Dan di bumi ada tanda-tanda kebesaran-Nya bagi orang-orang yang yakin. Juga di
diri kamu sendiri. Apakah kamu tidak melihat? (Q. S. al-Zariyat 20-21)
Sesungguhnya pada penciptaan langit dan bumi dan pada perselisihan malam dan
siang ada tanda-tanda kebesaran Tuhan bagi orang-orang yang berpikir, yaitu
orang-orang yang mengingat Allah saat berdiri, duduk, atau berbaring, dan
bertafakkur tentang penciptaan langit dan bumi. (Mereka berkata:) Tuhan Kami!
Engkau tidak ciptakan ini sia-sia. (Q. S. Ali Imran: 190-191)
Dialah Allah, yang tiada tuhan selain Dia. Maharaja, Mahasuci, Mahadamai,
Mahapemberi keamanan, Mahapemelihara, Mahaperkasa, Mahakuasa, Maha Besar.
(Q. S. al-Hasyr:23-24)
Apa yang disebutkan pada ayat di atas adalah sebagian dari sifat-sifat jamal
dan Jalal-Nya.
Juga Allah adalah zat Yang Tak Terbatas dari segala sisi: ilmu, kekuasaan,
kehidupan abadi, dan sebagainya. Oleh karena itu, Ia tidak dibatasi oleh ruang dan
waktu, karena keduanya terbatas. Tetapi pada waktu yang sama, hadir di setiap
ruang dan waktu karena Ia berada di atas keduanya.
Dan Dialah yang di langit adalah tuhan dan di bumi juga tuhan. Dia Mahabijaksana
lagi Mahamengetahui. (Q. S. al-Zukhruf: 84)
Dan Dia bersama kamu di mana pun kamu berada, dan Dia Maha mengetahui apa
yang kamu kerjakan. (Q. S. al-Hadid: 4)
Ya, memang Dia lebih dekat kepada kita dari pada kita kepada diri kita
sendiri. Bahkan Dia ada di dalam diri kita dan di mana saja, tapi pada saat yang
sama tidak menempati ruang.
Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya sendiri (Q. S. Qaf: 16)
Tidak ada satu pun yang serupa dengan-Nya (Q. S. al-Syura: 11)
dan
Tidak ada satu pun yang menyamai-Nya. (Q. S. al-Tauhid: 4)
Kami tidak akan beriman kepadamu sebelum kami melihat Allah secara langsung
(Q. S al-Baqarah: 55),
Musa membawa mereka ke bukit Tur dan menyampaikan permintaan mereka
kepada Allah. Tapi malah mendapat jawaban dari Allah:
Sekali-kali engkau tidak akan melihatku. Tapi lihatlah gunung itu. Jika ia masih
berada di tempatnya maka engkau akan melihatku. Maka tatkala Tuhannya
bertajalli, menampakkan diri, bagi gunung itu, gunung itu hancur lebur dan Musa
jatuh pingsan. Ketika ia siuman, ia berkata: "Mahasuci Engkau. Aku kembali pada-
Mu, dan aku orang pertama yang beriman. (Q. S. al-A'raf: 143)
Ini menunjukkan bahwa Allah mutlak tidak dapat dilihat.
Adapun adanya beberapa ayat atau pun riwayat yang menengarai adanya
kemungkinan melihat Allah, maka yang dimaksud bukan melihat-Nya secara kasat
mata, tapi melalui penglihatan batin atau mata hati, sebab Al-qur'an tidak saling
bertentangan, tapi justeru saling menafsirkan, Al-qur'an yufassiru ba'dhuhu
ba'dhan.
Karena itu, ketika seseorang bertanya kepada Amirul-mukminin, Ali Ibn Abi
Talib: "Apakah engkau pernah melihat tuhanmu?" Amirul-mukminin menjawab:
"Bagaimana aku bisa menyembah Tuhan yang tidak kulihat?" Tapi buru-buru
Amirul-mukminin menyempurnakan kalimatnya: "Tapi Ia tidak dapat dilihat oleh
mata. Ia hanya dapat dijangkau oleh kekuatan hati yang penuh dengan iman."
(Nahjul-balaghah: khutbah 179)
Dalam hal ini memberikan sifat-sifat makhluk kepada Allah seperti ruang,
arah, fisik, atau dapat dilihat akan membuat seseorang tidak dapat mengenal Allah
dan dapat membawa kepada kemusyrikan.
Mahasuci Allah dari sifat-sifat makhluk. Sesungguhnya Ia tidak serupa
dengan apa pun.
Macam-macam Tauhid.
Tauhid dalam ajaran Islam memiliki bagian-bagian, antara lain empat hal
berikut:
1) Tauhid Zat
Yaitu bahwa zat Allah itu esa. Tidak ada yang serupa dengan-Nya. Tidak ada
tandingan dan tidak ada yang menyamai-Nya.
2) Tauhid Sifat
Yaitu bahwa sifat-sifat seperti ilmu, kuasa, keabadian dan sebagainya
menyatu dalam zat-Nya, bahkan adalah zat-Nya sendiri. Sifat-sifat itu tidak sama
dengan sifat-sifat makhluk, yang masing-masing berdiri sendiri dan terpisah dari
yang lainnya.
Hanya saja, untuk menyelami hakikat kesatuan zat dan sifat-sifat-Nya ini
menuntut kejelian dan kedalaman berpikir.
3) Tauhid Af'al atau Perbuatan
Yaitu bahwa segala perbuatan, gerak, dan wujud apapun pada alam semesta
ini bersumber dari keinginan dan kehendak-Nya.
Allah adalah pencipta segala sesuatu dan Dia adalah pemelihara segala
sesuatu (Q. S. al-Zumar: 62)
Dia memiliki kunci-kunci langit dan bumi (Q. S. al-syura: 12)
Memang, tidak ada yang menentukan dalam wujud, alam semesta ini,
kecuali Allah. Akan tetapi ini tidak berarti bahwa manusia terpaksa dalam
perbuatan-perbuatannya, diterminisme. Sama sekali tidak. Manusia justeru bebas
memilih dan mengambil keputusan-keputusan.
4) Tauhid Ibadah
Yaitu bahwa ibadah hanya ditujukan kepada Allah swt semata dan tidak ada
yang patut disembah kecuali Allah swt. Sub Tauhid Ibadah ini adalah sub tauhid
yang paling utama dan yang paling mendapat perhatian para nabi.
Dalam hal ini tauhid tidak hanya terbatas pada empat macam yang kami
sebutkan di atas, tapi masih ada yang lainnya, seperti tauhid kepemilikan, tauhid
milkiyyah,
Apa yang ada di langit dan di bumi adalah milik Allah.( Q. S. al-Baqarah: 284)
dan tauhid keputusan, tauhid hakimiyyah,
Barangsiapa yang tidak memutuskan perkara dengan apa yang telah diturunkan
Allah maka sesungguhnya mereka adalah orang-orang kafir. (S. Q. al-Maidah: 44)
Dan engkau menyembuhkan penderita buta sejak lahir dan penderita belang
dengan izin-Ku, dan ingatlah ketika engkau menghidupkan oranh mati. (Q. S. al-
Maidah: 110)
Atau dalam kisah salah seorang menteri Nabi Sulaiman
Malaikat
Ajaran Islam mengajarkan bahwa malaikat itu ada dan masing-masing
menerima tugas khusus. Ada yang bertugas menyampaikan wahyu kepada para
nabi. Ada yang mencatat amal perbuatan manusia, mencabut nyawa, membantu
orang-orang beriman yang istiqamah, membantu kaum mukminin yang berada di
medan perang, menghukum para pembangkang, dan sebagainya yang berhubungan
dengan alam semesta ini. Adanya tugas-tugas malaikat itu sama sekali tidak
menyalahi prinsip tauhid perbuatan, tauhid af'al, atau tauhid pemeliharaan, tauhid
rububi. Malah sebaliknya, justeru mendukung tauhid, karena semuanya dengan izin
Allah, kekuatan-Nya, dan atas perintah-Nya.
Dari sini dapat dilihat bahwa adanya syafaat para nabi, imam, dan malaikat
sama sekali tidak bertentangan dengan tauhid, bahkan adalah tauhid itu sendiri,
sebab terjadi seizin-Nya.
Tidak ada yang memberi syafaat kecuali setelah mendapat izin-Nya. (Q. S. Yunus:
3)
Sembahlah Allah semata. Kamu tidak mempunyai tuhan selain Dia. (Foot note;
Lihat misalnya pada Al-A'raf: 59, 65, 73, 85, dsb)
Dalam shalat-shalat ketika membaca surat al-Fatihah, selalu mengulang-ulangi
perinsip ini melalui ayat :
Hanya kepada-Mu kami beribadah dan hanya kepada-Mu pula kami memohon
pertolongan. (Q. S. al-Fatihah: 5)
Dengan demikian, jelas bahwa meyakini adanya syafaat para nabi dan para
malaikat atas izin Allah, sebagaimana disebutkan dalam Alquran, bukan merupakan
perbuatan menyembah atau beribadah kepada mereka. Sama sekali tidak.
Demikian pula bertawassul kepada para nabi, sama sekali tidak dapat digolongkan
sebagai ibadah kepada mereka, dan sama sekali tidak bertentangan dengan tauhid
perbuatan atau tauhid ibadah, sebab yang dilakukan hanyalah meminta kepada
mereka agar memohon kepada Allah supaya mengatasi kesulitan yang dihadapinya.
Pembahasan mengenai ini akan diuraikan pada kajian Nubuwah.
Namun ini tidak berarti bahwa ketika manusia tidak dapat mengetahui
hakikat Allah secara detil, berarti manusia juga tidak dapat mengetahui hakikat-Nya
secara umum, ilm ijmali, sehingga harus meninggalkan upayanya untuk mengenal-
Nya dan cukup puas dengan melapalkan lapal-lapal yang ia sendiri tidak
memahaminya. Sama sekali tidak demikian, karena hal ini dapat menghambat
manusia untuk mengenal Allah, sesuatu yang tidak dapat di terima dan tidak pula
diyakini, karena Alquran dan kitab-kitab suci lainnya justeru turun untuk
memperkenalkan Allah, sehingga manusia dapat mengenal-Nya.
Dalam hal ini, banyak hal yang dapat dijadikan contoh, misalnya ruh. Manusia tidak
mengetahui apa hakikat ruh sebenarnya, tapi ia dapat mengetahui secara umum
bahwa ruh itu ada dan dilihat tanda-tandanya.
Al-Imam Muhammad Al-Baqir dalam salah satu haditsnya mengatakan:
Setiap kali kamu menggambarkan Tuhan dengan pikiranmu yang paling dalam
sekalipun, tetap saja itu adalah makhluk dan ciptaan seperti kamu, yang
dikembalikan kepadamu. (Bihar al-Anwar 66: 293)
Dalam hadits lain, dengan redaksi yang sangat indah dan jelas, Imam Ali as telah
menjelaskan cara mengenal Allah. Imam berkata:
Kenabian
Falsafah Pengutusan Nabi
Tujuan Allah mengutus para nabi dan rasul ialah untuk membimbing umat
manusia dan menuntun mereka mencapai kesempurnaan hakiki dan kebahagiaan
abadi. Seandainya para nabi itu tidak diutus maka tujuan penciptaan manusia tidak
akan tercapai dan manusia akan tenggelam dalam kesesatan .
(Mereka Kami utus) selaku rasul-rasul pembawa kabar gembira dan
peringatan supaya manusia tidak punya alasan (atas penyimpangan-
penyimpangannya) terhadap Allah sesudah diutusnya para rasul. (Q. S. al-Nisa:
165)
Di antara para rasul itu ada lima rasul ulul-azmi atau lima rasul pembawa
syariat dan kitab suci yang baru, yaitu, Nuh, Ibrahim, Musa, Isa, dan terakhir nabi
Muhammad saw.
Dan ingatlah ketika Kami mengambil perjanjian dari para nabi dan dari
dirimu serta Nuh, Ibrahim, Musa, dan Isa putra Maryam. Kami telah mengambil dari
mereka perjanjian yang berat (Q. S. al-Ahzab: 7)
Bersabarlah sebagaimana para rasul ulul-azmi bersabar. (Q. S. al-Ahqaf: 35)
Aqidah Islam mengajarkan bahwa Nabi Muhammad saw adalah nabi terakhir
dan penutup para rasul. Tidak ada nabi atau rasul sesudahnya. Syariatnya ditujukan
kepada seluruh umat manusia dan akan tetap eksis sampai akhir zaman, dalam arti
bahwa universalitas ajaran dan hukum Islam mampu menjawab kebutuhan manusia
sepanjang zaman, baik jasmani maupun rohani. Kemudian dari pada itu, siapa pun
yang mengklaim dirinya sebagai nabi atau membawa risalah baru sesudah nabi
Muhammad saw, sesat dan tidak dapat diterima.
Muhammad bukan bapak siapa pun di antara kamu. Tapi ia adalah utusan
Allah dan penutup para nabi. Sesungghnya Allah Mahamengetahui segala sesuatu.
(Q. S. al-Ahzab: 40)
Hidup Rukun dengan Pemeluk Agama Samawi Lain
Islam merupakan satu-satunya agama resmi Ilahi saat ini, tetapi umat
Islam meyakini bahwa wajib hukumnya hidup rukun dan damai dengan pemeluk
agama samawi lain, apakah mereka hidup di negeri Islam atau di tempat lain,
kecuali jika mereka memerangi Islam.
Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil kepada orang-
orang yang tidak memerangimu dalam agama dan tidak mengusirmu dari
negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. (Q. S. al-
Mumtahanah: 8)
Melalui kajian-kajian rasional, Islam dapat dijelaskan dengan baik kepada
seluruh dunia; dan melalui daya tarik Islam yang luar biasa, jika Islam dijelaskan
dengan baik, maka banyak pihak yang akan cenderung ke Islam, lebih-lebih dewasa
ini, dimana banyak pihak yang tertarik pada Islam.
Oleh karena itu ajaran Islam tidak dapat didakwahkan secara paksa.
Tidak ada pemaksaan dalam beragama. Sesungguhnya telah jelas mana
yang benar dan mana yang salah. (Q. S. al-Baqarah: 256)
Pada saat yang sama kepatuhan kaum Muslimin kepada ajarannya
merupakan cara lain untuk menjelaskan Islam, sebagaimana sabda Imam Ja'far as:
Jadilah pendakwah-pendakwah tidak dengan lidahmu. Dengan demikian tidak perlu
kekerasan atau pemaksaan.
Kemaksuman Para Nabi
Menurut ajaran Islam semua nabi maksum, yakni terpelihara dari perbuatan
salah, keliru, dan dosa sepanjang hidup mereka, baik sebelum masa kenabian
maupun sesudahnya. Sebab jika seorang nabi melakukan kesalahan atau dosa,
maka kepercayaan yang diperlukannya untuk posisi kenabian dengan sendirinya
sirna dan orang tidak mempercayainya lagi sebagai penghubung mereka dengan
Tuhan. Orang-orang juga tidak akan lagi menganggapnya sebagai panutan hidup
mereka.
Oleh karena itu adanya sejumlah ayat yang mengesankan seolah-olah
sejumlah nabi pernah berbuat dosa sama sekali tidak dapat difahami dalam
pengertian telah betul-betul melakukan perbuatan dosa. Tidak demikian maksud
ayat-ayat tersebut. Tapi semacam tark al-awla atau perbuatan meninggalkan yang
utama. Maksudnya, di antara dua perbuatan baik, nabi bersangkutan justeru
memilih yang manfaatnya lebih sedikit, padahal ia lebih pantas memilih yang lebih
utama. Atau dengan kata lain, termasuk dalam katagori:
Perbuatan baik untuk maqam abrar, orang-orang baik, adalah buruk untuk maqam
muqarrabin", orang-orang dekat, karena setiap orang dituntut melakukan
perbuatan sesuai dengan maqamnya.
Para Nabi Adalah Hamba-hamba Allah:
Keagungan para nabi dan rasul terletak pada bahwa mereka adalah hamba-
hamba yang taat kepada Allah. Oleh karena itu, dalam shalat, selalu diulang-ulangi
ikrar bahwa Nabi Muhmamad saw adalah hamba Allah dan utusan-Nya:
Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan rasul-Nya.
Tidak seorang nabi pun yang pernah mengaku sebagai Tuhan atau mengajak orang
lain menyembah dirinya.
Tidak patut bagi seorang manusia yang Allah berikan kepadanya kitab, hikmah, dan
kenabian, lalu berkata kepada orang-orang: "Jadilah hamba-hambaku, bukan
Allah". (Q. S. Ali Imran: 79)
Termasuk nabi Isa as. Ia tidak pernah mengajak orang agar menyembah
dirinya. Malah selalu menyatakan dirinya adalah hamba dan utusan Tuhan.
Isa al-Masih tidak pernah enggan untuk menjadi hamba Allah. Demikian pula
para malaikat muqarrabin, yang amat dekat dengan Allah. (Q. S. al-Nisa': 172)
Adapun masalah trinitas, yaitu kepercayaan adanya tiga tuhan, sejarah moderen
Nasrani sendiri membuktikan bahwa hal itu tidak pernah ada pada abad pertama
Masehi, tapi baru muncul sesudah itu.
Mukjizat dan Pengetahuan Ghaib
Status para nabi sebagai hamba-hamba Allah tidak menghalangi mereka
untuk mengetahui perkara-perkara masa lalu, sekarang, dan atau yang akan
datang, dengan izin Allah.
Allah Mahamengetahui yang ghaib. Ia tidak akan memberitahukan rahasia
keghaiban-Nya kepada siapa pun kecuali kepada rasul yang dipilihnya. (Q. S. al-Jin:
26-27)
Di antara mukjizat Nabi Isa as ialah mengungkapkan hal-hal yang
tersembunyi:
Dan aku beritahukan kepadamu apa yang kamu makan dan apa yang kamu simpan
di rumahmu (Q. S. Al-Imran: 49)
Demikian juga Rasulullah saw, ia banyak menginformasikan berita-berita
ghaib melalui wahyu Allah:
Itu adalah berita-berita ghaib yang Kami wahyukan kepadamu (Q. S. Yusuf: 102)
Dengan demikian, tidak ada alasan untuk menolak bahwa para nabi dapat
menginformasikan hal-hal ghaib yang diperolehnya dari wahyu dan dengan izin
Allah swt. Adapun adanya ayat yang menyatakan bahwa Rasulullah saw tidak
memiliki pengetahuan ghaib, yaitu ayat
Dan aku tidak mengetahui yang ghaib dan tidak pula mengatakan bahwa aku
adalah malaikat, ( Q. S. al-Anam: 50)
maksud ayat tersebut ialah bahwa pada dasarnya Rasulullah saw memang tidak
memiliki pengetahuan ghaib. Tetapi tidak berarti bahwa ia tidak memperolehnya
dari Allah swt. Demikian, karena ayat-ayat Alquran saling menafsirkan satu sama
lainnya
Para nabi mampu mengerjakan perkara-perkara luar biasa serta mukjizat-
mukjizat besar dengan izin Allah swt. Keyakinan ini sama sekali tidak syirik dan
tidak pula bertentangan dengan status kehambaan para nabi itu. Nabi Isa as
misalnya, Alquran dengan tegas mengatakan bahwa atas izin Allah ia telah
menghidupkan orang mati dan menyembuhkan penyakit kusta dan belang.
Dan aku menyembuhkan penyakit kusta dan belang, dan aku menghidupkan orang
mati, dengan izin Allah. (Q. S. Ali Imran: 49)
Maqam Syafaat Para Nabi
Para nabi, lebih-lebih Nabi Muhammad saw, memiliki kewenangan memberi
syafaat. Mereka akan memberi syafaat kepada golongan pendosa tertentu, tentu
setelah memperoleh izin dari Allah swt.
Tidak ada pemberi syafaat kecuali setelah mendapat izin-Nya (Q. S. Yunus: 3)
Siapakah yang dapat memberi syafaat di sisi-Nya tanpa seizin-Nya? (Q. S. al-
Baqarah: 255)
Dengan demikian, jika di beberapa ayat Alquran terkesan ada penafian
syafaat secara mutlak seperti ayat:...... (2: 254), maka yang dimaksud bukan
syafaat sebagaimana yang kita jelaskan di atas, tapi syafaat yang bersifat
independen dan tanpa izin Allah, atau syafaat orang-orang yang belum mencapai
tingkat kewenangan memberi syafaat. Demikian, karena seperti yang kita tegaskan
berkali-kali, ayat-ayat Alquran saling menjelaskan satu sama lain.
Dalam ajaran Islam pengertian syafaat adalah sarana yang sangat penting
bagi pendidikan dan pengembalian orang-orang yang tergelincir ke jalan yang lurus,
memotivasi mereka kepada kesucian dan taqwa, serta menghidupkan kembali
harapan di hati mereka, sebab syafaat bukan perkara tanpa aturan. Ia hanya
diberikan kepada orang-orang yang memenuhi syarat untuk menerimanya, yaitu
para pendosa yang dosa-dosanya tidak membuatnya putus hubungan dengan para
pemberi syafaat. Dengan demikian, syafaat merupakan peringatan kepada orang-
orang yang tergelincir agar tidak menutup jalan dan tetap memberikan ruang untuk
kembali ke jalan yang benar agar tidak kehilangan kesempatan mendapatkan
syafaat.
Tawassul
Pada dasarya dalam masalah tawassul serupa dengan masalah syafaat,
yaitu bahwa orang-orang yang menghadapi berbagai problema, apakah problema
duniawi atau ruhani, dapat bertawassul atau meminta kepada Allah melalui para
kekasih-Nya agar problema yang mereka hadapi, dengan izin-Nya, dapat diatasi.
Dengan kata lain, dari satu sisi, ia memohon langsung kepada Allah, tapi dari sisi
lain, menjadikan para kekasih-Nya sebagai perantaranya.
Dan seandainya ketika mereka menzalimi diri mereka (berbuat dosa) datang
kepadamu, lalu minta ampun kepada Allah dan dimintakan ampun oleh Rasul,
tentulah mereka akan dapati Allah Mahapengampun lagi Mahapengasih. (Q. S. al-
Nisa: 64)
Dalam kisah Nabi Yusuf, kita melihat betapa saudara-saudara Yusuf as
meminta ayahnya, Nabi Ya'qub as, bersedia menjadi perantara mereka kepada Allah
seraya berkata:
Ayah! Mohonkan ampunan buat kami atas dosa-dosa kami. Kami adalah orang-
orang yang bersalah. (Q. S. Yusuf: 97)
Dan Nabi Ya'kub pun menerima permintaan mereka dan bersedia menjadi perantara
dengan mengatakan:
Aku akan mohonkan ampun buat kamu kepada Tuhanku (Q. S. Yusuf: 98)
Ini adalah bukti bahwa tawassul dilakukan oleh ummat terdahulu.
Tapi harus diingat bahwa tawassul tidak boleh melewati batas yang
diizinkan, yaitu dengan menganggap para kekasih Allah itu dapat melakukan
sesuatu tanpa izin Allah, karena perbuatan demikian dapat membawa kepada
kemusyrikan. Demikian pula tidak boleh dilakukan dalam bentuk ibadah kepada
para kekasih Allah itu, karena perbuatan demikian syirik dan kafir; karena para
kekasih Allah itu tidak dapat mendatangkan kebaikan atau keburukan tanpa izin
Allah.
Katakanlah aku tidak dapat mendatangkan suatu manfaat buat diriku dan tidak pula
dapat mencegah suatu mudharat dari diriku, kecuali yang dikehendaki Allah (Q. S.
al-A'raf: 188)
Namun harus diakui terdapat sikap berlebih-lebihan pada sebagian kalangan
awam di semua aliran Islam sehingga kita harus selalu membimbing dan menuntun
mereka.
Kesatuan Da'wah Para Nabi
Semua nabi mempunyai tujuan yang sama, yaitu membawa manusia kepada
kebahagiaan yang hakiki melalui iman kepada Allah dan hari akhir, pengajaran dan
pendidikan agama yang benar, serta memperkokoh prinsip-prinsip akhlak. Oleh
karena itu, ajaran Islam menghormati semua nabi, seperti yang diajarkan Alquran
kepada kita:
Kami tidak membeda-bedakan seorang pun sesama utusan-Nya. (Q. S. al-
Baqarah: 285)
Namun demikian, agama-agama samawi itu berkembang secara bertahap,
seiring dengan kesiapan manusia menerima ajaran-ajaran Tuhan. Semakin kesini
semakin sempurna dan semakin dalam, hingga tiba giliran agama Islam yang
merupakan agama terakhir dan tersempurna.
Pemberitaan Nabi-Nabi Terdahulu
Dalam al-Quran diterangkan banyak di antara para nabi terdahulu telah
mengabarkan kedatangan nabi-nabi sesudahnya. Misalnya, Nabi Musa dan Isa as
telah mengabarkan kedatangan Nabi Muhammad saw
Bahkan buku-buku mereka masih merekam hal itu hingga saat ini.
Alquran sendiri berkata :
Mereka yang mengikuti nabi yang ummi (Q. S. al-A'raf: 157)
Oleh karena itu sejarah mencatat bahwa sebelum agama Islam lahir, banyak
warga Yahudi yang sengaja datang ke kota Madinah dengan maksud dapat
berjumpa dengan Nabi Muhammad saw, karena kitab-kitab mereka mengabarkan
bahwa dari kota inilah akan muncul seorang nabi yang membawa agama baru. Tapi
ketika nabi yang mereka harap-harapkan itu betul-betul datang, sebagian mereka
beriman kepadanya, tapi sebagian lain mengingkarinya karena kepentingan mereka
terancam.
Para Nabi dan Perbaikan Keadaan Hidup:
Dalam agama-agama samawi yang diturunkan kepada para nabi, terutama
agama Islam, tidak hanya datang untuk memperbaiki kehidupan individu atau
terbatas pada masalah-masalah maknawiyah dan akhlak saja, tapi sekaligus untuk
memperbaiki dan menyempurnakan seluruh aspek kehidupan sosial. Bahkan banyak
di antara pranata ilmu dan pengetahuan moderen yang sangat dibutuhkan oleh
kehidupan dewasa ini justeru diperoleh dari para nabi, sebagaimana yang
diisyaratkan Alquran pada beberapa ayatnya.
Salah satu tujuan utama diutusnya para nabi ialah tegaknya keadilan sosial
dalam masyarakat manusia.
Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan bukti-bukti yang jelas dan Kami
turunkan bersama mereka al-kitab dan al-mizan agar mereka dapat menegakkan
keadilan dalam masyarakat. (Q. S. al-Hadid: 25)
Menolak Rasialisme
Para nabi, terutama nabi terakhir, Muhammad saw, menolak dengan keras
segala bentuk rasialisme, apakah berdasarkan darah atau warna kulit. Dalam
pandangan mereka, semua umat manusia, dari suku, bahasa, dan ras apapun
adalah sama. Alquran menyeru semua kelompok manusia dengan firman-Nya:
Hai sekalian manusia, sesungguhnya Kami ciptakan kamu dari laki dan
perempuan dan Kami jadikan kamu bersuku-suku dan berbangsa-bangsa agar
kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah adalah
yang paling bertaqwa. (Q. S al-Hujurat: 13)
Dalam sebuah hadits populer dari Nabi saw diriwayatkan bahwa ketika Nabi
saw berada di Mina, saat menunaikan ibadah haji, ia berseru kepada orang-orang
yang berkumpul di sekelilingnya,
Hai sekalian manusia! Sesungghnya tuhan kamu satu dan nenek moyang kamu
juga satu. Ketauhilah! Tidak ada kelebihan bangsa Arab atas Ajam atau Ajam atas
Arab. Tidak ada kelebihan hitam atas merah atau merah atas hitam. Mereka semua
sama, kecuali dengan taqwa. Nabi berkata: "Bukankah telah kusampaikan?"
Mereka menjawab: "Ya". Nabi kemudian melanjutkan: "Pesan ini harus disampaikan
oleh orang-orang yang hadir di sini kepada mereka yang tidak hadir." (Tafsir al-
Qurtubi: 9: 6162)
Islam dan Fitrah Manusia
Pada dasarnya secara fitrah, di dasar hati yang paling dalam, setiap manusia
memiliki bibit-bibit keiimanan kepada Allah, tauhid, dan pokok-pokok ajaran para
nabi. Para nabi kemudian menyirami bibit-bibit yang ada itu dengan air wahyu Ilahi
dan menjauhkannya dari duri-duri kemusyirkan dan penyimpangan.
Ia merupakan fitrah Allah yang telah difitrahkannya pada manusia. Sesungguhnya
tidak ada perubahan pada ciptaan Allah. Dan itu adalah agama yang lurus, tapi
sebagian besar manusia tidak mengetahui. (Q. S. al-Rum: 30)
Oleh karena itu agama selalu menyertai manusia sepanjang sejarah. Ada
pun sikap tidak beragama praktis sangat jarang terjadi dan merupakan
pengecualian, demikian tegas sejarawan. Bahkan terbukti bahwa bangsa-bangsa
yang mendapat tekanan propaganda gencar agar meninggalkan agama, begitu
mendapatkan kebebasan, segera kembali ke agamanya.
Imamah
Keniscayaan Imamah
Sebagaimana al-hikmah al-Ilahiyah, kebijaksanaan Tuhan, menuntut
perlunya pengutusan para rasul untuk membimbing umat manusia, demikian pula
tentang perlunya seorang imam, yakni bahwa al-hikmah al-ilahiyyah juga menuntut
perlunya kehadiran seorang imam sesudah meninggalnya seorang rasul guna terus
dapat membimbing umat manusia dan memelihara kemurnian ajaran para nabi dan
agama Ilahi dari penyimpangan dan perubahan. Selain itu, untuk menerangkan
kebutuhan-kebutuhan zaman dan menyeru umat manusia ke jalan serta
pelaksanaan ajaran para nabi. Tanpa itu, tujuan penciptaan, yaitu kesempurnaan
dan kebahagiaan, al-takamul wa al-saadah, sulit dicapai, karena tidak ada yang
membimbing, sehingga umat manusia tidak tentu arah dan ajaran para nabi
menjadi sia-sia.
Oleh karena itu sesudah Nabi Muhammad saw pasti ada seorang imam
untuk setiap masa.
Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan bergabunglah
bersama orang-orang yang benar, al-shadiqin." (Q. S. al-Taubah: 119)
Ayat ini tidak berlaku untuk satu masa saja, tapi untuk seluruh zaman.
Seruan agar orang-orang beriman bergabung dalam barisan aorang-orang benar,
al-shadiqin, pertanda adanya imam maksum yang harus diikuti pada setiap zaman,
sebagaimana disebutkan oleh banyak mufassir Sunni dan Syi'ah terhadap makna
ayat ini.
Hakikat Imamah
Imamah bukan sekedar jabatan politik atau kekuasaan formal, tetapi
sekaligus sebagai jabatan spritual yang sangat tinggi. Selain menyelenggarakan
pemerintahan Islam, Imam bertanggung jawab membimbing umat manusia dalam
urusan agama dan dunia mereka. Imam juga membimbing pikiran dan rohani
masyarakat. Memelihara syariat Nabi Muhammad saw agar tidak menyimpang atau
berubah serta memperjuangkan tercapainya tujuan pengutusan Nabi Muhammad
saw.
Jabatan tinggi ini diberikan Allah kepada Nabi Ibrahim as setelah Ibrahim
melewati fase kenabian dan risalah, dan setelah lulus dari sejumlah ujian berat.
Ibrahim as. meminta kepada Allah agar jabatan ini diberikan juga kepada sebagian
keturunannya, tetapi Allah menegaskan kepada Ibrahim bahwa orang-orang zalim
dan para pendosa tidak akan mencapai posisi ini.
Dan ingatlah ketika Ibrahim diuji oleh Tuhannya dengan beberapa kalimat
lalu ia menyempurnakannya. Tuhan berkata kepadanya: "Aku angkat engkau
sebagai imam bagi umat manusia." Ibrahim berkata: "Berikan pula kepada
keturunanku.". Tuhan berkata: "Jabatan-Ku ini tidak akan mengenai orang-orang
zalim." (Q. S. al-Baqarah: 124)
Jelas sekali bahwa kedudukan nan tinggi ini tidak dapat diterjemahkan
sebagai jabatan pemerintahan formal. Dengan demikian, jika imamah tidak
diterjemahkan sebagaimana yang telah digambarkan di atas, maka ayat di atas
tidak mempunyai pengertian yang jelas.
Para nabi utama, ulul-azmi, terutama Nabi Muhammad saw, adalah sekaligus
sebagai imam-imam yang memiliki otoritas kepemimpinan spritual ruhaniah dan
kepemimpinan formal material. Dengan demikian, Nabi Muhammad saw tidak
sekedar menyampaikan ajaran Tuhan, tapi sekaligus memimpin umat manusia, dan
jabatan imamah ini diberikan kepada Nabi saw sejak awal kenabiannya.
Dalam hal ini garis imamah sesudah Rasulullah saw dilanjutkan oleh orang-
orang suci dari zuriyatnya, keturunannya.
Dari batasan di atas mengenai imamah tampak bahwa untuk mencapai
kedudukan ini dituntut syarat-syarat yang sangat berat, baik dari sisi taqwa, yaitu
telah mencapai tingkat ishmah, terpelihara dari perbuatan-perbuatan dosa, maupun
dari sisi ilmu dan pengetahuan yang mencakup seluruh bidang pengetahuan dan
aturan agama serta pengetahuan tentang manusia dan kebutuhannya untuk setiap
zaman.
Wahai orang-orang! Bukankah aku lebih utama atas dirimu daripada kamu
sendiri? Mereka berkata: "Betul". Nabi melanjutkan: "Barangsiapa yang aku adalah
pemimpinnya, maulahu, maka Ali adalah pemimpinnya.
Dengan demikian adalah mustahil melewati hadits di atas begitu saja atau
menafsirkannya sebatas pada cinta kepada Ali, padahal Nabi saw begitu
memperhatikan masalah ini.
Bukankah hadits di atas sesuai dengan apa yang diriwayatkan Ibn al-Atsir
dalam kitabnya al-Kamil bahwa di awal kenabiannya, atas perintah Allah:
Dan berilah peringatan kepada keluarga dekatmu (Q. S. al-Syuara: 214...)
Nabi Muhammad saw mengumpulkan segenap keluarganya dan menawarkan
kepada mereka agama Islam. Pada kesempatan itu Nabi berkata:
Siapakah di antara kamu yang bersedia membantuku dalam urusan ini sehingga ia
menjadi saudaraku, washiku, dan khalifahku pada kamu. Tidak seorang pun yang
menyambutnya kecuali Ali yang berkata kepada Nabi saw:
Engkau takkan mendapatkan suatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhir
mencintai orang-orang yang menentang Allah dan rasul-Nya, meskipun mereka
adalah orang-orang tua mereka sendiri, anak-anak mereka, saudara-saudara
mereka, atau keluarga dekat mereka. Mereka adalah orang-orang yang telah
ditetapkan iman oleh Allah dalam hati mereka. (Q. S. al-Mujadalah: 22)
Ya, orang-orang yang menentang atau mengganggu Rasul, baik pada masa
hidupnya atau sesudah wafatnya, sedikitpun tidak pantas mendapat pujian atau
penghormatan.
Tetapi tidak boleh lupa bahwa sejumlah sahabat Nabi telah berjuang habis-
habisan untuk menyebarkan agama Islam sehingga Allah memuji mereka dan
memuji para penerus mereka, tabiin, yang mengikuti jalan para Sahabat yang
salih; pujian yang juga diberikan kepada siapa saja berjalan di jalan yang lurus
hingga hari akhir.
Para pemeluk Islam awal-awal sekali, al-sabiqun al-awwalun, dari golongan
Muhajirin dan Anshar dan para pengikut mereka dengan kebaikan, Allah ridha
kepada mereka dan mereka ridha kepada Allah. (Q. S. al-Taubah: 100)
Beberapa hadis yang dijumpai dalam kitab-kitab Sunni memuat riwayat bahwa Nabi
Saw. ketika hijrah ke Madinah menemu-kan kaum Yahudi sedang berpuasa pada 10
Muharram. Beliau bertanya kepada mereka apa alasan mereka berpuasa. Mereka
menjawab, Ini hari kemenangan: hari ketika Tuhan menyelamat-kan Bani Israil
dari musuh mereka (yakni Firaun). Oleh karenanya, Ms berpuasa pada hari itu.
Nabi Saw. berkata, Aku lebih berhak berpuasa daripada kalian. Oleh karenanya,
beliau berpuasa pada hari itu dan memerintahkan kaum Muslim untuk berbuat
sama. (Al-Shahih, al-Bukhar, Jilid 3, edisi Mesir, hal.54; Misykat al-Masabih, edisi
Delhi, 1307 H, hal.172). Disebut-kan oleh pensyarah Misykat al-Masabih bahwa
peristiwa itu terjadi pada tahun kedua, karena pada tahun pertama, Nabi sampai di
Madinah setelah Asyura, di bulan Rabi Al-Awwal.
Begitu pentingnya puasa pada hari tersebut bisa disimpulkan dari hadis lain
yang diriwayatkan dalam Al-Shahih al-Bukhari: Nabi Saw. menyuruh seorang laki-
laki dari suku Aslam: Kabarkanlah kepada manusia bahwa barangsiapa yang telah
makan harus berpuasa pada sebagian siang, dan barangsiapa yang belum makan
harus berpuasa (sepanjang hari), karena ini hari Asyura (hari kesepuluh bulan
Muharram).
Pada tahun itu juga puasa Ramadhan diwajibkan dan kewajiban berpuasa
pada hari Asyura dihapus [diubah hukumnya, pen.], sebagaimana telah disebutkan
dalam hadis-hadis lain yang diriwayatkan dalam kitab yang sama. Dengan
demikian, puasa tersebut berubah hukumnya menjadi puasa sunnah.
Untuk mengetahui lebih jelas, mari kita lihat hadis-hadis berikut.
Pertama, kaum Yahudi mempunyai penanggalan dan bulan tersendiri. Tidak logis
me-ngatakan bahwa mereka berpuasa pada 10 Muharram kecuali jika itu bisa
dibuktikan bah-wa tanggal tersebut selalu bersamaan dengan hari puasanya Yahudi.
Saya telah menyebut-kan hal ini dalam artikel berjudul Martyrdom of Imam
Husayn and the Muslim and the Jewish Calendars (al-Serat, Jilid 6, No. 3-4,
Muharram 1401/November 1980) bahwa bulan pertama kaum Yahudi (Abib,
belakangan dinamai Nisan) bersamaan dengan bulan Rajab pada bangsa Arab.
W.O.E. Oesterley dan Theodore H. Robinson telah menulis bahwa di Arabia
perayaan bulan baru yang paling penting jatuh pada bulan Rajab (sic), yang
bertepatan dengan bulan Abib kaum Yahudi, karena bulan itu masa ketika bangsa
Arab kuno merayakan festival musim semi. (Hebrew Religion, SPCK, London, 1955,
hal.128).
Mungkin saja, pada zaman dulu dua cabang keturunan Nabi Ibrahim as
mempunyai sistem penanggalan yang sama dengan penambahan satu bulan tujuh
kali setiap 19 tahun. Dan, dengan cara yang sama bulan ketujuh kaum Yahudi,
Tishri I, bertepatan dengan bulan Muharram. Sedangkan hari kesepuluh (Asyura)
Muharram berbarengan dengan 10 Tishri I, Hari Pengampunan bangsa Yahudi
yakni hari puasa mereka. Dalam artikel tersebut, dikatakan bahwa dua penanggalan
tersebut kehi-langan sinkronisasinya ketika Islam, dalam tahun ke-9 Hijrah, tidak
membolehkan penanggalan. Namun pada konsiderasi yang lebih dalam, hal itu
terjadi kesamaan sejak lama sebelum kemun-culan Islam, karena bangsa Arab tidak
mengikuti kalkulasi matematik apapun dalam penanggalan mereka. Itulah mengapa
Muharram pada tahun ke-2 Hijrah berawal pada 5 Juli 623 (al-Munjid, edisi ke-21),
bulan-bulan sebelum Tishri I (yang selalu bertepatan dengan September-Oktober).
Pendek kata, Asyura Muharram pada ta-hun itu (atau untuk masalah
tersebut, selama ke-seluruhan hidup Nabi di Madinah) tidak memiliki signifikansi
apapun dengan kaum Yahudi.
Pertanyaannya adalah: Mengapa mereka berpuasa pada hari tersebut?
Kedua, literatur Midrashic kaum Yahudi ihwal hari ke-10 bulan ke-7 (Yom
Hakippurim Hari Pengampunan) berkaitan dengan peristiwa peng-ambilan
lembar-lembar Perjanjian dari Gunung Sinai, sebagai-mana yang telah ditulis Dr
Mishael Maswari-Caspi dalam suratnya, mengutip pada artikel saya sebelumnya,
yang disebutkan di muka.
Pertanyaan: Jika kaum Yahudi ingin tetap menyesuaikan bulan Tis-hri
dengan Muharram, bagaimana mereka bisa lupa meriwayatkan ha-dis ini dari Nabi?
Ketiga, bulan yang di dalamnya Tuhan me-nyelamatkan Bani Israil dari Firaun
adalah Abib (yakni Rajab), sebagai-mana disebutkan Injil de-ngan jelas:
Perhatikan-lah bulan Abib, tetaplah pada jalur Allah Tuhan-mu; karena pada bulan
Abib Allah Tuhanmu mengeluarkan kalian dari Mesir pada malam hari. (Deut.,
16:1).
Pertanyaan: Bagaimana kaum Yahudi bisa mengubah sebuah peristiwa Abib
(yang semula bertepatan dengan Rajab) ke Muharram, dengan penyangkalan
terang-terangan terhadap Taurat mereka?
Dan terakhir, di sini ada satu noktah untuk menilai kaum Muslim: Nabi Saw.
diutus dengan sebuah agama untuk menghapus semua agama dan syariat
sebelumnya. Bagaimana bisa beliau merendahkan martabat dengan meniru
kebiasaan kaum Yahudi?
Adalah jelas dari fakta yang disebutkan di atas bahwa kaum Yahudi tidak
mempunyai alasan sama sekali untuk berpuasa pada Asyura Muharram pada
periode tersebut; dan kisah ini yang terbangun pada premis tersebut, adalah se-
kadar fiksi. Dengan gamblang, peristiwa itu dire-kayasa oleh periwayat yang hanya
tahu bahwa pada suatu ketika di bulan Muharram bertepatan dengan Tishri I-nya
kaum Yahudi; namun tidak menyadari sepenuhnya agama dan kebudayaan kaum
Yahudi kontemporer.
Orang merasa enggan menyebutkan hal ini di sini dan hadis-hadis sejenisnya
dicipta-kan oleh para pengikut Bani Umayyah, setelah kesyahidan Imam Hu-sain,
sebagai bagian kam-panye mereka untuk mengubah hari 10 Mu-harram sebagai
hari ber-suka cita. Hadis-hadis ini dari genre yang sama karena hadis-hadis itu
menyatakan bahwa ber-bagai peristiwa muncul pada 10 Muharram se-perti di mana
perahu Nabi Nuh as. terdampar di Gunung Arafat, api men-jadi dingin dan aman
bagi Nabi Ibrhim as., dan Nabi Is diangkat ke langit. Dalam kate-gori yang sama
muncul hadis-hadis yang men-dorong kaum Muslim untuk menjadikan Asyura
sebagai hari suka cita, dan sebagian makanan yang disimpan pada hari tersebut
akan menambah berkah dan mendatangkan rahmat Allah bagi penghuni rumah.
Tuntunan Ahlul Bayt di Hari
'Asyura
Karena hal di atas dan faktor-faktor mulia lainnya maka sudah merupakan tradisi
Ahlulbait sepanjang masa, sejak masa Imam Al Zain al-Abidn hingga dewasa ini,
dan akan terus berlangsung sampai hari kiamat, memperingati dan merayakan hari
agung ini dengan berbagai cara. Tentu saja dengan tidak menyalahi kaidah agama
atau melanggar syariat.
(1) Syaikh Ab Jafar al-Thus meriwayatkan dalam kitabnya al-Mishbh dari Uqbah
dari ayahnya bahwa Imam Muhammad al-Bqir bersabda: Barangsiapa ziarah
kepada al-Husain Ibn Al as pada hari kesepuluh Muharram dan menangis di
sisinya, maka ia akan dikaruniai Allah di akhirat kelak sebanyak pahala dua ribu
haji, dua ribu umrah, dan dua ribu jihad sebagaimana pahala orang yang haji,
umrah, dan jihad bersama Rasulullah dan para Imam. Ayah Uqbah bertanya
kepada Imam, Bagaimana dengan orang-orang yang tinggal jauh dan tidak
dapat berziarah kepadanya pada hari itu? Imam al-Bqir menjawab,
Hendaklah ia pergi ke tanah lapang atau naik ke atap rumahnya, kemudian
menghadap ke arah al-Husain dengan mengucap salam kepadanya dan giat
mengutuk pembunuhnya, lalu shalat dua rakaat. Hendaklah itu dilakukannya
pada saat matahari naik sebelum zawal, zuhur. Setelah itu hendaklah ia
menangisi al-Husain dan menyuruh orang yang ia tidak khawatir terhadapnya
untuk menangis. Hendaklah pula ia memperingati kesusahan yang menimpa al-
Husain dengan cara menunjuk-kan sikap sedih, kemudian saling mengucap-kan
taziyah atas duka cita mereka terhadap al-Husain. Jika mereka melakukan itu
aku yang akan menjamin mereka. Ayah Uqbah bertanya, Engkau menjamin
mereka dan engkau sendiri yang akan melakukannya? Imam menjawab, Ya,
akulah yang menjamin dan aku sendiri yang akan melakukan itu.
(2) Diriwayatkan dari Imam Ridha as: Barangsiapa meninggalkan urusan dunianya
pada hari Asyura maka Allah akan memenuhi hajat dunia dan akhiratnya.
Barangsiapa yang hari Asyura adalah hari kesusahannya, kesedihannya, dan
tangisnya, Allah akan jadikan hari kiamat hari kebahagiaan dan
kesenangannya, dan ia akan mendapat kemuliaan di sisi kami. Barangsiapa
menjadikan hari Asyura sebagai hari kesenangan dan menyimpan sesuatu
untuk kebutuhan dapurnya, Allah tidak akan berkati simpan-annya dan ia akan
dibangkitkan pada hari kiamat bersama Yazid, Ubaidilah Ibn Ziyad, dan Umar
ibn Saad di neraka yang paling dalam.
(3) Al-Majlisi dalam kitabnya al-Bihr meriwayatkan bahwa seorang ulama bernama
Sayyid Al al-Husain berkisah:
Pada sebuah hari Asyura kami berkumpul di makam Imam Al Ridha as. Seseorang
di antara kami membawa riwayat dari Imam al-Bqir yang mengatakan
Barangsiapa yang air matanya keluar karena duka citanya kepada al-Husain
meskipun sebesar sayap nyamuk, Allah akan ampuni dosa-dosanva meskipun
sebanyak buih di laut. Seseorang yang hadir di majlis menolak kebenaran hadis
tersebut dan menganggapnya tidak logis. Pada malam harinya ia bermimpi seakan
berada pada padang mahsyar. la sangat kehausan. Kemudian ia melihat telaga
penuh air yang dijaga dua orang laki-laki dan seorang perempuan yang cahaya
wajah mereka menyinari semua makhluk. Mereka berpakaian hitam dan menangis
sedih. la bertanya siapa mereka. Seseorang memberitahunya bahwa mereka adalah
Nabi, Imam Al dan Fthimah al-Zahra. Ia bertanya, Mengapa mereka berpakaian
hitam dan menangis sedih? Seseorang berkata kepadanya, Bukankah hari ini
adalah hari Asyura, hari terbunuhnva al-Husain? Mereka sedih karena itu. Lalu ia
mendekati Fthimah al-Zahra dan berkata, Wahai putri Rasulullah, aku amat
haus. Fthimah melihat kepadanya dengan cemberut dan berkata, Engkau yang
menolak keutamaan menangisi derita yang menimpa anakku Husain, buah hatiku
dan cahaya mataku yang terbunuh secara tidak adil dan teraniaya? Sungguh Allah
mengutuk pembunuhnya, penganiayanya, dan pencegah air darinya.