Anda di halaman 1dari 10

Askariasis

Hospes dan Nama Penyakit

Manusia merupakan satu-satunya hospes Ascaris lumbricoides. Penyakit

yang disebabkannya disebut askariasis.

Gambar. Daur hidup Ascariasis lumbricoides (cacing gelang)

Distribusi Geografik

Parasit ini ditemukan kosmopolit. Survei yang dilakukan di beberapa

temapat di Indonesia menunjukkan bahwa prevalensi A. Lumbricoides masih

cukup tinggi, sekitar 60-90%.


Morfologi dan Daur Hidup

Cacing jantan berukuran lebih kecil dari cacing betina. Stadium dewasa

hidup di rongga usus kecil. Seekor cacing betina dapat bertelur sebanyak 100.000-

200.000 butir sehari, terdiri atas telur yang dibuahi dan yang tidak dibuahi.

Dalam lingkungan yang sesuai, telur yang dibuahi berkembang menjadi

bentuk infektif dalam waktu kurang lebih 3 minggu. Bentuk infektif tersebut bila

tertelan manusia, menetas di usus halus. Larvanya menembus dinding usus halus

menuju pembuluh darah atau saluran limfe, lalu dialirkan ke jantung, kemudian

mengikuti aliran darah ke paru. Larva di paru menembus dinding pembuluh darah,

lalu dinding alveoli, masuk rongga alveoli, kemudian naik ke trakea melalui

bronkus dan bronkiolus. Dari trakea larva menuju faring, sehingga menimbulkan

rangsangan pada faring. Penderita batuk karena rangsangan tersebut dan larva

akan tertelan ke dalam esofagus, lalu menuju ke usus halus. Di usus halus larva

berubah menjadi cacing dewasa. Sejak telur matang tertelan sampai cacing

dewasa diperlukan waktu kurang lebih 2-3 bulan.

Patologi dan Gejala Klinis

Gejala yang timbul pada penderita dapat disebabkan oleh cacing dewasa

dan larva. Gangguan karena larva biasanya terjadi pada saat berada di paru. Pada

orang yang rentan terjadi perdarahan kecil dinding alveoli dan timbul gangguan

pada paru yang disertai batuk, demam dan eosinofilia. Pada foto toraks tampak

infiltrat yang menghilang dalam waktu 3 minggu. Keadaan tersebut disebut

Sindrom Loeffler. Gangguan yang disebabkan cacing dewasa biasanya ringan.


Kadang-kadang penderita mengalami gangguan usus ringan seperti mual, nafsu

makan berkurang, diare atau konstipasi.

Pada infeksi berat, terutama pada anak dapat terjadi malabsorbsi sehingga

memperberat keadaan malnutrisi dan penurunan status kognitf pada anak sekolah

dasar. Efek yang serius terjadi bila cacing menggumpal di dalam usus sehingga

terjadi obstruksi usus (ileus). Pada keadaan tertentu, cacing dewasa mengembara

ke salura empedu, apendiks, atau ke bronkus dan menimbulkan keadaan gawat

darurat sehingga terkadang memerlukan tindakan operatif.

Gambar. Karakteristik Ascaris lumbricoides

Diagnosis

Cara menegakkan diagnosis penyakit adalah dengan pemeriksaan tinja

secara langsung. Adanya telur dalam tinja memastikan diagnosis askariasis. Selain

itu diagnosa dapat dibuat bila cacing dewasa keluar sendiri baik melalui mulut

atau hidung karena muntah maupun melalui tinja.


Pengobatan

Pengobatan dapat dilakukan secara perorangan atau secara masal. Untuk

perorangan dapat digunakan bermacam-macam obat misalnya piperasin, pirantel

pamoat 10mg/kg berat badan, dosis tunggal mebendazol 500mg atau albendazol

400mg.

Oksantel-pirantel pamoat adalah obat yang dapat digunakan untuk infeksi

campuran A.lumbricoides dan T.trichiura. Untuk pengobatan masal perlu

beberapa syarat, yaitu:

1. Obat mudah diterima masyarakat

2. Aturan pemakaian sederhana

3. Mempunyai efek samping yang minim

4. Bersifat polivalen, sehingga berkhasiat terhadap beberapa jenis cacing

5. Harganya murah

Pengobatan masal dilakukan oleh pemerintah pada anak sekolah dasar dengan

pemberian albendazol 400mg 2 kali setahun.

Prognosis

Pada umumnya askariasis mempunyai prognosis baik. Tanpa pengobatan,

penyakit dapat sembuh sendiri dalam waktu 1,5 tahun. Dengan pengobatan, angka

kesembuhan 70-99%.
Epidemiologi

Di Indonesia prevalensi askariasis tinggi, terutama pada anak.

Frekuensinya 60-90%. Kurangnya pemakaian jamban keluarga menimbulkan

pencemaran tanah dengan tinja di sekitar halaman rumah, di bawah pohon, di

tempat mencuci dan di tempat pembuangan sampah. Di negara-negara tertentu

terdapat kebiasaan memakai tinja sebagai pupuk.

Tanah liat, kelembaban tinggi dan suhu 25-30 celcius merupakan kondisi

yang sangat baik untuk berkembangnya telur A. Lumbricoides menjadi bentuk

infektif.
Trikuriasis

Hospes dan Nama Penyakit

Cacing penyebab penyakit ini adalah Trichuris trichiura. Manusia

merupakan hospes cacing ini. Penyakit yang disebabkannya disebut trikuriasis.

Distribusi geografik

Cacing ini bersifat kosmopolit, terutama ditemukan di daerah panas dan

lembab, seperti di Indonesia.

Morfologi dan Daur Hidup

Panjang cacing betina kira-kira 5 cm, sedangkan cacing jantan kira-kira

4cm. Bagian anterior langsing seperti cambuk, panjangnya kira-kira 3/5 dari

panjang seluruh tubuh. Bagian posterior bentuknya lebih gemuk, pada cacing

betina bentuknya membulat tumpul. Pada cacing jantan melingkar dan terdapat

satu spikulum. Cacing dewasa hidup di kolon asendens dan sekum dengan bagian

anteriornya seperti cambuk masuk ke dalam mukosa usus. Seekor cacing betina

diperkirakan menghasilkan telur setiap hari antara 3000-20.000 butir.

Telur berbentuk tempayan dengan semacam penonjolan yang jernih pada

kedua kutub. Kulit telur bagian luar berwarna kekuning-kuningan dan bagian

dalamnya jernih. Telur yang dibuahi dan dikeluarkan dari hospes bersama tinja.

Telur tersebut menjadi matang dalam waktu 3-6 minggu dalam lingkungan yang

sesuai, yang pada tanah yang lembab dan teduh. Telur matang ialah telur yang

berisi larva dan merupakan bentuk infektif. Cara infeksi langsung bila secara
kebetulan hospes menelan telur matang. Larva keluar melalui dinding telur dan

masuk ke dalam usus halus. Sesudah menjadi dewasa cacing turun ke usus bagian

distal dan masuk ke daerah kolon, terutama sekum. Jadi cacing ini tidak

mempunyai siklus paru. Masa pertumbuhan mulai dari telur tertelan sampai

cacing dewasa betina bertelur + 30-90 hari.

Gambar. Karakteristik Trichuris trichuria

Gambar. Daur hidup Trichuris trichiura


Patologi dan Gejala Klinis

Cacing Trichuris pada manusia terutam hidup di sekum, akan tetapi dapat

juga ditemukan di kolon asendens.

Pada infeksi berat, terutama pada anak, cacing tersebar di seluruh kolon

dan rektum. Kadang-kadang terlihat di mukosa rektum yang mengalami prolapsus

akibat mengejannya penderita pada waktu defekasi.

Cacing ini memasukkan kepalanya ke dalam mukosa usus, hingga terjadi

trauma yang menimbulkan iritasi dan peradangan mukoasa usus. Di tempat

perlekatannya dapat terjadi perdarahan. Di samping itu cacing ini juga menghisap

darah hospesnya, sehingga dapat menyebabkan anemia.

Penderita terutama anak-anak dengan infeksi Trichuris yang berat dan

menahun, menunjukkan gejala diare yang sering diselingi sindrom disentri,

anemia, berat badan turun dan kadang-kadang disertai prolapsus rektum.

Pada tahun 1976, bagian Parasitologi FKUI telah melaporkan 10 anak

dengan trikuriasis berat, semuanya menderita diare selama 2-3 tahun.

Infeksi berat Trichuris trichiura sering disertai dengan infeksi cacing

lainnya atau protozoa. Infeksi ringan biasanya tidak memberikan gejala klinis

yang jelas atau sama sekali tanpa gejala. Parasit ini sering ditemukan pada

pemeriksaan tinja secara rutin.


Diagnosis

Diagnosis dibuat dengan menemukan telur di dalam tinja.

Pengobatan

1. Alebendazol 400mg (dosis tunggal)

2. Mebendazol 100mg ( dua kali sehari ) selama tiga hari berturut-turut

Epidemiologi

Faktor penting untuk penyebaran penyakit adalah kontaminasi tanah

dengan tinja. Telur tumbuh di tanah liat, lembab dan teduh dengan suhu optimum

30oC merupakan sumber infeksi. Frekuensi di Indonesia tinggi. Di beberapa

daerah pedesaan di Indonesia frekuensinya berkisar 30-90%.

Di daerah yang sangat endemik infeksi dapat dicegah dengan pengobatan

penderita trikuriasis, pembuatan jamban yang baik, pendidikan tentang sanitasi

dan kebersihan perorangan, terutama anak. Mencuci tangan sebelum makan, dan

mencuci sayuran yang dimakan mentah adalah penting apalagi di negeri yang

memakai tinja sebagai pupuk.

Daftar pustaka

1. Olorcain P, Holland CV. The public health importance of Ascaris

lumbricoides. Parasitol 2000; 121: S51-S71.

2. Stephenson LS, Holland CV, Cooper ES. The public health significance of

Trichuris trichiura. Parasitol 2000; 121: S73-S95.


3. Departemen Parasitologi. 2009. Buku Ajar Parasitologi Kedokteran.

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta

Anda mungkin juga menyukai