Anda di halaman 1dari 16

MITIGASI DAERAH PANTAI DENGAN MANGROVE

Makalah

Tugas ini disusun untuk memenuhi mata kuliah Hidrometeorologi yang diampu oleh Dr.
Eng. Donny Harisuseno, ST., MT.

Oleh:

ELANG TIMUR M P 145060400111015


YASINTA SURYA MAHARANI 145060400111016
ALFA ANSHORI F 145060400111022
ISTIMRORA RAKA D 145060400111023

UNIVERSITAS BRAWIJAYA
FAKULTAS TEKNIK
TEKNIK PENGAIRAN
MALANG
2017

i
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI...................................................................................................................... i
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang ................................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah .............................................................................................. 1
1.3 Tujuan dan Manfaat ........................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN ................................................................................................. 2
2.1 Perubahan Iklim Saat Ini .................................................................................... 2
2.2 Naiknya Permukaan Air Laut Akibat Perubahan Iklim ..................................... 3
2.3 Dampak Naiknya Permukaan Air Laut .............................................................. 4
2.4 Mitigasi Mangrove ............................................................................................. 5
2.4.1 Hutan Mangrove .......................................................................................... 5
2.4.2 Peranan Hutan Mangrove ........................................................................... 6
BAB III PENUTUP ....................................................................................................... 13
3.1 Kesimpulan ...................................................................................................... 13
3.2 Saran ................................................................................................................. 13
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................................... 14

ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dewasa ini meningkatnya konsentrasi gas-gas rumah kaca (CO2, CH4, CFC,
HFC, N2O), terutama peningkatan konsentrasi CO2 di atmosfir menyebabkan
terjadinya global warming (peningkatan suhu udara secara global) yang memicu
terjadinya global climate change (perubahan iklim secara global). Fenomena ini
memberikan berbagai dampak yang berpengaruh penting terhadap keberlanjutan hidup
manusia dan makhluk hidup lainnya di planet bumi ini, di antaranya adalah pergeseran
musim dan perubahan pola/distribusi hujan yang memicu terjadinya banjir dan tanah
longsor pada musim penghujan dan kekeringan pada musim kemarau, naiknya muka air
laut yang berpotensi menenggelamkan pulau-pulau kecil dan banjir rob, dan bencana
badai/gelombang yang sering meluluhlantakan sarana-prasarana penopang kehidupan di
kawasan pesisir.
Sebagai ekosistem yang berada di daerah peralihan antara laut dan darat,
mangrove akan merupakan tipe ekosistem yang pertama terkena pengaruh berbagai
dampak yang akan terjadi akibat perubahan iklim global ini. Namun ekosistem mangrove
itu sendiri juga berperan dalam mitigasi perubahan iklim karena mampu mereduksi
CO2 melalui mekanisme sekuestrasi, penyerapan karbon dari atmosfer dan
penyimpanannya dalam beberapa kompartemen seperti tumbuhan, serasah dan materi
organik tanah.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana terjadinya perubahan iklim saat ini?
2. Bagaimana naiknya permukaan air laut akibat perubahan iklim?
3. Bagaiman dampak akibat naiknya permukaan air laut?
4. Bagaimana mitigasi mangrove untuk mengurangi perubahan iklim pada
daerah pantai?

1.3 Tujuan dan Manfaat


1. Mengetahui perubahan iklim yang terjadi saat ini.
2. Megetahui naiknya permukaan air laut akibat perubahan iklim.
3. Mengetahui dampak akibat naiknya permukaan air laut.
4. Mengetahui cara mitigasi mangrove untuk mengurangai perubahan iklim
pada daerah pantai.

1
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Perubahan Iklim Saat Ini
Perubahan iklim global sebagai implikasi dari pemanasan global telah
mengakibatkan ketidakstabilan atmosfer di lapisan bawah terutama yang dekat dengan
permukaan bumi. Pemanasan global ini disebabkan oleh meningkatnya gas-gas rumah
kaca yang dominan ditimbulkan oleh industri-industri. Gas-gas rumah kaca yang
meningkat ini menimbulkan efek pemantulan dan penyerapan terhadap gelombang
panjang yang bersifat panas (inframerah) yang diemisikan oleh permukaan bumi kembali
ke permukaan bumi.
Perubahan iklim bukanlah hal baru. Iklim global sudah selalu berubah-ubah.
Jutaan tahun yang lalu, sebagian wilayah dunia yang kini lebih hangat, dahulunya
merupakan wilayah yang tertutupi oleh es, dan beberapa abad terakhir ini, suhu rata-rata
telah naik turun secara musiman, sebagai akibat fluktuasi radiasi matahari, misalnya, atau
akibat letusan gunung berapi secara berkala. Namun, yang baru adalah bahwa perubahan
iklim yang ada saat ini dan yang akan datang dapat disebabkan bukan hanya oleh
peristiwa alam melainkan lebih karena berbagai aktivitas manusia. Kemajuan pesat
pembangunan ekonomi kita memberikan dampak yang serius terhadap iklim dunia, antara
lain lewat pembakaran secara besar-besaran batu bara, minyak, dan kayu, misalnya, serta
pembabatan hutan.
Dalam laporan terbaru, Fourth Assessment Report, yang dikeluarkan oleh
Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), satu badan PBB yang terdiri dari
1.300 ilmuwan dari seluruh dunia, terungkap bahwa 90% aktivitas manusia selama 250
tahun terakhir inilah yang membuat planet kita semakin panas.Sejak Revolusi Industri,
tingkat karbon dioksida beranjak naik mulai dari 280 ppm menjadi 379 ppm dalam 150
tahun terakhir. Tidak main-main, peningkatan konsentrasi CO2 di atmosfer Bumi itu
tertinggi sejak 650.000 tahun terakhir! IPCC juga menyimpulkan bahwa 90% gas rumah
kaca yang dihasilkan manusia, seperti karbon dioksida, metana, dan dinitrogen oksida,
khususnya selama 50 tahun ini, telah secara drastis menaikkan suhu Bumi. Sebelum masa
industri, aktivitas manusia tidak banyak mengeluarkan gas rumah kaca, tetapi
pertambahan penduduk, pembabatan hutan, industri peternakan, dan penggunaan bahan
bakar fosil menyebabkan gas rumah kaca di atmosfer bertambah banyak dan
menyumbang pada pemanasan global.

2
Tetapi, menurut Laporan Perserikatan Bangsa Bangsa tentang peternakan dan
lingkungan yang diterbitkan pada tahun 2006 mengungkapkan bahwa, industri
peternakan adalah penghasil emisi gas rumah kaca yang terbesar (18%), jumlah ini lebih
banyak dari gabungan emisi gas rumah kaca seluruh transportasi di seluruh dunia (13%).
Hampir seperlima (20 persen) dari emisi karbon berasal dari peternakan. Jumlah ini
melampaui jumlah emisi gabungan yang berasal dari semua kendaraan di dunia.

2.2 Naiknya Permukaan Air Laut Akibat Perubahan Iklim


Kenaikan permukaan laut adalah fenomena naiknya permukaan laut yang
disebabkan oleh banyak faktor yang kompleks. Permukaan laut telah mengalami
kenaikan setinggi 120 meter sejak puncak zaman es 18.000 tahun yang lalu. Kenaikan
tertinggi muka air laut terjadi sebelum 6.000 tahun yang lalu. Sejak 3.000 tahun yang lalu
hingga awal abad ke-19, muka air laut hampir tetap hanya bertambah 0,1 hingga 0,2
mm/tahun; sejak tahun 1900, permukaan laut naik 1 hingga 3 mm/tahun; sejak tahun 1992
satelit altimetri TOPEX/Poseidon mengindikasikan laju kenaikan muka laut sebesar 3
mm/tahun. Perubahan ini bisa jadi merupakan pertanda awal dari efek pemanasan global
terhadap kenaikan muka air laut. Pemanasan global diperkirakan memberikan pengaruh
yang signifikan pada kenaikan muka air laut di abad ke-20 ini.
Menurut riset yang ada, pemanasan global dari efek rumah kaca yang
menyebabkan perubahan iklim dapat menaikan permukaan air laut hingga 5200 cm
untuk abad selanjutnya. Ketinggian air laut memang selalu berfluktuasi dengan
perubahan dari temperatur global. Ketika zaman es dimana temperatur global sebesar 5
derajat Celsius lebih rendah dari sekarang, kebanyakan dari air laut terikat dalam gletser
dan ketinggian permukaan air lautnya sekitar 100 meter lebih rendah dari sekarang.
Tetapi, saat periode terakhir interglacial (100.000 tahun yang lalu), permukaan air laut
lebih tinggi 6 meter dari sekarang dan temperaturnya berkisar 1 derajat Celsius lebih
hangat dari sekarang. Tren permukaan air laut global telah diestimasi dengan cara
mengkombinasikan trentren dari tidal stations di seluruh dunia. Rekor-rekor ini
memperlihatkan bahwa selama abad terakhir ini, permukaan air laut di seluruh dunia telah
naik hingga 1025 cm yang sebagian besar diakibatkan oleh pemanasan global dari abad
terakhir.
Kenaikan permukaan air laut akan membanjiri rawa-rawa dan dataran rendah,
mempercepat erosi dan memperburuk banjir di pesisir pantai, mengancam bangunan
bangunan di daerah pesisir, kehilangan kawasan wisata pantai yang indah dan juga

3
meningkatkan salinitas (pencemaran kadar garam) di daerah sungai, teluk, dan air di
dalam tanah (aquifers).

2.3 Dampak Naiknya Permukaan Air Laut


Dampak paling serius dari naiknya tinggi muka air laut ini adalah hilangnya
pulau-pulau kecil. Diperkirakan dari 44 anggota SIDS, 14 negara kecil di antaranya
terancam hilang akibat naiknya permukaan laut, antara lain beberapa negara pulau di
Samudra Pasifik, yaitu Sychelles, Tuvalu, Kiribati, dan Palau, serta Maladewa di
Samudra Hindia. Akibat pemanasan global, minimal 18 pulau di muka bumi ini telah
tenggelam, antara lain tujuh pulau di Manus, sebuah provinsi di Papua Niugini. Kiribati,
negara pulau yang berpenduduk 107.800 orang, sekitar 30 pulaunya saat ini sedang
tenggelam, sedangkan tiga pulau karangnya telah tenggelam. Maladewa yang
berpenduduk 369.000 jiwa, presidennya telah menyatakan akan merelokasikan seluruh
negeri itu. Sementara itu, Vanuatu yang didiami 212.000 penduduk, sebagian telah
diungsikan dan desa-desa di pesisir direlokasikan karena ancaman nyata itu, delegasi dari
negara kepulauan tersebut serta Aljazair dan Tanzania sangat mendukung WOC dan akan
hadir di Manado, mengingat negara tersebut terancam hilang dari muka bumi ini akibat
perubahan iklim.
Di antara negara kepulauan di dunia, agaknya kerugian terbesar bakal dihadapi
Indonesia, sebagai negara yang memiliki jumlah pulau terbanyak. Pada tahun 2030
potensi kehilangan pulaunya sudah mencapai sekitar 2.000 bila tidak ada program
mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, urai Indroyono, Sekretaris Menko Kesra yang juga
mantan Kepala Badan Riset Kelautan dan Perikanan DKP. Saat ini belum diketahui
berapa sesungguhnya jumlah pulau di Nusantara ini yang telah hilang karena dampak
kenaikan permukaan laut. Namun, pengamatan Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan
Nasional (Bakosurtanal) menunjukkan penciutan daerah pantai sudah terlihat di pulau-
pulau yang berada di Paparan Sunda dan Paparan Sahul, ungkap Aris Poniman, Deputi
Sumber Dasar Sumber Daya Alam Bakosurtanal. Paparan Sunda meliputi pantai timur
Pulau Sumatera, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Selatan serta pantai utara Pulau Jawa.
Adapun Paparan Sahul berada di sekitar wilayah Papua. Penjelasan Aris didasari pada
pemantauan pasang surut yang dilakukan Bakosurtanal di berbagai wilayah pantai
Nusantara sejak 30 tahun terakhir.

4
2.4 Mitigasi Mangrove
2.4.1 Hutan Mangrove
Hutan Mangrove atau disebut juga hutan bakau adalah hutan yang tumbuh di atas
rawarawa berair payau yang terletak pada garis pantai dan dipengaruhi oleh pasangsurut
air laut. Hutan ini tumbuh khususnya di tempattempat di mana terjadi pelumpuran dan
akumulasi bahan organik. Baik di teluk - teluk yang terlindung dari gempuran ombak,
maupun di sekitar muara sungai di mana air melambat dan mengendapkan lumpur yang
dibawanya dari hulu.
Ekosistem hutan bakau bersifat khas, baik karena adanya pelumpuran yang
mengakibatkan kurangnya aerasi tanah, salinitas tanahnya yang tinggi, serta mengalami
daur penggenangan oleh pasangsurut air laut. Hanya sedikit jenis tumbuhan yang
bertahan hidup di tempat semacam ini, dan jenisjenis ini kebanyakan bersifat khas hutan
bakau karena telah melewati proses adaptasi dan evolusi.

Gambar 2.1 Hutan Mangrove


Hutanhutan bakau menyebar luas di bagian yang cukup panas di dunia, terutama
di sekeliling khatulistiwa di wilayah tropika dan sedikit di subtropika.
Luas hutan bakau Indonesia antara 2,5 hingga 4,5 juta hektar, merupakan
mangrove yang terluas didunia. Melebihi Brazil (1,3 juta ha), Nigeria (1,1 juta ha) dan
Australia (0,97 ha) (Spalding dkk, 1997dalam Noor dkk, 1999).
Di Indonesia, hutanhutan mangrove yang luas terdapat di seputar Dangkalan
Sunda yang relatif tenang dan merupakan tempat bermuara sungaisungai besar. Yakni di
pantai timur Sumatra, dan pantai barat serta selatan Kalimantan. Di pantai utara Jawa,
hutanhutan ini telah lama terkikis oleh kebutuhan penduduknya terhadap lahan.
Di bagian timur Indonesia, di tepi Dangkalan Sahul, hutanhutan mangrove yang
masih baik terdapat di pantai barat daya Papua, terutama di sekitar Teluk Bintuni.

5
Mangrove di Papua mencapai luas 1,3 juta ha, sekitar sepertiga dari luas hutan bakau
Indonesia.

Gambar 2.2 Penyebaran Hutan Mangrove

2.4.2 Peranan Hutan Mangrove


Sebagai ekosistem yang ada di daerah peralihan antara laut dan darat, mangrove
merupakan tipe ekosistem yang pertama terkena pengaruh berbagai dampak yang akan
terjadi akibat perubahan iklim global (Kusmana, 2010). Hal serupa diutarakan oleh
beberapa ahli, di antaranya Field (1995), di berbagai belahan dunia akan terjadi
peningkatan suhu udara, perubahan hidrologi, dan peningkatan muka air laut, serta
peningkatan frekuensi bancana badai tropis.
Salah satu dampak perubahan iklim global adalah terjadinya pemanasan global,
yaitu meningkatnya suhu rata-rata permukaan bumi akibat peningkatan emisi Gas Rumah
Kaca (GRK) di atmosfer. Pemanasan global akan diikuti dengan perubahan iklim, seperti
meningkatnya curah hujan di beberapa belahan dunia sehingga menimbulkan banjir dan
erosi. Sebaliknya di belahan bumi lain akan mengalami musim kering yang
berkepanjangan yang disebabkan oleh kenaikan suhu (KeSeMaT, 2009).

6
Gambar 2.3 Peran Hutan Mangrove

a. Penahan Abrasi
Kenaikan air laut bisa berakibat terjadinya abrasi. Peranan mangrove dalam
hal ini adalah sebagai penahan abrasi. Tiga spesies mangrove penting, jenis
Rhizophora, yaitu R. mucronata, R. apiculata, dan R. stylosa memiliki peran besar
dalam pengendalian laj abrasi di kawasan pesisir pantai. Akar-akarnya yang
tertancap ke tanah, mampu menahan derasnya arus laut sehingga tanah pesisir
terlindung dari terjangan gelombang dahsyat penyebab abrasi.
Pohonpohon bakau (Rhizophora spp.), yang biasanya tumbuh di zona terluar,
mengembangkan akar tunjang (stilt root) untuk bertahan dari ganasnya
gelombang. Jenisjenis apiapi (Avicennia spp.) dan pidada (Sonneratia spp.)
menumbuhkan akar napas (pneumatophore) yang muncul dari pekatnya lumpur
untuk mengambil oksigen dari udara. Pohon kendeka (Bruguiera spp.)
mempunyai akar lutut (knee root), sementara pohonpohon nirih (Xylocarpus
spp.) berakar papan yang memanjang berkelokkelok, keduanya untuk menunjang
tegaknya pohon di atas lumpur, sambil pula mendapatkan udara bagi
pernapasannya. Ditambah pula kebanyakan jenisjenis vegetasi mangrove
memiliki lentisel, lubang pori pada pepagan untuk bernapas.

7
Gambar 2.4 Peran Hutan Mangrove sebagai Penahan Abrasi

b. Penyeimbang Ekosistem
Suhu yang tinggi terjadi akibat perubahan iklim global, mampu diminimalisir
oleh mangrove kerena peranannya sebagai penyeimbang ekosistem di wilayah
pesisir.

Gambar 2.5 Peran Hutan Mangrove sebagai Penyeimbang Ekosistem

8
c. Mengurangi Badai
Curah huan tinggi bisa menyebabkan terjadinya topan dan badai. Dalam
kaitannya dengan peranan mangrove adalah mengurangi dampak dari topan dan
badai tersebut, karena tegakan mangrove yang tebal dan lebat di kawasan pesisir
pantai, mampu melindungi pertambakan, pemukiman, dan bangunan-bangunan
lain yang terdapat di belakangnya.

d. Peredam Tsunami
Tsunami yang terjadi kaitannya dengan pemanasan global akibat gempa
tektonik di bawah laut, gelombangnya mampu direduksi oleh tegakan mangrove
sehingga pada saat menerjang bangunan-bangunan di pesisir, kekuatan
gelombang bisa diminimalisir. Dengan demikian, dampak kerusakan yang
diakibatkan dari gelombang tsunami dapat diredam.

Gambar 2.6 Peran Hutan Mangrove sebagai Peredam Tsunami

e. Penyerap Karbon
Hasil penelitian para ahli di Cifor menunjukkan bahwa penyimpanan karbon
di mangrove di sepanjang kawasan pesisir wilayah Indo-Pacific. Meski hanya
memiliki luas 0,7% dari luasan hutan, akan tetapi mangrove dapat menyimpan
sekitar 10% dari semua emisi. Sebagian besar karbon disimpan di dalam tanah di
bawah hutan mangrove. Di hutan mangrove yang dikategorikan sebagai ekosistem
lahan basah, penyimpanan karbon mencapai 800-1.200 ton per hektar. Pelepasan
emisi ke udara pada hutan mangrove lebih kecil daripada hutan di daratan, hal ini
9
karena pembusukan serasah tanaman aquatic tidak melepaskan karbon ke udara.
Adapun tanaman hutan tropis yang mati melepaskan sekitar 50 persen karbonnya
ke udara.
Pelepasan emisi yang berlebihan dari hasil aktivitas metabolisme organism
atau hasil pembusukan ke udara bebas merupakan bentuk cemaran tersendiri bagi
atmosfer yang pada dasarnya bersifat negative terhadap kondisi lingkungan yang
pada akhirnya akan mempengaruhi cuaca atau iklim dalam skala besar. Dari
akumulasi perubahan-perubahan kecil nantinya akan mengarah pada perubahan
besar. Emisi karbon di alam dapat mempunyai bentuk yang beragam diantara
dalam bentuk CO2 (karbon dioksida) dari hasil respirasi organisme dan CO
(karbon monoksida) dari hasil pembakaran fosil atau minyak bumi. Aktivitas
lainnya seperti pembakaran, merokok, keluarnya gas alam CH4 (metana), gas
rumah kaca seperti HFC (hidrofluorokarbon) atau PFC (perfluorokarbon) dan
yang lainnya juga menyumbang peningkatan gas karbon di alam.
Hutan mangrove memiliki kerapatan empat kali lebih besar dibandingkan
hutan tropis pada umumnya. Potensi penyimpanan karbon pun berbanding jauh
lebih besar. Perusakan terhadap tanaman mangrove terus terjadi dan
menyebabkan kerusakan substrat di bawahnya. Mangrove atau biasa disebut
bakau memiliki kesamaan sifat dengan lahan gambut. Hutan mangrove, rawa
pasang surut, dan padang lamun menghilangkan karbon dari atmosfer serta
menguncinya di dalam tanah selama ratusan hingga ribuan tahun. Tidak seperti
hutan daratan umumnya, ekosistem laut secara terus-menerus membangun
kantong-kantong karbon dalam jumlah besar di dalam sedimen laut.
Dengan kemampuan mangrove dalam menyimpan karbon, maka peningkatan
emisi karbon di alam tentu dapat lebih dikurangi. Jadi dalam hal ini habitat
mangrove merupakan tempat pembenaman karbon (carbon sinks) yang besar.
Menurut beberapa literatur, carbon sinks, atau carbon dioxide sinks, adalah
reservoir atau tempat ntuk menyimpan atau menyerap gas karbon dioksida yang
terdapat di atmosfer bumi. Hutan dan laut adalah tempat alamiah di bumi ini yang
berfungsi untuk menjadi tempat menyerap gas karbon dioksida (CO2). Gas
karbon dioksida diserap oleh tumbuhan yang sedang tumbuh dan disimpan di
dalam batang kayunya.
Proses berpindahnya gas karbon dioksida dari atmosfer (ke dalam vegetasi dan
lautan) biasa disebut sebagai carbon sequestration. Beberapa ahli di negara-negara

10
maju saat ini banyak yang aktif meneliti tentang proses ini dan berharap
menemukan sebuah cara efektif untuk membuat sebuah proses buatan dalam
rangka mengurangi laju perubahan iklim global (mitigasi pemanasan global) yang
menurut para ahli berada dalam level yang cukup mencemaskan abad ini.
Di Hutan, dalam proses fotosintesis, tanaman menyerap karbon dioksida dari
atmosfer, menyimpan karbonnya dan melepaskan gas oksigennya kembali ke
atmosfer. Hutan yang sedang tumbuh (hutan yang masih muda) akan berfungsi
sangat baik sebagai carbon sinks, karena vegetasi di sana secara cepat akan
menyerap banyak gas karbon dioksida pada proses fotosintesa dalam rangka
tumbuh dan berkembangnya vegetasi. Vegetasi akan kembali melepaskan karbon
dioksida ke atmosfer ketika mereka mati. Secara alamiah, dengan mengabaikan
aktivitas manusia, proses terserap dan terlepasnya karbon dioksida ke atmosfer
akan berjalan secara berimbang atau netral. Artinya, jumlah gas karbon dioksida
di atmosfer relatif tetap terhadap waktu.
Aktivitas manusia, seperti penebangan dan pembakaran hutan terutama hutan
mangrove, akan menjadikan karbon dioksida yang terlepas ke atmosfer lebih
besar daripada yang mampu diserap dan disimpan hutan, apalagi jika
memperhitungkan jumlah pemakaian bahan bakar fosil yang semakin hari
semakin meningkat. Konversi hutan menjadi daerah pertanian juga berperan
sangat besar dalam proses kembalinya gas karbon dioksida ke atmosfer. Lahan
basah yang dikeringkan untuk pertanian berpotensi juga melepaskan gas
nitroksida akibat persenyawaan dengan pupuk. Pada satu hektar lahan
menghasilkan 4-5 kilogram gas nitroksida. Jumlah nitroksida 4-5 kilogram itu
setara dengan 1 ton karbon dioksida.
Dalam Protokol Kyoto, negara-negara yang memiliki hutan yang luas dapat
mengambil keuntungan, dari sumberdaya hutannya tersebut, melalui skema
perdagangan emisi. Dalam skema ini, akan ada negara yang berperan sebagai
penjual emisi dan juga negara sebagai pembeli emisi. Penulis sendiri kurang tahu
sudah sejauh mana para negara penjual dan pembeli emisi ini membuat aturan
main perdagangan emisi mereka. Jika ditinjau dari sumberdaya hutannya,
Indonesia sebenarnya bisa berperan dan berpeluang cukup besar dalam
perdagangan emisi ini, apalagi kalau kita bisa menjaga sumberdaya hutan kita
dengan baik.

11
Potensi daya serap karbon hutan di Indonesia berbeda-beda, misalnya saja,
telah diteliti bahwa satu hektare hutan mangrove menyerap 110 kilogram karbon
dan sepertiganya dilepaskan berupa endapan organik di lumpur. Penebangan
hutan mangrove menyebabkan pembebasan karbon, endapan ini akan tetap
terisolasi selama ribuan tahun. Karena itu, perubahan mangrove menjadi tambak
udang, seperti yang dilakukan sementara orang sekarang ini, akan mempercepat
pelepasan karbon ke atmosfer pula. Maka, dengan mencegah penggundulan hutan,
negara-negara berkembang dapat secara efektif mereduksi emisi dan menurunkan
pemanasan global.

Gambar 2.7 Peran Hutan Mangrove sebagai Penyerap Karbon

12
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
a. Industri peternakan adalah penghasil emisi gas rumah kaca yang terbesar
(18%), jumlah ini lebih banyak dari gabungan emisi gas rumah kaca seluruh
transportasi di seluruh dunia (13%).
b. Menurut riset yang ada, pemanasan global dari efek rumah kaca yang
menyebabkan perubahan iklim dapat menaikan permukaan air laut hingga 5
200 cm untuk abad selanjutnya.
c. Dampak paling serius dari naiknya tinggi muka air laut ini adalah hilangnya
pulau-pulau kecil.
d. Dengan kemampuan mangrove dalam menyimpan karbon, maka peningkatan
emisi karbon di alam tentu dapat lebih dikurangi. Jadi dalam hal ini habitat
mangrove merupakan tempat pembenaman karbon (carbon sinks) yang besar.

3.2 Saran
Dengan penyusunan Makalah Mitigasi Daerah Pantai dengan Mangrove, penulis
belajar cukup banyak mengenai mitigasi mangrove, tetapi menurut pendapat penulis,
dibutuhkan bimbingan dari dosen mata kuliah Hidrometeorologi untuk memahami lebih
lanjut mengenai topik makalah ini

13
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. (2011). Pentingnya Pelestarian Hutan Mangrove Untuk Mengatasi Perubahan
Iklim. https://saripedia.wordpress.com/2011/04/09/pentingnya-pelestarian-hutan-
mangrove-untuk-mengatasi-perubahan-iklim/. (Diakses 7 Mei 2017).
Purwobasuki, H. (2006). Peranan Mangrove Dalam Mitigasi Perubahan Iklim. Buletin
PSL Universitas Surabaya 18: 9 10
Riksan, J. (2010). Pengaruh Perubahan Iklim Terhadap Kenaikan Muka Air Laut.
https://januariksan.wordpress.com/2010/01/04/pengaruh-perubahan-iklim-terhadap-
kenaikan-muka-air-laut/. (Diakses 7 Mei 2017).
Saleh, H. (2013). Perubahan Iklim dan Dampaknya.
http://hadwinsaleh.blogspot.co.id/2013/01/perubahan-iklim-dan-dampaknya.html.
(Diakses 7 Mei 2017).

Anda mungkin juga menyukai