Anda di halaman 1dari 9

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pada saat sekarang ini telah terjadi perubahan yang cukup signifikan

dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara baik sebagai akibat

konstelasi politik dalam negeri maupun politik global. Demokrasi dan hak asasi

manusia merupakan isu sentral yang diperbincangkan sebagai wacana yang telah

mempengaruhi pola pikir masyarakat dan bangsa Indonesia.

Implementasi demokrasi dalam suatu negara sangat memerlukan sikap

demokratis dari setiap warga negaranya. Oleh karena itu, setiap warga negara

memiliki kewajiban untuk mengembangkan sikap demokratis dalam berbagai

kehidupan. Untuk melaksanakan demokrasi di Indonesia saat ini terdapat

berbagai tantangan. Tantangan itu adalah kurangnya kesadaran kemajemukan

yang mengakibatkan terjadinya fenomena disintegrasi. Di samping itu tantangan

yang lain adalah ketidakmampuan untuk bermusyawarah, praktik-praktik tujuan

yang menghalalkan segala cara, kurangnya permusyawaratan yang jujur dan

sehat, terjadinya krisis ekonomi dan tidak ada kepercayaan antarwarga

masyarakat. Hal ini diperkuat hasil survey dari National Survey of Voter

Education"1 menunjukkan bahwa lebih dari 60% dari sampel nasional

mengindikasikan belum mengerti tentang apa, mengapa, dan bagaimana

1
Asia Fondation, 1998

1
2

demokrasi. Tantangan tersebut harus segera diatasi oleh seluruh lapisan

masyarakat baik itu elit politik maupun rakyat.

Upaya dan strategi untuk mengatasi tantangan itu melalui pendidikan

khususnya pendidikan demokrasi. Salah satu tempat yang strategis untuk

menanamkan sikap demokratis adalah di lingkungan sekolah. Sekolah sebagai

lembaga pendidikan memiliki tanggung jawab untuk membentuk generasi muda

yang beriman, bertaqwa, berilmu, bermoral dan memiliki sikap demokratis.

Secara khusus mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan

berusaha untuk menanamkan nilai, norma, dan moral, kepada peserta didik

dengan tujuan agar memiliki pengetahuan tentang hukum, politik, moral, dan

sikap demokratis. Namun kenyataannya, berdasarkan berbagai penelitian yang

dihimpun oleh Djahiri menunjukkan bahwa praksis pendidikan demokrasi, dalam

hal ini melalui PMP/PPKn/Penataran P-4 cenderung menitikberatkan pada

penguasaan aspek pengetahuan dan mengabaikan pengembangan sikap dan

keterampilan kewarganegaraan, dengan menggunakan pendekatan ekspositori

yang cenderung indoktrinatif2. Hal ini kurang memberi kesempatan secara luas

kepada siswa untuk menyampaikan ide-ide, mengembangkan pengalaman dan

potensi yang dimiliknya. Akibatnya siswa memiliki pengetahuan tentang

demokrasi tetapi tidak mempraktikannya dalam kehidupan sehari-hari dan siswa

kurang kritis dan kreatif terhadap suatu permasalahan.

2
Kosasih Djahiri, Menelusuri Dunia Afektif Pendidikan Nilai dan Moral. (Bandung : Laboratorium
IKIP , 1998), h. 8
3

Di samping itu keteladanan dri gaya kepemimpinan guru serta metode

mengajar guru selama ini lebih banyak menggunakan ceramah, yang hanya

mentransfer pengetahuan (transfer of knowlage) kepada siswa. Hal ini

mengakibatkan situasi belajar membosankan, siswa pasif, dan kurang

mendukung untuk pembentukan sikap demokratis. Strategi pembelajaran guru

tersebut harus direformasi dengan strategi pembelajaran yang mengakibatkan

siswa dapat mengembangkan potensi yang dimiliki.

Dalam menerapkan prinsip-prinsip demokrasi guru harus secara teratur

menggunakan berbagai strategi pembelajaran interaktif seperti diskusi masalah-

masalah aktual, sosial, dan membahas suatu masalah dari berbagai sudut pandang

serta sikap keteladanan yang di tunjukan dari gaya kepimpinan guru dalam

pembelajaran.

Gaya kepemimpinan, model dan strategi mengajar guru dialog-interaktif

yang bersifat partisipatoris tersebut akan mengakibatkan interaksi antara siswa

dengan guru dan antara siswa sendiri. Metode ini supaya berjalan dengan baik

harus dikembangkan sikap menghargai perbedaan pendapat, toleransi terhadap

orang lain, kemampuan berpikir kritis, musyawarah yang sehat dan jujur,

menyampaikan pendapat yang santun, dan saling mempercayai. Siswa sebagai

salah satu komponen generasi muda, harus terus-menerus dibina dan

dikembangkan sikap dimokratisnya, untuk itu perlu pendekatan dan strategi.

Guru juga harus bertindak sebagai fasilitator, dinamisator dan mediator.

Sebagai fasilitator, pendidik harus memberikan kesempatan kepada peserta didik


4

untuk mencoba menemukan sendiri makna informasi yang diterimanya. Sebagai

dinamisator, pendidik harus berusaha menciptakan iklim proses pembelajaran

yang dialogis dan berorientasi pada proses. Sebagai mediator, pendidik harus

memberikan rambu-rambu atau arahan agar peserta didik bebas belajar. Sebagai

motivator, pendidik harus selalu memberikan dorongan agar peserta didiknya

bersemangat dalam menuntut ilmu serta menciptakan situasi kelas yang kondusif

dan lebih longgar. Dalam situasi kelas yang kondusif, terbuka dan longgar, guru

akan membawab contraversial issue ke dalam kelas untuk didiskusikan dan

dikaji oleh siswa. Siswa memiliki kesempatan seluas-lusanya untuk

menyampaikan pendapat dan mempertahankannya, tetapi siswa akan belajar

untuk menghargai pendapat orang lain, meskipun pendapat tersebut berbeda

dengan apa yang dimiliki, bahkan apa yang diyakini.

Guru juga harus memposisikan atau menempatkan siswa sebagai subjek

bukan obyek. Siswa adalah manusia yang memiliki potensi, kewajiban guru

mengembangkan potensi yang ada dalam diri siswa. Dalam hal ini siswa lebih

aktif, kreatif dan enovatif, sedangkan guru memposisikan diri sebagai fasilitator,

mediator, motivator. Keteladanan guru dalam bertindak baik di kelas maupu di

luar kelas. Pengaruh guru dalam sosialisasi nilai-nilai demokrasi pada tingkat

sekolah menengah sangat ditentukan oleh kridibelitas guru itu sendiri. Kalau di

mata murid merupakan sosok yang dapat dipercaya, mampu dan dapat dijadikan

model bagi para siswa maka pengaruh guru cukup besar. Sebaliknya kalau guru

yang tidak dapat dipercaya, tidak mampu, dan tidak dapat dijadikan model,
5

pengaruh guru dalam mensosialisasikan nilai-nilai demokrasi sangat kecil. Hal

ini akan menghambat penanaman sikap demokratis itu sendiri, maka di sini gaya

kepemimpinan dan keteladanan guru sangat mempengaruhi sikap dan pola pikir

siswa.

Berpikir merupakan suatu aktivitas mental untuk membantu memecahkan

masalah, membuat keputusan, atau memenuhi rasa keingin tahuan. Kemampuan

berpikir terdiri dari dua yaitu kemampuan berpikir dasar dan kemampuan

berpikir tingkat tinggi. Kemampuan berpikir dasar (lower order thinking) hanya

menggunakan kemampuan terbatas pada hal-hal rutin dan bersifat mekanis,

misalnya menghafal dan mengulang-ulang informasi yang diberikan sebelumnya.

Sementara, kemampuan berpikir tinggi (higher order thinking) membuat siswa

untuk mengintrepretasikan, menganalisa atau bahkan mampu memanipulasi

informasi sebelumnya sehingga tidak monoton. Kemampuan berpikir tinggi

(higher order thinking) digunakan apabila seseorang menerima informasi baru

dan menyimpannya untuk kemudian digunakan atau disusun kembali untuk

keperluan pemecahan masalah berdasarkan situasi.

Secara umum, keterampilan berpikir terdiri atas empat tingkat, yaitu:

menghafal (recall thinking), dasar (basic thinking), kritis (critical thinking) dan

kreatif (creative thinking)3. Tingkat berpikir paling rendah adalah keterampilan

menghafal (recall thinking) yang terdiri atas keterampilan yang hampir otomatis

atau refleksif. Tingkat berpikir selanjutnya adalah keterampilan dasar (basic

3
Ibid
6

thinking). Keterampilan ini meliputi memahami konsep-konsep seperti

penjumlahan, pengurangan dan sebagainya termasuk aplikasinya dalam soal-soal.

Berpikir kritis adalah berpikir yang memeriksa, menghubungkan, dan

mengevaluasi semua aspek dari situasi atau masalah. Termasuk di dalamnya

mengumpulkan, mengorganisir, mengingat, dan menganalisa informasi. Berpikir

kritis termasuk kemampuan membaca dengan pemahaman dan mengidentifikasi

materi yang dibutuhkan dan tidak dibutuhkan. Ini juga berarti mampu menarik

kesimpulan dari data yang diberikan dan mampu menentukan ketidak

konsistenan dan pertentangan dalam sekelompok data. Berpikir kritis adalah

analitis dan refleksif.

Berpikir kreatif sifatnya orisinil dan reflektif. Hasil dari keterampilan

berfikir ini adalah sesuatu yang kompleks. Kegiatan yang dilakukan di antaranya

menyatukan ide, menciptakan ide baru, dan menentukan efektifitasnya. Berpikir

kreatif meliputi juga kemampuan menarik kesimpulan yang biasanya

menemukan hasil akhir yang baru.

Dua tingkat berpikir terakhir inilah (berpikir kritis dan berpikir kreatif)

yang disebut sebagai keterampilan berpikir tingkat tinggi yang harus

dikembangkan dalam pembelajaran demokrasi. Dalam hal ini akan dibahas

mengenai kemampuan berpikir kritis dalam pembelajaran demokrasi.

Berdasarkan latar belakang di atas asumsi peneliti bahwa variabel sikap

demokrasi daerfikir kritisn variabel gaya kepemimpinan akan sangat berpengaruh

terhadap kemampuan berfikir kritis, oleh karena itu peneliti tertarik memilih
7

judul, Pengaruh Sikap Demokrasi Dan Gaya kepemimpinan terhadap

kemampuan berpikir kritis Di SMK Kota Depok

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas sekurang-kurangnya terdapat dua

faktor utama yang mempengaruhi sikap berfikir kritis siswa yang meliputi faktor

internal dan faktor eksernal.

Faktor - faktor internal meliputi implementasi sikap demokrasi siswa dalam

kehidupan sehari-hari, baik di lingkungan rumah atau di lingkungan sekolah ,

sifat malas, egois dan, emosional. Faktor eksternal antara lain keteladanan guru

dan orang tua serta gaya kepimpinan guru yang berimbas pada kemampuan

berfikir kritis siswa.

Untuk kepentingan penelitian ini difokuskan pada satu satu variabel

eksternal responden yang seringkali bersentuhan dengan responden dalam

kehidupannya yaitu kemampuan berfikir kritis siswa.

Berikut ini beberapa hasil identifikasi berdasarkan lata belakang di atas,

sebagai berikut : 1) Sebagian besar siswa kurang aktif di kelas dan kurang fokus

dalam mengikuti pelajaran, 2) Kemampuan berpikir kritis siswa masih rendah, 3)

Siswa tidak simpatik terhadap guru, 4) Gaya guru yang monoton dan tidak

menarik bagi siswa, 5) Teknik yang digunakan guru dalam pembelajaran PKn

belum variatif. 6) Kurangnya pelatihan untuk meningkatkan kemampuan berpikir


8

siswa dalampembelajaran PKn, 7) guru belum bisa memberikan sikap keteladan

kepada siswa, 8) gaya kepemimpinan guru dalam mengajar masih otoriter.

C. Pembatasan Masalah

Mengingat cukup luas dan kompleks berbagai aspek dan faktor-faktor yang

mempengaruhi dan dipengaruhi dalam konteks fokus penelitian sebagaimana

diuraikan pada latar belakang di atas dan identifikasi masalah yang seharusnya

semua faktor penyebab permasalahan rendahnya kemampuan berfikir kritis siswa

tersebut diteliti. Namun mengingat keterbatasan waktu, ketersediaan dana, dan

kemampuan peneliti, maka penelitian ini dilakukan tidak pada semua faktor

melainkan beberapa faktor akan digabungkan dalam faktor variabel penelitian

yang relevan.

Sehubungan dengan hal tersebut maka masalah dibatasi pada variabel

bebas berupa Sikap Demokrasi guru (X1) dan Gaya kepemimpinan guru (X2).

Sedangkan variabel terikat atau dependent variabel adalah kemampuan berfikir

kritis siswa (Y).

D. Perumusan Masalah

Agar penelitian dapat lebih memiliki makna, maka peneliti lebih

memfokuskan pada masalah utama penelitian yakni Pengaruh sikap demokrasi

dan gaya kepemimpinan guru baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama

terhadap variabel Y yaitu kemampuan berfikir kritis siswa dalam studi


9

korelasional pada siswa di SMK Kota Depok, dan lebih lanjut rumusan

masalahnya disusun sebagai berikut :

1. Apakah terdapat pengaruh Sikap demokrasi guru terhadap kemampuan

berfikir kritis siswa SMK di Kota Depok ?

2. Apakah terdapat pengaruh gaya kepemimpinan guru terhadap kemampuan

berfikir kritis siswa SMK di Kota Depok?

3. Apakah terdapat pengaruh sikap demokrasi dan gaya kepemimpinan guru

secara bersama-sama terhadap kemampuan berfikir kritis siswa SMK di Kota

Depok?

E. Manfaat Penelitian

1. Secara Teoritis

Peneltian ini diharapkan mampu memberikan manfaat baik secara

keilmuan (teoritik), maupun secara empirik (praktis), secara teoritik penelitian

ini akan menggali, mengkaji pengaruh media sosial dan interaksi sosial

terhadap sikap nasionalisme.

2. Secara Praktis

a. Sebagai bahan pertimbangan dagi perancang kebijakan dalam menyusun

dan mengembangkan program pendidikan kewarganegaraan.

b. Sebagai bahan pertimbangan dan sumbangan pemikiran bagi pemangku

kepentingan terutama kepala sekolah dan atau pengawas sekolah dalam

meningkatkan kemampuan berfikir kritis siswa.

Anda mungkin juga menyukai