Anda di halaman 1dari 7

Amandemen UU Perpajakan tahun 2005 ini menandai dilaksanakanya reformasi

perjakan kelima, sejak bergantinya sistem perpajakan nasional. Sebelumnya pemerintah


telah melaksanakan reformasi perpajakan tahun 1984, tahun 1994, tahun 1997, dan tahun
2000. Reformasi perpajakan kali ini cukup menarik, karena memiliki arti khusus, yaitu
memperkuat upaya penerimaan pajak yang semakin menjadi tulang punggung dalam
pembiayaan keuangan negara. Berdasarkan perkembangan sampai dengan akhir bulan
Maret 2011 tersebut, pendapatan negara dan hibah diperkirakan dapat mencapai target
APBN 2011 dengan didukung pelaksanaan kebijakan perpajakan dan PNBP secara tepat.
Penerimaan perpajakan akan sangat didukung oleh penerimaan pajak perdagangan
internasional yang diperkirakan akan melampaui target, sedangkan PNBP akan sangat
ditopang oleh penerimaan SDA migas. Dalam periode 2005-2011, pemerintah telah berhasil
meningkatkan penerimaan perpajakan lebih dari dua kali lipat dari Rp347,0 triliun pada
tahun 2005 menjadi Rp744,4 triliun pada tahun 2010. Dalam kurun waktu tersebut, total
penerimaan perpajakan cenderung meningkat, seperti terlihat dalam Grafik IV.3, kecuali
tahun 2009 karena melemahnya perekonomian dunia yang berpengaruh terhadap
melambatnya laju perekonomian Indonesia pada tahun tersebut.

Pada tahun 2010, realisasi penerimaan perpajakan mencapai Rp744,4 triliun yang
berarti terjadi kenaikan sebesar Rp124,5 triliun atau 20,1 persen dibandingkan dengan
realisasi tahun 2009. Pencapaian tersebut merupakan 100,2 persen dari target APBN-P
2010. Kontribusi terbesar bagi penerimaan perpajakan berasal dari penerimaan PPh,
khususnya PPh nonmigas, serta PPN dan PPnBM. Dibandingkan dengan realisasi tahun
2009, realisasi PPh nonmigas pada tahun 2010 mengalami peningkatan sebesar 11,3
persen..
Selain dengan langkah optimalisasi penerimaan perpajakan, pada tahun 2010
pemerintah juga telah memberikan berbagai insentif di bidang perpajakan, antara lain: (i)
penurunan tarif PPh badan dari 28 persen menjadi 25 persen, sebagaimana diamanatkan
dalam UU No 36 Tahun 2008; (ii) pemberian keringanan tarif PPh badan 5 persen lebih
rendah dari tarif normal bagi perusahaan yang minimal 40 persen sahamnya dimiliki
oleh publik; pelaksanaan amandemen undang-undang PPN yang secara umum
lebih memberikan kepastian hukum bagi wajib pajak dan meningkatkan daya saing bagi
pengusaha Indonesia di luar daerah pabean; dan (iv) pemberian insentif berupa pajak
ditanggung pemerintah (DTP) atas PPh, PPN dan bea masuk guna mendorong investasi
dan kegiatan dunia usaha serta stabilisasi harga di dalam negeri.
1. Strategi tax planning terkait beban entertainment

Beban entertainment dikoreksi fiskal positif karena PT. A tidak membuat daftar
nominatif terkait beban ini. Sesuai dengan yang ditegaskan dalam Surat Edaran Direktur
Jenderal Pajak No. S-334/PJ.312/2003 tentang Penegasan atas Perlakuan Biaya
Representasi, Biaya Entertainment, Jamuan Tamu, dan Sejenisnya, biaya entertainment,
representasi, jamuan tamu dan sejenisnya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara
penghasilan, dapat dikurangkan dari penghasilan bruto jika dibuatkan daftar nominatifnya.
Daftar nominatif tersebut harus dilampirkan pada Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan.

Entertainment dan jamuan ada yang formal maupun tidak formal. Jamuan yang
formal yaitu jamuan dengan relasi bisnis yang diwakili oleh pihak manajer ke atas (middle
and top management). Jamuan tersebut sebaiknya tidak perlu dibuatkan daftar nominatif,
karena terkait dengan hubungan baik antar perusahaan. Disisi lain, biaya entertainment
yang dikeluarkan oleh PT. A untuk membeli parcel bagi relasi bisnis bersifat tidak formal,
sehingga biaya tersebut dapat menjadi pengurang penghasilan bruto.

PT. A harus dapat membuktikan bahwa biaya entertainment tersebut telah benar-
benar dikeluarkan dan benar ada hubungannya dengan kegiatan perusahaan untuk
mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan perusahaan. Dengan menyimpan bukti
pengeluaran terkait entertainment yang diberikan serta membuat daftar nominatif untuk
kemudian dilampirkan di SPT Tahunan PPh, PT. A dapat menjadikan beban entertainment
sebagai pengurang penghasilan bruto, dan beban tersebut tidak perlu dikoreksi fiskal.
2. Strategi tax planning terkait beban kesejahteraan karyawan

PT. A memberikan uang makan pada karyawan terkait dengan kesejahteraan


mereka. Menurut pasal 9 ayat (1) huruf e UU No. 36 Tahun 2008 tentang Pajak
Penghasilan, penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaaan atau jasa yang
diberikan dalam bentuk natura dan kenikmatan, tidak boleh dikurangkan dari
penghasilan bruto untuk menentukan besarnya penghasilan kena pajak. Pemberian
uang makan ini termasuk natura sehingga dikoreksi fiskal positif.

Salah satu strategi yang dapat diterapkan oleh PT. A untuk mengatasi hal
tersebut adalah penyediaan makanan dan minuman di kantor bagi seluruh karyawan.
Beban kesejahteraan karyawan berupa uang makan diganti menjadi penyediaan
makanan dan minuman, sehingga menimbulkan akun baru pada laporan laba rugi
yaitu beban konsumsi. Diasumsikan bahwa beban konsumsi nilainya sama dengan
beban kesejahteraan karyawan.

Sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan No. 83/PMK.03/2009 tentang


Penyediaan Makanan dan Minuman bagi Seluruh Pegawai serta Penggantian atau
Imbalan dalam Bentuk Natura dan Kenikmatan di Daerah Tertentu dan yang
Berkaitan dengan Pelaksanaan Pekerjaan yang Dapat Dikurangkan dari Penghasilan
Bruto Pemberi Kerja, pemberian atau penyediaan makanan dan minuman bagi seluruh
karyawan (termasuk dewan direksi dan komisaris) yang berkaitan dengan pelaksanaan
pekerjaan, dapat dikurangkan dari penghasilan bruto pemberi kerja dan bukan
merupakan penghasilan bagi karyawan yang menerimanya.

Melalui penyediaan makanan dan minuman, PT. A dapat mengakui beban


konsumsi sehingga tidak perlu dikoreksi fiskal positif. Penyediaan makanan dan
minuman tersebut juga bukan merupakan penghasilan bagi karyawan sehingga tidak
perlu dikenakan PPh pasal 21.
3. Strategi tax planning terkait beban telepon

Sesuai dengan ketentuan pasal 9 ayat (1) UU No. 36 Tahun 2008 tentang
Pajak Penghasilan, serta Keputusan Direktorat Jenderal Pajak No. KEP 220/PJ./2002
tentang Perlakuan Pajak Penghasilan atas Biaya Pemakaian Telepon Seluler dan
Kendaraan Perusahaan, biaya berlangganan atau pengisian ulang pulsa telepon
seluler dapat dibebankan sebagai biaya rutin perusahaan sebesar 50% (lima puluh
persen).

Terkait hal ini, PT. A dapat beralih dari penggunaaan sistem prabayar ke
sistem pasca bayar sehingga pembayaran dapat dilakukan di akhir bulan sesuai
dengan jumlah pemakaian pulsa karyawan. Dengan menggunakan sistem pasca
bayar untuk pengisian ulang pulsa telepon seluler, PT. A dapat meminta ke penyedia
layanan telepon seluler, data mengenai pihak-pihak yang telah dihubungi
karyawannya terkait pekerjaan.

Penggunaan pasca bayar juga dapat membuktikan bahwa pemakaian pulsa


telepon seluler oleh karyawan sepenuhnya terkait dengan kepentingan bisnis,
sehingga bisa dikategorikan sebagai biaya untuk mendapatkan, menagih, dan
memelihara penghasilan. Pada akhirnya, beban tersebut diperbolehkan sebagai
komponen pengurang penghasilan bruto dan bisa dibebankan sebesar 100%.
7

Anda mungkin juga menyukai