Anda di halaman 1dari 26

BAB I

PENDAHULUAN

Dengue Haemorrhagic Fever (DHF) atau Demam Berdarah Dengue (DBD)


merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus dengue, yang biasanya
ditemukan di daerah tropis. Penyakit Demam Berdarah Dengue atau Dengue
Haemorrhagic Fever (DHF) merupakan salah satu penyakit menular yang sampai saat
ini masih menjadi masalah kesehatan masyarakat. DBD ditularkan ke manusia
melalui gigitan nyamukAedes yang terinfeksi virus Dengue. Virus Dengue penyebab
Demam Dengue (DD), Demam Berdarah Dengue (DBD) dan Dengue Shock
Syndrome (DSS) termasuk dalam kelompok B Arthropod Virus (Arbovirosis) yang
sekarang dikenal sebagai genus Flavivirus ,famili Flaviviride , dan mempunyai 4 jenis
1-2
serotipe, yaitu: Den-1, Den-2, Den-3, Den-4.
Infeksi virus dengue menyebabkan kematian dan kesakitan yang tinggi di
seluruh dunia. Virus dengue pertama terjadi pada tahun 1780-an secara bersamaan di
Asia, Afrika, dan Amerika Utara. Infeksi virus dengue global pertama kali dari Asia
Tenggara pada tahun 1950-an. Dilaporkan lebih dari 100 negara berdaerah tropis
terinfeksi virus dengue, infeksi virus ini menyerang semua usia. Mayoritas terdapat
pada anak usia di bawah 15 tahun sebanyak 95% dan sekitar 5% terjadi pada bayi
yang terinfeksi virus dengue lebih dari 100 negara, sebanyak 2,5 miliar orang
mempunyai risiko untuk terinfeksi dan diperkirakan 50 juta terinfeksi dan 500.000
dengan kasus DHF. Dari 500.000 kasus tersebut memiliki angka kematian sekitar
20%. :2-3
Di Indonesia pada tahun 2013 dengan jumlah penderita DHF sebanyak
112.511 orang dan Penyebaran virus dengue yang semakin luas, Asia menempati
urutan pertama dalam jumlah penderita demam berdarah di tiap tahunnya. Sementara
itu terhitung sejak tahun 1968 hingga tahun 2009, World Health Organization (WHO)
mencatat Negara Indonesia sebagai Negara dengan kasus demam berdarah dengue
tertinggi di Asia Tenggara (Andarmoyo, 2013). :2-3
Di Provinsi Kalimmantan Tengah pravelensi DBD tahun 2012 mencapai 61,9
per 100.000 penduduk dengan kasus meninggal sebanyak 22 orang atau CFR sebesar
1,6 persen. Angka ini meningkat jika dibandingkan tahun 2011 (30,4 per 100.000
penduduk), masih jauh dari target nasional yaitu <20/100.000 penduduk. :2,4
Program Pemberantasan Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) Provinsi
Kalimantan Tengah, diutamakan untuk membantu kabupaten tentang pelaksanaan
teknis pencegahan, maupun penanggulangan. Dengan pelaksanaan program ini
diharapkan Angka Bebas Jentik (ABJ) DBD di Kabupaten mencapai 90% lebih,
dengan dicapainya angka ini diharapkan kemungkinan terjadi Kejadian Luar Biasa
(KLB) akan semakin kecil. :2,5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit demam akut yang
disebabkan oleh virus dengue serta memenuhi kriteria WHO untuk DBD. 7
Demam berdarah dengue (DBD) merupakan penyakit demam akut yang
disebabkan oleh virus dengue yang sekarang lebih dikenal sebagai genus
Flavivirus. Virus ini memiliki empat jenis serotipe yakni DEN-1, DEN-2, DEN-3,
dan DEN-4. Antibodi yang terbentuk dari infeksi salah satu jenis serotipe tidak
memberikan perlindungan yang memadai untuk serotipe lain. Serotipe DEN-3
merupakan serotipe yang dominan dan paling banyak menimbulkan manifestasi
klinis yang berat. :1-2

2.2 Epidemiologi

Virus dengue pertama terjadi pada tahun 1780-an secara bersamaan di Asia,
Afrika, dan Amerika Utara. Infeksi virus dengue global pertama kali dari Asia
Tenggara pada tahun 1950-an. Dilaporkan lebih dari 100 negara berdaerah tropis
terinfeksi virus dengue, infeksi virus ini menyerang semua usia. Mayoritas terdapat
pada anak usia di bawah 15 tahun sebanyak 95% dan sekitar 5% terjadi pada bayi
yang terinfeksi virus dengue lebih dari 100 negara, sebanyak 2,5 miliar orang
mempunyai risiko untuk terinfeksi dan diperkirakan 50 juta terinfeksi dan 500.000
dengan kasus DHF. Dari 500.000 kasus tersebut memiliki angka kematian sekitar
20%. :2,-3
Gambar 2.1 Grafik pravelensi DBD dikalimantan tengah 2008-2012
Secara epidemiologi dikenal 2 bentuk dengue yaitu:2,5,6:
a. Bentuk klasik, dengan gejala panas 5 hari, disertai sakit kepala, nyeri otot,
sendi dan tulang. Penurunan jumlah thrombosit dan ruam-ruam banyak
dijumpai kasusnya di negara-negara kawasan Asia tenggara (Indonesia,
Filipina, Malaysia, Vietnam), secara endemik.
b. Bentuk epidemik, dikenal dengan nama Dengue hemorrhagic fever
(DHF). Di Indonesia penyakit ini dikenal dengan sebutan penyakit Demam
Berdarah Dengue (DBD) dengan gejala demam dengue disertai dengan
pembesaran hati dan tanda-tanda perdarahan. Epidemik DBD dapat
terjadi secara berulang-ulang. Sejak kasus DBD pertama kali ditemukan di
Surabaya pada tahun 1968 (epidemi terjadi pertama kali di Batavia 1779),
jumlah kasus DBD cenderung meningkat. Angka insiden DBD di Indonesia
terus meningkat setiap 5-10 tahun (Farouk, 2004).
Menurut World Health Organization (2005) demam berdarah dengue dapat
dilihat berdasarkan karakteristik epidemiologi, antara lain:

a. Penyebab Penyakit (agent)


Virus dengue merupakan bagian famili Flaviviridae. Keempat serotipe
virus dengue yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4 dapat dibedakan
dengan metode serologi. Infeksi pada manusia oleh salah satu serotipe
menghasilkan imunitas sepanjang hidup terhadap infeksi ulang oleh
serotipe yang sama, tetapi hanya menjadi pelindung sementara dan
parsial terhadap serotipe yang lain.Virus-virus dengue dapat
menunjukkan banyak karakteristik yang sama dengan flavivirus lain,
mempunyai genom RNA rantai tunggal yang dikelilingi oleh nukloekapsid
ikosahendral dan terbungkus oleh selaput oleh selaput lipid. Virionnya
mempunyai diameter kira-kira 50 nm. Genom flavvirus mempunyai
panjang kira-kira 11 kb (kilobases), dan urutan genom lengkap dikenal
untuk mengisolasi keempat serotipe, mengkode nukleokapsid atau
protein inti (C), protein yang berkaitan dengan membran (M), dan protein
pembungkus (E) dan tujuh gen protein (NS). Domain-domain
bertanggung jawab untuk netralisasi, fusi, dan interaksi dengan reseptor
virus berhubungan denagn protein pembungkus. :2,5
b. Vektor
Aedes aegypti adalah salah satu vektor nyamuk yang paling efisien
untuk arbovirus, karena nyamuk ini sangat antropofilik, hidup dekat
manusia dan sering hidup di dalam rumah. Wabah dengue juga telah
disertai dengan Aedes albopictus, Aedes polynesiensis, dan banyak spesies
kompleks Aedes scutellaris. Setiap spesies ini mempunyai distribusi
geografisnya masing-masing. Namun, mereka adalah vektor epidemik
yang kurang efisien dibanding Aedes aegypti. Sementara penularan
vertikal (kemungkinan transovarian) virus dengue telah dibuktikan di
laboratorium dan di lapangan, signifikansi penularan ini untuk
pemeliharaan virus belum dapat ditegakkan. Faktor penyulit pemusnahan
vektor adalah bahwa telur Aedes aegypti dapat bertahan dalam waktu
lama terhadap desikasi (pengawetan dan pengeringan), kadang selama
lebih dari satu tahun. :2,5,7

c. Penjamu (Host)
Pada manusia, masing-masing keempat serotipe virus dengue
mempunyai hubungan dengan demam berdarah dengue. Studi di Kuba
dan Thailand telah menunjukkan bahwa hubungan yang tinggi secara
konsisten antara infeksi DEN-2 dan demam berdarah dengue, tetapi
epidemik pada tahun 1976-1978 Indonesia, 1980-1982 Malaysia, 1989-
1990 Tahiti, dan dari tahun 1983 seterusnya di Thailand, DEN-3 adalah
serotipe predominan yang ditemukan dari pasien dengan penyakit berat.
Pada wabah tahun 1984 di meksiko, 1986 Puerto Rico, dan tahun 1989 El
Salvador, DEN-4 paling sering diisolasi dari pasien demam berdarah
dengue. Menurut Kardinan (2007) seseorang yang pernah terinfeksi oleh
salah satu serotypes biasanya kebal terhadap serotypes tersebut dalam
jangka waktu tertentu, namun tidak kebal terhadap serotypes lainnya,
bahkan menjadi sensitif terhadap serangan demam berdarah Dengue
Hemorrhagic Fever. :2,5,8
d. Lingkungan (Environment)
Kesehatan lingkungan mempelajari dan menangani hubungan
manusia dengan lingkungan dalam keseimbangan ekosistem dengan
tujuan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang optimal melalui
pencegahan terhadap penyakit dan gangguan kesehatan dengan
mengendalikan faktor lingkungan yang dapat menyebabkan timbulnya
penyakit. Interaksi lingkungan dengan pembangunan saat ini maupun
yang akan datang saling berpengaruh :2,5,9
1) Kondisi Geografis
a) Ketinggian dari permukaan laut
Setiap kenaikan ketinggian 100 meter maka selisih suhu udara
dengan tempat semula adalah 0,5C. Bila perbedaan tempat cukup
tinggi, maka perbedaan suhu udara cukup banyak dan akan
mempengaruhi faktor-faktor penyebaran nyamuk, siklus
pertumbuhan parasit di dalam tubuh nyamuk dan musim
penularan (Dit. Jen. PPM dan PL, 2004)
Distribusi Aedes aegypti juga dibatasi oleh ketinggian, nyamuk ini
tidak ditemukan diatas ketinggian 1000 m tetapi telah dilaporkan
pada ketinggian 2121 m di India, pada 2200 m di Kolombia,
dimana suhu rata-rata tahunan adalah 17oC, dan pada ketinggian
2400 m di Eritea (World Health Organization, 2005).
b) Curah hujan
Curah hujan yang lebat menyebabkan nisbi udara dan menambah
jumlah tempat perkembangbiakan (breeding places). Pengaruh
hujan berbeda-beda menurut banyaknya hujan dan keadaan fisik
daerah. Terlalu banyak hujan akan menyebabkan banjir dan terlalu
kurang hujan akan menyebabkan kekeringan, mengakibatkan
berpindahnya tempat perkembangbiakan secara temporer (Dit.
Jen. PPM dan PL, 2004).
Kenaikan fluktuasi kasus DBD pada bulan Januari-Februari.
Kenaikan ini seiring dengan musim hujan dan sesuai dengan
kepustakaan yang memperlihatkan adanya hubungan turun hujan
dan penularan penyakit DBD. Curah hujan tinggi akan memberikan
kesempatan yang baik bagi nyamuk untuk hidup. :2,5,9
c) Suhu
Suhu dapat mempengaruhi ketahanan hidup nyamuk dewasa yang
akan mempengaruhi laju penularan. Nyamuk banyak beristirahat
di dalam rumah. Suhu juga dapat mempengaruhi pola makan dan
reproduksi nyamuk dan meningkatkan kepadatan populasi
nyamuk sebagai vektor. :2,5,9
d) Angin
Kecepatan dan arah angin dapat mempengaruhi jarak terbang dan
arah terbang nyamuk sebagai angin. Semakin tinggi kecepatan
angin dapat mengurangi penularan DBD karena nyamuk terbang
jauh terbawa angin (World Health Organization, 2005).
e) Kelembaban
Kelembaban yang rendah memperpendek umur nyamuk,
meskipun tidak berpengaruh pada parasit. Tingkat kelembaban 60
persen merupakan batas paling rendah untuk memungkinkan
hidupnya nyamuk. Pada kelembaban yang lebih tinggi nyamuk
menjadi lebih aktif dan lebih sering menggigit, sehingga
meningkatan penularan demam berdarah (World Health
Organization, 2005).
2) Kondisi Demografis:2,5,9
a) Kepadatan penduduk
Menurut Simon et al (2004) pada negara berkembang khususnya
Indonesia, faktor di luar kesehatan mempunyai pengaruh besar
dalam program pencegahan dan pengendalian DBD. Menurut
World Health Organization (2005) pada area dengan kejenuhan
populasi yang tinggi, banyak orang yang mungkin terpajan,
meskipun indeks rumah nyamuk rendah. Jarak antar rumah
dengan begitu dapat menjadi signifikan epidemiologis, khususnya
pada area dengan tempat tinggal beratap tunggal.
b) Mobilitas penduduk
Kasus pandemi yang terjadi secara global yang terjadi di Asia
Tenggara saat terpecahnya Perang Dunia ke-II selama dua dekade
sampai mempengaruhi berbagai negara kecuali Antartika. Kondisi
seperti ini dapat merespon terjadinya DBD karena adanya
perpindahan penduduk, travel international (mobilitas penduduk),
ketidaksetimbangan infrastruktur. Hal ini sebagai latar belakang
terjadinya penyebaran DBD secara cepat yang menjadi masalah
kesehatan masyarakat secara global (Simon et al, 2004).
c) Sanitasi lingkungan
Kondisi sanitasi lingkungan berperan besar dalam
perkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti, terutama apabila
terdapat banyak kontainer penampungan air hujan yang
berserakan dan terlindung dari sinar matahari, apalagi berdekatan
dengan rumah penduduk. Sikap masyarakat terhadap penyakit
DBD, yaitu semakin masyarakat bersikap tidak serius dan tidak
berhati-hati terhadap penularan penyakit DBD akan semakin
bertambah risiko terjadinya penularan penyakit DBD. Tindakan
pembersihan sarang nyamuk meliputi tindakan: masyarakat
menguras air kontainer secara teratur seminggu sekali, menutup
rapat kontainer air bersih, dan mengubur kontainer bekas seperti
kaleng bekas, gelas plastik, barang bekas lainnya yang dapat
menampung air hujan sehingga menjadi sarang nyamuk (dikenal
dengan istilah tindakan 3M) dan tindakan abatisasi atau
menaburkan butiran temephos (abate) ke dalam tempat
penampungan air bersih dengan dosis 1 ppm atau 1 gram
temephos SG dalam 1 liter air yang mempunyai efek residu sampai
3 bulan.
d) Sosial ekonomi
Perilaku yang tidak baik karena belum menyadarinya akan
pentingnya hygiene lingkungan dan diri masyarakat itu sendiri,
dapat dipengaruhi oleh tingkat sosial ekonomi. Akibat dari
kesulitan ekonomi, masyarakat cenderung mengobati sendiri
penyakit yang di deritanya seperti demam atau pusing. Akibatnya
mereka baru pergi ke dokter ketika penyakit DBD yang dideritanya
sudah parah sehingga menyulitkan proses penyembuhan (Lestari
dan Sungkar, 2005).
e) Tingkat pengetahuan DBD
Tingkat pengetahuan sangat berhubungan dengan sosial ekonomi,
semakin tinggi tingkat ekonomi semakin tinggi pula tingkat
pengetahuan (Lestari dan Sungkar, 2005).

2.3 Patogenesis
Patogenesis DBD bermacam-macam. Ada yang menerangkan bahwa
virulensi virus yang sangat berperan terhadap severity of disease. Ada juga teori
peranan mediator, apoptosis, genetik, dan antibody dependent enhancement.
Sebagian ahli menganut antibody dependent enhancement, di mana infeksi virus
dengue yang kedua dengan serotype virus yang berbeda akan memberikan
manifestasi penyakit yang lebih parah. Teori-teori ini pada akhirnya menjelaskan
akan adanya gangguan hemostasis, permeabilitas kapiler dan kebocoran
plasma. :2,5,10
Dua teori yang banyak dianut dalam menjelaskan patogenesis infeksi
dengue adalah hipotesis infeksi sekunder (secondary heterologous infection
theory) dan hipotesis immune enhancement. Menurut hipotesis infeksi sekunder
yang diajukan oleh Suvatte, 1977 (gambar 2), sebagai akibat infeksi sekunder
oleh tipe virus dengue yang berbeda, respon antibodi anamnestik pasien akan
terpicu, menyebabkan proliferasi dan transformasi limfosit dan menghasilkan
titer tinggi IgG antidengue. Karena bertempat di limfosit, proliferasi limfosit juga
menyebabkan tingginya angka replikasi virus dengue. Hal ini mengakibatkan
terbentuknya kompleks virus-antibodi yang selanjutnya mengaktivasi sistem
komplemen. Pelepasan C3a dan C5a menyebabkan peningkatan permeabilitas
dinding pembuluh darah dan merembesnya cairan ke ekstravaskular. Hal ini
terbukti dengan peningkatan kadar hematokrit, penurunan natrium dan
terdapatnya cairan dalam rongga serosa.9,10

Gambar 2.2 Hipotesis infeksi sekunder9

Hipotesis immune enhancement menjelaskan menyatakan secara tidak


langsung bahwa mereka yang terkena infeksi kedua oleh virus heterolog
mempunyai risiko berat yang lebih besar untuk menderita DBD berat. Antibodi
herterolog yang telah ada akan mengenali virus lain kemudian membentuk
kompleks antigen-antibodi yang berikatan dengan Fc reseptor dari membran
leukosit terutama makrofag. Sebagai tanggapan dari proses ini, akan terjadi
sekresi mediator vasoaktif yang kemudian menyebabkan peningkatan
permeabilitas pembuluh darah, sehingga mengakibatkan keadaan hipovolemia
dan syok.9,10
Virus demam berdarah akan masuk ke dalam makrofag. Menurut
antibody dependent enhancement, antigen infeksi pertama pada makrofag justru
menjadi semacam opsonisasi untuk memfasilitasi virus menempel ke permukaan
makrofag dan masuk ke dalamnya. Makrofag akan melepaskan monokin, sitokin,
histamine, dan interferon, yang akan mengakibatkan celah endotel melebar,
selanjutnya terjadi kebocoran cairan intravaskular ke ruang eks-travaskular.
Konsekuensinya, terjadi hipovolemia, hemokonsentrasi, tubuh lemah, edema,
dan kongesti visceral. Perenggangan celah antar sel endotel dapat juga
disebabkan oleh virus dengue itu sendiri. Saat sel endotel terinfeksi DV, terjadi
kerusakan sel endotel. Akan tetapi pelebaran celah sel endotel terutama
disebabkan oleh pelepasan sitokin inflamasi. :9,10
Adapun mekanisme hipotesis antibody dependent enhancement dijelaskan
sebagai berikut :

Bagian 2.3 Homologous Antibodies Form Non-Infectious Complexes


Manusia yang pernah terinfeksi demam berdarah akan membuat serum
antibodi yang dapat menetralkan virus dengue yang serotipenya sama
(homolog).

Bagian 2.4 Heterologous Antibodies Form Infectious Complexes


Dalam infeksi berikutnya, antibodi heterolog yang sudah ada sebelumnya
membentuk kompleks dengan serotipe virus baru yang menginfeksi, tetapi tidak
menetralkan virus baru.

Bagian 2.5 Heterologous Complexes Enter More Monocytes, Where Virus


Replicates
Peningkatan antibodi-terikat adalah proses di mana strain tertentu dari virus
dengue, bergabung dengan antibodi non-penetral, menginisiasi munculnya
monosit yang lebih banyak, sehingga meningkatkan produksi virus. Monosit yang
terinfeksi melepaskan mediator vasoaktif, mengakibatkan permeabilitas
pembuluh darah meningkat dan manifestasi perdarahan yang menjadi ciri DBD
dan DSS. :9-10
2.4 Diagnosis
Berdasarkan kriteria WHO 1997, diagnosis DBD ditegakkan bila semua hal ini
terpenuhi:2,5,9
1. Demam atau riwayat demam akut, antara 2-7 hari biasanya bifasik.
2. Terdapat minimal 1 manifestasi perdarahan berikut: uji bending positif;
petekie, ekimosis, atau purpura; perdarahan mukosa; hematemesis dan
melena.
3. Trombositopenia (jumlah trombosit <100.000/ ml).
4. Terdapat minimal 1 tanda kebocoran plasma sbb:
Peningkatan hematokrit >20% dibandingkan standar sesuai umur dan
jenis kelamin.
Penurunan hematokrit >20% setelah mendapat terapi cairan,
dibandingkan dengan nilai hematokrit sebelumnya.
Tanda kebocoran plasma seperti: efusi pleura, asites, hipoproteinemia,
hiponatremia.

Terdapat 4 derajat spektrum klinis DBD (WHO, 1997), yaitu:2,5,9


Derajat 1: Demam disertai gejala tidak khas dan satu-satunya manifestasi
perdarahan adalah uji torniquet.
Derajat 2: Seperti derajat 1, disertai perdarahan spontan di kulit dan perdarahan
lain.
Derajat 3: Didapatkan kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lemah, tekanan
nadi menurun (20 mmHg atau kurang) atau hipotensi, sianosis di
sekitar mulut kulit dingin dan lembab, tampak gelisah.
Derajat 4: Syok berat, nadi tidak dapat diraba dan tekanan darah tidak terukur.

Keempat derajat tersebut ditunjukkan pada gambar 3.

Gambar 2.5 Patogenesis dan spektrum klinis DBD


Gambar 2.6 Manifestasi infeksi virus dengue

2.5. Pemeriksaan penunjang


Pemriksaan laboratorium meliputi kadar hemoglobin, kadar hematokrit,
jumlah trombosit, dan hapusan darah tepi untuk melihat adanya limfositosis
relatif disertai gambaran limfosit plasma biru (sejak hari ke 3). Trombositopenia
umumnya dijumpai pada hari ke 3-8 sejak timbulnya demam. Hemokonsentrasi
dapat mulai dijumpai mulai hari ke 3 demam. 5 Pada DBD yang disertai
manifestasi perdarahan atau kecurigaan terjadinya gangguan koagulasi, dapat
dilakukan pemeriksaan hemostasis (PT, APTT, Fibrinogen, D-Dimer, atau FDP).
Pemeriksaan lain yang dapat dikerjakan adalah albumin, SGOT/SGPT, ureum/
kreatinin. :9-10
Untuk membuktikan etiologi DBD, dapat dilakukan uji diagnostik melalui
pemeriksaan isolasi virus, pemeriksaan serologi atau biologi molekular. Di antara
tiga jenis uji etiologi, yang dianggap sebagai baku emas adalah metode isolasi
virus. Namun, metode ini membutuhkan tenaga laboratorium yang ahli, waktu
yang lama (lebih dari 12 minggu), serta biaya yang relatif mahal. Oleh karena
keterbatasan ini, seringkali yang dipilih adalah metode diagnosis molekuler
dengan deteksi materi genetik virus melalui pemeriksaan reverse
transcriptionpolymerase chain reaction (RT-PCR). Pemeriksaan RT-PCR
memberikan hasil yang lebih sensitif dan lebih cepat bila dibandingkan dengan
isolasi virus, tapi pemeriksaan ini juga relatif mahal serta mudah mengalami
kontaminasi yang dapat menyebabkan timbulnya hasil positif semu. Pemeriksaan
yang saat ini banyak digunakan adalah pemeriksaan serologi, yaitu dengan
mendeteksi IgM dan IgG-anti dengue. Imunoserologi berupa IgM terdeteksi mulai
hari ke 3-5, meningkat sampai minggu ke 3 dan menghilang setelah 60-90 hari.
Pada infeksi primer, IgG mulai terdeteksi pada hari ke 14, sedangkan pada infeksi
sekunder dapat terdeteksi mulai hari ke 2.11
Salah satu metode pemeriksaan terbaru yang sedang berkembang adalah
pemeriksaan antigen spesifik virus Dengue, yaitu antigen nonstructural protein 1
(NS1). Antigen NS1 diekspresikan di permukaan sel yang terinfeksi virus Dengue.
Masih terdapat perbedaan dalam berbagai literatur mengenai berapa lama
antigen NS1 dapat terdeteksi dalam darah. Sebuah kepustakaan mencatat dengan
metode ELISA, antigen NS1 dapat terdeteksi dalam kadar tinggi sejak hari
pertama sampai hari ke 12 demam pada infeksi primer Dengue atau sampai hari
ke 5 pada infeksi sekunder Dengue. Pemeriksaan antigen NS1 dengan metode
ELISA juga dikatakan memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi (88,7%
dan 100%). Oleh karena berbagai keunggulan tersebut, WHO menyebutkan
pemeriksaan deteksi antigen NS1 sebagai uji dini terbaik untuk pelayanan
primer.11
Pemeriksaan radiologis (foto toraks PA tegak dan lateral dekubitus kanan)
dapat dilakukan untuk melihat ada tidaknya efusi pleura, terutama pada
hemitoraks kanan dan pada keadaan perembesan plasma hebat, efusi dapat
ditemukan pada kedua hemitoraks.
Asites dan efusi pleura dapat pula dideteksi dengan USG. 5,9

2.6 Penatalaksanaan
Pada dasarnya terapi DBD adalah bersifat suportif dan simtomatis.
Penatalaksanaan ditujukan untuk mengganti kehilangan cairan akibat kebocoran
plasma dan memberikan terapi substitusi komponen darah bilamana diperlukan. Tidak
ada terapi yang spesifik untuk DBD. Prinsip terapi utama adalah terapi suportif.
Pemeliharaan cairan sirkulasi merupakan hal terpenting dalam penanganan kasus
DBD. Asupan cairan, terutama melalui oral, harus dipertahankan. Jika tidak bisa,
maka diperlukan suplemen cairan melalui jalur intravena. 1,4 Menurut WHO 2009,
berdasarkan manifestasi klinis dan kondisi lainnya, pasien dapat dibagi tiga kategori:
rawat jalan (kelompok A), membutuhkan penanganan di rumah sakit/rawat inap
(kelompok B), dan membutuhkan penanganan emergensi atau urgensi (kelompok C).5
Kelompok-A5
Pasien yang termasuk dalam kelompok ini adalah yang dapat dimotivasi untuk
minum secara adekuat, masih dapat berkemih setidaknya sekali tiap enam jam, dan
tidak mempunyai warning signs, khususnya saat demam mereda.
Pasien rawat jalan harus diobservasi setiap hari untuk mencegah progresi
hingga melewati periode kritis. Pasien dengan Ht stabil dapat dipulangkan setelah
dirawat dan diberikan edukasi untuk segera kembali ke rumah sakit apabila warning
signs muncul. Apabila warning signs muncul maka tindakan selanjutnya adalah:
Memotivasi minum oral rehydration solution (ORS), jus buah, dan cairan lain
yang mengandung elektrolit dan gula untuk mengganti cairan yang hilang
akibat demam.
Memberikan parasetamol bila pasien merasa tidak nyaman akibat demam.
Interval pemberian parasetamol sebaiknya tidak kurang dari enam jam.
Petugas kesehatan harus setiap hari memantau temperatur, asupan dan
keluaran cairan, urin output (volume dan frekuensi), warning signs, tanda
perembesan plasma atau perdarahan, hematokrit, jumlah leukosit, dan
trombosit (kelompok-B).
Kelompok-B5
Pasien harus dirawat inap untuk observasi ketat, khususnya pada fase kritis.
Kriteria rawat pasien DBD adalah:5
1. Adanya warning signs
2. Terdapat tanda dan gejala hipotensi: dehidrasi, tidak dapat minum, hipotensi
postural, berkeringat sedikit, pingsan, ekstremitas dingin.
3. Perdarahan
4. Gangguan organ: ginjal, hepar (hati membesar dan nyeri walaupun tidak
syok), neurologis, kardiak (nyeri dada, gangguan napas, sianosis).
5. Adanya peningkatan Ht, efusi pleura, atau asites
6. Kondisi penyerta: hamil, DM, hipertensi, ulus peptikum, anemia hemolitik,
overweight/ obese, bayi, dan usia tua
7. Kondisi sosial: tinggal sendiri, jauh dari pelayanan kesehatan tanpa transpor
memadai.
Apabila pasien memiliki warning signs maka hal yang harus dilakukan adalah:
Periksa Ht sebelum pemberian cairan. Berikan larutan isotonik seperti
normosalin 0,9%, RL. Mulai dari 5-7 ml/kg/jam selama 1-2 jam, lalu kurangi
menjadi 3-5 ml/kg/jam selama 2-4 jam, dan kurangi lagi menjadi 2-3
ml/kg/jam atau kurang sesuai respon klinis.
Nilai kembali status klinis, ulangi Ht. Bila Ht sama atau meningkat sedikit,
lanjutkan dengan jumlah sama (2-3 ml/kg/jam) selama 2-4 jam. Bila tanda
vital memburuk dan Ht meningkat drastis, tingkatkan pemberian cairan 510
ml/kg/jam selama 1-2 jam. Nilai kembali status klinis, ulang Ht, dan periksa
kecepatan cairan infus berkala.
Berikan volume intravena minimum untuk menjaga perfusi dan urin output 0,5
ml/kg/jam selama 24-48 jam. Kurangi jumlah cairan infus berkala saat
kebocoran plasma berkurang, yakni saat akhir fase kritis. Hal ini bisa
diketahui dari urin output dan/atau asupan minum cukup dan Ht menurun.
Pasien dengan warning signs harus diobservasi hingga fase kritis lewat.
Parameter yang harus dimonitor adalah tanda vital dan perfusi perifer (tiap 1-4
jam hingga lewat fase kritis), urin output (tiap 4-6 jam), Ht (sebelum dan
setelah pemberian cairan, selanjutnya tiap 6-12 jam), glukosa darah, dan
fungsi organ sesuai indikasi.
Pada pasien tanpa warning signs, hal berikut harus dilakukan:
Motivasi minum. Jika tidak bisa, mulai infus intravena dengan NS 0,9% atau
RL dengan atau tanpa dekstrosa dengan dosis pemeliharaan. Untuk pasien
obese atau overweight digunakan dosis sesuai berat ideal. Berikan volume
minimum untuk memelihara perfusi dan urine output selama 24-48 jam.
Pasien harus dimonitor: temperatur, asupan dan keluaran cairan, urin output
(volume dan frekuensi), warning signs, hematokrit, leukosit, dan trombosit.
Pemeriksaan laboratorium lain dapat dilakukan sesuai indikasi.

Kelompok-C5
Pasien membutuhkan tatalaksana emergensi dan urgensi apabila mengalami
DBD berat untuk memudahkan akses intensif dan transfusi darah. Resusitasi cairan
dengan kristaloid isotonik secepatnya sangat penting untuk menjaga volume
ekstravaskular saat periode kebocoran plasma atau larutan koloid pada keadaan syok
hipotensi. Pantau nilai Ht sebelum dan sesudah resusitasi. Tujuan akhir resusitasi
cairan adalah meningkatkan sirkulasi sentral dan perifer (takikardia berkurang,
tekanan darah dan nadi meningkat, ekstremitas tidak pucat dan hangat, dan CRT <2
detik) dan meningkatkan perfusi organ (level kesadaran membaik, urin output >0,5
ml/kg/jam, dan asidosis metabolik menurun)
Terapi pada Pasien Syok Terkompensasi

Gambar-2.6 Algoritma Pasien Syok Terkompensasi


Terapi pada Syok Hipotensi

Gambar-2.7 Algoritma Pasien Syok Hipotensi

2.7 Pencegahan
Departemen kesehatan telah mengupayakan berbagai strategi dalam mengatasi
kasus ini. Pada awalnya strategi yang digunakan adalah memberantas nyamuk dewasa
melalui pengasapan, kemudian strategi diperluas dengan menggunakan larvasida yang
ditaburkan ke tempat penampungan air yang sulit dibersihkan. Akan tetapi kedua
metode tersebut sampai sekarang belum memperlihatkan hasil yang memuaskan.
Pencegahan penyakit DBD sangat tergantung pada pengendalian vektornya, yaitu
nyamuk Aedes aegypti. :2,5,9,13
Pengendalian nyamuk tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan
beberapa metode yang tepat, yaitu: 2,5,9,13
a. Lingkungan
Metode lingkungan untuk mengendalikan nyamuk tersebut antara lain dengan
Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN), pengelolaan sampah padat, modifikasi tempat
perkembangbiakan nyamuk dan perbaikan desain rumah. Sebagai contoh : menguras
bak mandi/penampungan air sekurang-kurangnya sekali seminggu, mengganti dan
menguras vas bunga dan tempat minum burung seminggu sekali, menutup dengan
rapat tempat penampungan? air, mengubur kaleng-kaleng bekas, aki bekas dan ban
bekas di sekitar rumah?. Tumpah atau bocornya air dari pipa distribusi, katup air,
meteran air dapat menyebabkan air menggenang dan menjadi habitat yang penting
untuk larva Aedes aegypti jika tindakan pencegahan tidak dilakukan.
b. Biologis
Pengendalian biologis antara lain dengan menggunakan ikan pemakan jentik
(ikan adu/ikan cupang), dan bakteri (Bt.H-14). Peran pemangsa yang dimainkan oleh
copepod crustacea (sejenis udang-udangan) telah didokumentasikan pada tahun 1930-
1950 sebagai predator yang efektif terhadap Aedes aegypti (Kay BH., 1996). Selain
itu juga digunakan perangkap telur autosidal (perangkap telur pembunuh) yang saat
ini sedang dikembangkan di Singapura.
c. Kimiawi
Cara pengendalian ini antara lain dengan pengasapan (fogging) (dengan
menggunakan malathion dan fenthion), berguna untuk mengurangi kemungkinan
penularan sampai batas waktu tertentu. Memberikan bubuk abate (temephos) pada
tempat-tempat penampungan air seperti gentong air, vas bunga, kolam, dan lain-lain.
Fogging merupakan salah satu bentuk upaya untuk dapat memutus rantai
penularan penyakit DHF, dengan adanya pelaksanaan fogging diharapkan jumlah
penderita Demam Berdarah DHF dapat berkurang. Sebelum pelaksanaan fogging
pada masyarakat telah diumumkan agar menutup makanannya dan tidak berada di
dalam rumah ketika dilakukan fogging termasuk orang yang sakit harus diajak ke luar
rumah dahulu, selain itu semua ternak juga harus berada di luar. Namun demikian
untuk menghindari hal hal yang tidak diinginkan maka dalam pelaksanaannya
fogging dilakukan oleh 2 orang operator. Operator I (pendamping) bertugas membuka
pintu, masuk rumah dan memeriksa semua ruangan yang ada untuk memastikan
bahwa tidak ada orang dalam rumah termasuk bayi, anak-anak maupun orang tua dan
orang yang sedang terbaring sakit, selain itu ternak-ternak sudah harus dikeluarkan
serta semua makanan harus sudah ditutup. Setelah siap operator pendamping ke luar
dan operator II (Operator swing Fog) memasuki rumah dan melakukan fogging pada
semua ruangan dengan cara berjalan mundur. Setelah selesai operator pendamping
baru menutup pintu. Rumah yang telah di fogging ini harus dibiarkan tertutup selama
kurang lebih satu jam dengan harapan nyamuk-nyamuk yang berada dalam rumah
dapat terbunuh semua, dengan cara ini nyamuk-nyamuk akan terbunuh karena
malathion bekerja secara knoc donw. Setelah itu fogging dilanjutkan di luar rumah /
pekarangan. Setelah satu rumah beserta pekarangannya selesai difogging maka
fogging dilanjutkan ke rumah yang lain, sampai semua rumah dan pekarangan milik
warga difogging.
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan fogging dengan swing fog untuk
mendapatkan hasil yang optimal adalah sebagai berikut :
a. Konsentrasi larutan dan cara pembuatannya. Untuk malation, konsentrasi larutan
adalah 4 5 %.
b. Nozzle yang dipakai harus sesuai dengan bahan pelarut yang digunakan dan debit
keluaran yang diinginkan.
c. Jarak moncong mesin dengan target maksimal 100m, efektif 50m.d) Kecepatan
berjalan
d. ketika memfogging, untuk swing fog kurang lebih 500 m2 atau 2 3 menit untuk satu
rumah dan halamannya.
e. Waktu fogging disesuaikan dengan kepadatan/aktivitas puncak dari nyamuk, yaitu
jam 09.00 11.00.
Dalam pelaksanaan fogging inipun telah diperhatikan hal-hal di atas sehingga
diharapkan hasilnya juga optimal. Berdasarkan hasil survei jentik ternyata masih
ditemukan jentik di 5 rumah penduduk. Jentik tersebut berada di kamar mandi, satu
kamar mandi ditemukan di luar rumah dengan kondisi kurang bersih dan kurang
terawat, sedang 4 kamar mandi yang lain berada di dalam rumah. Bahkan satu kamar
mandi terbuat dari keramik, namun demikian kamar mandi ini berhubungan langsung
dengan pekarangan yang cukup luas dengan tanaman-tanaman besar yang cukup
banyak, sehingga dimungkinkan nyamuk berasal dari pekarangan. Bagi penduduk
yang kamar mandinya masih ditemukan jentik, maka pada saat itu juga team yang
bertugas langsung memberikan pengarahan dan penyuluhan pada pemilik rumah
untuk membersihkan kamar mandinya agar tidak menjadi sarang nyamuk.
Pendapat masyarakat bahwa fogging merupakan cara yang paling tepat untuk
mencegah penyebaran penyakit demam berdarah sebenarnya kurang tepat, karena cara
ini sesungguhnya hanya bertujuan untuk memberantas nyamuk Aedes aegypti dewasa,
sehingga jika di beberapa rumah penduduk masih diketemukan jentik nyamuk, maka
dimungkinkan penularan demam berdarah masih berlanjut dengan dewasanya jentik
yang menjadi nyamuk. Apalagi siklus perubahan jentik menjadi nyamuk hanya
membutuhkan waktu kurang lebih satu minggu. Sehingga jika di daerah tersebut
terdapat penderita demam berdarah baru maka dimungkinkan akan cepat menyebar
pula. Langkah yang dianggap lebih efektif adalah dengan PSN (Pemberantasan
Sarang Nyamuk).
Cara yang paling efektif dalam mencegah penyakit DBD adalah dengan
mengkombinasikan cara-cara di atas, yang disebut dengan 3M Plus, yaitu menutup,
menguras dan mengubur barang-barang yang bisa dijadikan sarang nyamuk. Selain itu
juga melakukan beberapa plus seperti memelihara ikan pemakan jentik, menabur
larvasida, menggunakan kelambu pada waktu tidur, memasang kasa, menyemprot
dengan insektisida, menggunakan repellent, memasang obat nyamuk dan memeriksa
jentik berkala sesuai dengan kondisi setempat (Deubel V et al., 2001).
Kegiatannya dapat berupa kerja bakti untuk membersihkan rumah dan
pekarangannya, selokan selokan di samping rumah serta melakukan 3M ( Menguras
kamar mandi (termasuk mengganti air untuk minuman burung dan air dalam vas
bunga), menutup tampungan / tandon air dan mengubur barang-barang bekas yang
mungkin menjadi tempat sarang nyamuk, termasuk pecahan botol dan potongan ban
bekas). Jika diperlukan dapat ditaburkan abate dengan dosis 10 gr/ 100 liter air, untuk
membunuh jentik-jentik pada bak kamar mandi maupun kolam-kolam ikan di rumah,
dalam hal ini masyarakat tidak perlu takut kalau-kalau terjadi keracunan karena abate
ini hanya membunuh jentik nyamuk dan aman bagi manusia maupun ikan. Untuk
mendapatkan hasil yang terbaik dalam memutus rantai penularan penyakit demam
berdarah adalah dengan pelaksanaan PSN oleh masyarakat, kemudian dilakukan
fogging oleh petugas dan kembali dilaksanakan PSN oleh masyarakat. Jika cara ini
telah dilakukan oleh seluruh masyarakat secara merata di berbagai wilayah, artinya
tidak hanya satu Rt atau Rw saja, tetapi telah meluas di semua wilayah maka
pemberantasan demam berdarah akan lebih cepat teratasi. Sebab jika hanya satu
daerah saja yang melaksanakan program tersebut namun daerah lainnya tidak, maka
dimungkinkan orang yang berasal dari wilayah yang telah bebas namun berkunjung
ke daerah yang masih terdapat penderita demam berdarah dan tergigit oleh nyamuk
Aedes aegypti akan tertular demam berdarah pula dan dengan cepat penyakit inipun
akan tersebar luas kembali.
Pemerintah juga memberdayakan masyarakat dengan mengaktifkan kembali
(revitalisasi) pokjanal DBD di Desa/Kelurahan maupun Kecamatan dengan fokus
pemberian penyuluhan kesehatan lingkungan dan pemeriksaan jentik berkala.
Perekrutan warga masyarakat sebagai Juru Pemantau Jentik (Jumantik) dengan fungsi
utama melaksanakan kegiatan pemantauan jentik, pemberantasan sarang nyamuk
secara periodik dan penyuluhan kesehatan. Peran media massa dalam penanggulangan
KLB DBD dan sebagai peringatan dini kepada masyarakat juga ditingkatkan. Dengan
adanya sistem pelaporan dan pemberitahuan kepada khalayak yang cepat diharapkan
masyarakat dan departemen terkait lebih wasapada. Intensifikasi pengamatan
(surveilans) penyakit DBD dan vektor dengan dukungan laboratorium yang memadai
di tingkat Puskesmas Kecamatan/Kabupaten juga perlu dibenahi (Kristina et al.,
2004). 2,5,9,13

BAB IV
KESIMPULAN
Demam berdarah dengue tetap menjadi salah satu masalah kesehatan di
Indonesia. Dengan mengikuti kriteria WHO 1997, diagnosis klinis dapat segera
ditentukan. Di samping modalitas diagnosis standar untuk menilai infeksi virus
Dengue, antigen nonstructural protein 1 (NS1) Dengue, sedang dikembangkan
dan memberikan prospek yang baik untuk diagnosis yang lebih dini. Terapi
cairan pada DBD diberikan dengan tujuan substitusi kehilangan cairan akibat
kebocoran plasma. Dalam terapi cairan, hal terpenting yang perlu diperhatikan
adalah: jenis cairan, jumlah serta kecepatan, dan pemantauan baik secara klinis
maupun laboratoris untuk menilai respon kecukupan cairan.
Fogging merupakan salah satu upaya untuk memberantas nyamuk yang
merupakan vektor penyakit demam berdarah sehingga rantai penularan penyakit dapat
diputuskan. Selain fogging juga dapat dilakukan abatisasi, yaitu penaburan abate
dengan dosis 10 gram untuk 100 liter air pada tampungan air yang ditemukan jentik
nyamuk. Penyuluhan dan penggerakan masyarakat dalam PSN ( Pemberantasan
Sarang Nyamuk ) dengan 3M, yaitu : menguras, menutup tampungan air, dan
mengubur barang-barang bekas yang dapat menjadi sarang nyamuk juga dapat
menjadi cara untuk memberantas DBD. Untuk mencegah DBD, dapat dilakukan
dengan cara menghindari gigitan nyamuk pada waktu pagi hingga sore hari dengan
cara mengoleskan lotion anti nyamuk. Setiap individu sebaiknya mengerti dan
memahami bahaya dari penyakit DBD tersebut, sehingga setiap individu tersebut bisa
lebih merasa khawatir dan mampu menjaga diri dan lingkungannya dari kemungkinan
terserangnya demam berdarah.
DAFTAR PUSTAKA

1. Suhendro, Nainggolan L, Chen K, Pohan HT. Demam berdarah dengue. Dalam:


Sudoyo, A. et.al. (editor). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III. Edisi 5.
Jakarta: Pusat Penerbitan IPD FKUI, 2009.p.2773-9.
2. Hadinegoro SRH, Soegijanto S, Wuryadi S, Suroso T. Tata Laksana Demam
Berdarah Dengue di Indonesia. Jakarta: Depkes RI Dirjen Pemberantasan
Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan, 2004.
3. Situation update of dengue in the SEA Region, 2007 diunduh dari
www.searo.who.int/LinkFiles/Dengue_dengue-SEAR-2008.pdf
4. Chen K, Pohan HT, Sinto R. Diagnosis dan Terapi Cairan pada Demam Berdarah
Dengue. Medicines 2009:22;1.
5. Dengue Guidelines for Diagnosis, Treatment, Prevention, and Control. World
Health Organization, 2009. Diunduh dari
http://whqlibdoc.who.int/publications/2009/9789241547871_eng.pdf
6. Dengue haemorrhagic fever: diagnosis, treatment, prevention and control. 2nd
edition. Geneva: World Health Organization. 1997. Diunduh dari
http://www.who.int/csr/resources/publications/dengue/Denguepublication
/en/print.html
7. Guidelines for Treatment of Dengue Fever/Dengue Haemorrhagic Fever in
Small Hospitals. 1999. diunduh dari
http://www.searo.who.int/LinkFiles/Dengue_Guideline-dengue.pdf
8. Infections Caused by Arthropod- and Rodent-Borne Viruses. In: Braunwald,
et al. Harrisons Principles of Internal Medicine. 17 th ed. USA: McGraw Hill
Companies, 2008.
9. Anonim. Demam Berdarah Dengue (DBD). Dalam: Sastroasmoro S, et.al.
(editor). Panduan Pelayanan Medis. Jakarta: RSUPN Dr. Cipto
Mangunkusumo, 2007.p.156-7.
10. Fact Sheet on Dengue and Dengue haemorrhagic fever. World Health
Organization Sudan, 2005. Diunduh dari
www.who.int/mediacentre/factsheets/fs117/en/
11. World Health Organization. Dengue Fever. Diunduh dari
www.emro.who.int/sudan/pdf/cd_trainingmaterials_dengue.pdf
12. Estuningtyas A, Arif A. Obat Lokal. Dalam: Gunawan SG, Setiabudy R,
Nafrialdi. Farmakologi dan Terapi. Edisi 5. Jakarta: Departemen Farmakologi
dan Terapi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia 2007. P.522.
13. Dr.Faziah A. Siregar.2004.Epidemiologi dan Pemberantasan Demam Berdarah
Dengue di Indonesia.www.library.usu.co.id Di akses tanggal 23 maret 2012.

Anda mungkin juga menyukai