Anda di halaman 1dari 4

"Hujan di bulan Juni"

Tak ada yang lebih tabah

Dari hujan bulan Juni

Dirahasiakannya rintik rindunya

Kepada pohon berbunga itu

Tak ada yang lebih bijak

Dari hujan bulan Juni

Dihapuskannya jejak-jejak kakinya

Yang ragu-ragu di jalan itu

Tak ada yang lebih arif

Dari hujan bulan Juni

Dibiarkannya yang tak terucapkan diserap akar pohon bunga itu


Orang-orang di persimpangan jalan

Sejarah tidak hanya ditulis oleh mereka yang menang perang

tapi juga oleh mereka yang senang perang

yang terus memberang saat ada terang dalam pikiran

yang membebaskan jiwa-jiwa dari pelukan manja abdi negara berujung


sangkur dan peluru

Ketika Ibu menggelar pesta rumah baru

ia memanggil semua orang datang membantu

Dari tukang batu, tukang baju, tukang baru, hingga tukang ragu.

Selalu ada ruang kosong di rumah yang belum rampung

untuk menampung berbagai pelampung

dari Banda Aceh hingga Bandar Lampung

Dari ujung ke ujung

Kampung ke kampung

Karung ke karung

Sarung ke sarung

Mulut ke lambung

Yang membuat seruan khas rumah bordil terdengar revolusioner:

Bung, ayo bung!

Namun ketika pesta usai dan ibu tertidur lunglai karena mabuk kacang
sangrai

Mereka yang berada di persimpangan jalan


Terpaksa menghapus nama mereka dari catatan

Agar tak dikenal oleh peradaban

Agar lekang oleh ingatan

Agar menguap oleh perkembangan zaman

Agar lenyap dari buku-buku yang diajarkan dari SD Inpres hingga SMA
unggulan

Pada akhirnya bukan peluru Belanda yang membunuh mereka

Bukan pedang Jepang yang membuat mereka mengerang

Tanya mengapa mereka terpaksa kabur dan tak bisa pulang

Tanya mengapa Soekarno hanya diobati dokter hewan

Tanya mengapa Sjahrir harus berdiam di Switzerland

Tanya mengapa pada akhirnya tangan-tangan yang mencengkeram mereka

Adalah tangan-tangan yang pada suatu pagi jaya di bulan puasa mereka
sebut saudara

Maka aku bersaksi atas nama:

Bung Besar

Bung Kecil

Muhammad Hatta

Tan Malaka

Chaerul Saleh

Wikana

Soekarni

Darsono
Semaun

Alimin dan

Amir Sjarifuddin

Sekali lagi ku katakan bahwa aku bersaksi atas nama:

Bung Besar

Bung Kecil

Muhammad Hatta

Tan Malaka

Chaerul Saleh

Wikana

Soekarni

Darsono

Semaun

Alimin dan

Amir Sjarifuddin

Inilah konklusi yang hakiki dari dramaturgi republik berkalang minyak, darah,
dan api

Kepalan tangan di Ikada adalah kepalan tangan yang sama di Trisakti dan
Semanggi

Terhapus, tersingkir, terpinggir, tapi tak akan pernah hilang sama sekali.

Dari dalam kubur, suara kami akan lebih nyaring dari di atas bumi!

Anda mungkin juga menyukai