Anda di halaman 1dari 7

KISAH SUKSES PURDI E CHANDRA

Purdi E Chandra lahir di Lampung 9 September 1959. Secara


tak resmi Purdi sudah mulai berbisnis sejak ia masih duduk di bangku SMP di Lampung, yakni
ketika dirinya beternak ayam dan bebek, dan kemudian menjual telurnya di pasar.

Bisnis resminya sendiri dimulai pada 10 Maret 1982, yakni ketika ia bersama teman-temannya
mendirikan Lembaga Bimbingan Test Primagama (kemudian menjadi bimbingan belajar). Waktu
mendirikan bisnisnya tersebut Purdi masih tercatat sebagai mahasiswa di 4 fakultas dari 2
Perguruan Tinggi Negeri di Yogyakarta. Namun karena merasa tidak mendapat apa-apa ia
nekad meninggalkan dunia pendidikan untuk menggeluti dunia bisnis.

Dengan jatuh bangun Purdi menjalankan Primagama. Dari semula hanya 1 outlet dengan hanya
2 murid, Primagama sedikit demi sedikit berkembang. Kini murid Primagama sudah menjadi lebih
dari 100 ribu orang per-tahun, dengan ratusan outlet di ratusan kota di Indonesia. Karena
perkembangan itu Primagama ahirnya dikukuhkan sebagai Bimbingan Belajar Terbesar di
Indonesia oleh MURI (Museum Rekor Indonesia).

Mengenai bisnisnya, Purdi mengaku banyak belajar dari ibunya. Sementara untuk masalah
kepemimpinan dan organisasi, sang ayahlah yang lebih banyak memberi bimbingan dan arahan.
Bekal dari kedua orang tua Purdi tersebut semakin lengkap dengan dukungan penuh sang Istri
Triningsih Kusuma Astuti dan kedua putranya Fesha maupun Zidan. Pada awal-awal berdirinya
Primagama, Purdi selalu ditemani sang istri untuk berkeliling kota di seluruh Indonesia membuka
cabang-cabang Primagama. Dan atas bantuan istrinya pula usaha tersebut makin berkembang.

Kini Primagama sudah menjadi Holding Company yang membawahi lebih dari 20 anak
perusahaan yang bergerak di berbagai bidang seperti: Pendidikan Formal, Pendidikan Non-
Formal, Telekomunikasi, Biro Perjalanan, Rumah Makan, Supermarket, Asuransi, Meubelair,
Lapangan Golf dan lain sebagainya.

Walaupun kesibukannya sebagai entrepreneur sangat tinggi, namun jiwa organisatoris Purdi tetap
disalurkan di berbagai organisasi. Tercatat Purdi pernah menjabat sebagai Ketua Himpunan
Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) cabang Yogyakarta dan pengurus Kamar Dagang dan
Industri Daerah (Kadinda) DIY. Selain itu Purdi pernah juga tercatat sebagai anggota MPR RI
Utusan Daerah DIY. (sumber : www.purdiechandra.com)

Wawancara dengan Majalah BERWIRAUSAHA


Untuk jadi seorang entrepreneur sejati, tidak perlu IP tinggi, ijazah, apalagi modal uang. Saat
yang tepat itu justru saat kita tidak punya apa-apa. Pakai ilmu street smart saja, ungkap Purdi E
Chandra, Dirut Yayasan Primagama.

Menurutnya, kemampuan otak kanan yang kreatif dan inovatif saja sudah memadai. Banyak orang
ragu berbisnis cuma gara-gara terlalu pintar. Sebaliknya, orang yang oleh guru-guru formal
dianggap bodoh karena nilainya jelek, justru melejit jadi wirausahawan sukses.

Masalahnya jika orang terlalu tahu risikonya, terlalu banyak berhitung, dia malah tidak akan
berani buka usaha, tambah konglomerat bimbingan tes itu. Purdi yang lahir di Lampung 9
September 1959 memang jadi model wirausaha jalanan, plus modal nekad. la tinggalkan
kuliahnya di empat fakultas di UGM dan IKIP Yogyakarta. Lalu dengan modal Rp.300 ribu ia
dirikan lembaga bimbingan tes Primagama 10 Maret 1982 di Yogyakarta. Sebuah peluang bisnis
potensial yang kala itu tidak banyak dilirik orang. la sukses membuat Primagama beromset hampir
70 milyar per tahun, dengan 200 outlet di lebih dari 106 kota. la dirikan IMKI, Restoran Sari Reja,
Promarket, AMIKOM, Entrepreneur University, dan terakhir Sekolah Tinggi Psikologi di
Yogyakarta.

Grup Primagama pun merambah bidang radio,penerbitan, jasa wisata, ritel, dll. Semua diawalkan
dari keberanian mengambil risiko. Kini Purdi lebih banyak lagi berdakwah tentang
entrepreneurship. Bagi Purdi, entrepreneur sukses pastilah bisa menciptakan banyak lapangan
kerja. Namun, itu saja tidak cukup berarti bagi bangsa ini. Saya memimpikan bisa melahirkan
banyak lagi pengusaha-pengusaha. Dengan demikian, makin banyak pula lapangan kerja
diciptakan. Itulah Mega Entrepreneur, ungkap Purdi kepada Edy Zaqeus dan David S.
Simatupang dari Majalah BERWIRAUSAHA.

Berikut petikan wawancara yang berlangsung di kantor cabang Primagama Jakarta.

Bagaimana semangat wirausaha masyarakat kita?

Mungkin begini. Salahnya pendidikan kita itu, kebanyakan orang lulus sarjana baru cari kerja. Jadi
pengusaha itu mungkin malah orang-orang yang kepepet. Yang tidak diterima di mana-mana,
baru dia sadar dan bikin usaha sendiri. Mestinya, kesadaran seperti ini bisa untuk orang-orang
yang tidak kepepet. Alasannya, kalau mau usaha harus ada modal, punya ketrampilan. Padahal
tidak harus begitu. Saat yang tepat itu justru saat kita tidak punya apa-apa. Ibaratnya kalau kita
punya ijazah pun, tidak usah dipikirin. Saya dulu tak tergantung dengan selembar kertas itu.
Sekarang mau dijaminkan di bank juga tidak bisa. Hanya buat senang-senang saja kalau sudah
sarjana.

Memang saya lihat pendidikan kita itu dari otak kiri saja. Padahal kalau kita garap yang kanan,
porsinya banyak, maka otomatis otak kirinya naik. Tapi kalau kita banyakin kiri, kanan ndak ikut
naik. Kanan itu adalah praktek. Saya bilang street smart.

Cerdas di lapangan, di jalanan. Orang yang akademik, sekolahnya pintar, IP atau nilai tinggi, dia
tidak berani menentang teori. Jadi robotlah. Kalau di situ jadi topeng monyet. Dia tidak berani
membuat kreasi sendiri. Padahal hidup dia itu bukan di masa lalu. Hidup dia itu kan di masa
datang, dan itu serba berubah cepat. Tidak ada yang sama dengan teori yang dia pelajari. Teori
itu kan hasil temuan. Kenapa kita tidak bisa menemukan sendiri? Saya punya contoh, manajemen
di Primagama, yang tidak ada di teori. Kalau pun ada di teori pasti disalah-salahkan.

Apa itu?

Di Primagama, suami-istri bekerja dalam satu kantor itu malah kita anjurkan. Di lain tempat dan di
teori itu ndak boleh! Tapi saya praktekkan, ternyata jalan, bagus. Saya melihat, mereka masing-
masing bisa saling mengontrol. Maka, menantang teori itu yang utama. Saya malah bisa
menaikkan omset Primagama 60%.

Contohnya lagi, iklan Primagama yang pakai aktor Rano Karno. Menurut orang kampus, dan
pernah dibahas di sana, itu ndak bener! Menurut teori ndak benar. Tapi nyatanya, bagus
hasilnya? Saya dulu pernah pakai Sarlito (pakar psikologi dan pendidikan:rec), malah ndak ada
hasilnya, walau dia doktor atau apa. Jadi street smart itu

Apa artinya street smart?

Cerdas di jalanan. Ada academic smart atau school smart. Tapi street smart itu cerdas dengan
praktek. Jadi begini, kalau kita punya pengetahuan dengan benar, pengetahuan itu kan akademik.
Kita tidak strong, gugur! Kita tidak akan bisa. Kita tidak akan bisa benar. Waktu SD itu ada
bacaan-bacaan begini; Ibu pergi ke pasar membeli sayur. Kok tidak yang menjual sayur saja?

Kok kata-katanya selalu membeli, bukan menjual? Teryata setelah saya urut-urut, yang nulis itu
guru. Coba kalau isinya diubah menjadi menjual, itu akan lain.

Kenapa tertarik menonjolkan sisi menjualnya?

Kalau saya bertransaksi, itu nilai tambah. Dalam transaksi, duit paling banyak itu kan
pengusahanya? Dan paling banyak milik pengusaha. Coba kalau misalnya yang satu membeli
saja. Akan terbatas transaksinya. Sehingga kalau memang harus banyak pengusahanya, ya untuk
menjual.

Setuju dengan pemikiran Kiyosaki If you want to be rich and happy, dont go to school ?

Kalau saya if you want to be rich and happy, ya. Kalau ingin kaya, ngapain sekolah? Kalau di
sekolah tidak akan happy dan kaya. Pendidikan kita tidak bikin happy, malah bikin stres anak.
Porsi mainnya kurang. Sejak Taman Kanak-kanak sudah dipaksa main otak kiri. Mungkin itu
karena dari mentrinya sampai orang-orang tuanya itu otak kiri semua, kan? Dikatakan figur yang
bagus itu yang profesor, yang doktor. Padahal kalau kita pilah, yang pintar sekolah memang jadi
dosen, jadi dokter. Yang sedang-sedang saja jadi manajer. Tapi yang bodo-bodo sekolahnya
malah jadi pengusaha.

Penelitian di Harvard begitu. Penyikapan guru terhadap anak yang bodo kok divonis tidak punya
masa depan? Mungkin dia berani, kreatif, bisa menemukan apa yang tidak ditemukan oleh anak-
anak pintar.

Nah, pendidikan kita itu semua mau dijadikan ilmuwan. Seolah ngejar otak kiri saja, ngejar school
smart saja.
Apa yang harus dilakukan untuk membongkar sistem seperti itu?

Memang berat karena dari dulu juga begitu. Maka harus lewat luar, kegiatan-kegiatan ekstra.
Maka saya usulkan pendidikan kita dibuat dua sistem; sistem ijazah dan sistem tanpa ijazah.
Kalau sekolah tanpa ijazah, orang akan cenderung cari ketrampilan dari praktek yang kelihatan.
Yang pakai ijazah untuk yang mau jadi dosen, jadi dokter, jadi ilmuwan.

Kalau pelajaran kimia yang pakai ijazah, ya ilmuwan itulah. Kalau kimia yang tidak pakai ijazah,
pilihannya ya bikin deterjen, bikin sirup, bikin apa saja yang ada manfaatnya. Kalau semua harus
belajar kimia, padahal kita tidak tertarik, berarti dipaksa dan tidak happy jadi nya.

Kalau di tataran konseptual, apa yang mesti dilakukan?

Saya kira Dikbud itu merasa bahwa yang menentukan masa depan Indonesia itu dia. Bikin
kurikulum, walaupun sumbernya dari masyarakat, tapi sering terlambat. Kurikulum tahun lalu baru
dipakai sekarang. Lebih cepat di luar, kan? Maka kalau saya, pendidikan itu tidak usah diatur.
Perguruan Tinggi siapa pun boleh bikin. Dan itu masyarakat yang menilai. Hukum pasar! Titel
MBA atau apa dilarang, kenapa? Alamiah aja. Nanti kalau kebanjiran itu orang ndak mau pakai,
kan ndak masalah? Kalau banyak manajer belajar ilmu untuk mendapatkan MBA, itu kan bagus?
Dalam pendidikan itu sebenarnya mereka dagang.

Kalau model-model pendidikan itu masyarakat yang mengembangkan, mungkin baru bagus.
Karena pas dengan zaman itu. Misalnya Mc Donald mau bikin Universitas Mc Donald, kenapa
tidak?

Bagaimana dengan Entrepreneur University yang Anda dirikan?

Sebagai entrepreneur, saya punya visi Mega Entrepreneur. Artinya bagaimana seorang
pengusaha bisa menciptakan pengusaha lainnya. Kalau pengusaha bisa menciptakan lapangan
kerja, itu sudah biasa. Yang saya kejar adalah bagaimana saya bisa menciptakan banyak
pengusaha. Dulu visi saya memang menciptakan lapangan kerja sebanyak-banyaknya. Kalau
seperti itu kan lama. Mungkin hanya ribuan lapangan kerja. Tapi kalau bisa menciptakan banyak
pengusaha, lapangan kerja yang tercipta lebih banyak lagi.

Karyawan saya pun saya usahakan bisa jadi pengusaha. Kayak manajer-manajer saya, semua
sudah punya usaha di luar. Saya ditentang oleh Renald Kasali. Katanya menurut teori itu tidak
bisa. Orang kerja kok diajak merangkap jadi pengusaha, itu ndak bisa!. Saya praktekkan ternyata
bisa. Manajer saya punya perusahaan mebel.

Menurut Kiyosaki, di sini dia sebagai employee, di luar dia sebagai business owner karena yang
mengelola orang lain. Ada manajer saya yang buka bengkel motor. Sopir saya punya kenteng
mobil. Sopir saya yang lain punya bisnis jual beli handphone.

Karyawan-karyawan itu mau jadi manajer semua ? ndak mungkin kan Harapan paling besar
saya, ya mereka jadi pengusaha.

Sejak kapan Entrepreneur University berjalan?


Entrepreneur University (EU) berjalan baru setahun. Sebelumnya kita sudah sering adakan
pelatihan di mana-mana. Tapi cuma beberapa hari, lalu selesai tidak ada follow up. Sekarang
lebih jelas, kita ada follow up. Misalnya kita adakan tiga bulan, setelah itu ada klub entrepreneur.
Yang itu bisa dilakukan lewat internet, pertemuan-pertemuan, dan juga konsultasi seperti tadi. Di
EU diutamakan yang indeks prestasinya (IP) rendah. Memang pernah ada yang protes, orang
mau masuk tapi IP-nya tinggi, dia jadi minder. Tapi memang saya lebih mudah mengajar orang
yang tidak pintar. Kalau otak kiri sudah kuat, susah berubahnya.

Misalnya dia kuliah di akuntansi, yang feasible tidak feasible, udah, ndak berani-berani dia. Usaha
itu bukan perhitungan sebelumnya. Hitungan yang terjadi, itulah usaha. Banyak yang terjadi kita
tidak tahu dan tidak kita pikirkan sebelumnya. Saya di Primagama dulu kalau dipikir tidak rasional.
Modal saya cuma Rp.300 ribu saja. Sekarang asetnya sudah hampir Rp.100 milyar, kan?

Rasionalnya di mana?

Tadi seorang direksi bank yang ingin membuat usaha. Seperti dia, dihitung-hitung terus, selalu
tidak positif. Akhirnya tidak berani buka usaha. Saya bilang, Jangan dihitung terus! Usaha itu
dibuka, baru dihitung. Ini street smart. Kalau dihitung baru dibuka, ndak akan buka-buka usaha.
Makanya, yang membuat orang takut itu bukan sisi gelap, tapi justru sisi terang. Karena terang itu
tahu hitung-hitungannya, tahu risikonya gedhe, jadi takut. Kalau gelap, tidak tahu apa-apa, usaha
itu tidak takut. Dihitung atau tidak dihitung itu sama saja kok.

Padahal entrepreneur harus berani ambil risiko

Itulah, ambil risiko itu berarti harus gelap. Maksudnya jangan terlalu banyak tahu. Setelah jalan,
kita pakai ilmu street smart tadi. Street smart itu yang melahirkan kecerdasan entrepreneur yang
dibutuhkan untuk pemula usaha. Isi kecerdasan entrepreneur itu ya kecerdasan emosional,
spiritual, dan basisnya di otak kanan.

Bagaimana cara Anda merealisasikan gagasan Mega Entrepreneur?

EU ini saya yang buka dan pelatihannya saya yang mengajar sendiri. Saya bukan cari untunglah,
tapi semacam aktulisasilah buat saya. Karena saya ingin jadi Mega Entrepreneur tadi. Sehingga
saya bela-belain, ndak harus untung. Kalau nombokpun saya mau untuk memberikan dakwah
tentang entrepreneurship ini. Itu yang saya lakukan, dan sudah dua angkatan EU di lima kota.
Perkembangan pesertanya cukup positif. Yang sama sekali tidak berani berusaha, kini jadi
berani.

Bagaimana tren kewirausahaan ke depan?

Saya kira itu suatu keharusan. Kalau negara ini mau maju, harus banyak pengusahanya. Kita
belum ada kementrian yang khusus mengurusi wirausaha. Di Indonesia banyak bisnis yang bisa
dikembangkan menjadi franchise dan tidak harus yang mahal. Di Malaysia sudah ada
kementriannya, dan mentrinya mendorong mereka yang mau usaha franchise dsb.

Bagaimana entrepreneur yang ideal itu?


Ukuran ideal saya adalah dari banyaknya lapangan kerja yang diciptakan. Pengusaha yang bisa
melahirkan pengusaha-pengusaha baru. Bisnisnya kalau bisa yang baik-baiklah. Saya suka
mengurusi bisnis yang langsung ke pasar. Yang menilai dan menentukan bisnis saya ya pasar.
Saya ndak model dengan bisnis lobi-lobi yang harus berhubungan dengan pemerintah.

Pernah mengalami pencerahan selama menjadi entrepreneur?

Saya mengembangkan sisi spiritual melalui dzikir atau meditasi. Bisnis itu, kalau bisa ya
melibatkan yang di atas. Tidak bisa berjalan dengan diri kita sendiri. Maka saya kembangkan
kecerdasan spiritual. Kalau menggunakan intuisi saja, hanya bisa menunjukkan sesuatu tujuan itu
seperti apa. Tapi kalau dzikir, melibatkan Tuhan, kuncinya justru membuat tujuan itu terjadi.

Misalnya diramal orang kita tidak hoki. Dengan dzikir itu bisa jadi hoki. Yang tidak baik jadi baik.
Arah negatif bisa jadi positif. Maka, menantang teori itu yang utama! Makanya, yang membuat
orang takut itu bukan sisi gelap, tapi justru sisi terang.

Bangkit

Wujudkanlah mimpi anda, kembangkanlah penglihatan pemikiran yang selama ini terpendam,
berikanlah arti pada hidup yang anda cintai ini. Semuanya berawal dari sebuah impian. Dunia
dengan segala isinya diciptakan Tuhan dari impian-Nya.

Kisah-kisah keberhasilan para tokoh yang berhasil mengubah dunia, bermula dari mimpi, seperti
apa yang dilakukan Galiileo, Thomas Alva Edison, Einstein, dan lain-lain. Bangunan-bangunan
besar seperti candi dan piramid juga dimulai dari impian. Bahkan, majalah ini hingga akhirnya
sampai ke tangan pembaca, juga diawali dari impian. Bila demikian, tampaknya segala sesuatu
sangatlah mungkin untuk diwujudkan. Masalahnya adalah kebanyakan orang telah membuang
jauh-jauh mimpi mereka ke tempat sampah, atau merasa bahwa mimpi mereka merupakan hal
yang mustahil. Padahal, hampir semua mimpi bisa diwujudkan dengan sedikit kecerdikan, sedikit
keberanian serta dukungan emosional.

Sebagai ilustrasi, pertengahan tahun 70-an Bill Gates bermimpi bahwa komputer akan tersedia di
setiap rumah pada suatu masa nanti; Akio Morita bermimpi bisa mendengarkan musik favoritnya
sambil main tenis, tanpa harus mengganggu tetangga kiri-kanan; atau Sosrodjoyo yang bermimpi
nantinya orang-orang akan memilih teh botol bikinan pabrik daripada repot-repot menyeduhnya di
rumah.

Tetapi perlu kiranya dibedakan antara mendambakan dan memimpikan. Mendambakan


bersifat pasif dan menunggu, hanya merupakan selingan iseng tanpa otak, tanpa upaya untuk
mewujudkannya. Sedang memimpikan bersifat aktif dan berani mengambil inisiatif. la didukung
oleh rencana dan tindakan untuk membuahkan hasil.

Tokoh-tokoh yang disebut di atas adalah contoh perbuatan memimpikan. Mereka tidak sekadar
beranganangan, melainkan berupaya keras mewujudkan impiannya. Microsoft, Sony, dan Teh
Sosro adalah hasil nyata dari mimpi-mimpi mereka.

Singkatnya, penglihatan pikiran membuka pintu untuk mewujudkan impian kita. Namun begitu
pintu tersebut terbuka, harus ada tindakan nyata berupa: disiplin, kebulatan tekad, kesabaran, dan
ketekunan bila kita ingin membuat impian tersebut menjadi kenyataan. Penglihatan Pikiran

Pada hakikatnya setiap insan memiliki dua jenis penglihatan: penglihatan mata dan penglihatan
pikiran. Penglihatan mata adalah apa yang kita lihat ada secara fisik di sekeliling kita, misalnya:
mobil, gunung, pulpen atau teman-teman kita. Sebaliknya, penglihatan pikiran adalah sebuah
kekuatan untuk melihat bukan apa yang ada secara fisik, tetapi apa yang bisa ada setelah
intelegensia manusia diterapkan. Penglihatan pikiran adalah kekuatan untuk bermimpi. Dr. David
Schwartch, dalam The Magic of Thinking Success, yakin bahwa perasaan kita yang paling tak
ternilai harganya adalah penglihatan pikiran. Penglihatan tersebut membentuk gambaran masa
depan yang kita harapkan, rumah yang kita idamkan, hubungan keluarga yang kita dambakan,
liburan yang akan kita ambil, atau penghasilan yang akan kita nikmati kelak (sumber :
www.purdiechandra.com)

Anda mungkin juga menyukai