1. Review Buku Etika dasar Setiap individu berhak untuk mengandaikan kebebasannya (kebebasan eksistensial) dimana kebebasan tersebut berakar pada kemampuan penguasaan manusia terhadap fikiran, kehendaknya, terhadap batinnya yang kemudian akan diwujudkan dalam dimensi lahiriah, sehingga kebebasan ini lebih kurang berputar dalam kemampuan untuk menentukan tindakannya sendiri. Selanjutnya kebebasan eksistensial dibagi menjadi dua, kebebasan jasmani dan rohani yang memiliki hubungan sangat erat. Dapat dikatakan bahwa tindakan adalah suatu kehendak yang menjelma dan menjadi nyata, dan kehendak adalah permulaan tindakan. Namun, Sebagai makhluk sosial yang memilki kebebasan sosial dan hidup bersama dalam dunia sosial yang terbatas, sudah jelas bahwa manusia harus menerima bahwa masyarakat membatasi kesewenangannya. Jadi kebebasan sosial kita terbatas dengan sendirinya. Namun perlu diketahui juga bahwa masyarakat tidak boleh mengadakan pembatasan yang sewenang-wenang dengan motif sebagai usaha untuk menjamin kebebasan dan hak serta kepentingan wajar seluruh warga masyarakat dan harus normatif. Suatu pembatasan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan, tidak dapat dibenarkan. Kebebasan eksistensial berarti bahwa bagaimanapun kita harus mengambil sikap, dan kitalah yang bertanggung jawab atas sikap dan tindakan kita dan bukan masyarakat. Sikap yang kita ambil secara bebas hanya memadai apabila sesuai dengan tanggung jawab objektif itu. Semakin berkembang kebebasan eksistensial manusia , semakin kuat pula pribadinya untuk bersedia bertanggung jawab. Setiap sikap yang kita ambil tidak berada dalam ruang kosong, namun meniscayakan adanya tanggung jawab kita sebagai pelakunya.
Kebebasan eksistensial yang bertanggungjawab menyatakan diri dalam pola moralitas yang otonom. Manusia bermoralitas otonom melakukan kewajiban dan tanggungjawabnya bukan karena takut (seakan ada paksaan) , atau merasa tertekan (psikisnya), melainkan ia sadar sendiri, jadi menyadari nilai dan makna serta perlunya kewajiban dan tanggung jawab itu Lalu, bagaimana untuk mempertanggungjawabkan? pertanggungjawaban hanyalah mungkin kalau ada norma-norma yang menetpkan bagaimana keadaan yang seharusnya. Dengan demikian pertanyaan : Manakah tolak ukur pertanggungjawaban moral? Itulah pertanyaan pokok etika normatif. Kesadaran moral sendiri menuntut dasar-dasar objektif. Suara hati menuntut agar kita berttindak sesuai dengan tanggungjawab dan kewajiban kita yang sebenarnya dan bukan dengan apa yang sekedar kita rasakan atau yang menjadi pendapat orang lain. Suara hati menuntut agar kita terus menerus bertanya: apa sebenarnya yang dituntut dari saya sekarang? Bagaimana kita dapat mengetahui sikap-sikap dan tindakan-tindakan mana yang seharusnya kita ambil kalau kita mau bertanggungjawab secara moral? Ada dua jawaban untu menjawab pertanyaan ini sesuaikan diri dengan norma-norma masyarakat. Masyarakat disini bermakna umum.Namun, norma-norma masyaraktpun masih belum tentu dapat dimasyarakatkan. Masyarakt bisa betul, bisa saja keliru. Maka norma-norma masyarakat tidak mungkin menyediakan orientasi yang terakhir. Etika normatif justru merupakan alat kritis untuk mempersoalkan norma-norma yang begitu saja diterima dalam suatu masyarakat. Tetapi apabila masyarakat dapat keliru, tetu saja saya sendiripun dapat keliru Oleh karena itu ada jawaban kedua yang juga tidak memadai . Jawaban iitu berbunyi : ikutilah saja suara hatimu !. Suara hati adalah kesadaran kita sendiri, dan kita tentu saja harus melakukan apa yang kita sadari sebagai kewajiban . Tetapi sekalai lagi, kesadaran itu dapat keliru. Karenanya perlu dididik, dan untuk itu kita memerlukan prinsip-prinsip objektif. Kesadaran moral saya sendiri mmerlukan norma-norma objektif dan tidak memuat kriteria kebenarannya sendiri. Perlu adanya orientasi objektif. Ada tiga teori etika normatif yang akan diungkapkan disini, yang kesemuanya `menyatakan bahwa tujuan kehidupan manusia adalah kebahagiaan. Dan oleh karena itu prinsip dasar bagi segala tindakan kita adalah agar kebahagiaan tercapai. Ketiga teori tersebut memiliki kebersaman bahwa nilai moral tindakan (tindakan akhlaki atau bukan) itu ditentukan oleh tujuan yang mau dicapai dengannya: suatu tindakan adalah baik apabila mengusahakan kebahagiaan dan buruk apabila akan menghalang-halanginya. Pertama, Hedonisme etis beranggapan bahwa hendaknya manusia hidup sedemikian rupa sehingga ia semakin bahagia dengan terus mencari nikmat saja. Ini yang justru dipertanyakan, karena mencari nikmat saja tidak dapat mengharapkan akan mencapai kebahagiaan, karena manusia selalu merasa berkekurangan. Kedua, teori pengembangan diri, didalamnya memuat sesuatu yang hakiki bagi segenap program moral. Namun justru orang yang memikirkan pengembangan diri malahan tidak akan berkembang, karena ia hanya berkisar sekitar dirinya saja. Ketiga , Utilitarisme mendobrak ketertutupan kedua teori sebelumnya. Ia menetapkan prinsip tangggung jawab universal sebagai dasarnya. Dari utilitarisme ini, yang beranggapan bahwa kita sebagai manusia harus selalu bertanggungjawab terhadap akibat-akibat tindakan kita, bahwa kita hendaknya mengusahakan hasil-hasil yang paling baik bagi semua tetap berlaku. Dari inti utilitarisme ini kita bertolak , ada tiga prinsip ; 1. Prinsip baik, Kesadaran inti utilitarisme adalah jangan merugikan siapa saja. 2. prinsip keadilan Adil pada hakikatnya adalah bahwa kita memberikan kepada siapa saja apa yang menjadi haknya. 3. Prinsip hormat terhadap diri sendiri. Prinsip inilah yang menuntut agar orang tidak membiarkan diri disalahgunakan.
Hubungan antara ketiganya adalah bahwa prinsip keadilan dan hormat pada diri sendiri merupakan syarat pelaksanaan sikap baik, sedangkan sikap baik menjadi daar mengapa seseorang bersedia untuk bersikap adil. Kebaikan dan keadilan yang kitta tunjukkan kepada orang lain perlu diimbangi dengan sikap menghormati diri kita sendiri. Kita bertekad untuk berbut baik kepada orang lain dan bertekad untuk bersikap adil, tetapi tidak dengan membuang diri. Untuk memperoleh kekuatan moral dan mendasari kepribadian yang mantap, jawabannya adalah dengan mengembangkan sifat berikut ini : 1. Kejujuran, Bersikap jujur berarti kita bersikap terbuka dan fair. Tanpa kejujuran sepi ing pamrih dan rame ing gawe akan menjadi sarana kelicikan jika tidak berakar kejujuran. 2. Nilai-nilai otentik (manusiawi), Manusia otentik adalah manusia yang menghayati dan menunjukkan diri sesuai keasliannya, dengan kepribadian yang sebenarnya,. Bukan orang jiplakan. 3. Kebersediaan bertanggung jawab, Bertanggungjawab termasuk kesediaan untuk diminta, untuk memberikan, pertanggungjawabna atas tindakan-tindakan kita, atas pelaksanaan tugas dan kewajibannya. 4. Kemandirian moral, Sikap mandiri pada hakikatnya adalah kemampuan untuk selalu membentuk penilaian sendiri terhadap suatu masalah moral. 5. Keberanian moral, Keberanian moral berarti menunjukkan diri dalam tekad untuk tetap mempertahankan sikap yang telah diyakini sebagai kewajiban . 6. Kerendahan hati, Kerendahan hati adalah kekuatan batin bahwa kita melihat diri kita seadanya. 7. Realistik dan Kritis, Realistik berarti menerima real-nya dunia ini, yang harus diikuti pula dengan sikap kritis untuk tidak menerima realitas begitu saja, namun disesuaikan dengan tuntunan prinsip-prinsip dasar. Tanggung jawab moral yang nyata menuntut realistik dan kritis. Kesemuanya itu adalah sikap-sikap uatama yang mendasari kepribadian yang mantap.