PEMBIMBING :
dr. Daniel Effendi, Sp.A
PENYUSUN :
Rizqiana Rahmawati
030.12.240
JAKARTA 2017
LEMBAR PENGESAHAN
1
Telah diperiksa dan disahkan pada tanggal:
Sebagai salah satu syarat dalam mengikuti dan menyelesaikan Kepaniteraan Klinik Ilmu
Kesehatan Anak RSUD Budhi Asih.
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan atas segala nikmat, rahmat, dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Referat yang berjudul Terapi Inhalasi pada
Anak dengan baik dan tepat waktu.
2
Referat ini disusun dalam rangka memenuhi tugas Kepaniteraan Ilmu Kesehatan Anak Fakultas
Kedokteran Universitas Trisakti di RSUD Budhi Asih Periode 12 Juni 2017-26 Agustus 2017.
Melalui kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada dr.
Daniel Effendi, Sp.A selaku pembimbing dalam penyusunan Referat ini, serta kepada dokter
dokter pembimbing lain yang telah membimbing penulis selama di Kepaniteraan Ilmu Kesehatan
Anak RSUD Budhi Asih. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada rekanrekan anggota
Kepaniteraan Ilmu Kesehatan Anak RSUD Budhi Asih serta berbagai pihak yang telah memberi
dukungan dan bantuan kepada penulis.
Penulis menyadari bahwa Referat ini masih jauh dari sempurna dan tidak luput dari kesalahan.
Oleh karena itu, penulis sangat berharap adanya masukan, kritik maupun saran yang
membangun. Akhir kata penulis ucapkan terimakasih yang sebesarbesarnya, semoga tugas ini
dapat memberikan tambahan informasi bagi kita semua.
Penulis
DAFTAR ISI
3
KATA PENGANTAR.................................................................................................3
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
Terapi inhalasi merupakan salah satu bentuk lain pemberian obat yang sudah banyak
digunakan saat ini. Terapi inhalasi merupakan salah satu bentuk lain pemberian obat yang
4
sudah banyak digunakan saat ini. Terapi ini sudah lama dikenal pemakaiannya 4000
tahun SM pada masyarakat Mesir, India, Yunani maupun Roma. Penggunaan aerosol
sebagai terapi inhalasi diperkenalkan pertama kali oleh Schneider dan Waltz pada tahun
1829.
Sebenarnya prinsip terapi inhalasi telah digunakan sejak dahulu misalnya penggunaan
asap untuk pengobatan batuk. Pada awal penggunaannya sebagai pengobatan, terapi ini
hanya mengubah obat cair menjadi bentuk aerosol, namun dalam perkembangannya
bentuk lainpun dapat digunakan sebagai terapi inhalasi, yaitu bentuk powder (bubuk).
Serta bahan yang digunakan tidak turut dipertimbangkan pengaruhnya terhadap
lingkungan pada awalnya, tetapi akhir-akhir ini mulai dikembangkan penggunaan
propelan yang bersahabat dengan lingkungan yaitu yang tidak merusak lapisan ozon.
BAB II
TERAPI INHALASI
2.1 Sejarah Terapi Inhalasi
Terapi inhalasi merupakan salah satu bentuk lain pemberian obat yang sudah banyak digunakan
saat ini. Terapi ini sudah lama dikenal pemakaiannya 4000 tahun SM pada masyarakat Mesir,
5
India, Yunani maupun Roma. Di Indonesia, penggunaan inhalasi telah banyak digunakan sejak
jaman dahulu sebagai terapi pada salesma dengan menggunakan uap panas. Penggunaan aerosol
sebagai terapi inhalasi diperkenalkan pertama kali oleh Schneider dan Waltz pada tahun 1829.
Terapi inhalasi adalah pemberian obat secara inhalasi (hirupan) ke dalam saluran inspiratori. Ada
berbagai macam alat terapi inhalasi yang ditujukan ke saluran respiratori bawah, seperti alat
hirupan dosis terukur (metered dose inhaler, MDI), alat hirupan bubuk kering (dry powder
inhaler, PDI), dan nebulizer. Nebulizer adalah suatu alat yang dapat mengubah obat cair menjadi
aerosol, hal ini bergantung pada besarnya partikel yang dihasilkan dan teknik penggunaannya,
alat ini dapat digunakan untuk terapi inhalasi saluran respiratori atas dan bawah.4
Pada terapi inhalasi obat dapat mencapai organ target dengan menghasilkan partikel aerosol
berukuran optimal agar terdesposisi di paru, dengan awitan kerja cepat, dosis kecil, efek samping
minimal, mudah digunakan, dan efek terapeutik segera tercapai ( ditunjukkan dengan adanya
perbaikan klinis). Mekanisme pertahanan saluran respiratori meliputi refleks batuk, bersin, serta
klirens mukosilier, maka dari itu partikel aerosol (suspensi partikel di dalam gas) dengan ukuran
partikel sebesar 2-10 m atau 1-7m yang mampu terdesposisi dalam saluran respiratori bawah.4
Faktor yang mempengaruhi pengantaran aerosol pada anak adalah sebagai berikut4 :
1. Perubahan anatomi, dimana saluran respiratori anak relatif lebih kecil daripada dewasa
sehingga aliran udara inspirasi lebih rendah dan menyebabkan deposisi obat menurun.
2. Kemampuan anak merupakan faktor yang sangat penting dalam pengantaran partikel obat.
Anak kecil tidak mempunyai kompetensi dalam melakukan manuver inhalasi yang kompleks.
3. Pola pernapasan pada bayi dan anak mempengaruhi seberapa banyak aerosol yang diinhalasi
ke dalam paru, pada bayi dan anak volume tidal paru kecil sehingga mengurangi pengantaran
partikel obat. Pada bayi dan anak ,aliran udara inspirasi cepat sehingga menyebabkan deposisi
obat pada saluran respiratori yang lebih proksimal.
4. Pada bayi dan anak yang menangis akan menyebabkan masker muka yang menempel menjadi
tidak efektif dan pernapasan saat menangis menjadi lebih pendek dan cepat.
6
2.2 Anatomi-Fisiologis Saluran Napas
Secara fungsional saluran pernapasan dibagi atas bagian yang berfungsi sebagai konduksi
(penghantar udara) dan bagian yang berfungsi sebagai respirasi (pertukaran gas). Pada bagian
konduksi, udara bolak-balik di antara atmosfir dan jalan napas seakan organ ini tidak berfungsi
(dead space), akan tetapi organ tersebut selain sebagai konduksi juga berfungsi sebagai proteksi
dan pengaturan kelembaban udara. Adapun yang termasuk ke dalam konduksi adalah rongga
hidung, rongga mulut, faring, laring, trakea, sinus bronkur dan bronkiolus nonrespiratorius. 6
Pada bagian respirasi akan terjadi pertukaran udara (difus) yang sering disebut dengan unit paru
(lung unit), yang terdiri dari bronkiolus respiratorius, duktus alveolaris, atrium dan sakus
alveolaris. 6
7
Secara histologis epitel yang melapisi permukaan saluran pernapasan terdiri dari epitel gepeng
berlapis berkeratin dan tanpa keratin di bagian rongga mulut; epitel silindris bertingkat bersilia
pada rongga hidung, trakea, dan bronkus; epitel silindris rendah/kuboid bersilia dengan sel piala
pada bronkiolus terminalis; epitel kuboid selapis bersilia pada bronkiolus respiratorius; dan epitel
gepeng selapis pada duktus alveolaris dan sakus alveolaris serta alveolus. Di bawah lapisan epitel
tersebut terdapat lamina propria yang berisi kelenjar-kelenjar, pembuluh darah, serabut saraf dan
kartilago. Dan berikutnya terdapat otot polos dan serabut elastin. 7
Dari semua itu barulah kita pahami bagaimana obat dapat masuk dan bekerja pada paru-paru.
Obat masuk dengan perantara udara pernapasan (mekanisme inspirasi dan ekspirasi) melalui
saluran pernapasan, kemudian menempel pada epitel selanjutnya diabsorpsi dan sampai pada
target organ bisa berupa pembuluh darah, kelenjar dan otot polos.
Agar obat dapat sampai pada saluran napas bagian distal dan mencapai target organ, maka
ukuran partikel obat harus disesuaikan dengan ukuran/diameter saluran napas.
Prinsip farmakologis terapi inhalasi yang ideal untuk penyakit saluran napas adalah:
1. Obat sampai pada organ target dengan menghasilkan partikel aerosol berukuran
optimal agar terdeposisi di paru,
2. Onset kerjanya cepat,
3. Dosis obat kecil,
4. Efek samping minimal, karena konsentrasi obat di dalam darah sedikit atau rendah,
5. Mudah digunakan,
6. Efek terapeutik tercapai yang ditandai dengan tampaknya perbaikan klinis.
Meskipun saluran napas mempunyai beberapa mekanisme antara lain refleks batuk, bersin serta
klirens mukosilier yang akan melindungi terhadap masuk dan mengendapnya partikel obat
sehingga akan mengeliminasi obat inhalasi. Namun dengan memperhatikan metode untuk
menghasilkan aerosol serta cara penyampaian/delivery obat yang akan mempengaruhi ukuran
partikel yang dihasilkan dan jumlah obat yang mencapai berbagai tempat di saluran napas maka
diharapkan obat terdeposisi secara efektif. Ukuran partikel akan mempengaruhi sampai sejauh
mana partikel menembus saluran napas. Partikel berukuran > 15 mm tersaring oleh filtrasi
rambut hidung sedangkan > 10 mm akan mengendap di hidung dan nasofaring. Partikel yang
8
besar ini terutama mengendap karena benturan inersial bila terdapat aliran udara yang cepat
disertai perubahan arah atau arus turbulen. Partikel berukuran 0,5 5 mm akan mengendap
secara sedimentasi karena gaya gravitasi sedangkan partikel berukuran < 0,1 mm akan
mengendap karena gerak Brown.
Dengan demikian untuk mendapatkan manfaat obat yang optimal, obat yang diberikan secara
inhalasi harus dapat mencapai tempat kerjanya di dalam saluran pernapasan. Bentuk aerosol
yang digunakan yaitu suspensi partikel di dalam gas, dan partikel dalam aerosol yang
mempunyai ukuran berkisar 2-10 m atau 1-7 m. Penelitian lainnya mendapatkan bahwa
partikel berukuran 1-8 m mengalami benturan dan pengendapan di saluran nafas besar, kecil,
dan alveoli.3
Keuntungan yang lebih nyata dari terapi inhalasi adalah efek topikalnya yakni konsentrasi yang
tinggi di paru-paru, dengan dosis obat yang kecil 10% dari dosis oral dan efek sistemik yang
minimal. Terapi inhalasi dibandingkan terapi oral mempunyai dua kelemahan yaitu :
1) Jumlah obat yang mencapai paru-paru sulit dipastikan
2) Inhalasi obat ke dalam saluran napas dapat menjadi masalah koordinasi Efektifitas terapi
inhalasi tergantung pada jumlah obat yang mencapai paru-paru untuk mencapai hasil yang
optimal pasien harus dilatih untuk :
1) Ekshalasi sehabis-habisnya.
2) Bibir menutup/melingkari mouthpiece, tidak perlu terlalu rapat.
3) Semprotkan aerosol kurang lebih pada pertengahan inspirasi.
4) Teruskan inhalasi lambat-lambat dan sedalam mungkin.
5) Tahan napas dalam inspirasi penuh selama beberapa detik (bila mungkin 10 detik).
9
2.5 Jenis terapi inhalasi1,2
Terdapat beberapa hal yang harus didapatkan pada pemberian aerosol agar menjadi pengobatan
yang ideal, seperti alat yang sederhana, mudah dibawa, tidak mahal, secara selektif mencapai
saluran napas bawah, hanya sedikit yang tertinggal di saluran napas atas serta dapat digunakan
oleh anak, orang cacat, atau orang tua. Namun keadaan ideal tersebut tidak dapat sepenuhnya
tercapai dan masing-masing jenis alat terapi inhalasi mempunyai beberapa keuntungan dan
kerugian. Oleh karena itu, saat ini sudah dikenal 3 sistem inhalasi yang digunakan dalam klinik
sehari-hari yaitu;
1. Nebuliser
2. Metered dosed inhaler aerosol ( dengan atau tanpa spacer / alat penyambung)
3. Dry powder inhaler
10
Tabel 1 : Jenis alat inhalasi disesuaikan dengan umur(7)
Umur Alat Inhalasi
Alat inhalasi akan berfungsi baik apabila obat yang dikeluarkan cukup, droplet yang disalurkan
berukuran kecil dan waktu nebulasi pendek. Droplet berukuran lebih besar dari 5 um akan
dideposit di orofaring, ukuran kurang dari 5 um akan sampai pada saluran napas kecil dan
alveoli. (5,10)
1. Nebuliser
Nebuliser merupakan suatu alat yang dapat mengubah obat yang bentuk awalnya berupa
larutan lalu diubah menjadi bentuk aerosol yang dikeluarkan secara terus menerus dengan
tenaga yang berasal dari udara yang dipadatkan atau gelombang ultrasonik. Dalam
prakteknya dikenal 2 jenis alat nebuliser yaitu ultrasonic nebuliser dan jet nebuliser.
Hasil pengobatan dengan nebuliser lebih banyak bergantung pada jenis nebuliser yang
digunakan. Terdapat nebuliser yang dapat menghasilkan partikel aerosol terus menerus
ada juga yang dapat diatur sehingga aerosol hanya timbul pada saat penderita melakukan
inhalasi sehingga obat tidak banyak terbuang.
Keuntungan terapi inhalasi menggunakan nebuliser adalah tidak atau sedikit memerlukan
koordinasi pasien, hanya memerlukan pernafasan tidal, beberapa jenis obat dapat
dicampur (misalnya salbutamol dan natrium kromoglikat). Sedangkan kekurangan dari
11
nebuliser adalah alat ini cukup besar, sehingga memerlukan sumber tenaga listrik dan
harga yang relatif lebih mahal.
Alat terapi inhalasi nebulizer harus terus dijaga kebersihannya untuk menghindari
pertumbuhan mikroba dan kemungkinan adanya infeksi. Sebaiknya alat nebulizer dicuci
setiap setiap selesai digunakan atau sedikitnya sekali sehari. Instruksi dari pabrik
pembuatnya harus diikuti secara benar untuk menghindari kerusakan plastik
pembungkusnya (Ikawati, 2007).
12
Nebulizer lebih disukai untuk beberapa alasan, antara lain:
1) Anak-anak, orang lanjut usia, dan pasien yang lemah mungkin kesulitan menggunakan
MDI dan DPI secara benar.
2) Beberapa pasien membutuhkan dosis yang lebih tinggi daripada yang dapat
dihantarkan oleh MDI dan DPI, misalnya pada pasien asma kronik, serangan akut PPOK
dan sistik fibrosis.
3) Untuk pengobatan sendiri di rumah, dimana pasien membutuhkan dosis yang lebih
besar daripada yang dapat diberikan menggunakan MDI.
4) Serangan pada asma akut
INDIKASI
- Asma Bronkialis
- Penyakit Paru Obstruksi Kronik
- Sindroma Obstruksi Post TB
- Mengeluarkan dahak
13
- Pemakaian katekolamin pada pasien dengan cardiac irritability harus dengan perlahan.
Ketika diinhalasi katekolamin dapat meningkatkan cardiac rate dan menimbulkan
disritmia
- Medikasi nebulizer tidak dapat diberikan terlalu lama melalui IPPB/Intermittent
Positive Pressure Breathing, Sebab IPPB mengiritasi dan meningkatkan bronkhospasme
- Hipertensi
- Takikardia
- Riwayat alergi
- Trakeostomi
- Fraktur di daerah hidung, maxilla, palatum oris
- Kontraindikasi dari obat yang digunakan untuk nebulisasi
PEMILIHAN OBAT
Obat yang akan digunakan untuk terapi inhalasi akan selalu disesuaikan dengan diagnosis
atau kelainan yang diderita oleh pasien. Obat yang digunakan berbentuk solutio (cairan),
suspensi atau obat khusus yang memang dibuat untuk terapi inhalasi. Golongan obat yang
sering digunakan melalui nebulizer yaitu beta-2 agonis, antikolinergik, kortikosteroid,
dan antiobiotik.
Peralatan:
- Nebulizer dan tube penghubung
- Cannula oksigen
- Tube berkerut, pendek
- Sumber kompresi gas/O2/udara/compressor udara
- Medikasi/obat yang diberikan melalui nebulizer
Persiapan:
- Tempatkan pasien pada posisi tegak/40-90 derajat yang memungkinkan anak melakukan
ventilasi dan pergerakan diafragma maksimal
- perhatikan suara napas, pulse rate, status respirasi, saturasi oksigen sebelum medikasi
diberikan
14
- Perhatikan heart rate selama pengobatan, jika heart rate meningkat 20x per menit,
hentikan terapi nebulizer, pada pasien hamil, heart fetus harus diperhatikan
- Instruksikan pasien untuk mengikuti prosedur dengan benar, lakukan perlahan, napas
dalam dam tahan napas saat inspirasi puncak beberapa saat.
Tahapan prosedur
15
Alat ini merupakan sebuah nebuliser yang dapat menghasilkan aerosol melalui osilasi
frekuensi tinggi dari piezo-electric crystal yang berada dekat larutan dan cairan memecah
menjadi aerosol. Nebuliser jenis ini tidak menimbulkan suara bising, sehingga hal ini
merupakan kelebihan dibandingkan dengan jenis nebuliser lainnya selain dapat terus
menerus mengubah larutan menjadi aerosol sedangkan kekurangannya adalah alat ini
mahal dan memerlukan biaya perawatan lebih besar.
16
Gambar 2. jet nebuliser
17
berkisar 35 m, pada jarak 10 cm dari kanister besarnya menjadi 14 m, dan setelah
propelan mengalami evaporasi seluruhnya ukuran partikel menjadi 2,8-4,3 m.
Dalam penggunaannya alat ini memerlukan teknik inhalasi tertentu agar sejumlah dosis
obat mencapai saluran pernafasan. Apabila dilakukan dengan teknik inhalasi yang benar
maka 80% aerosol yang dihasilkan akan mengendap di mulut dan orofarings oleh karena
kecepatan yang tinggi dan ukurannya besar, 10% tetap berada dalam aktuator, dan hanya
sekitar 10% aerosol yang disemprotkan akan sampai ke dalam paru-paru. Pada cara
inhalasi ini diperlukan koordinasi antara penekanan kanister dengan inspirasi napas.
Untuk mendapatkan hasil optimal maka pemakaian inhaler ini hendaklah dikerjakan
sebagai berikut:
Terlebih dahulu kanister dikocok agar obat tetap homogen, lalu tutup kanister dibuka
Inhaler dipegang tegak kemudian pasien melakukan ekspirasi maksimal secara
perlahan
Mulut kanister diletakkan diantara bibir, lalu bibir dirapatkan dan dilakukan inspirasi
perlahan sampai maksimal pada pertengahan inspirasi kanister ditekan agar obat
keluar
Pasien menahan nafas 10 detik atau dengan menghitung 10 hitungan pada inspirasi
maksimal
Setelah 30 detik atau 1 menit prosedur yang sama diulang kembali
Setelah proses selesai, jangan lupa berkumur untuk mencegah efek samping.
Pada sebagian pasien langkah-langkah di atas sering tidak diikuti sehingga pengobatan
asma kurang efektif dan timbul efek samping yang tidak diinginkan. Beberapa kesalahan
yang sering dijumpai oleh para ahli mengenai kesalahan penggunaan inhalesr jenis ini
adalah;
18
Kurangnya koordinasi pada saat menekan kanister dan saat menghisap,
Terlalu cepat inspirasi,
Tidak berhenti sesaat setelah inspirasi,
Tidak mengocok kanister sebelum digunakan,
Terbalik pemakaiannya.
Kesalahan kesalahan di atas umumnya dilakukan oleh anak yang lebih muda, manula,
wanita, dan penderita dengan sosial ekonomi dan pendidikan yang rendah. Untuk
membedakan zat aktif pada MDI, digunaka 2 warna, yaitu biru dan coklat.
Contoh merek dagang untuk jenis MDI antara lain Ventolin (Salbutamol),
Asthalin, Ventolin, Proventil, Maxair, Xopenex, Alupent and ProAir, Flovent, Azmacort,
Beclovent, Vanceril, Budesonide, Qvar and Aerobid (kortikosteroid)
19
Pengendapan di orofaring akan berkurang yaitu sekitar 5% dosis yang diberikan bila
digunakan spacer dengan katup satu arah. Pada spacer tanpa katup satu arah,
pengendapan di orofaring sekitar 8-60% dosis. Dengan penggunaan spacer, deposit pada
paru akan meningkat menjadi 20% dibandingkan tanpa spacer. Penggunaan spacer ini
sangat menguntungkan pada anak karena pada anak koordinasinya belum baik. Dengan
bantuan spacer, koordinasi pada saat menekan kanister dengan saat penghisapan dapat
dikurangi atau bahkan tidak memerlukan koordinasi. Apabila spacer ini tidak tersedia
maka sebagai penggantinya bisa digunakan spacer sederhana yang murah dan mudah
dibuat yaitu dari plastic coffee cup yang dilubangi dasarnya untuk tempat aerosol. Namun
alat ini sudah terbukti bermanfaat hanya untuk bronkodilator dan belum dibuktikan
berguna untuk natrium kromoglikat dan steroid.
2.2 Easyhaler
Easyhaler merupakan suatu inhaler yang terdiri dari plastik dan cincin stainless steel
yang mengandung serbuk dengan multidosis (sekurang-kurangnya 200 dosis) yang
digunakan sebagai alternatif terapi inhalasi selain MDI. Pada inhaler ini, masing-masing
dosis obat dihitung secara akurat dengan cara menekan puncak alat (overcap) yang akan
memutari silinder (metering cylindric) pada bagian bawah alat tersebut. Cekungan dosis
berisi sejumlah obat berhubungan langsung dengan mouth piece. Saluran udara ke arah
mouthpiece ini berbentuk corong dengan tujuan agar obat di saluran napas dapat
terdeposisi secara baik. Selain itu kita juga dapat menemukan takaran dosis pada alat ini
yang berguna untuk memberi informasi kepada pasien mengenai sisa dosis obat.
Pelindung penutup berguna untuk mencegah kelembaban. Partikel obat yang halus (<10
) sulit untuk melayang jauh dan cenderung untuk menggumpal, oleh karena itu zat aktif
tersebut dicampur dengan sejumlah kecil laktosa yang berperan sebagai pembawa. Pada
easyhaler ukuran partikel laktosa cukup besar untuk deposit di saluran napas bawah
sehingga diharapkan akan jatuh di orofaring. Keadaan ini mempunyai keuntungan untuk
memberitahukan pada penderita bahwa obatnya benar terhisap dengan rasa manis di
mulut. Contoh merek dagang jenis inhalasi ini antara lain Buventol easyhaler
(Salbutamol)
20
2.3 Turbuhaler
Digunakan dengan cara menghisap, dosis obat ke dalam mulut, kemudian diteruskan ke
paruparu. Pasien tidak akan mendapat kesulitan dengan menggunakan turbuhaler karena
tidak perlu menyemprotkan obat terlebih dahulu. Satu produk turbuhaler mengandung
60-200 dosis. Ada indicator dosis yang akan memberitahu anda jika obat hampir habis.
Contoh produk: Bricasma, Pulmicort, Symbicort
2.4 Rotahaler
Digunakan dengan cara yang mirip dengan turbuhaler. Perbedaan setiap kali akan
menghisap obat, rotahaler harus didiisi dulu dengan obat yang berbentuk kapsul/rotacap.
Jadi rotahaler hanya berisi satu dosis, rotahaler sangat cocok untuk anak-anak dan usia
lanjut. Contoh produk: Ventolin Rotacap
21
Penggunaan obat serbuk kering pada DPI memerlukan inspirasi yang cukup kuat. Pada
anak yang kecil hal ini sulit dilakukan mengingat inspirasi kuat belum dapat dilakukan,
sehingga deposisi obat pada saluran pernafasan berkurang. Pada anak yang lebih besar,
penggunaan obat serbuk ini dapat lebih mudah, karena kurang memerlukan koordinasi
dibandingkan dengan MDI. Dengan cara ini deposisi obat di dalam paru lebih tinggi dan
lebih konstan dibandingkan MDI sehingga dianjurkan diberikan pada anak di atas 5
tahun. Cara DPI ini tidak memerlukan spacer sebagai alat bantu sehingga mudah dibawa
dan dimasukkan ke dalam saku. Hal ini yang juga memudahkan pasien dan lebih praktis.
Gambar 5. Dischaler
Dalam praktek sehari hari, penggunaan terapi inhalasi ini banyak kita jumpai pada
beberapa kasus, terutama pada kasus:
Asma
Bronkiolitis
Croup
Prematuritas dan Chronic Lung Disease
3.1 INDIKASI
Penggunaan terapi inhalasi ini diindikasikan untuk pengobatan asma, penyakit paru
obstruktif kronis (PPOK), sindrom obstruktif post tuberkulosis, fibrosis kistik,
bronkiektasis, keadaan atau penyakit lain dengan sputum yang kental dan lengket. 3
Penggunaannya terbatas hanya untuk obat-obat yang berbentuk gas atau cairan yang
mudah menguap dan obat lain yang berbentuk aerosol. 2
Pada penyakit Asma dan Chronic Obstructive pulmonal disease (COPD = PPOK &
PPOM) terapi inhalasi merupakan terapi pilihan. 7 Dengan terapi inhalasi obat dapat
masuk sesuai dengan dosis yang diinginkan, langsung berefek pada organ sasaran. Dari
segi kenyamanan dalam penggunaan, cara terapi MDI banyak disukai pasien karena obat
22
dapat mudah di bawa ke mana-mana. Kemasan obat juga menguntungkan karena dalam
satu botol bisa dipakai untuk 30 atau sampai 90 hari penggunaan. 8
4. Jenis Obat
Termasuk di dalam agonis beta-2 kerja lama inhalasi adalah salmeterol dan formoterol yang
mempunyai waktu kerja lama (> 12 jam). Seperti lazimnya agonis beta-2 mempunyai efek
relaksasi otot polos, meningkatkan pembersihan mukosilier, menurunkan permeabiliti pembuluh
darah dan memodulasi penglepasan mediator dari sel mast dan basofil. Kenyataannya pada
pemberian jangka lama, mempunyai efek antiinflamasi walau kecil. Inhalasi agonis beta-2 kerja
lama yang diberikan jangka lama mempunyai efek protektif terhadap rangsang
bronkokonstriktor. Pemberian inhalasi agonis beta-2 kerja lama, menghasilkan efek
bronkodilatasi lebih baik dibandingkan preparat oral.
Agonis beta-2 kerja lama inhalasi dapat memberikan efek samping sistemik (rangsangan
kardiovaskular, tremor otot rangka dan hipokalemia) yang lebih sedikit atau jarang daripada
pemberian oral. Bentuk oral juga dapat mengontrol asma, yang beredar di Indonesia adalah
salbutamol lepas lambat, prokaterol dan bambuterol. Mekanisme kerja dan perannya dalam
terapi sama saja dengan bentuk inhalasi agonis beta-2 kerja lama, hanya efek sampingnya lebih
banyak. Efek samping berupa rangsangan kardiovaskular, ansieti dan tremor otot rangka.
23
mukosilier, menurunkan permeabiliti pembuluh darah dan modulasi penglepasan mediator dari
sel mast.
Efek sampingnya adalah rangsangan kardiovaskular, tremor otot rangka dan hipokalemia.
Pemberian secara inhalasi jauh lebih sedikit menimbulkan efek samping daripada oral.
Dianjurkan pemberian inhalasi, kecuali pada penderita yang tidak dapat/mungkin menggunakan
terapi inhalasi.
4.3 Antikolinergik
Pemberiannya secara inhalasi. Mekanisme kerjanya memblok efek penglepasan asetilkolin dari
saraf kolinergik pada jalan napas. Menimbulkan bronkodilatasi dengan menurunkan tonus
kolinergik vagal intrinsik, selain itu juga menghambat refleks bronkokostriksi yang disebabkan
iritan. Efek bronkodilatasi tidak seefektif agonis beta-2 kerja singkat, onsetnya lama dan
dibutuhkan 30-60 menit untuk mencapai efek maksimum. Tidak mempengaruhi reaksi alergi tipe
cepat ataupun tipe lambat dan juga tidak berpengaruh terhadap inflamasi. Termasuk dalam
golongan ini adalah ipratropium bromide dan tiotropium bromide.
5. Pedoman Diagnosis dan Terapi Unpad mengenai terapi inhalasi adalah sebagai berikut 8:
Nebulisasi epinefrin (adrenalin): Hasil lebih baik bila digunakan bersama deksametason karena
mempunyai efek sinergis. Adrenalin lebih aman dan relative murah, tetapi nebulisasi epinefrin
dan glukokortikoid tidak direkomendasikan sebagai terapi rutin untuk bronkiolitis. Dosis
epinefrin rasemik 2,25% 0,250,75 mL dalam NaCL fisiologis 3 mL/20 mnt. Bila tidak tersedia,
dapat diganti dengan epinefrin-levo 5 mL larutan 1:1.000
Nebulisasi NaCl 3%, dosis 4 mL larutan NaCl 3%. Dapat diberikan pada penderita rawat jalan
maupun rawat inap. Nebulisasi dengan NaCl 3% diberikan karena dapat meningkatkan
clearance mucous serta memperpendek masa rawat inap. Pemberian nebulisasi NaCl 3% pada
rawat inap dapat diberikan 36/hr
24
BAB IV
KESIMPULAN
Terapi inhalasi adalah pemberian obat ke dalam saluran napas dengan cara
inhalasi. Terapi inhalasi merupakan satu teknik pengobatan penting dalam proses
pengobatan penyakit respiratori (saluran pernafasan) akut dan kronik. Terapi inhalasi
dapat menghantarkan obat langsung ke paru-paru untuk segera bekerja. Dengan
demikian, efek samping dapat dikurangi dan jumlah obat yang perlu diberikan adalah
lebih sedikit dibanding cara pemberian lainnya. Sayangnya pada cara pemberian ini
diperlukan alat dan metoda khusus yang agak sulit dikerjakan, sukar mengatur dosis, dan
sering obatnya mengiritasi epitel paru.
Karena terapi inhalasi obat dapat langsung pada sasaran dan absorpsinya terjadi secara
cepat dibanding cara sistemik, maka penggunaan terapi inhalasi sangat bermanfaat pada
keadaan serangan yang membutuhkan pengobatan segera dan untuk menghindari efek
samping sistemik yang ditimbulkannya. Seperti untuk mengatasi bronkospasme, meng-
encerkan sputum, menurunkan hipereaktiviti bronkus, serta mengatasi infeksi.
Penggunaannya terbatas hanya untuk obat-obat yang berbentuk gas atau cairan yang
mudah menguap dan obat lain yang berbentuk aerosol. Kontra indikasi mutlak pada
terapi inhalasi tidak ada. Kontra indikasi relatif pada pasien dengan alergi terhadap bahan
atau obat yang digunakan. Ada beberapa cara dalam terapi inhalasi, yaitu (1) inhaler dosis
terukur (MDI, metered dose inhaler), (2) penguapan (gas powered hand held nebulizer),
(3) inhalasi dengan intermitten positive pressure breathing(IPPB)
Setelah penggunaan inhaler, basuh dan kumur dengan menggunakan air. Ini untuk
mengurangi/menghilangkan obat yang tertinggal di dalam rongga mulut dan tenggorokan,
juga untuk mencegah timbulnya penyakit di mulut akibat efek obat (terutama
kortikosteroid). Berhasil atau tidaknya pengobatan aerosol ini tergantung pada beberapa
faktor, yaitu: ukuran partikel, gaya gravitasi, inersia partikel, aktivitas kinetik, sifat
alamiah partikel, dan sifat dari pernapasan pasien.
Obat/zat yang biasanya digunakan secara aerosol pada umumnya adalah beta 2
simpatomimetik, kortikosteroid, antikolinergik, dan antihistamin. Bahaya iritasi saluran
25
napas dan terjadinya bronkospasme serta reaksi hipersensitivitas (obat atau vehikulum)
dapat terjadi pada penggunaan terapi ini.
26
DAFTAR PUSTAKA
1. Supriyanto B, Nataprawira HM. Terapi Inhalasi pada Asma Anak. Sari Pediatri 2001:4: 67-73.
3. Nataprawira HM. Diagnosis Asma pada anak. Dalam: Rahajoe NN, Supriyatno B, Setyanto
DB, editors. Buku ajar respirologi anak. Edisi pertama. Jakarta: BP Ikatan Dokter Anak
Indonesia 2008; h 105-19.
4. Kartasasmita CB, Darfioes B, Rahajoe N, Setyanto DB, Setiawati L, et al. Tuberkulosis. In:
Rahajoe NN, Supriyatno B, Setyanto DB, Kartasasmita CB, Basir D, Dadiyanto DW, et al eds.
Buku Ajar Respirologi Anak. 1th ed. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2015. p. 162-227.
5. Kliegman RM, Stanton BF, Geme JW, Schor NF. Nelson Textbook of Pediatrics. 20 th ed.
Philadelphia: Elsevier; 2016.p.1606-8.
6. Boediman HI. Peranan inflamasi pada asma dan implikasinya pada pengobat an. Simposium
respirologi anak masa kini. Bandung, 1998,0 1-9.
7. Winariani K. Terapi inhalasi. Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan V, Sura Baya, 2002, 126-
32.
8. Garna H, Nataprawira HM. Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak. 5 th ed.
Bandung: Departemen SMF Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran/
RSUP Dr. Hasan Sadikin; 2014. p.928-31.
27
10. Gonzlez1 JCF, Morillo MAM, Campoy PR ,Guerrero JJP, Moyano BS, Vazquez1 PC , et
al. Epinephrine Improves the Efficacy of Nebulized Hypertonic Saline in Moderate
Bronchiolitis: A Randomised Clinical Trial. PLoS ONE; 2015: 10(11): e0142847.
11. Baraldi E, Lanar M, Manzoni P, Rossi GA, Vandini S, Rimini A. Inter-society Consensus
Document on Treatment and Prevention of Bronchiolitis in Newborns and Infants. Italian Journal
of Pediatrics ; 2014: 40:65
12. American Academy of Pediatrics. Clinical Practice Guideline: The Diagnosis, Management,
and Prevention of Bronchiolitis. Pediatrics;2014:134:e1474e1502
13. Maguire C, Cantrill H, Hind D, Bradburn M, Everard ML. Hypertonic saline (HS) for acute
bronchiolitis: Systematic review and meta-analysis. BMC Pulmonary Medicine ;2015: 15:148.
28