Anda di halaman 1dari 10

A.

Proses terjadinya edema cerebri

Edema serebri merupakan akumulasi cairan secara abnormal di dalam jaringan otak
yang kemudian menyebabkan pembesaran secara volumetrik.

Proses terjadinya :

1. Edema Serebri Vasogenik

Paling sering dijumpai di klinik. Edema ini sering juga disebut sebagai edema
basah karena pada beberapa kasus, potongan permukaan otak nampak cairan edema.
Gangguan utama pada blood brain barrier (sawar darah-otak). Permeabilitas sel endotel
kapiler meningkat sehingga air dan komponen yang terlarut keluar dari kapiler masuk
ruangan ekstraseluler, sehingga cairan ekstraseluler bertambah. Dugaan bahwa serotonin
memegang peranan penting pada perubahan permeabilitas sel-sel endotel masih
memerlukan penelitian lebih lanjut. Jenis edema ini dijumpai pada trauma kepala,
iskemia otak, tumor otak, hipertensi maligna, perdarahan otak dan berbagai penyakit yang
merusak pembuluh darah otak.

2. Edema Serebri Sitotoksik

Kelainan dasar terletak pada semua unsur seluler otak (neuron, glia dan endotel
kapiler). Pompa Na tidak berfungsi dengan baik, sehingga ion Na tertimbun dalam sel,
mengakibatkan kenaikan tekanan osmotik intraseluler yang akan menarik cairan masuk
ke dalam sel. Sel makin lama makin membengkak dan akhirnya pecah. Akibat
pembengkakan endotel kapiler, lumen menjadi sempit, iskemia otak makin hebat karena
perfusi darah terganggu. Pada binatang percobaan, pemakaian bakterisid yang luas pada
kulit seperti heksaklorofen dan bahan yang mengandung and, seperti trietil tin, dapat
menimbulkan edema sitotoksik. Edema serebri sitotoksik sering ditemukan pada
hipoksia/anoksia (cardiac arrest), iskemia otak, keracunan air dan intoksikasi zat-zat
kimia tertentu. Juga sering bersama-sama dengan edema serebri vasogenik, misalnya
pada stroke obstruktif (trombosis, emboli serebri) dan meningitis.

3. Edema Serebri Osmotik

Edema terjadi karena adanya perbedaan tekanan osmotik antara plasma darah
(intravaskuler) dan jaringan otak (ekstravaskuler). Apabila tekanan osmotik plasma turun
> 12%, akan terjadi edema serebri dan kenaikan TIK. Hal ini dapat dibuktikan pada
binatang percobaan dengan infus air suling, yang menunjukkan kenaikan volume air.
Pada edema serebri osmotik tidak ada kelainan pada pembuluh darah dan membran sel.

4. Edema Serebri Hidrostatik/Interstitial

Dijumpai pada hidrosefalus obstruktif. Karena sirkulasi terhambat, cairan


srebrospinal merembes melalui dinding ventrikel, meningkatkan volume ruang
ekstraseluler.

B. Indikasi hiperventilasi pada pasien trauma kapitis


Hiperventilasi dapat dilakukan dengan hati-hati. Walaupun mungkin dapat
memperbaiki asidosis sementara dan menurunkan secara cepat tekanan intrakranial pada
penderita dengan dilatasi pupil, namun tidak seluruhnya memberikan keuntungan.
Hiperventilasi dilakukan dengan menurunkan PCO2 yang akan menyebabkan vasokonstriksi
pembuluh darah otak. Hiperventilasi yang berlangsung terlalu lama dan agresif dapat
menyebabkan iskemia otak, karena adanya vasokonstriksi serebri yang berat sehingga
menimbulkan gangguan perfusi otak.Selain itu, hiperventilasi dapat membantu menekan
metabolisme anaerob, sehingga dapat mengurangi kemungkinan terjadinya asidosis. Oleh
karena itu, hiperventilasi sebaiknya dilakukan secara selektif dan hanya dalam waktu tertentu.
Bila dilakukan, sebaiknya Pco2 dipertahankan pada level 25 35 mmHg atau lebih.
C. Manajemen penatalaksanaan pasien trauma kapitis
Prinsip Penatalaksanaan Pasien Cedera Kepala di IGD
Pertolongan pertama dari penderita dengan cedera kepala meliputi, anamnesa sampai
pemeriksaan fisik secara seksama dan stimultan. Pemeriksaan fisik meliputi Airway,
Breathing, Circulation, Disability, expsoure.
1. Pada pemeriksaan airway usahakan jalan nafas stabil, dengan cara kepala miring, buka
mulut, bersihkan muntahan darah, adanya benda asing. Perhatikan tulang leher,
immobilisasi, cegah gerakan hiperekstensi, hiperfleksi ataupun rotasi, Semua penderita
cedera kepala yang tidak sadar harus dianggap disertai cidera vertebrae cervikal sampai
terbukti tidak disertai cedera cervical, maka perlu dipasang collar barce. Jika sudah stabil
tentukan saturasi oksigen, minimal saturasinya diatas 90 %, jika tidak, usahakan untuk
dilakukan intubasi dan support pernafasan.
2. Setelah jalan nafas bebas, sedapat mungkin pernafasannya (Breathing) diperhatikan
frekwensinya normal antara 16 18 X/menit, dengarkan suara nafas bersih, jika tidak ada
nafas lakukan nafas buatan, kalau bisa dilakukan monitor terhadap gas darah dan
pertahankan PCO2 antara 28 35 mmHg karena jika lebih dari 35 mm Hg akan terjadi
vasodilatasi yang berakibat terjadinya edema serebri. Sedangkan jika kurang dari 20 mm
Hg akan menyebabkan vasokonstriksi yang berakibat terjadinya iskemia. Periksa tekanan
oksigen (O2) 100 mm Hg, jika kurang beri oksigen masker 8 liter /menit.
3. Pada pemeriksaan sistem sirkulasi, periksa denyut nadi/jantung, jika (tidak ada) lakukan
resusitasi jantung, Bila shock (tensi < 90 mm Hg nadi >100x per menit dengan infus
cairan RL, cari sumber perdarahan ditempat lain, karena cidera kepala single pada orang
dewasa hampir tidak pernah menimbulkan shock. Terjadinya shock pada cidera kepala
meningkatkan angka kematian 2x.
4. Pada pemeriksaan disability/ kelainan kesadaran, pemeriksaan kesadaran memakai
glasgow coma scale, Mengingat fasilitas pemeriksaan neuroradiologis berupa CT-scan
masih jarang, maka agar dapat mengelola dengan baik, pasien-pasien cedera otak,
khususnya jenis tertutup, berdasarkan gangguan kesadarannya (berdasarkan Glasgow
Coma Scale + GCS) dikelompokkkan menjadi :
1. Cedera kepala ringan (Head Injury Grade I)
GCS : 13-15 bisa disertai disorientasi, amnesia, sakit kepala, mual, muntah.
2. Cedera kepala sedang (Head Injury Grade II)
GCS : 9-12 atau lebih dari 12 tetapi disertai kelainan neurologis fokal.
Disini pasien masih bisa mengikuti/menuruti perintah sederhana.
3. Cedera kepala berat.
GCS : 8 atau kurang (penderita koma), dengan atau tanpa disertai gangguan fungsi
batang otak.
Perlu ditekankan di sini bahwa penilaian derajat gangguan kesadaran ini dilakukan
sesudah stabilisasi sirkulasi dan pernafasan guna memastikan bahwa defisit tersebut
diakibatkan oleh cedera otak dan bukan oleh sebab yang lain.
Skala ini yang digunakan untuk menilai derajat gangguan kesadaran, dikemukakan
pertama kali oleh Jennet dan Teasdale pada tahun 1974.
Penilaiannya adalah berdasarkan respons membuka mata (= E), respon motorik (=
M) dan respon verbal (= V).
Pemeriksaan GCS tidak memerlukan alat bantu, mudah dikerjakan sehingga dapat
dilakukan dimana saja oleh siapa saja.
Periksa kedua pupil bentuk dan besarnya serta catat reaksi terhadap cahaya langsung
maupun tidak langsung, Periksa adanya hemiparese/plegi, Periksa adanya reflek
patologis kanan kiri, Jika penderita sadar baik, tentukan adanya gangguan sensoris
maupun fungsi misal adanya aphasia.
5. Pada pemeriksan exposure, perhatikan bagian tubuh yang terluka, apakan ada jejas atau
lebam pada tubuh akibat benturan.
6. Setelah fungsi vital stabil (ABC stabil baru dilakukan survey yang lain dengan cara
melakukan sekunder survey/ pemeriksaan tambahan seperti skull foto, foto thorax, foto
pelvis, CT Scan dan pemeriksaan ini sebenarnya dikerjakan secara stimultan dan
seksama) (ATLS , 1997).

Penatalaksanaan cedera kepala pada garis besarnya ditujukan pada 2 masalah


pokok yaitu :

1. Mengatasi cedera otak primer


2. Mencegah terjadinya komplikasi berupa cedera otak sekunder.
Berdasarkan gambaran klinisnya seperti yang telah diuraikan di atas, maka
penatalaksanaannya adalah sebagai berikut :

A. Penatalaksanaan cedera kepala ringan


1. Pemeriksaan umum untuk menyingkirkan kemungkinan adanya cedera sistemik.
2. Pemeriksaan neurologis.
3. Pemeriksaan darah untuk menentukan kadar alkohol, pemeriksaan urine.
4. Pemeriksaan x-foto kepala, untuk mengatahui
a. Ada tidaknya fraktur (linear, depresi)
b. Ada tidaknya fraktur facialis
c. Ada tidaknya pergeseran letak kelenjar pinealis (yang telah mengalami
perkapuran)
d. Permukaan udara-cairan dalam sinus
e. Ada tidaknya pneumosefalus
f. Ada tidaknya benda asing

Perlu diketahui bahwa fraktur pada kalvaria didapatkan tiga kali lebih
banyak daripada fraktur dasar tengkorak.Fraktur dasar tengkorak sendiri jarang
sekali terlihat pada foto polosnya, sehingga diagnosisnya ditegakkan berdasarkan
tanda-tanda yang ada berupa hematom pada mata, rhinorrhea, otorrea,
hemotimpanum.

5. Pemeriksaan x-foto vertebra servikal dan lain-lain bila memang diperlukan.


6. Pemeriksaan CT-scan
Idealnya dilakukan pada semua pasien. Bila pada pemeriksaan awal tidak
ditemukan kelainan, pada pemeriksaan ulang beberapa jam kemudian adakalanya
nampak gambaran suatu massa. Tergantung pada hasil pemeriksaan yang didapat,
pasien dengan cedera kepala ringan dapat dipulangkan atau dapat pula dianjurkan
untuk dirawat di rumah sakit.
Indikasi perawatan antara lain bila :
1. Ada amnesia post-cederatika yang berlangsung lebih dari 1 jam.
2. Ada riwayat kehilangan kesadaran.
3. Ada fraktur kepala
4. Ada otorrhoea atau rhinorrhoea
5. Ada kelainan pada pemeriksaan CT-scan-nya.

Kepala pasien yang dapat dipulangkan, diberikan suatu lembaran


peringatan (warning sheet), yang didalamnya tercantum sejumlah gejala dan
tanda yang bila sewaktu-waktu nanti timbul hendaknya yang bersangkutan
segera kembali ke dokter atau ke rumah sakit. Gejala dan tanda-tanda tersebut
antara lain adalah :

1. Ada mual dan muntah

2. Timbul sakit kepala yang hebat

3. Bila timbul kejang

4. Bila nadi sangat lambat atau sangat cepat

5. Bila keluar darah atau cairan dari hidung atau telinga.

B. Penatalaksanaan cedera kepala sedang

Pasien dengan cedera kepala sedang meskipun masih dapat


mengikuti/menuruti perintah, dapat dengan cepat masuk ke dalam yang lebih berat
yaitu derajat III. Oleh karena itu dalam penanganannya harus dipikirkan kemungkinan
tersebut. Urutan pemeriksaannya adalah seperti pada cedera kepala ringan, hanya saja
pemeriksaan CT-scan di sini harus dikerjakan sesegera mungkin.

Meskipun pada pemeriksaan CT-scan tidak ditemukan adanya kelainan,


pasien harus tetap dirawat untuk keperluan observasi.
Pengobatan medikamentosa :

1. Decardon (deksametason) : bolus 10 mg i.v, disusul 4 mg tiap 6 jam.

2. Antikonvulsan : bolus 500 mg i.v. dalam 10 menit disusul dengan 100 mg tiap 8 jam
selama 1 tahun

C. Penatalaksanaan cedera kepala berat


Pada pasien ini penatalaksanaannya dibagi dalam 7 tahapan yaitu :
1. Stabilisasi Kardiopulmoner
Yang perlu diketahui disini adalah :
a. Pada pasien dikerjakan intubasi (Pemasangan endotracheal tube) dan jika perlu
dikerjakan trakheotomi, kemudian dilakukan hiperventialsi sampai pCO2 = 25-
30 mmHg, untuk menurunkan tekanan intra kranial.
b. Dijaga agar jangan sampai terjadi hipotensi. Hipoksia dan hipotensi merupakan
keadaan yang sangat membahayakan otak. Hipotensi sendiri sebenarnya bukan
bersumber pada otak (kecuali pada stadium terminale dimana batang otak
terganggu), melainkan berasal dari sebab lain yaitu dari adanya perdarahan, baik
perdarahan yang nampak maupun yang tidak nampak (lihat tabel 3). Pemberian
transfusi harus segera dilakukan bila Hb kurang dari 10 (Ht = 30). Penyebab lain
adalah mungkin karena adanya gangguan medula spinalis (dengan tetraplegi atau
paraplegi), kontusi jantung, tamponade dan pneummothorax.
c. Pemasangan catheter.
Pada pasien dipasang Foley catheter dan nasogastric-tube (double lumen plastic
catheter).
d. Pemeriksaan radiologik : servikal, thoraks, kepala, abdomen, pelvis, ekstremitas.
2. Pemeriksaan umum
Pemeriksaan ini meliputi :
a. Kepala/leher
b. Thorax
c. Abdomen : cedera limpa, hepar, ginjal
d. Pelvis : perdarahan
e. Vertebra : cedera servikal biasanya menyertai cedera kepala.
3. Pemeriksaan neurologic
Termasuk dalam pemeriksaan ini adalah pemeriksaan :
a. GCS
b. Refleks pupil
Tanda awal dari herniasi lobus temporalis adalah dilatasi ringan pupil dan
refleks cahaya melambat. Tanda awal dari herniasi central chepalic adalah
miosis bilateral.
c. Gerak bola mata :
Oculocephalic (dolls eyes)
Oculovestibular (Calorics)
d. Pemeriksaan motorik
e. Pemeriksaan sensorik
4. Penatalaksanaan cedera-cedera yang lain
5. Penentuan terapi
Tujuan :
1. Mencegah naiknya tekanan intrakranial.Dapat memberikan :
a. Deksametasone (masih kontroversial)
b. Mannitol
2. Mencegah terjadinya bangkitan kejang
3. Dapat diberikan : Phenytoin.
6. Prosedur diagnostic
Termasuk dalam hal ini adalah pemeriksaan :
a. Ventrikulografi
b. Arteriografi
c. CT-Scan
7. Penentuan perlu tidaknya tindakan bedah saraf
Bila terdapat midline shift sebesar 5 mm atau lebih, perlu tindakan bedah
saraf. Dengan tanpa melupakan sifat otak yang kurang menguntungkan dan
mengacu kepada tindakan operasi, maka kita dapat menentukan indikasi
pertolongan bedah pada kasus cedera kapitis.
Cedera tertutup
1. Fraktur impresi
2. Perdarahan epidural
3. Perdarahan subdural
5. Perdarahan intraserebral
6. Operasi dekompresi misal kontusio berat atau edema.
Cedera terbuka
1. Perlukaan kranioserebral
2. Liquorhoea
3. Pneumoencephalik
4. Corpus alienum
5. Luka tembak

TUGAS: INDIVIDU

TRAUMA CARE
OLEH :

H. ALBAR
P.2015.01.204

KELAS P4

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MANDALA WALUYA
(STIKES MW) KENDARI
2016

Anda mungkin juga menyukai