Anda di halaman 1dari 5

BAB

II. KAJIAN KAIDAH ETIKA


1. Review Buku Etika dasar
Setiap individu berhak untuk mengandaikan kebebasannya (kebebasan
eksistensial) dimana kebebasan tersebut berakar pada kemampuan
penguasaan manusia terhadap fikiran, kehendaknya, terhadap batinnya yang
kemudian akan diwujudkan dalam dimensi lahiriah, sehingga kebebasan ini
lebih kurang berputar dalam kemampuan untuk menentukan tindakannya
sendiri.
Selanjutnya kebebasan eksistensial dibagi menjadi dua, kebebasan jasmani
dan rohani yang memiliki hubungan sangat erat. Dapat dikatakan bahwa
tindakan adalah suatu kehendak yang menjelma dan menjadi nyata, dan
kehendak adalah permulaan tindakan.
Namun, Sebagai makhluk sosial yang memilki kebebasan sosial dan hidup
bersama dalam dunia sosial yang terbatas, sudah jelas bahwa manusia harus
menerima bahwa masyarakat membatasi kesewenangannya. Jadi kebebasan
sosial kita terbatas dengan sendirinya. Namun perlu diketahui juga bahwa
masyarakat tidak boleh mengadakan pembatasan yang sewenang-wenang
dengan motif sebagai usaha untuk menjamin kebebasan dan hak serta
kepentingan wajar seluruh warga masyarakat dan harus normatif. Suatu
pembatasan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan, tidak dapat
dibenarkan.
Kebebasan eksistensial berarti bahwa bagaimanapun kita harus mengambil
sikap, dan kitalah yang bertanggung jawab atas sikap dan tindakan kita dan
bukan masyarakat. Sikap yang kita ambil secara bebas hanya memadai
apabila sesuai dengan tanggung jawab objektif itu. Semakin berkembang
kebebasan eksistensial manusia , semakin kuat pula pribadinya untuk
bersedia bertanggung jawab. Setiap sikap yang kita ambil tidak berada dalam
ruang kosong, namun meniscayakan adanya tanggung jawab kita sebagai
pelakunya.

Kebebasan eksistensial yang bertanggungjawab menyatakan diri dalam pola
moralitas yang otonom. Manusia bermoralitas otonom melakukan kewajiban
dan tanggungjawabnya bukan karena takut (seakan ada paksaan) , atau
merasa tertekan (psikisnya), melainkan ia sadar sendiri, jadi menyadari nilai
dan makna serta perlunya kewajiban dan tanggung jawab itu
Lalu, bagaimana untuk mempertanggungjawabkan? pertanggungjawaban
hanyalah mungkin kalau ada norma-norma yang menetpkan bagaimana
keadaan yang seharusnya.
Dengan demikian pertanyaan : Manakah tolak ukur pertanggungjawaban
moral? Itulah pertanyaan pokok etika normatif.
Kesadaran moral sendiri menuntut dasar-dasar objektif. Suara hati menuntut
agar kita berttindak sesuai dengan tanggungjawab dan kewajiban kita yang
sebenarnya dan bukan dengan apa yang sekedar kita rasakan atau yang
menjadi pendapat orang lain. Suara hati menuntut agar kita terus menerus
bertanya: apa sebenarnya yang dituntut dari saya sekarang? Bagaimana kita
dapat mengetahui sikap-sikap dan tindakan-tindakan mana yang seharusnya
kita ambil kalau kita mau bertanggungjawab secara moral?
Ada dua jawaban untu menjawab pertanyaan ini sesuaikan diri dengan
norma-norma masyarakat. Masyarakat disini bermakna umum.Namun,
norma-norma masyaraktpun masih belum tentu dapat dimasyarakatkan.
Masyarakt bisa betul, bisa saja keliru. Maka norma-norma masyarakat tidak
mungkin menyediakan orientasi yang terakhir. Etika normatif justru
merupakan alat kritis untuk mempersoalkan norma-norma yang begitu saja
diterima dalam suatu masyarakat.
Tetapi apabila masyarakat dapat keliru, tetu saja saya sendiripun dapat keliru
Oleh karena itu ada jawaban kedua yang juga tidak memadai . Jawaban iitu
berbunyi : ikutilah saja suara hatimu !. Suara hati adalah kesadaran kita
sendiri, dan kita tentu saja harus melakukan apa yang kita sadari sebagai
kewajiban . Tetapi sekalai lagi, kesadaran itu dapat keliru. Karenanya perlu
dididik, dan untuk itu kita memerlukan prinsip-prinsip objektif. Kesadaran
moral saya sendiri mmerlukan norma-norma objektif dan tidak memuat
kriteria kebenarannya sendiri. Perlu adanya orientasi objektif.
Ada tiga teori etika normatif yang akan diungkapkan disini, yang kesemuanya
`menyatakan bahwa tujuan kehidupan manusia adalah kebahagiaan. Dan
oleh karena itu prinsip dasar bagi segala tindakan kita adalah agar
kebahagiaan tercapai.
Ketiga teori tersebut memiliki kebersaman bahwa nilai moral tindakan
(tindakan akhlaki atau bukan) itu ditentukan oleh tujuan yang mau dicapai
dengannya: suatu tindakan adalah baik apabila mengusahakan kebahagiaan
dan buruk apabila akan menghalang-halanginya.
Pertama, Hedonisme etis beranggapan bahwa hendaknya manusia hidup
sedemikian rupa sehingga ia semakin bahagia dengan terus mencari nikmat
saja. Ini yang justru dipertanyakan, karena mencari nikmat saja tidak dapat
mengharapkan akan mencapai kebahagiaan, karena manusia selalu merasa
berkekurangan.
Kedua, teori pengembangan diri, didalamnya memuat sesuatu yang hakiki
bagi segenap program moral. Namun justru orang yang memikirkan
pengembangan diri malahan tidak akan berkembang, karena ia hanya
berkisar sekitar dirinya saja.
Ketiga , Utilitarisme mendobrak ketertutupan kedua teori sebelumnya. Ia
menetapkan prinsip tangggung jawab universal sebagai dasarnya. Dari
utilitarisme ini, yang beranggapan bahwa kita sebagai manusia harus selalu
bertanggungjawab terhadap akibat-akibat tindakan kita, bahwa kita
hendaknya mengusahakan hasil-hasil yang paling baik bagi semua tetap
berlaku. Dari inti utilitarisme ini kita bertolak , ada tiga prinsip ;
1. Prinsip baik,
Kesadaran inti utilitarisme adalah jangan merugikan siapa saja.
2. prinsip keadilan
Adil pada hakikatnya adalah bahwa kita memberikan kepada siapa saja apa
yang menjadi haknya.
3. Prinsip hormat terhadap diri sendiri.
Prinsip inilah yang menuntut agar orang tidak membiarkan diri
disalahgunakan.

Hubungan antara ketiganya adalah bahwa prinsip keadilan dan hormat pada
diri sendiri merupakan syarat pelaksanaan sikap baik, sedangkan sikap baik
menjadi daar mengapa seseorang bersedia untuk bersikap adil. Kebaikan dan
keadilan yang kitta tunjukkan kepada orang lain perlu diimbangi dengan sikap
menghormati diri kita sendiri. Kita bertekad untuk berbut baik kepada orang
lain dan bertekad untuk bersikap adil, tetapi tidak dengan membuang diri.
Untuk memperoleh kekuatan moral dan mendasari kepribadian yang
mantap, jawabannya adalah dengan mengembangkan sifat berikut ini :
1. Kejujuran,
Bersikap jujur berarti kita bersikap terbuka dan fair. Tanpa kejujuran sepi ing
pamrih dan rame ing gawe akan menjadi sarana kelicikan jika tidak berakar
kejujuran.
2. Nilai-nilai otentik (manusiawi),
Manusia otentik adalah manusia yang menghayati dan menunjukkan diri
sesuai keasliannya, dengan kepribadian yang sebenarnya,. Bukan orang
jiplakan.
3. Kebersediaan bertanggung jawab,
Bertanggungjawab termasuk kesediaan untuk diminta, untuk memberikan,
pertanggungjawabna atas tindakan-tindakan kita, atas pelaksanaan tugas dan
kewajibannya.
4. Kemandirian moral,
Sikap mandiri pada hakikatnya adalah kemampuan untuk selalu membentuk
penilaian sendiri terhadap suatu masalah moral.
5. Keberanian moral,
Keberanian moral berarti menunjukkan diri dalam tekad untuk tetap
mempertahankan sikap yang telah diyakini sebagai kewajiban .
6. Kerendahan hati,
Kerendahan hati adalah kekuatan batin bahwa kita melihat diri kita seadanya.
7. Realistik dan Kritis,
Realistik berarti menerima real-nya dunia ini, yang harus diikuti pula dengan
sikap kritis untuk tidak menerima realitas begitu saja, namun disesuaikan
dengan tuntunan prinsip-prinsip dasar. Tanggung jawab moral yang nyata
menuntut realistik dan kritis. Kesemuanya itu adalah sikap-sikap uatama yang
mendasari kepribadian yang mantap.

Anda mungkin juga menyukai