Anda di halaman 1dari 28

REFERAT

TERAPI INHALASI PADA ANAK

PEMBIMBING :
dr. Daniel Effendi, Sp.A

PENYUSUN :
Rizqiana Rahmawati
030.12.240

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH BUDHI ASIH
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI

JAKARTA 2017

LEMBAR PENGESAHAN

Nama mahasiswa : Rizqiana Rahmawati


Bagian : Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSUD Budhi Asih
Periode : Periode 12 Juni 2017-26 Agustus 2017
Judul : Terapi Inhalasi pada Anak
Pembimbing : dr. Daniel Effendi, Sp.A

1
Telah diperiksa dan disahkan pada tanggal:

Sebagai salah satu syarat dalam mengikuti dan menyelesaikan Kepaniteraan Klinik Ilmu
Kesehatan Anak RSUD Budhi Asih.

Jakarta, Agustus 2017

dr. Daniel Effendi, Sp.A

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan atas segala nikmat, rahmat, dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Referat yang berjudul Terapi Inhalasi pada
Anak dengan baik dan tepat waktu.

2
Referat ini disusun dalam rangka memenuhi tugas Kepaniteraan Ilmu Kesehatan Anak Fakultas
Kedokteran Universitas Trisakti di RSUD Budhi Asih Periode 12 Juni 2017-26 Agustus 2017.
Melalui kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada dr.
Daniel Effendi, Sp.A selaku pembimbing dalam penyusunan Referat ini, serta kepada dokter
dokter pembimbing lain yang telah membimbing penulis selama di Kepaniteraan Ilmu Kesehatan
Anak RSUD Budhi Asih. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada rekanrekan anggota
Kepaniteraan Ilmu Kesehatan Anak RSUD Budhi Asih serta berbagai pihak yang telah memberi
dukungan dan bantuan kepada penulis.
Penulis menyadari bahwa Referat ini masih jauh dari sempurna dan tidak luput dari kesalahan.
Oleh karena itu, penulis sangat berharap adanya masukan, kritik maupun saran yang
membangun. Akhir kata penulis ucapkan terimakasih yang sebesarbesarnya, semoga tugas ini
dapat memberikan tambahan informasi bagi kita semua.

Jakarta, Januari 2017

Penulis

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN ......................................................................................2

3
KATA PENGANTAR.................................................................................................3

DAFTAR ISI .............................................................................................................4

BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................5

1.1 Latar belakang...................................................................................5

BAB II TERAPI INHALASI...............................................................................6

2.1 Terapi inhalasi...................................................................................6

2.2 Anatomi fisiologi saluran napas........................................................7

2.3 Prinsip terapi inhalasi........................................................................8

2.4 Kelebihan dan kekurangan alat terapi inhalasi..................................8

2.5 Jenis terapi inhalasi...........................................................................8

BAB IV KESIMPULAN ......................................................................................

DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................

BAB I

PENDAHULUAN

Terapi inhalasi merupakan salah satu bentuk lain pemberian obat yang sudah banyak
digunakan saat ini. Terapi inhalasi merupakan salah satu bentuk lain pemberian obat yang

4
sudah banyak digunakan saat ini. Terapi ini sudah lama dikenal pemakaiannya 4000
tahun SM pada masyarakat Mesir, India, Yunani maupun Roma. Penggunaan aerosol
sebagai terapi inhalasi diperkenalkan pertama kali oleh Schneider dan Waltz pada tahun
1829.
Sebenarnya prinsip terapi inhalasi telah digunakan sejak dahulu misalnya penggunaan
asap untuk pengobatan batuk. Pada awal penggunaannya sebagai pengobatan, terapi ini
hanya mengubah obat cair menjadi bentuk aerosol, namun dalam perkembangannya
bentuk lainpun dapat digunakan sebagai terapi inhalasi, yaitu bentuk powder (bubuk).
Serta bahan yang digunakan tidak turut dipertimbangkan pengaruhnya terhadap
lingkungan pada awalnya, tetapi akhir-akhir ini mulai dikembangkan penggunaan
propelan yang bersahabat dengan lingkungan yaitu yang tidak merusak lapisan ozon.

BAB II
TERAPI INHALASI
2.1 Sejarah Terapi Inhalasi
Terapi inhalasi merupakan salah satu bentuk lain pemberian obat yang sudah banyak digunakan
saat ini. Terapi ini sudah lama dikenal pemakaiannya 4000 tahun SM pada masyarakat Mesir,

5
India, Yunani maupun Roma. Di Indonesia, penggunaan inhalasi telah banyak digunakan sejak
jaman dahulu sebagai terapi pada salesma dengan menggunakan uap panas. Penggunaan aerosol
sebagai terapi inhalasi diperkenalkan pertama kali oleh Schneider dan Waltz pada tahun 1829.

2.1 Terapi Inhalasi

Terapi inhalasi adalah pemberian obat secara inhalasi (hirupan) ke dalam saluran inspiratori. Ada
berbagai macam alat terapi inhalasi yang ditujukan ke saluran respiratori bawah, seperti alat
hirupan dosis terukur (metered dose inhaler, MDI), alat hirupan bubuk kering (dry powder
inhaler, PDI), dan nebulizer. Nebulizer adalah suatu alat yang dapat mengubah obat cair menjadi
aerosol, hal ini bergantung pada besarnya partikel yang dihasilkan dan teknik penggunaannya,
alat ini dapat digunakan untuk terapi inhalasi saluran respiratori atas dan bawah.4
Pada terapi inhalasi obat dapat mencapai organ target dengan menghasilkan partikel aerosol
berukuran optimal agar terdesposisi di paru, dengan awitan kerja cepat, dosis kecil, efek samping
minimal, mudah digunakan, dan efek terapeutik segera tercapai ( ditunjukkan dengan adanya
perbaikan klinis). Mekanisme pertahanan saluran respiratori meliputi refleks batuk, bersin, serta
klirens mukosilier, maka dari itu partikel aerosol (suspensi partikel di dalam gas) dengan ukuran
partikel sebesar 2-10 m atau 1-7m yang mampu terdesposisi dalam saluran respiratori bawah.4
Faktor yang mempengaruhi pengantaran aerosol pada anak adalah sebagai berikut4 :

1. Perubahan anatomi, dimana saluran respiratori anak relatif lebih kecil daripada dewasa
sehingga aliran udara inspirasi lebih rendah dan menyebabkan deposisi obat menurun.

2. Kemampuan anak merupakan faktor yang sangat penting dalam pengantaran partikel obat.
Anak kecil tidak mempunyai kompetensi dalam melakukan manuver inhalasi yang kompleks.

3. Pola pernapasan pada bayi dan anak mempengaruhi seberapa banyak aerosol yang diinhalasi
ke dalam paru, pada bayi dan anak volume tidal paru kecil sehingga mengurangi pengantaran
partikel obat. Pada bayi dan anak ,aliran udara inspirasi cepat sehingga menyebabkan deposisi
obat pada saluran respiratori yang lebih proksimal.

4. Pada bayi dan anak yang menangis akan menyebabkan masker muka yang menempel menjadi
tidak efektif dan pernapasan saat menangis menjadi lebih pendek dan cepat.

6
2.2 Anatomi-Fisiologis Saluran Napas

Untuk memahami tentang penggunaan serta farmakokinetik (terutama absorpsi dan


bioavailabilitas) dan farmakodinamik obat secara inhalasi, sebelumnya kita harus memahami
anatomi dan fisiologi pernapasan terlebih dahulu.

Secara fungsional saluran pernapasan dibagi atas bagian yang berfungsi sebagai konduksi
(penghantar udara) dan bagian yang berfungsi sebagai respirasi (pertukaran gas). Pada bagian
konduksi, udara bolak-balik di antara atmosfir dan jalan napas seakan organ ini tidak berfungsi
(dead space), akan tetapi organ tersebut selain sebagai konduksi juga berfungsi sebagai proteksi
dan pengaturan kelembaban udara. Adapun yang termasuk ke dalam konduksi adalah rongga
hidung, rongga mulut, faring, laring, trakea, sinus bronkur dan bronkiolus nonrespiratorius. 6
Pada bagian respirasi akan terjadi pertukaran udara (difus) yang sering disebut dengan unit paru
(lung unit), yang terdiri dari bronkiolus respiratorius, duktus alveolaris, atrium dan sakus
alveolaris. 6

7
Secara histologis epitel yang melapisi permukaan saluran pernapasan terdiri dari epitel gepeng
berlapis berkeratin dan tanpa keratin di bagian rongga mulut; epitel silindris bertingkat bersilia
pada rongga hidung, trakea, dan bronkus; epitel silindris rendah/kuboid bersilia dengan sel piala
pada bronkiolus terminalis; epitel kuboid selapis bersilia pada bronkiolus respiratorius; dan epitel
gepeng selapis pada duktus alveolaris dan sakus alveolaris serta alveolus. Di bawah lapisan epitel
tersebut terdapat lamina propria yang berisi kelenjar-kelenjar, pembuluh darah, serabut saraf dan
kartilago. Dan berikutnya terdapat otot polos dan serabut elastin. 7
Dari semua itu barulah kita pahami bagaimana obat dapat masuk dan bekerja pada paru-paru.
Obat masuk dengan perantara udara pernapasan (mekanisme inspirasi dan ekspirasi) melalui
saluran pernapasan, kemudian menempel pada epitel selanjutnya diabsorpsi dan sampai pada
target organ bisa berupa pembuluh darah, kelenjar dan otot polos.
Agar obat dapat sampai pada saluran napas bagian distal dan mencapai target organ, maka
ukuran partikel obat harus disesuaikan dengan ukuran/diameter saluran napas.

2.3 Prinsip terapi inhalasi1,2

Prinsip farmakologis terapi inhalasi yang ideal untuk penyakit saluran napas adalah:
1. Obat sampai pada organ target dengan menghasilkan partikel aerosol berukuran
optimal agar terdeposisi di paru,
2. Onset kerjanya cepat,
3. Dosis obat kecil,
4. Efek samping minimal, karena konsentrasi obat di dalam darah sedikit atau rendah,
5. Mudah digunakan,
6. Efek terapeutik tercapai yang ditandai dengan tampaknya perbaikan klinis.

Meskipun saluran napas mempunyai beberapa mekanisme antara lain refleks batuk, bersin serta
klirens mukosilier yang akan melindungi terhadap masuk dan mengendapnya partikel obat
sehingga akan mengeliminasi obat inhalasi. Namun dengan memperhatikan metode untuk
menghasilkan aerosol serta cara penyampaian/delivery obat yang akan mempengaruhi ukuran
partikel yang dihasilkan dan jumlah obat yang mencapai berbagai tempat di saluran napas maka
diharapkan obat terdeposisi secara efektif. Ukuran partikel akan mempengaruhi sampai sejauh
mana partikel menembus saluran napas. Partikel berukuran > 15 mm tersaring oleh filtrasi
rambut hidung sedangkan > 10 mm akan mengendap di hidung dan nasofaring. Partikel yang

8
besar ini terutama mengendap karena benturan inersial bila terdapat aliran udara yang cepat
disertai perubahan arah atau arus turbulen. Partikel berukuran 0,5 5 mm akan mengendap
secara sedimentasi karena gaya gravitasi sedangkan partikel berukuran < 0,1 mm akan
mengendap karena gerak Brown.
Dengan demikian untuk mendapatkan manfaat obat yang optimal, obat yang diberikan secara
inhalasi harus dapat mencapai tempat kerjanya di dalam saluran pernapasan. Bentuk aerosol
yang digunakan yaitu suspensi partikel di dalam gas, dan partikel dalam aerosol yang
mempunyai ukuran berkisar 2-10 m atau 1-7 m. Penelitian lainnya mendapatkan bahwa
partikel berukuran 1-8 m mengalami benturan dan pengendapan di saluran nafas besar, kecil,
dan alveoli.3
Keuntungan yang lebih nyata dari terapi inhalasi adalah efek topikalnya yakni konsentrasi yang
tinggi di paru-paru, dengan dosis obat yang kecil 10% dari dosis oral dan efek sistemik yang
minimal. Terapi inhalasi dibandingkan terapi oral mempunyai dua kelemahan yaitu :
1) Jumlah obat yang mencapai paru-paru sulit dipastikan
2) Inhalasi obat ke dalam saluran napas dapat menjadi masalah koordinasi Efektifitas terapi
inhalasi tergantung pada jumlah obat yang mencapai paru-paru untuk mencapai hasil yang
optimal pasien harus dilatih untuk :
1) Ekshalasi sehabis-habisnya.
2) Bibir menutup/melingkari mouthpiece, tidak perlu terlalu rapat.
3) Semprotkan aerosol kurang lebih pada pertengahan inspirasi.
4) Teruskan inhalasi lambat-lambat dan sedalam mungkin.
5) Tahan napas dalam inspirasi penuh selama beberapa detik (bila mungkin 10 detik).

2.4 Kelebihan dan kekurangan alat terapi inhalasi


Cara penggunaan alat terapi inhalasi yang tepat tergantung pada tipe alat terapi yang digunakan
oleh pasien, pasien harus memahami tahap-tahap yang tepat dalam menggunakan alat terapi
inhalasi yang mereka gunakan (NACA, 2008). Berbagai jenis alat terapi inhalasi yang umumnya
digunakan seperti inhaler MDI (Metered Dose Inhaler), MDI (Metered Dose Inhaler) dengan
spacer, DPI (Dry Powder Inhaler), nebulizer jet maupun nebulizer ultrasonik memiliki kelebihan
dan kekurangan pada masing-masing alat terapi tersebut dapat dilihat pada tabel 2 berikut:

9
2.5 Jenis terapi inhalasi1,2
Terdapat beberapa hal yang harus didapatkan pada pemberian aerosol agar menjadi pengobatan
yang ideal, seperti alat yang sederhana, mudah dibawa, tidak mahal, secara selektif mencapai
saluran napas bawah, hanya sedikit yang tertinggal di saluran napas atas serta dapat digunakan
oleh anak, orang cacat, atau orang tua. Namun keadaan ideal tersebut tidak dapat sepenuhnya
tercapai dan masing-masing jenis alat terapi inhalasi mempunyai beberapa keuntungan dan
kerugian. Oleh karena itu, saat ini sudah dikenal 3 sistem inhalasi yang digunakan dalam klinik
sehari-hari yaitu;
1. Nebuliser
2. Metered dosed inhaler aerosol ( dengan atau tanpa spacer / alat penyambung)
3. Dry powder inhaler

10
Tabel 1 : Jenis alat inhalasi disesuaikan dengan umur(7)
Umur Alat Inhalasi

< 2 tahun Nebuliser, Aerochamber, Babyhaler

2 - 4 tahun Nebuliser, Aerochamber, Babyhaler MDI


dengan alat peregang (spacer)

5 - 8 tahun Nebuliser, MDI dengan spacer Alat hirupan


bubuk (Spinhaler, Diskhaler, Rotahaler,
Turbuhaler)

> 8 tahun Nebuliser, MDI Alat hirupan bubuk (DPI)


Autohaler

Alat inhalasi akan berfungsi baik apabila obat yang dikeluarkan cukup, droplet yang disalurkan
berukuran kecil dan waktu nebulasi pendek. Droplet berukuran lebih besar dari 5 um akan
dideposit di orofaring, ukuran kurang dari 5 um akan sampai pada saluran napas kecil dan
alveoli. (5,10)

1. Nebuliser
Nebuliser merupakan suatu alat yang dapat mengubah obat yang bentuk awalnya berupa
larutan lalu diubah menjadi bentuk aerosol yang dikeluarkan secara terus menerus dengan
tenaga yang berasal dari udara yang dipadatkan atau gelombang ultrasonik. Dalam
prakteknya dikenal 2 jenis alat nebuliser yaitu ultrasonic nebuliser dan jet nebuliser.
Hasil pengobatan dengan nebuliser lebih banyak bergantung pada jenis nebuliser yang
digunakan. Terdapat nebuliser yang dapat menghasilkan partikel aerosol terus menerus
ada juga yang dapat diatur sehingga aerosol hanya timbul pada saat penderita melakukan
inhalasi sehingga obat tidak banyak terbuang.
Keuntungan terapi inhalasi menggunakan nebuliser adalah tidak atau sedikit memerlukan
koordinasi pasien, hanya memerlukan pernafasan tidal, beberapa jenis obat dapat
dicampur (misalnya salbutamol dan natrium kromoglikat). Sedangkan kekurangan dari

11
nebuliser adalah alat ini cukup besar, sehingga memerlukan sumber tenaga listrik dan
harga yang relatif lebih mahal.
Alat terapi inhalasi nebulizer harus terus dijaga kebersihannya untuk menghindari
pertumbuhan mikroba dan kemungkinan adanya infeksi. Sebaiknya alat nebulizer dicuci
setiap setiap selesai digunakan atau sedikitnya sekali sehari. Instruksi dari pabrik
pembuatnya harus diikuti secara benar untuk menghindari kerusakan plastik
pembungkusnya (Ikawati, 2007).

Berikut cara penggunaan nebulizer yaitu:


1. Selalu cuci tangan sebelum menyiapkan obat untuk penggunaan nebulizer
2. Membuka tutup tabung obat nebulizer, mengukur dosis obat dengan benar
3. Memasukkan obat ke dalam tabung nebulizer
4. Menghubungkan selang dari masker uap atau mouthpiece pada kompresor nebulizer
5. Mengenakan masker uap atau mouthpiece ke mulut, dikatupkan bibir hingga rapat
6. Menekan tombol on
7. Benapaslah dengan perlahan ketika menghirup uap yang keluar dan uap dihirup sampai
obat habis
8. Menekan tombol off Nebulizer terdiri dari beberapa bagian yang terpisah yang terdiri
dari generator aerosol, alat bantu inhalasi (masker, mouthpiece) dan obatnya sendiri.
Masker dan mouthpiece pada nebulizer memiliki beberapa ukuran yang dapat disesuaikan
untuk penggunaanya pada anak-anak atau orang dewasa, sehingga diharapkan jika
menggunakan masker atau mouthpiece dengan ukuran yang tepat, larutan obat yang
melalui nebulizer berubah menjadi gas aerosol tersebut dapat dihirup/dihisap dengan baik
dan keberhasilan terapi yang didapatkan juga dirasakan optimal.

12
Nebulizer lebih disukai untuk beberapa alasan, antara lain:
1) Anak-anak, orang lanjut usia, dan pasien yang lemah mungkin kesulitan menggunakan
MDI dan DPI secara benar.
2) Beberapa pasien membutuhkan dosis yang lebih tinggi daripada yang dapat
dihantarkan oleh MDI dan DPI, misalnya pada pasien asma kronik, serangan akut PPOK
dan sistik fibrosis.
3) Untuk pengobatan sendiri di rumah, dimana pasien membutuhkan dosis yang lebih
besar daripada yang dapat diberikan menggunakan MDI.
4) Serangan pada asma akut

INDIKASI
- Asma Bronkialis
- Penyakit Paru Obstruksi Kronik
- Sindroma Obstruksi Post TB
- Mengeluarkan dahak

Perhatian dan Kontraindikasi:


- Pasien yang tidak sadar/confusion tidak kooperatif dengan prosedur ini, membutuhkan
mask/sungkup, tetapi mask efektifnya berkurang secara spesifik.
- Medikasi nebulizer kontraindikasi pada keadaan dimana suara napas tidak
ada/berkurang, kecuali jika medikasi nebulizer diberikan melalui endotracheal tube yang
menggunakan tekanan positif. Pasien dengan penurunan pertukaran gas juga tidak dapat
menggerakkan/memasukkan medikasi secara adekuat ke dalam saluran napas.

13
- Pemakaian katekolamin pada pasien dengan cardiac irritability harus dengan perlahan.
Ketika diinhalasi katekolamin dapat meningkatkan cardiac rate dan menimbulkan
disritmia
- Medikasi nebulizer tidak dapat diberikan terlalu lama melalui IPPB/Intermittent
Positive Pressure Breathing, Sebab IPPB mengiritasi dan meningkatkan bronkhospasme
- Hipertensi
- Takikardia
- Riwayat alergi
- Trakeostomi
- Fraktur di daerah hidung, maxilla, palatum oris
- Kontraindikasi dari obat yang digunakan untuk nebulisasi

PEMILIHAN OBAT

Obat yang akan digunakan untuk terapi inhalasi akan selalu disesuaikan dengan diagnosis
atau kelainan yang diderita oleh pasien. Obat yang digunakan berbentuk solutio (cairan),
suspensi atau obat khusus yang memang dibuat untuk terapi inhalasi. Golongan obat yang
sering digunakan melalui nebulizer yaitu beta-2 agonis, antikolinergik, kortikosteroid,
dan antiobiotik.

Peralatan:
- Nebulizer dan tube penghubung
- Cannula oksigen
- Tube berkerut, pendek
- Sumber kompresi gas/O2/udara/compressor udara
- Medikasi/obat yang diberikan melalui nebulizer

Persiapan:
- Tempatkan pasien pada posisi tegak/40-90 derajat yang memungkinkan anak melakukan
ventilasi dan pergerakan diafragma maksimal
- perhatikan suara napas, pulse rate, status respirasi, saturasi oksigen sebelum medikasi
diberikan

14
- Perhatikan heart rate selama pengobatan, jika heart rate meningkat 20x per menit,
hentikan terapi nebulizer, pada pasien hamil, heart fetus harus diperhatikan
- Instruksikan pasien untuk mengikuti prosedur dengan benar, lakukan perlahan, napas
dalam dam tahan napas saat inspirasi puncak beberapa saat.

Tahapan prosedur

- Berikan oksigen suplemen, dengan flow rate disesuaikan menurut kondisi/keadaan


pasien, pulse oxymetri/ hasil AGD. Inhalsi katekolamin dapat merubah ventilasi-perfusi
paru dan memperburuk hipoksemia untuk periode singkat
- Pasang nebulizer dan tube dan masukkan obat ke dalam nebulizer sesuai program
(obatobat bronchodilator ada yang berupa cairan untuk pengobatan hirup, cairan
bronchodilator sebanyak 0,3-0,5 ml.
- Ditambahkan /dicampur sejumlah normal saline steril sebanyak 1 ml sampai 1,5 ml ke
nebulizer sesuai program
- Hubungkan nebulizer ke sumber kompresi gas, berikan oksigen 6-8 liter/menit,
sesuaikan flow rate oksigen sampai kabut yang keluar sedikit tipis, jika terlalu kuat
arusnya obat dapat terbuang sia-sia
- Pandu pasien untuk mengikuti tehnik bernapas yang benar
- Lanjutkan pengobatan sampai kabut tidak lagi diproduksi
- Kaji ulang suara napas, pulse rate, saturasi oksigen dan respiratory rate
- Pemberian mungkin membutuhkan waktu selama 10-15 menit/30-40 menit

Komplikasi/efek samping obat berupa nausea, vomit, tremor, bronkospasme,


takikardia Henti napas
Akibat efek obat yang digunakan seperti salbutamol (short acting beta-2 agonist)
dosis tinggi akan menyebabkan gangguan pada sistim sekunder penyerapan obat.
Hipokalemi dan disritmia dapat ditemukan pada paslien dengan kelebihan dosis.

1.1 Ultrasonic nebuliser

15
Alat ini merupakan sebuah nebuliser yang dapat menghasilkan aerosol melalui osilasi
frekuensi tinggi dari piezo-electric crystal yang berada dekat larutan dan cairan memecah
menjadi aerosol. Nebuliser jenis ini tidak menimbulkan suara bising, sehingga hal ini
merupakan kelebihan dibandingkan dengan jenis nebuliser lainnya selain dapat terus
menerus mengubah larutan menjadi aerosol sedangkan kekurangannya adalah alat ini
mahal dan memerlukan biaya perawatan lebih besar.

Gambar 1. Ultrasonic nebuliser

1.2 Jet nebuliser


Alat ini nebulise paling banyak digunakan banyak negara terutama negara berkembang
karena relatif lebih murah daripada ultrasonic nebuliser. Prinsip kerja alat ini adalah
dengan gas jet berkecepatan tinggi yang berasal dari udara yang dipadatkan dalam
silinder kemudian ditiupkan melalui lubang kecil sehingga akan dihasilkan tekanan
negatif yang selanjutnya akan memecah larutan menjadi bentuk aerosol yang akan
dihisap oleh pasien melalui mouth piece atau sungkup. Dengan mengisi suatu tempat
pada nebuliser sebanyak 4 ml maka dihasilkan partikel aerosol berukuran < 5 m,
sebanyak 60-80% larutan nebulisasi akan terpakai dan lama nebulisasi dapat dibatasi.
Dengan cara yang optimal maka hanya 12% larutan akan terdeposit di paru-paru.

16
Gambar 2. jet nebuliser

1.3 Nebulizer mini portable (portable nebulizer)


Nebulizer mini portable (portable nebulizer)= bentuknya kecil, dapat dioperasikan
dengan menggunakan baterai dan tidak berisik sehingga nyaman digunakan

2. Metered dose inhaler (MDI)


Metered dose inhaler (MDI) atau inhaler dosis terukur merupakan cara inhalasi yang
bahan aktif obatnya disuspensikan dalam cairan pendorong (propelan) sebanyak kurang
lebih 10 ml. Jenis propelan yang digunakan biasanya adalah kloroflurokarbon
(chlorofluorocarbon = CFC) pada tekanan tinggi. Namun oleh karena jenis ini dianggap
dapat merusak lapisan ozon, maka akhir-akhir ini mulai dikembangkan penggunaan
bahan non-CFC yaitu hidrofluroalkana (HFA). Propelan mempunyai tekanan uap tinggi
sehingga di dalam tabung (kanister) tetap berbentuk cairan. Bila kanister ditekan, aerosol
disemprotkan keluar dengan kecepatan tinggi yaitu 30 m/detik dalam bentuk droplet
dengan dosis tertentu melalui aktuator (lubang). Pada ujung aktuator ukuran partikel

17
berkisar 35 m, pada jarak 10 cm dari kanister besarnya menjadi 14 m, dan setelah
propelan mengalami evaporasi seluruhnya ukuran partikel menjadi 2,8-4,3 m.

Gambar 3. Metered Dose


Inhaler

Dalam penggunaannya alat ini memerlukan teknik inhalasi tertentu agar sejumlah dosis
obat mencapai saluran pernafasan. Apabila dilakukan dengan teknik inhalasi yang benar
maka 80% aerosol yang dihasilkan akan mengendap di mulut dan orofarings oleh karena
kecepatan yang tinggi dan ukurannya besar, 10% tetap berada dalam aktuator, dan hanya
sekitar 10% aerosol yang disemprotkan akan sampai ke dalam paru-paru. Pada cara
inhalasi ini diperlukan koordinasi antara penekanan kanister dengan inspirasi napas.

Untuk mendapatkan hasil optimal maka pemakaian inhaler ini hendaklah dikerjakan
sebagai berikut:
Terlebih dahulu kanister dikocok agar obat tetap homogen, lalu tutup kanister dibuka
Inhaler dipegang tegak kemudian pasien melakukan ekspirasi maksimal secara
perlahan
Mulut kanister diletakkan diantara bibir, lalu bibir dirapatkan dan dilakukan inspirasi
perlahan sampai maksimal pada pertengahan inspirasi kanister ditekan agar obat
keluar
Pasien menahan nafas 10 detik atau dengan menghitung 10 hitungan pada inspirasi
maksimal
Setelah 30 detik atau 1 menit prosedur yang sama diulang kembali
Setelah proses selesai, jangan lupa berkumur untuk mencegah efek samping.

Pada sebagian pasien langkah-langkah di atas sering tidak diikuti sehingga pengobatan
asma kurang efektif dan timbul efek samping yang tidak diinginkan. Beberapa kesalahan
yang sering dijumpai oleh para ahli mengenai kesalahan penggunaan inhalesr jenis ini
adalah;

18
Kurangnya koordinasi pada saat menekan kanister dan saat menghisap,
Terlalu cepat inspirasi,
Tidak berhenti sesaat setelah inspirasi,
Tidak mengocok kanister sebelum digunakan,
Terbalik pemakaiannya.

Kesalahan kesalahan di atas umumnya dilakukan oleh anak yang lebih muda, manula,
wanita, dan penderita dengan sosial ekonomi dan pendidikan yang rendah. Untuk
membedakan zat aktif pada MDI, digunaka 2 warna, yaitu biru dan coklat.

Nama Jenis Warna

Salbutamol Reliever Biru

Beclometasone Steroid Coklat

Contoh merek dagang untuk jenis MDI antara lain Ventolin (Salbutamol),
Asthalin, Ventolin, Proventil, Maxair, Xopenex, Alupent and ProAir, Flovent, Azmacort,
Beclovent, Vanceril, Budesonide, Qvar and Aerobid (kortikosteroid)

2.1 MDI dengan spacer


Spacer merupakan suatu benda biasanya berbentuk tabung yang digunakan sebagai alat
penyambung pada pemakaian inhaler jenis ini. Spacer ini berfungsi sebagai penambah
jarak antara aktuator dengan mulut sehingga kecepatan aerosol pada saat dihisap menjadi
berkurang dan akan dihasilkan partikel berukuran kecil yang berpenetrasi ke saluran
pernafasan perifer. Hal ini akan mengurangi pengendapan aerosol di dalam orofaring.
Tabung Spacer ini dapat mempunyai volume hingga 80 ml dengan panjang sekitar 10- 20
cm, atau bentuk lain berupa kerucut dengan volume 700-1000 ml. Untuk bayi dianjurkan
menggunakan spacer volume kecil (babyhaler) agar aerosol yang dihasilkan lebih
mampat sehingga lebih banyak obat akan terinhalasi pada setiap inspirasi. Beberapa alat
dilengkapi dengan katup satu arah yang akan terbuka saat inhalasi dan akan menutup
pada saat ekshalasi misalnya Nebuhaler (Astra), Volumatic (A&H).

19
Pengendapan di orofaring akan berkurang yaitu sekitar 5% dosis yang diberikan bila
digunakan spacer dengan katup satu arah. Pada spacer tanpa katup satu arah,
pengendapan di orofaring sekitar 8-60% dosis. Dengan penggunaan spacer, deposit pada
paru akan meningkat menjadi 20% dibandingkan tanpa spacer. Penggunaan spacer ini
sangat menguntungkan pada anak karena pada anak koordinasinya belum baik. Dengan
bantuan spacer, koordinasi pada saat menekan kanister dengan saat penghisapan dapat
dikurangi atau bahkan tidak memerlukan koordinasi. Apabila spacer ini tidak tersedia
maka sebagai penggantinya bisa digunakan spacer sederhana yang murah dan mudah
dibuat yaitu dari plastic coffee cup yang dilubangi dasarnya untuk tempat aerosol. Namun
alat ini sudah terbukti bermanfaat hanya untuk bronkodilator dan belum dibuktikan
berguna untuk natrium kromoglikat dan steroid.

2.2 Easyhaler
Easyhaler merupakan suatu inhaler yang terdiri dari plastik dan cincin stainless steel
yang mengandung serbuk dengan multidosis (sekurang-kurangnya 200 dosis) yang
digunakan sebagai alternatif terapi inhalasi selain MDI. Pada inhaler ini, masing-masing
dosis obat dihitung secara akurat dengan cara menekan puncak alat (overcap) yang akan
memutari silinder (metering cylindric) pada bagian bawah alat tersebut. Cekungan dosis
berisi sejumlah obat berhubungan langsung dengan mouth piece. Saluran udara ke arah
mouthpiece ini berbentuk corong dengan tujuan agar obat di saluran napas dapat
terdeposisi secara baik. Selain itu kita juga dapat menemukan takaran dosis pada alat ini
yang berguna untuk memberi informasi kepada pasien mengenai sisa dosis obat.
Pelindung penutup berguna untuk mencegah kelembaban. Partikel obat yang halus (<10
) sulit untuk melayang jauh dan cenderung untuk menggumpal, oleh karena itu zat aktif
tersebut dicampur dengan sejumlah kecil laktosa yang berperan sebagai pembawa. Pada
easyhaler ukuran partikel laktosa cukup besar untuk deposit di saluran napas bawah
sehingga diharapkan akan jatuh di orofaring. Keadaan ini mempunyai keuntungan untuk
memberitahukan pada penderita bahwa obatnya benar terhisap dengan rasa manis di
mulut. Contoh merek dagang jenis inhalasi ini antara lain Buventol easyhaler
(Salbutamol)

20
2.3 Turbuhaler
Digunakan dengan cara menghisap, dosis obat ke dalam mulut, kemudian diteruskan ke
paruparu. Pasien tidak akan mendapat kesulitan dengan menggunakan turbuhaler karena
tidak perlu menyemprotkan obat terlebih dahulu. Satu produk turbuhaler mengandung
60-200 dosis. Ada indicator dosis yang akan memberitahu anda jika obat hampir habis.
Contoh produk: Bricasma, Pulmicort, Symbicort

2.4 Rotahaler
Digunakan dengan cara yang mirip dengan turbuhaler. Perbedaan setiap kali akan
menghisap obat, rotahaler harus didiisi dulu dengan obat yang berbentuk kapsul/rotacap.
Jadi rotahaler hanya berisi satu dosis, rotahaler sangat cocok untuk anak-anak dan usia
lanjut. Contoh produk: Ventolin Rotacap

3. Dry Powder Inhaler


Sebenarnya inhaler jenis ini sudah dikenal sejak beberapa dekade sebelumnya walapun
dengan tujuan yang berbeda. Pada tahun 1957 Dry Powder Inhaler digunakan untuk
delivery serbuk antibiotik. Dalam perkembangannya banyak penelitian uji klinis yang
menunjukkan bahwa DPI bisa digunakan untuk pengobatan asma anak. Pada tahun 1970,
dibuat inhaler spinhaler dan rotahaler yang hanya memuat serbuk kering dosis tunggal,
dan akhir tahun 1980 diperkenalkan inhaler yang memuat multiple dosis yaitu yang
dikenal dengan diskhaler (8 dosis) dan turbuhaler. Akhir akhir ini, telah diperkenalkan
diskhaler (di Inggris dikenal dengan accuhaler) yang dapat memuat dosis yang lebih
banyak ( 60 dosis) untuk pemberian terapi selama 1 bulan. Inhaler jenis ini tidak
mengandung propelan sehingga mempunyai kelebihan dari MDI.

Gambar 4. Dry Powder Inhaler

21
Penggunaan obat serbuk kering pada DPI memerlukan inspirasi yang cukup kuat. Pada
anak yang kecil hal ini sulit dilakukan mengingat inspirasi kuat belum dapat dilakukan,
sehingga deposisi obat pada saluran pernafasan berkurang. Pada anak yang lebih besar,
penggunaan obat serbuk ini dapat lebih mudah, karena kurang memerlukan koordinasi
dibandingkan dengan MDI. Dengan cara ini deposisi obat di dalam paru lebih tinggi dan
lebih konstan dibandingkan MDI sehingga dianjurkan diberikan pada anak di atas 5
tahun. Cara DPI ini tidak memerlukan spacer sebagai alat bantu sehingga mudah dibawa
dan dimasukkan ke dalam saku. Hal ini yang juga memudahkan pasien dan lebih praktis.

Gambar 5. Dischaler

Dalam praktek sehari hari, penggunaan terapi inhalasi ini banyak kita jumpai pada
beberapa kasus, terutama pada kasus:
Asma
Bronkiolitis
Croup
Prematuritas dan Chronic Lung Disease

3.1 INDIKASI
Penggunaan terapi inhalasi ini diindikasikan untuk pengobatan asma, penyakit paru
obstruktif kronis (PPOK), sindrom obstruktif post tuberkulosis, fibrosis kistik,
bronkiektasis, keadaan atau penyakit lain dengan sputum yang kental dan lengket. 3
Penggunaannya terbatas hanya untuk obat-obat yang berbentuk gas atau cairan yang
mudah menguap dan obat lain yang berbentuk aerosol. 2
Pada penyakit Asma dan Chronic Obstructive pulmonal disease (COPD = PPOK &
PPOM) terapi inhalasi merupakan terapi pilihan. 7 Dengan terapi inhalasi obat dapat
masuk sesuai dengan dosis yang diinginkan, langsung berefek pada organ sasaran. Dari
segi kenyamanan dalam penggunaan, cara terapi MDI banyak disukai pasien karena obat

22
dapat mudah di bawa ke mana-mana. Kemasan obat juga menguntungkan karena dalam
satu botol bisa dipakai untuk 30 atau sampai 90 hari penggunaan. 8

3.2 KONTRA INDIKASI


Kontra indikasi mutlak pada terapi inhalasi tidak ada. Indikasi relatif pada pasien dengan
alergi terhadap bahan atau obat yang digunakan. 3

4. Jenis Obat

4.1 Agonis beta-2 kerja lama

Termasuk di dalam agonis beta-2 kerja lama inhalasi adalah salmeterol dan formoterol yang
mempunyai waktu kerja lama (> 12 jam). Seperti lazimnya agonis beta-2 mempunyai efek
relaksasi otot polos, meningkatkan pembersihan mukosilier, menurunkan permeabiliti pembuluh
darah dan memodulasi penglepasan mediator dari sel mast dan basofil. Kenyataannya pada
pemberian jangka lama, mempunyai efek antiinflamasi walau kecil. Inhalasi agonis beta-2 kerja
lama yang diberikan jangka lama mempunyai efek protektif terhadap rangsang
bronkokonstriktor. Pemberian inhalasi agonis beta-2 kerja lama, menghasilkan efek
bronkodilatasi lebih baik dibandingkan preparat oral.
Agonis beta-2 kerja lama inhalasi dapat memberikan efek samping sistemik (rangsangan
kardiovaskular, tremor otot rangka dan hipokalemia) yang lebih sedikit atau jarang daripada
pemberian oral. Bentuk oral juga dapat mengontrol asma, yang beredar di Indonesia adalah
salbutamol lepas lambat, prokaterol dan bambuterol. Mekanisme kerja dan perannya dalam
terapi sama saja dengan bentuk inhalasi agonis beta-2 kerja lama, hanya efek sampingnya lebih
banyak. Efek samping berupa rangsangan kardiovaskular, ansieti dan tremor otot rangka.

4.2 Agonis beta-2 kerja singkat


Termasuk golongan ini adalah salbutamol, terbutalin, fenoterol, dan prokaterol yang telah
beredar di Indonesia. Mempunyai waktu mulai kerja (onset) yang cepat. Formoterol mempunyai
onset cepat dan durasi yang lama. Pemberian dapat secara inhalasi atau oral, pemberian inhalasi
mempunyai onset yang lebih cepat dan efek samping minimal/ tidak ada. Mekanisme kerja
sebagaimana agonis beta-2 yaitu relaksasi otot polos saluran napas, meningkatkan bersihan

23
mukosilier, menurunkan permeabiliti pembuluh darah dan modulasi penglepasan mediator dari
sel mast.
Efek sampingnya adalah rangsangan kardiovaskular, tremor otot rangka dan hipokalemia.
Pemberian secara inhalasi jauh lebih sedikit menimbulkan efek samping daripada oral.
Dianjurkan pemberian inhalasi, kecuali pada penderita yang tidak dapat/mungkin menggunakan
terapi inhalasi.

4.3 Antikolinergik
Pemberiannya secara inhalasi. Mekanisme kerjanya memblok efek penglepasan asetilkolin dari
saraf kolinergik pada jalan napas. Menimbulkan bronkodilatasi dengan menurunkan tonus
kolinergik vagal intrinsik, selain itu juga menghambat refleks bronkokostriksi yang disebabkan
iritan. Efek bronkodilatasi tidak seefektif agonis beta-2 kerja singkat, onsetnya lama dan
dibutuhkan 30-60 menit untuk mencapai efek maksimum. Tidak mempengaruhi reaksi alergi tipe
cepat ataupun tipe lambat dan juga tidak berpengaruh terhadap inflamasi. Termasuk dalam
golongan ini adalah ipratropium bromide dan tiotropium bromide.

5. Pedoman Diagnosis dan Terapi Unpad mengenai terapi inhalasi adalah sebagai berikut 8:

Nebulisasi epinefrin (adrenalin): Hasil lebih baik bila digunakan bersama deksametason karena
mempunyai efek sinergis. Adrenalin lebih aman dan relative murah, tetapi nebulisasi epinefrin
dan glukokortikoid tidak direkomendasikan sebagai terapi rutin untuk bronkiolitis. Dosis
epinefrin rasemik 2,25% 0,250,75 mL dalam NaCL fisiologis 3 mL/20 mnt. Bila tidak tersedia,
dapat diganti dengan epinefrin-levo 5 mL larutan 1:1.000

Nebulisasi NaCl 3%, dosis 4 mL larutan NaCl 3%. Dapat diberikan pada penderita rawat jalan
maupun rawat inap. Nebulisasi dengan NaCl 3% diberikan karena dapat meningkatkan
clearance mucous serta memperpendek masa rawat inap. Pemberian nebulisasi NaCl 3% pada
rawat inap dapat diberikan 36/hr

24
BAB IV
KESIMPULAN

Terapi inhalasi adalah pemberian obat ke dalam saluran napas dengan cara
inhalasi. Terapi inhalasi merupakan satu teknik pengobatan penting dalam proses
pengobatan penyakit respiratori (saluran pernafasan) akut dan kronik. Terapi inhalasi
dapat menghantarkan obat langsung ke paru-paru untuk segera bekerja. Dengan
demikian, efek samping dapat dikurangi dan jumlah obat yang perlu diberikan adalah
lebih sedikit dibanding cara pemberian lainnya. Sayangnya pada cara pemberian ini
diperlukan alat dan metoda khusus yang agak sulit dikerjakan, sukar mengatur dosis, dan
sering obatnya mengiritasi epitel paru.
Karena terapi inhalasi obat dapat langsung pada sasaran dan absorpsinya terjadi secara
cepat dibanding cara sistemik, maka penggunaan terapi inhalasi sangat bermanfaat pada
keadaan serangan yang membutuhkan pengobatan segera dan untuk menghindari efek
samping sistemik yang ditimbulkannya. Seperti untuk mengatasi bronkospasme, meng-
encerkan sputum, menurunkan hipereaktiviti bronkus, serta mengatasi infeksi.
Penggunaannya terbatas hanya untuk obat-obat yang berbentuk gas atau cairan yang
mudah menguap dan obat lain yang berbentuk aerosol. Kontra indikasi mutlak pada
terapi inhalasi tidak ada. Kontra indikasi relatif pada pasien dengan alergi terhadap bahan
atau obat yang digunakan. Ada beberapa cara dalam terapi inhalasi, yaitu (1) inhaler dosis
terukur (MDI, metered dose inhaler), (2) penguapan (gas powered hand held nebulizer),
(3) inhalasi dengan intermitten positive pressure breathing(IPPB)
Setelah penggunaan inhaler, basuh dan kumur dengan menggunakan air. Ini untuk
mengurangi/menghilangkan obat yang tertinggal di dalam rongga mulut dan tenggorokan,
juga untuk mencegah timbulnya penyakit di mulut akibat efek obat (terutama
kortikosteroid). Berhasil atau tidaknya pengobatan aerosol ini tergantung pada beberapa
faktor, yaitu: ukuran partikel, gaya gravitasi, inersia partikel, aktivitas kinetik, sifat
alamiah partikel, dan sifat dari pernapasan pasien.
Obat/zat yang biasanya digunakan secara aerosol pada umumnya adalah beta 2
simpatomimetik, kortikosteroid, antikolinergik, dan antihistamin. Bahaya iritasi saluran

25
napas dan terjadinya bronkospasme serta reaksi hipersensitivitas (obat atau vehikulum)
dapat terjadi pada penggunaan terapi ini.

26
DAFTAR PUSTAKA

1. Supriyanto B, Nataprawira HM. Terapi Inhalasi pada Asma Anak. Sari Pediatri 2001:4: 67-73.

2. Supriyanto B, Kaswandani N. Terapi Inhalasi pada Kelainan Respiratorik. Dalam: Rahajoe


NN, Supriyatno B, Setyanto DB, editors. Buku ajar respirologi anak. Edisi kedua. Jakarta: BP
Ikatan Dokter Anak Indonesia 2008; h 366-376.

3. Nataprawira HM. Diagnosis Asma pada anak. Dalam: Rahajoe NN, Supriyatno B, Setyanto
DB, editors. Buku ajar respirologi anak. Edisi pertama. Jakarta: BP Ikatan Dokter Anak
Indonesia 2008; h 105-19.

4. Kartasasmita CB, Darfioes B, Rahajoe N, Setyanto DB, Setiawati L, et al. Tuberkulosis. In:
Rahajoe NN, Supriyatno B, Setyanto DB, Kartasasmita CB, Basir D, Dadiyanto DW, et al eds.
Buku Ajar Respirologi Anak. 1th ed. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2015. p. 162-227.

5. Kliegman RM, Stanton BF, Geme JW, Schor NF. Nelson Textbook of Pediatrics. 20 th ed.
Philadelphia: Elsevier; 2016.p.1606-8.

6. Boediman HI. Peranan inflamasi pada asma dan implikasinya pada pengobat an. Simposium
respirologi anak masa kini. Bandung, 1998,0 1-9.

7. Winariani K. Terapi inhalasi. Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan V, Sura Baya, 2002, 126-
32.

8. Garna H, Nataprawira HM. Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak. 5 th ed.
Bandung: Departemen SMF Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran/
RSUP Dr. Hasan Sadikin; 2014. p.928-31.

9. Walsh P, Caldwell J, McQuillan KK, Friese S, Robbins D, Rothenberg SJ. Comparison of


Nebulized Epinephrine to Albuterol in Bronchiolitis. ACAD EMERG MED ;2008: 15( 4)

27
10. Gonzlez1 JCF, Morillo MAM, Campoy PR ,Guerrero JJP, Moyano BS, Vazquez1 PC , et
al. Epinephrine Improves the Efficacy of Nebulized Hypertonic Saline in Moderate
Bronchiolitis: A Randomised Clinical Trial. PLoS ONE; 2015: 10(11): e0142847.

11. Baraldi E, Lanar M, Manzoni P, Rossi GA, Vandini S, Rimini A. Inter-society Consensus
Document on Treatment and Prevention of Bronchiolitis in Newborns and Infants. Italian Journal
of Pediatrics ; 2014: 40:65

12. American Academy of Pediatrics. Clinical Practice Guideline: The Diagnosis, Management,
and Prevention of Bronchiolitis. Pediatrics;2014:134:e1474e1502

13. Maguire C, Cantrill H, Hind D, Bradburn M, Everard ML. Hypertonic saline (HS) for acute

bronchiolitis: Systematic review and meta-analysis. BMC Pulmonary Medicine ;2015: 15:148.

28

Anda mungkin juga menyukai