ada ST elevasi maupun ST depresi
10.Gelombang T: (+) normal
11.Kesimpulan: Atrial Fibrilasi

2. PEMERIKSAAN LABORATORIUM (5 Januari 2016)

No. Nama Pemeriksaan Hasil Nilai


Rujukan

1. Hemoglobin (Hb) 11.5 g/dl 11.5 -15.5

2. Leukosit 8.67 ul 4.500 - 13.500

3. Trombosit 246.000 ul 150.000-450.000

4. Eritrosit 5.585.000 uL 4.000.000 -


5.200.000

5. Hematokrit 32.9% 35.0-45.0

6. MCV 56.2 fl 77.0-95.0

7
7. MCH 19.7 pg 25.0-33.0

8. MCHC 35.0 g/dl 31.0-37.0

9. RDW-SD 33 fl 37-54

10. RDW-CV 18.6 % 11-16

11. LED 1 jam 25.0 mm/jam <10

12. LED 2 jam 40.0 mm/jam <20

13. Neutrofil 30.5 % 42-74

14. Glukosa Sewaktu 70 mg/dl 70-140

15. fT4 84 pmol/L 9-20

16. TSHs <0.005 uIU/mL Euthyroid: 0.25-5


Hyperthyroid: <0.15
Hypothyroid: >7

E. DIAGNOSIS KERJA
Struma Hipertiroid
Hipertensi Gr. I
Hipertiroidisme

F. PENATALAKSANAAN

IVFd RL 20 tpm

PTU 3 x 200 mg

Propanolol 3 x 20 mg

Amlodipin 1 x 5 mg

Aspilet 1 x 1 tab

EKG setiap hari

8
G. FOLLOW UP

LAPORAN HASIL FOLLOW UP (3 Januari - 6 Januari)


TANGGAL PERJALANAN PENYAKIT TERAPI YANG
DIBERIKAN

06/01/16 S: Tidak ada keluhan; minta ulang IVFd RL 20 tpm


O:
PTU 3 x 200 mg
TTV: t: 36.6; HR 90; TD: 137/93; RR: 22
Propanolol 3 x
20
KU: Baik
mg
Kes: CM / E4V5M6
Mata: Eksoftalmos +/+ CA-/- SI -/-
Amlodipin 1 x 5
mg
THT: discharge -/- NCH -/-
Thorax: SDV +/+ RH -/- WH-/- Aspilet 1 x 1
tab
Cor: s1s2 ireguler; murmur (-); gallop (-)
EKG setiap hari
Abd: Datar, BU (+) meningkat, supel, NT
epigastrium (+)
Ext: Hangat, nadi isi dan tegangan kuat,
edem -/-
EKG: kesan atrial fibrilasi

A:
Struma hyperthyroid

9
EKG 06/01/2016

Interpretasi:
1.Irama: asinus; atrial
2.Regularitas: ireguler
3.Frekuensi: 9 x 10 = 90 beats per minute
4.Axis: Normoaxis
5.Zona Transisi: V3
6.Gelombang P: kecil, banyak
7.PR interval: tidak dapat dinilai
8.Gelombang QRS: durasi 0.12 s; q patologis (-); s persisten (-)
9.ST segmen: Isoelektrik; Tidak ada ST elevasi maupun ST depresi
10.Gelombang T: (+) normal
11.Kesimpulan: Atrial Fibrilasi

10
Pasien APS tgl 7 Januari 2016
HASIL PEMBELAJARAN

Subyektif : Auto dan alloanamnesis dilakukan IGD RSUD Batang pada tanggal 5 Januari
2016

Keluhan utama : Pusing

Riwayat Penyakit Sekarang :

Pasien datang ke IGD RSUD Batang diantar oleh kakak laki-lakinya dengan
keluhan
kepalanya terasa pusing seperti mau jatuh. Pusing terutama dirasakan bila pasien
berpindah
posisi. Pusing sudah dirasakan pasien selama kurang lebih 7 hari SMRS. Pusing tidak
mereda
dengan istirahat ataupun obat warung yang pasien konsumsi. Pusing dirasakan sangat
mengganggu aktivitas kesehariannya sehingga pasien memutuskan berobat ke IGD.
Selain itu,
pasien juga sering merasa berdebar-debar yang hilang timbul dan sudah berlangsung
lama,
kurang lebih selama 10 tahun. Pasien juga menyatakan memiliki gangguan tidur yang
sudah
lama terjadi namun tidak merasa terganggu. Gangguan tidur berupa susah untuk masuk
tidur
dan seperti tidak pernah mengantuk. Sehari-harinya pasien mengaku frekuensi BAB 2-3
kali
sehari dan lembek. Pasien sering sekali merasa lapar sehingga makan 4-5 porsi
sehari, namun
postur tubuhnya dirasa tetap kurus. Pasien juga menyatakan mudah merasa panas dan
berkeringat banyak. Pasien mengalami penurunan BB sebanyak 15 kg sejak 10 tahun
yang lalu
Riwayat merasakan sesak napas, nyeri dada, mual, dan muntah disangkal. Pasien tidak
pernah
berolahraga karena merasa sudah sering berkeringat setiap harinya. Pasien jarang
tidur dan bila
tidur hanya dalam durasi 2-3 jam lantaran sudah tidak merasa mengantuk.

Objektif :

Seorang laki-laki, usia 43 tahun. Pada pemeriksaan fisik ditemukan hasil


sebagai
berikut : pada pemeriksaan mata ditemukan eksoftalmos pada kedua mata. Pada
pemeriksaan
regio colli ditemukan struma tiroid berupa massa diameter 3 cm di midline tunggal
diffuse,
immobile, padat, dan ikut bergerak saat menelan. Pada pemeriksaan Jantung
didapatkan s1s2
yang sangat ireguler disertai suara tambahan gallop. Pada pemeriksaan Abdomen
ditemukan
bising usus lebih meningkat dibanding frekuensi normal biasanya. Tanda vital :
tekanan darah
150/80 mmHg, nadi 96 kali/menit, laju nafas 24 kali per menit, suhu 36,50 C. Pada
pemeriksaan EKG didapatkan atrial fibrilasi. Dari hasil pemeriksaan laboratorium
darahdidapatkan hipertiroidisme. Dari data-data tersebut, menunjang diagnosis
hipertiroidisme
dengan atrial fibrilasi.
11
Assesment :Hipertiroidisme, Atrial fibrilasi, Hipertensi Gr. I

12
TINJAUAN PUSTAKA
DEFINISI
Tiroid merupakan kelenjar pada leher yang menghasilkan
hormon yang
bertanggungjawab pada metabolisme sel-sel di seluruh tubuh,
termasuk jantung.
Hipertiroidisme adalah suatu istilah yang merujuk pada peningkatan kadar hormon
tiroid dalam
tubuh. Hormon tiroid. Sekumpulan gejala yang disebabkan oleh kondisi ini disebut
tirotoksikosis. Salah satu menifestasi tirotoksikosis adalah disritmia jantung
berupa atrial
fibrilasi.
Atrial fibrilasi (AF) adalah aritmia jantung menetap yang paling umum
didapatkan.
Ditandai dengan ketidakteraturan irama dan peningkatan frekuensi atrium sebesar
350-650
x/menit sehingga atrium menghantarkan implus terus menerus ke nodus AV. Konduksi ke
ventrikel dibatasi oleh periode refrakter dari nodus AV dan terjadi tanpa diduga
sehingga
menimbulkan respon ventrikel yang sangat ireguler.

KLASIFIKASI
Menurut kelainan bentuknya, gangguan tiroid dapat dibedakan dalam 2 bentuk:
Difus: pembesaran merata pada lobus kanan kiri dan disebut struma
diffusa
Nodul: terdapat benjolan seperti bola bisa tunggal atau multipel.

Menurut kelainan fungsinya, gangguan tiroid dibedakan dalam 3 jenis:

Hipertiroid
Hipotiroid
Eutiroid

Sedangkan untuk atrial fibrilasi, beberapa keperpustakaan tertulis ada


beberapa
sistem klasifikasi atrial fibrilasi yang telah dikemukanakan, seperti :
Berdasarkan laju respon ventrikel, atrial fibrilasi dibagi menjadi :
AF respon cepat (rapid response) dimana laju ventrikel
lebih dari 100
kali permenit
AF respon lambat (slow response) dimana laju ventrikel
lebih kurang
dari 60 kali permenit
AF respon normal (normo response) dimana laju ventrikel
antara 60-100
kali permenit. 2.

13
Berdasarkan keadaan Hemodinamik saat AF muncul, maka dapat
diklasifikasikan menjadi :
AF dengan hemodinamik tidak stabil (gagal jantung, angina atau
infark
miokard akut)
AF dengan hemodinamik stabil
Klasifikasi menurut American Heart Assoiation (AHA), atrial fibriasi (AF)
dibedakan menjadi 4 jenis, yaitu22 :
AF deteksi pertama yaitu tahap dimana belum pernah terdeteksi AF
sebelumnya dan baru pertama kali terdeteksi.
AF paroksimal bila atrial fibrilasi berlangsung kurang dari 7 hari.
Lebih
kurang 50% atrial fibrilasi paroksimal akan kembali ke irama sinus
secara spontan dalam waktu 24 jam. Atrium fibrilasi yang episode
pertamanya kurang dari 48 jam juga disebut AF Paroksimal.
AF persisten bila atrial fibrilasi menetap lebih dari 48 jam tetapi
kurang
dari 7 hari. Pada AF persisten diperlukan kardioversi untuk
mengembalikan ke irama sinus.
AF kronik atau permanen bila atrial fibrilasi berlangsung lebih
dari 7
hari. Biasanya dengan kardioversi pun sulit untuk mengembalikan ke
irama sinus (resisten).

Selain dari 5 kategori yang disebutkan diatas, yang terutamavditentukan oleh awitan
dan durasi episodenya, terdapat beberapavkategori FA tambahan menurut ciri-ciri
dari
pasien:27

14
FA sorangan (lone): FA tanpa disertai penyakit struktur kardiovaskular
lainnya, termasuk hipertensi, penyakit paru terkait atau abnormalitas
anatomi
jantung seperti pembesaran atrium kiri, dan usia di bawah 60 tahun.
FA non-valvular: FA yang tidak terkait dengan penyakit rematik mitral,
katup
jantung protese atau operasi perbaikan katup mitral.
FA sekunder: FA yang terjadi akibat kondisi primer yang menjadi pemicu
FA,
seperti infark miokard akut, bedah jantung, perikarditis,
miokarditis,
hipertiroidisme, emboli paru, pneumonia atau penyakit paru akut
lainnya.
Sedangkan FA sekunder yang berkaitan dengan penyakit katup disebut FA
valvular.
Respon ventrikel terhadap FA, sangat tergantung pada sifat
elektrofiiologi dari
NAV dan jaringan konduksi lainnya, derajat tonus vagal serta
simpatis, ada atau
tiadanya jaras konduksi tambahan, dan reaksi obat.

Berdasarkan kecepatan laju respon ventrikel (interval RR) maka FA dapat dibedakan
menjadi:

i. FA dengan respon ventrikel cepat: Laju ventrikel >100x/menit

15
ii. FA dengan respon ventrikel normal: Laju ventrikel 60-100x/menit
iii. FA dengan respon ventrikel lambat: Laju ventrikel <60x/menit

ETIOPATOGENESIS
Faktor-faktor yang dapat memengaruhi terjadinya gangguan tiroid adalah usia,
jenis
kelamin, genetik, kebiasaan merokok, stres, riwayat autoimun pada keluarga, zat
kontras yang
mengandung iodium, obat-obatan, dan lingkungan. Patogenesis penyakit hipertiroid
sampai
sejauh ini belum diketahui secara pasti.
Hormon tiroid memiliki efek pada otot jantung, sirkulasi perifer dan sistem
saraf
simpatis yang berpengaruh terhadap hemodinamik kardiovaskuler pada penderita
hipertiroid.
Perubahan yang utama meliputi: peningkatan denyut jantung, kontraktilitas otot
jantung, curah
jantung, relaksasi diastolik dan penggunaan oksigen oleh otot jantung serta
penurunan
resistensi vaskuler sistemik dan tekanan diastolik. Gangguan fungsi kelenjar tiroid
dapat
menimbulkan efek yang dramatik terhadap sistem kardiovaskuler, seringkali
menyerupai
penyakit jantung primer.1
Dari berbagai penelitian dan percobaan pada hewan, terbukti bahwa hormon tiroid
mempunyai
pengaruh langsung maupun tidak langsung pada jantung yang selanjutnya akan
menghasilkan
efek inotropik dan kronotropik positif pada jantung. Selain gejala-gejala klinis
hipertiroid,
pemeriksaan kadar hormon tiroid plasma dan tes fungsi kelenjar tiroid perlu
diperiksa pada
tiap-tiap penderita dengan keluhan atau kelainan jantung yang belum jelas
penyebabnya
sehingga dapat ditegakkan diagnosis penyakit jantung hipertiroid.
Pengaruh hormon tiroid pada sistem seluler diperantarai oleh triiodotironin
(T3) yang
terikat pada reseptor-reseptor inti sel. Sebagian dari kompleks reseptor T3 yang
terikat pada
DNA meregulasi ekspresi gen, terutama yang mengatur perputaran kalsium pada otot
jantung.
T3 juga memiliki potensi diluar nukleus yang sifatnya tidak tergantung ikatan
reseptor T3 inti
atau peningkatan sintesis protein. Efek-efek diluar inti ini menyebabkan stimulasi
asam amino,
gula dan transport kalsium secara cepat. Perubahan fungsi jantung diperantarai oleh
regulasi T3
oleh gen-gen yang spesifik pada otot jantung. 1,3
Pengaruh hormon tiroid terhadap efek adrenergik. Beberapa peran T3 pada
jantung
menunjukkan manifestasi klinis yang menyerupai dengan stimulasi terhadap
adrenergik.
Interaksi antara T3 dengan sistem saraf adrenergik dapat dibuktikan melalui
kemampuan
bloker untuk meringankan beberapa gejala hipertiroid. Hal ini melibatkan densitas
reseptor
adrenergik yang meningkat, peningkatan ekspresi protein G (nukleotida guanin yang
terikat
protein) atau peran T3 yang menyerupai katekolamin. Walaupun mekanisme penderita
16
hipertiroid menunjukkan sensitivitas yang meningkat terhadap katekolamin masih
belum
dimengerti, namun sudah jelas bahwa efek T3 pada jantung tidak tergantung stimulasi
reseptor
adrenergik. 1,3
Stimulasi kronotropik dan inotropik. Hipertiroid diduga meningkatkan denyut jantung
dan
kontraktilitas otot jantung. Pengukuran fungsi jantung, meliputi: fraksi ejeksi
ventrikel kiri,
irama ventrikel, relaksasi diastolik dan curah jantung menunjukkan peningkatan.
Hasilnya,
curah jantung meningkat sebesar 250% dan terjadi pelebaran tekanan nadi. Perubahan
fungsional ini terjadi akibat peningkatan ekspresi myocardial sarcoplasmic
reticulum calcium
dependent adenosine triphophate, penurunan ekspresi penyekat kalsium, fosfolamban
serta
penurunan resistensi vaskuler sistemik.

Pada dasarnya, jantung dapat melakukan kontraksi karena terdapat adanya


sistem
konduksi sinyal elektrik yang berasal dari nodus sino-atrial (SA). Pada atrial
fibriasi, nodus SA
tidak mampu melakukan fungsinya secara normal, hal ini menyebabkan tidak teraturnya
konduksi sinyal elektrik dari atrium ke ventrikel. Akibatnya, detak jantung menjadi
tidak
teratur dan terjadi peningkatan denyut jantung. Keadaan ini dapat terjadi dan
berlangsung
dalam menit ke minggu bahkan dapat terjadi bertahun-tahun. Kecenderungan dari
atrial
fibrilasi sendiri adalah kecenderungan untuk menjadi kronis dan menyebabkan
komplikasi lain.
Atrial fibrilasi terjadi karena meningkatnya kecepatan dan tidak
terorganisirnya sinyal-
sinyal listrik di atrium, sehingga menyebabkan kontraksi yang sangat cepat dan
tidak teratur
(fibrilasi). Sebagai akibatnya, darah terkumpul di atrium dan tidak benar-benar
dipompa ke
ventrikel. Ini ditandai dengan heart rate yang sangat cepat sehingga gelombang P di
dalam
EKG tidak dapat dilihat. Ketika ini terjadi, atrium dan ventrikel tidak bekerja
sama
sebagaimana mestinya.

MANIFESTASI KLINIS

17
Gejala-gejala hipertiroidisme berupa manifestasi hipermetabolisme dan
aktifitas
simpatis yang berlebihan.5 Pasien mengeluh lelah, gemetar, tidak tahan panas,
keringat
semakin banyak bila panas, kulit lembab, berat badan menurun walaupun nafsu makan

meningkat, palpitasi, takikardi, diare dan kelemahan serta atrofi otot.2,3,5


Manifestasi
ekstratiroidal berupa oftalmopati dan infiltrasi kulit lokal yang biasanya terbatas
pada tungkai
bawah. Oftalmopati yang ditemukan pada 50% sampai 80% pasien ditandai dengan mata
melotot, fissura palpebra melebar, kedipan berkurang, lid lag (keterlambatan
kelopak mata
dalam mengikuti gerakan mata) dan kegagalan konvergensi.

18
Pada dasarnya, atrial fibrilasi tidak memberikan tanda dan gejala yang khas
dan
spesifik pada perjalanan penyakitnya. Umumnya gejala dari atrial fibrilasi adalah
peningkatan denyut jantung, ketidakteraturan irama jantung dan ketidakstabilan
hemodinamik. Disamping itu, atrial fibrilasi juga memberikan gejala lain yang
diakibatkan oleh penurunan oksigenisasi darah ke jaringan, seperti pusing,
kelemahan,
kelelahan, sesak nafas dan nyeri dada. Akan tetapi, lebih dari 90% episode dari
atrial
fibrilasi tidak menimbulkan gejalagejala tersebut.
Sering pada pasien yang berjalan, pasien merasakan sakit kepala seperti
berputar-putar dan melayang tetapi tidak sampai pingsan. Serta nadi tidak teratur,
cepat,
dengan denyut sekitar 140x/menit. Atrial fibrilasi dapat disertai dengan pingsan
(syncope) ataupun dengan pusing yang tak terkendali. Kondisi ini akibat menurunnya
suplai darah ke sitemik dan ke otak.
Baru-baru ini dikenalkan skor simtom yang
disebut skor
EHRA (European Heart Rhythm Association). Skor ini adalah alat klinis
sederhana yang dapat digunakan untuk menilai perkembangan
gejala
selama penanganan FA. Skor klinis ini hanya memperhitungkan derajat gejala yang
benar-benar disebabkan oleh FA, dan diharapkan skor
tersebut dapat
berkurang seiring dengan konversi ke irama sinus atau dengan
kendali
laju yang efektif.

19
DIAGNOSIS
Penegakkan diagnosis gangguan tiroid berdasarkan tanda dan gejala serta
pemeriksaan
laboratorium.

Fibrilasi atrium adalah takiaritmia supraventrikular yang khas, dengan


aktivasi atrium
yang tidak terkoordinasi mengakibatkan perburukan fungsi mekanis atrium. Pada
elektrokardiogram (EKG), ciri dari FA adalah tiadanya konsistensi gelombang P, yang
digantikan oleh gelombang getar (firilasi) yang bervariasi amplitudo, bentuk dan
durasinya.
Pada fungsi NAV yang normal, FA biasanya disusul oleh respons ventrikel yang juga
ireguler,
dan seringkali cepat.

Ciri-ciri FA pada gambaran EKG umumnya sebagai berikut:


a. EKG permukaan menunjukkan pola interval RR yang ireguler
b. Tidak dijumpainya gelombang P yang jelas pada EKG permukaan.
Kadang-
kadang dapat terlihat aktivitas atrium yang ireguler pada
beberapa sadapan
EKG, paling sering pada sadapan V1.

20
c. Interval antara dua gelombang aktivasi atrium tersebut
biasanya bervariasi, umumnya kecepatannya melebihi 450x/
menit.

21
TATALAKSANA
Walaupun mekanisme autoimun merupakan faktor utama yang berperan dalam
patogenesis terjadinya sindrom penyakit Graves, namun penatalaksanaannya terutama
ditujukan untuk mengontrol keadaan hipertiroidisme.2,7 Sampai saat ini dikenal ada
tiga jenis
pengobatan terhadap hipertiroidisme akibat penyakit Graves, yaitu: Obat anti
tiroid,
pembedahan dan terapi yodium radioaktif.17 Pilihan pengobatan tergantung pada
beberapa hal
antara lain berat ringannya tirotoksikosis, usia pasien, besarnya struma,
ketersediaan obat
antitiroid dan respon atau reaksi terhadapnya serta penyakit lain yang menyertainya

22
A. Obat Antitiroid: Golongan Tionamid
Terdapat 2 kelas obat golongan tionamid, yaitu tiourasil dan imidazol. Tiourasil
dipasarkan dengan nama propiltiourasil (PTU) dan imidazol dipasarkan dengan nama
metimazol dan karbimazol. Obat golongan tionamid lain yang baru beredar ialah
tiamazol yang isinya sama dengan metimazol. 1,2,4 Obat golongan tionamid
mempunyai efek intra dan ekstratiroid. Mekanisme aksi intratiroid yang utama
ialah
mencegah/mengurangi biosintesis hormon tiroid T3 dan T4, dengan cara menghambat
oksidasi dan organifikasi iodium, menghambat coupling iodotirosin, mengubah
struktur
molekul tiroglobulin dan menghambat sintesis tiroglobulin. Sedangkan mekanisme
aksi
ekstratiroid yang utama ialah menghambat konversi T4 menjadi T3 di jaringan
perifer
(hanya PTU, tidak pada metimazol).20 Atas dasar kemampuan menghambat konversi
T4 ke T3 ini, PTU lebih dipilih dalam pengobatan krisis tiroid yang memerlukan
penurunan segera hormon tiroid di perifer. Sedangkan kelebihan metimazol adalah
efek
penghambatan biosintesis hormon lebih panjang dibanding PTU, sehingga dapat
diberikan sebagai dosisi tunggal.17 Belum ada kesesuaian pendapat diantara para
ahli
mengenai dosis dan jangka waktu pengobatan yang optimal dengan OAT.18 Beberapa
kepustakaan menyebutkan bahwa obat-obat anti tiroid (PTU dan methimazole)
diberikan sampai terjadi remisi spontan, yang biasanya dapat berlangsung selama
6
bulan sampai 15 tahun setelah pengobatan. 10 Untuk mencegah terjadinya
kekambuhan
maka pemberian obat-obat antitiroid biasanya diawali dengan dosis tinggi. Bila
telah
terjadi keadaan eutiroid secara klinis, diberikan dosis pemeliharaan (dosis
kecil
diberikan secara tunggal pagi hari).19 Regimen umum terdiri dari pemberian PTU
dengan dosis awal 100-150 mg setiap 6 jam. Setelah 4-8 minggu, dosis dikurangi
menjadi 50-200 mg, 1 atau2kalisehari.18 Propiltiourasil mempunyai kelebihan
dibandingkan methimazole karena dapat menghambat konversi T4 menjadi T3,
sehingga efektif dalam penurunan kadar hormon secara cepat pada fase akut dari
penyakit Graves.20 Methimazole mempunyai masa kerja yang lama sehingga dapat
diberikan dosis tunggal sekali sehari. Terapi dimulai dengan dosis methimazole
40 mg
setiap pagi selama 1-2 bulan, dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan 5-20 mg
perhari.18 Ada juga pendapat ahli yang menyebutkan bahwa besarnya dosis
tergantung
pada beratnya tampilan klinis, tetapi umumnya dosis PTU dimulai dengan 3 x 100-
200
mg/hari dan metimazol/tiamazol dimulai dengan 20-40 mg/hari dosis terbagi untuk
3-6
minggu pertama. Setelah periode ini dosis dapat diturunkan atau dinaikkan sesuai
respons klinis dan biokimia.20 Apabila respons pengobatan baik, dosis dapat

23
diturunkan sampai dosis terkecil PTU 50 mg/hari dan metimazol/ tiamazol 5-10
mg/hari
yang masih dapat mempertahankan keadaan klinis eutiroid dan kadar T4 bebas dalam
batas normal. Bila dengan dosis awal belum memberikan efek perbaikan klinis dan
biokimia, dosis dapat di naikkan bertahap sampai dosis maksimal, tentu dengan
memperhatikan faktorfaktor penyebab lainnya seperti ketaatan pasien minum obat,
aktivitas fisis dan psikis. 20 Meskipun jarang terjadi, harus diwaspadai
kemungkinan
timbulnya efek samping, yaitu agranulositosis (metimazol mempunyai efek samping
agranulositosis yang lebih kecil) gangguan fungsi hati, lupus like syndrome,
yang dapat
terjadi dalam beberapa bulan pertama pengobatan. Agranulositosis merupakan efek
samping yang berat sehingga perlu penghentian terapi dengan Obat Anti Tiroid dan
dipertimbangkan untuk terapi alternatif yaitu yodium radioaktif. Agranulositosis
biasanya ditandai dengan demam dan sariawan, dimana untuk mencegah infeksi perlu
diberikan antibiotika.17 Efek samping lain yang jarang terjadi namun perlu
penghentian
terapi dengan Obat Anti Tiroid antara lain Ikterus Kholestatik, Angioneurotic
edema,
Hepatocellular toxicity dan Arthralgia Akut. Untuk mengantisipasi timbulnya efek
samping tersebut, sebelum memulai terapi perlu pemeriksaan laboratorium dasar
termasuk leukosit darah dan tes fungsi hati, dan diulang kembali pada bulan-
bulan
pertama setelah terapi. Bila ditemukan efek samping, penghentian penggunaan obat
tersebut akan memperbaiki kembali fungsi yang terganggu, dan selanjutnya dipilih
modalitas pengobatan yang lain seperti I131 atau operasi. Bila timbul efek
samping
yang lebih ringan seperti pruritus, dapat dicoba diganti dengan obat jenis yang
lain,
misalnya dari PTU ke metimazol atau sebaliknya.17 Evaluasi pengobatan perlu
dilakukan secara teratur mengingat penyakit Graves adalah penyakit autoimun
yang
tidak bisa dipastikan kapan akan terjadi remisi. Evaluasi pengobatan paling
tidak
dilakukan sekali/bulan untuk menilai perkembangan klinis dan biokimia guna
menentukan dosis obat selanjutnya. Dosis dinaikkan dan diturunkan sesuai respons
hingga dosis tertentu yang dapat mencapai keadaan eutiroid.19 Kemudian dosis
diturunkan perlahan hingga dosis terkecil yang masih mampu mempertahankan
keadaan
eutiroid, dan kemudian evaluasi dilakukan tiap 3 bulan hingga tercapai remisi
B. Golongan bloker
Golongan obat ini telah digunakan secara luas untuk fibrilasi atrial pada
keadaan
hipertiroid untuk mengontrol respon ventrikel. Propanolol dosis 120-160 mg/hari
atau
atenolol dosis 50 mg/hari dapat meringankan gejala palpitasi dan menurunkan
denyut
jantung pada penderita yang mengalami sinus takikardi. Propanolol mempunyai

24
kelebihan yaitu dapat mengurangi konversi T4 menjadi T3 di jeringan perifer.
bloker intra vena sangat penting untuk terapi penderita yang mengalami krisis
tiroid.9,10
C. Digitalis
Digitalis juga dapat digunakan untuk mengontrol respon ventrikel tetapi karena
peningkatan klirens digitalis, penurunan sensitivitas obat karena tingginya
kadar NaK
ATPase sel serta penurunan tonus saraf parasimpatis sehingga perlu dosis yang
tinggi
pada penderita hipertiroid. 9,10
D. Calsium Channel Blocker non dihydropiridine (CCB) oral seperti diltiazem atau
verapamil dapat digunakan untuk mengontrol respon ventrikel. CCB intravena harus
dihindari karena menyebabkan penurunan SVR dan hipotensi. Jika keadaan eutiroid
telah terapai, penderita dapat kembali ke irama sinus tergantung pada umur
penderita,
durasi fibrilasi atrial, ukuran atrium kiri dan adanya penyakit jantung lainnya.
Pada 2/3
penderita yang mengalami fibrilasi atrial akan kembali ke irama sinus setelah
keadaan
eutiroid telah tercapai. 9,10
E. Antikoagulan
Penggunaan antikoagulan pada penderita hipertiroid disertai dengan fibrilasi
atrial
masih kontroversial. Pada tahun 2004, konferensi ACCP VII (7th American College
of
Chest Physicians) yang membahas mengenai terapi anti trombotik dan trombolitik.
Beberapa studi menyatakan bahwa risiko terjadinya tromboemboli dan stroke pada
penderita fibrilasi atrial yang diakibatkan oleh hipertiroid sama dengan yang
diakibatkan oleh penyebab yang lain. Tetapi adanya penyakit jantung lain dan
faktor
usia dapat meningkatkan risiko tromboemboli. Oleh karena itu antikoagulan dapat
ditunda pemberiannya bila durasi fibrilasi atrial kurang dari 2-3 bulan dan
tidak disertai
adanya penyakit jantung lainnya. Sehingga dicapai kesepakatan untuk memberikan
terapi anti trombotik berdasarkan adanya faktor risiko terjadinya stroke pada
penderita
fibrilasi atrial. Dianjurkan terapi anti koagulan jika fibrilasi atrial tidak
segera membaik
atau jika ada faktor risiko tambahan terjadinya tromboemboli seperti gagal
jantung,
hipertensi dan diabetes mellitus. Dibutuhkan warfarin dengan dosis yang lebih
rendah
karena hipertiroid berhubungan dengan peningkatan klirens faktor-faktor
pembekuan
yang terkait dengan vitamin K. Diharapkan akan terjadi konversi ke irama sinus
bila
keadaan eutiroid tercapai. Pada penderita hipertiroid lama yang berusia tua,
fibrilasi
atrial terutama yang disertai dengan penyakit jantung organik, mempunyai risiko
tinggi
terjadinya tromboemboli, sehingga diindikasikan pemberian antikoagulan. Aspirin

25
menyebabkan ikatan T3 dan T4 dengan Thyroid Binding Globulin (TBG) terganggu
sehingga kadar hormon bebas meningkat. Efektivitas aspirin masih bersifat
kontroversial.9

26
27
28
29
DAFTAR PUSTAKA

Tata Laksana Fibrilasi Atrium: Kontrol Irama atau Laju Jantung Ignatius Yansen,
Yoga
Yuniadi Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskuler, Fakultas Kedokteran
Universitas
Indonesia / RS Harapan Kita,
Jakarta,
Indonesia http://www.kalbemed.com/Portals/6/06_202Tata%20Laksana%20Fibrilasi
%20Atriu
m-Kontrol%20Irama%20atau%20Laju%20Jantung.pdf

Klein I: Cardiovascular Effects of Hyperthyroidism. Available at www.uptodate.com.


last
updated on September 12, 2006

Djokomoeljanto R: Anatomi, Faal Kelenjar Tiroid dan Hormon Tiroid, Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Edisi 4, Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia 2006: 1955-1965

Maitland GM, Frishman WH: Thyroid Hormone and Cardiovascular Disease. Am Heart J
1998; 135; 187-196

Ross DS: Disorders That Cause Hyperthyroidsm. Available at www.uptodate.com. last


updated on May 10, 2005

Ross DS: Overview of the Clinical Manifestations oh Hyperthyroidism in Adults.


Available
at www.uptodate.com last updated on October 21, 2006
Ross DS: Diagnosis of Hyperthyroidsm. Available at www.uptodate.com. last updated
on
January 13, 2004

Ades PA et al: Endocrine Disorder and Cardiovascular Disease. Braunwalds Heart


Disease:
A Textbook of Cardiovascular Medicine 8th ed. 2007; pp 2038-2042

Fadel BM et al: Hyperthyroid Heart Disease. Clin.Cardio.2000: 23, 402-408

Klemperer JD, Ojamaa K, Klein I: Thyroid Hormone Therapy in Cardiovascular Disease.


Progress in Cardiovascular Diseases 1996: Vol XXXVIII No 4, 329-336

Ross DS: Beta Blockers in The Treatment of Hyperthyroidsm.


Available
at www.uptodate.com last updated on April 18, 2006

Ngo AS : Thyrotoxic Heart Disease. Resuscitation. Elsevier. 2006; 287-290

Osma F et al: Cardiovascular Manifestation of Hyperthyroidism Before and After


Antithyroid
Therapy. Journal of The American College of Cardiology Vol 49 No 1; 2007

30

Anda mungkin juga menyukai