Anda di halaman 1dari 27

BAB I

PENDAHULUAN

Kanker Serviks merupakan jenis kanker terbanyak yang ditemukan oleh


Yayasan Kanker Indonesia setelah kanker payudara. Menurut WHO, 490.000
perempuan didunia setiap tahun didiagnosa terkena kanker serviks dan 80%
berada di negara berkembang termasuk Indonesia. Setiap 1 menit muncul 1 kasus
baru dan setiap 2 menit meninggal 1 orang perempuan karena kanker serviks. Di
Indonesia diperkirakan setiap hari muncul 40-45 kasus baru, 20-25 orang
meninggal, berarti setiap 1 jam diperkirakan 1 orang perempuan meninggal dunia
karena kanker serviks. Artinya Indonesia akan kehilangan 600-750 orang
perempuan yang masih produktif setiap bulannya. Hal ini mungkin ada kaitannya
dengan, sekitar sepertiga dari kasus-kasus kanker termasuk kanker serviks datang
ketempat pelayanan kesehatan pada stadium yang sudah lanjut dimana kanker
tersebut sudah menyebar ke organ-organ lain di seluruh tubuh sehingga biaya
pengobatan semakin mahal dan angka kematian semakin tinggi. Disisi lain
kesadaran dan pengetahuan masyarakat tentang kanker termasuk faktor-faktor
risiko dan upaya pencegahannya masih kurang. Padahal 90-95 % faktor risiko
terkena kanker berhubungan dengan perilaku dan lingkungan.
Sel-sel kanker akan berkembang dengan cepat, tidak terkendali, dan akan
terus membelah diri selanjutnya akan menyusup ke jaringan di sekitarnya dan
terus menyebar ke jaringan ikat, darah, dan menyerang organ-organ penting serta
saraf tulang belakang. Kanker serviks atau karsinoma uterus merupakan jenis
kanker yang kedua terbanyak pada perempuan di seluruh dunia setelah kanker
payudara. Namun di Indonesia kanker serviks menduduki peringkat pertama.
Serviks atau leher rahim/ mulut rahim merupakan bagian ujung bawah rahim yang
menonjol ke liang sanggama.
Insiden kanker serviks sebenarnya dapat ditekan dengan melakukan upaya
pencegahan primer seperti meningkatkan atau intensifikasi kegiatan penyuluhan
kepada masyarakat untuk menjalankan pola hidup sehat, menghindari faktor risiko

1
terkena kanker, melakukan immunisasi dengan vaksin HPV dan diikuti dengan
deteksi dini kanker serviks tersebut melalui pemeriksaan pap smear atau IVA
(inspeksi visual dengan menggunakan asam acetat). Saat ini cakupan screening
deteksi dini kanker serviks di Indonesia melalui pap smear dan IVA masih sangat
rendah (sekitar 5%), padahal cakupan screening yang efektif dalam menurunkan
angka kesakitan dan angka kematian karena kanker serviks adalah 85 %.
Kanker serviks di Indonesia menjadi masalah besar dalam pelayanan
kesehatan karena kebanyakan pasien datang pada stadium lanjut. Hal ini
diperkirakan akibat program skrining yang masing kurang. Perempuan yang
berisiko terkena kanker serviks adalah usia diatas 30 tahun, dengan puncak usia
tersering adalah 45-54 tahun dengan riwayat multipara. Pencegahan kanker
serviks dapat dilakukan dengan menjaga kesehatan reproduksi dan melakukan
papsmear secara rutin bagi kelompok berisiko.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

KANKER SERVIKS
2.1. Definisi
Kanker Serviks ataupun lebih dikenali sebagai kanker leher rahim adalah
tumor ganas yang tumbuh di dalam leher rahim/serviks yang merupakan bagian
terendah dari rahim yang menempel pada puncak vagina. Pada penderita kanker
serviks terdapat sekelompok jaringan yang tumbuh secara terus- menerus yang
tidak terbatas, tidak terkoordinasi dan tidak berguna bagi tubuh, sehingga jaringan
disekitarnya tidak dapat berfungsi dengan baik. 90% dari kanker serviks berasal
dari sel skuamosa yang melapisi serviks dan 10% sisanya berasal dari sel kelenjar
penghasil lendir pada saluran servikal yang menuju ke dalam rahim. Kanker
serviks terjadi jika sel-sel serviks menjadi abnormal dan membelah secara tak
terkendali. Jika sel serviks terus membelah maka akan terbentuk suatu massa
jaringan yang disebut tumor yang bisa bersifat jinak atau ganas. Jika tumor
tersebut ganas, maka keadaannya disebut kanker serviks. Kanker serviks biasanya
menyerang wanita berusia 35-55 tahun.

Gambar 1. Lokasi kanker serviks

3
2.2. Epidemiologi

Gambar 2. Sebaran angka kejadian kanker serviks

Kanker serviks merupakan kanker pembunuh wanita nomor dua di dunia


setelah kanker payudara. Setiap tahunnya, terdapat kurang lebih 500.000 kasus
baru kanker serviks, sebanyak 80% terjadi pada wanita yang hidup di negara
berkembang. Sedikitnya 231.000 wanita di seluruh dunia meninggal akibat kanker
serviks. Dari jumlah itu, 50% kematian terjadi di negara-negara berkembang. Hal
tersebut karena pasien datang dalam stadium lanjut.
Menurut data Departemen Kesehatan RI, penyakit kanker serviks saat ini
menempati urutan pertama daftar kanker yang diderita kaum wanita. Saat ini di
Indonesia ada sekitar 100 kasus per 100 ribu penduduk atau 200 ribu kasus setuap
tahunnya. Kanker serviks yang sudah masuk ke stadium lanjut sering

4
menyebabkan kematian dalam jangka waktu relatif cepat. Selain itu, lebih dari
70% kasus yang datang ke rumah sakit ditemukan dalam keadaan stadium lanjut.
Selama kurun waktu 5 tahun, usia penderita antara 30-60 tahun, terbanyak
antara 45-50 tahun. Periode laten dari fase prainvasif untuk menjadi invasif
memakan waktu sekitar 10 tahun. Hanya 9% dari wanita berusia dibawah 35
tahun menunjukkan kanker serviks yang invasif saat didiagnosis, sedangkan 53%
dari KIS (karsinoma in-situ) terdapat pada wanita diatas usia 35 tahun.

2.3. Etiologi
Perjalanan penyakit kanker serviks merupakan salah satu model
karsinogenesis yang melalui tahapan atau multistep, dimulai dari karsinogenesis
awal samapai terjadinya perubahan morfologi hingga menjadi kanker invasive.
Studi-studi epidemiologi menunjukkan lebih dari 90% kanker serviks
dihubungkan dengan jenis human papiloma virus (HPV). Beberapa bukti
menunjukkan kanker dengan HPV negative ditemukan pada wanita yang lebih tua
dan dikaitkan dengan prognosis yang buruk. HPV merupakan faktor inisiator
kanker serviks. Onkoprotein E6 dan E7 yang berasal dari HPV merupakan
penyebab terjadinya degenerasi keganasan. Onkoprotein E6 akan mengikat p53
sehingga TSG (Tumor Supressor Gene) p53 akan kehilangan fungsinya.
Sedangkan onkoprotein E7 akan mengikat TSG Rb, ikatan ini menyebabkan
terlepasnya E2F yang merupakan faktor transkripsi sehingga siklus sel berjalan
tanpa kontrol.

Gambar 3. HPV (Human Papiloma Virus)

5
Gambar 4. Perbandingan tipe HPV pada grade kanker serviks

2.4. Faktor Resiko


Ada beberapa faktor yang dapat meningkatkan resiko terjadinya kanker
serviks, antara lain:
Faktor resiko yang telah dibuktikan
a. Hubungan seksual
Karsinoma serviks diperkirakan sebagai penyakit yang ditularkan secara
seksual. Beberapa bukti menunjukkan adanya hubungan antara riwayat hubungan
seksual dan risiko penyakit ini. Sesuai dengan etiologi infeksinya, wanita dengan
partner seksual yang banyak dan wanita yang memulai hubungan seksual pada
usia muda akan meningkatkan risiko terkena kanker serviks. Karena sel kolumnar
serviks lebih peka terhadap metaplasia selama usia dewasa maka wanita yang
berhubungan seksual sebelum usia 18 tahun akan berisiko terkena kanker serviks
lima kali lipat. Keduanya, baik usia saat pertama berhubungan maupun jumlah
partner seksual, adalah faktor risiko kuat untuk terjadinya kanker serviks.

b. Karakteristik partner
Sirkumsisi pernah dipertimbangkan menjadi faktor pelindung, tetapi sekarang
hanya dihubungkan dengan penurunan faktor risiko. Studi kasus kontrol
menunjukkan bahwa pasien dengan kanker serviks lebih sering menjalani seks

6
aktif dengan partner yang melakukan seks berulang kali. Selain itu, partner dari
pria dengan kanker penis atau partner dari pria yang istrinya meninggal terkena
kanker serviks juga akan meningkatkan risiko kanker serviks.

c. Riwayat ginekologis
Walaupun usia menarke atau menopause tidak mempengaruhi risiko kanker
serviks, hamil di usia muda dan jumlah kehamilan atau manajemen persalinan
yang tidak tepat dapat pula meningkatkan risiko. Kanker serviks sering
diasosiasikan dengan kehamilan pertama pada usia muda, jumlah kehamilan yang
banyak dan jarak kehamilan yang pendek. Umur melahirkan pertama kali kurang
dari 20 tahun dianggap mempunyai risiko untuk terjadi kanker serviks.

d. Agen infeksius
Mutagen pada umumnya berasal dari agen-agen yang ditularkan melalui
hubungan seksual seperti Human Papilloma Virus (HPV) dan Herpes Simpleks
Virus Tipe 2 (HSV 2).

Human Papilloma Virus (HPV)


Terdapat sejumlah bukti yang menunjukkan bahwa Human Papilloma Virus
(HPV) sebagai penyebab neoplasia servikal. Karsinogenesis pada kanker serviks
sudah dimulai sejak seseorang terinfeksi HPV yang merupakan faktor inisiator
dari kanker serviks yang menyebabkan terjadinya gangguan sel serviks.
Ada bukti lain yaitu onkogenitas virus papiloma hewan; hubungan infeksi HPV
serviks dengan kondiloma dan atipik koilositotik yang menunjukkan displasia
ringan atau sedang; serta deteksi antigen HPV dan DNA dengan lesi servikal.
HPV tipe 6 dan 11 berhubungan erat dengan diplasia ringan yang sering regresi.
HPV tipe 16 dan 18 dihubungkan dengan diplasia berat yang jarang regresi dan
seringkali progresif menjadi karsinoma insitu. Infeksi Human Papilloma Virus
persisten dapat berkembang menjadi neoplasia intraepitel serviks (NIS).
Seorang wanita dengan seksual aktif dapat terinfeksi oleh HPV risiko-tinggi dan
80% akan menjadi transien dan tidak akan berkembang menjadi NIS. HPV akan

7
hilang dalam waktu 6-8 bulan. Dalam hal ini, respons antibody terhadap HPV
risiko-tinggi yang berperan. Dua puluh persen sisanya berkembang menjadi NID
dan sebagian besar, yaitu 80%, virus menghilang, kemudian lesi juga menghilang.
Oleh karena itu, yang berperan adalah cytotoxic T-cell. Sebanyak 20% dari yang
terinfeksi virus tidak menghilang dan terjadi infeksi yang persisten. NIS akan
bertahan atau NIS 1 akan berkembang menjadi NIS 3, dan pada akhirnya
sebagiannya lagi menjadi kanker invasif. HPV risiko rendah tidak berkembang
menjadi NIS 3 atau kanker invasif, tetapi menjadi NIS 1 dan beberapa menjadi
NIS 2. Infeksi HPV risiko-rendah sendirian tidak pernah ditemukan pada NIS 3
atau karsinoma invasif.
Berdasarkan hasil program skrining berbasis populasi di Belanda, interval antara
NIS 1 dan kanker invasive diperkirakan 12,7 tahun dan kalau dihitung dari infeksi
HPV risiko-tinggi sampai terjadinya kanker adalah 15 tahun. Waktu yang panjang
ini, di samping terkait dengan infeksi HPV risiko-tinggi persisten dan faktor
imunologi (respons HPV-specific T-cell, presentasi antigen), juga diperlukan
untuk terjadinya perubahan genom dari sel yang terinfeksi. Dalam hal, ini faktor
onkogen E6 dan E7 dari HPV berperan dalam ketidakstabilan genetic sehingga
terjadi perubahan fenotipe ganas.
Oncoprotein E6 dan E7 yang berasal dari HPV merupakan penyebab terjadinya
degenerasi keganasan. Oncoprotein E6 akan mengikat p53 sehingga TSG p53
akan kehilangan fungsinya. Sementara itu, oncoprotein E7 akan mengikat TSG
Rb. Ikatan ini menyebabkan terlepasnya E2F yang merupakan faktor transkripsi
sehingga siklus sel berjalan tanpa kontrol.

Virus Herpes Simpleks


Walaupun semua virus herpes simpleks tipe 2 (HPV-2) belum didemonstrasikan
pada sel tumor, teknik hibridisasi insitu telah menunjukkan bahwa terdapat HSV
RNA spesifik pada sampel jaringan wanita dengan displasia serviks. DNA
sekuens juga telah diidentifikasi pada sel tumor dengan menggunakan DNA
rekombinan. Diperkirakan, 90% pasien dengan kanker serviks invasive dan lebih

8
dari 60% pasien dengan neoplasia intraepithelial serviks (CIN) mempunyai
antibodi terhadap virus.

Lain-lain
Infeksi trikomonas, sifilis, dan gonokokus ditemukan berhubungan dengan kanker
serviks. Namun, infeksi ini dipercaya muncul akibat hubungan seksual dengan
multipel partner dan tidak dipertimbangkan sebagai faktor risiko kanker serviks
secara langsung.

e. Merokok
Saat ini terdapat data yang mendukung bahwa rokok sebagai penyebab kanker
serviks dan hubungan antara merokok dengan kanker sel skuamosa pada serviks
(bukan adenoskuamosa atau adenokarsinoma). Mekanisme kerja bisa langsung
(aktivitas mutasi mukus serviks telah ditunjukkan pada perokok) atau melalui efek
imunosupresif dari merokok. Bahan karsinogenik spesifik dari tembakau dapat
dijumpai dalam lendir dari mulut rahim pada wanita perokok. Bahan karsinogenik
ini dapat merusak DNA sel epitel skuamosa dan bersama infeksi HPV dapat
mencetuskan transformasi keganasan.

Faktor resiko yang diperkirakan


a. Kontrasepsi oral
Risiko noninvasif dan invasif kanker serviks telah menunjukkan hubungan
dengan kontrasepsi oral. Bagaimanapun, penemuan ini hasilnya tidak selalu
konsisten dan tidak semua studi dapat membenarkan perkiraan risiko dengan
mengontrol pengaruh kegiatan seksual. Beberapa studi gagal dalam menunjukkan
beberapa hubungan dari salah satu studi, bahkan melaporkan proteksi terhadap
penyakit yang invasif. Hubungan yang terakhir ini mungkin palsu dan
menunjukkan deteksi adanya bias karena peningkatan skrining terhadap pengguna
kontrasepsi. Beberapa studi lebih lanjut kemudian memerlukan konfirmasi atau
menyangkal observasi ini mengenai kontrasepsi oral.

9
b. Diet
Diet rendah karotenoid dan defisiensi asam folat juga dimasukkan dalam
faktor risiko kanker serviks. Etnis dan Faktor Sosial Wanita di kelas sosioekonomi
yang paling rendah memiliki faktor risiko lima kali lebih besar daripada wanita di
kelas yang paling tinggi. Hubungan ini mungkin dikacaukan oleh hubungan
seksual dan akses ke system pelayanan kesehatan. Di Amerika Serikat, ras negro,
hispanik, dan wanita Asia memiliki insiden kanker serviks yang lebih tinggi
daripada wanita ras kulit putih. Perbedaan ini mungkin mencerminkan pengaruh
sosioekonomi.

c. Pekerjaan
Sekarang ini, ketertarikan difokuskan pada pria yang pasangannya menderita
kanker serviks. Diperkirakan bahwa paparan bahan tertentu dari suatu pekerjaan
(debu, logam, bahan kimia, tar, atau oli mesin) dapat menjadi faktor risiko kanker
serviks.

2.5. Gejala-gejala
a. Keputihan
Pada permulaan penyakit yaitu pada stadium praklinik (karsinoma insitu dan
mikro invasif) belum dijumpai gejala-gejala yang spesifik bahkan sering tidak
dijumpai gejala. Awalnya, keluar cairan mukus yang encer, keputihan seperti
krem tidak gatal,kemudian menjadi merah muda lalu kecoklatan dan sangat
berbau bahkan sampai dapat tercium oleh seisi rumah penderita. Bau ini timbul
karena ada jaringan nekrosis.

b. Perdarahan pervaginam
Awal stadium invasif, keluhan yang timbul adalah perdarahan di luar siklus
haid, yang dimulai sedikit-sedikit yang makin lama makin banyak atau perdarahan
terjadi di antara 2 masa haid.Perdarahan terjadi akibat terbukanya pembuluh darah
disertai dengan pengeluaran sekret berbau busuk,bila perdarahan berlanjut lama

10
dan semakin sering akan menyebabkan penderita menjadi sangat anemis dan dan
dapat terjadi shock, dijumpai pada penderita kanker serviks stadium lanjut.

c. Perdarahan kontak
Keluhan ini sering dijumpai pada awal stadium invasif, biasanya timbul
perdarahan setelah bersenggama. Hal ini terjadi akibat trauma pada permukaan
serviks yang telah mengalami lesi.

d. Nyeri
Rasa nyeri ini dirasakan di bawah perut bagian bawah sekitar panggul yang
biasanya unilateral yang terasa menjalar ke paha dan ke seluruh panggul. Nyeri
bersifat progresif sering dimulai dengan Low Back Pain di daerah lumbal,
menjalar ke pelvis dan tungkai bawah, gangguan miksi dan berat badan semakin
lama semakin menurun khususnya pada penderita stadium lanjut.

e. Konstipasi
Apabila tumor meluas sampai pada dinding rektum, kemudian terjadi keluhan
konstipasi dan fistula rectoingional.

f. Inkontinensia urin
Gejala ini sering dijumpai pada stadium lanjut yang merupakan komplikasi
akibat terbentuknya fistula dari kandung kemih ke vagina ataupun fistula dari
rektum ke vagina karena proses lanjutan metastase kanker serviks.

g. Gejala-gejala lain
Semakin lanjut dan bertambah parahnya penyakit, penderita akan menjadi
kurus, anemis karena perdarahan terus-menerus, malaise, nafsu makan hilang,
syok dan dapat sampai meninggal dunia.

11
2.6. Patologi
Karsinoma serviks timbul dibatasi antara epitel yang melapisi ektoserviks
(portio) dan endoserviks kanalis serviks yang disebut skuamo kolumnar junction
(SCJ). Pada wanita muda SCJ terletak diluar OUE, sedang pada wanita diatas 35
tahun, didalam kanalis serviks.
Tumor dapat tumbuh:
1. Eksofitik. Mulai dari SCJ kearah lumen vagina sebagai massa proliferatif
yang mengalami infeksi sekunder dan nekrosis.
2. Endofitik. Mulai dari SCJ tumbuh kedalam stroma serviks dan cenderung
infitratif membentuk ulkus
3. Ulseratif. Mulai dari SCJ dan cenderung merusak struktur jaringan pelvis
dengan melibatkan fornices vagina untuk menjadi ulkus yang luas. Serviks
normal secara alami mengalami metaplasi/erosi akibat saling desak kedua
jenis epitel yang melapisinya. Dengan masuknya mutagen, portio yang
erosif (metaplasia skuamos) yang semula faali berubah menjadi patologik
(diplatik-diskariotik) melalui tingkatan NIS-I, II, III dan KIS untuk
akhirnya menjadi karsinoma invasive. Sekali menjadi mikroinvasive, proses
keganasan akan berjalan terus.

Gambar 5. Progresivitas kanker serviks

12
Gambar 6. Perbandingan gambaran serviks yang normal dan abnormal

2.6. Penyebaran
Penyebaran karsinoma serviks terjadi melalui 3 jalan yaitu perkontinuitatum
ke dalam vagina, septum rektovaginal dan dasar kandung kemih. Penyebaran
secara limfogen terjadi terutama paraservikal dalam parametrium dan stasiun-
stasiun kelenjar di pelvis minor, baru kemudian mengenai kelenjar para aortae
terkena dan baru terjadi penyebaran hematogen (hepar, tulang).
Secara limfogen melalui pembuluh getah bening menuju 3 arah:
1. fornices dan dinding vagina
2. korpus uteri
3. parametrium dan dalam tingkatan lebih lanjut menginfiltrasi septum
rektovagina dan kandung kemih.
Penyebaran limfogen ke parametrium akan menuju kelenjar kelenjar limfe
regional melalui ligamentum latum, kelenjar iliaka, obturator, hipogastrika,
parasakral, paraaorta, dan seterusnya ke trunkus limfatik di kanan dan vena
subklavia di kiri mencapai paru, hati, ginjal, tulang serta otak.

2.7. Klasifikasi Histopatologi dan Stadium Klinik


a. Klasifikasi Histopatologi
Secara histopatologi kanker serviks terdiri atas berbagai jenis. Dua bentuk
yang sering dijumpai adalah karsinoma sel skuamosa dan adenokarsinoma.
Sekitar 85% merupakan karsinoma serviks jenis skuamosa (epidermoid), 10%

13
jenis adenokarsinoma dan 5% adalah jenis adenoskuamosa, sel jernih, sel kecil
dan lain-lain.
Jenis histopatologik kanker serviks menurut WHO, 1994 dibagi menjadi
sebagai berikut:

Tabel 1. Jenis histopatologi kanker serviks


Karsinoma Sel Skuamosa
Dengan pertandukan
Tanpa pertandukan
Tipe verukosa
Tipe kapiler
Tipe limfoepitelioma
Adenokarsinoma
Tipe musinosa
Tipe mesonefrik
Tipe sel jernih
Tipe serosa
Tipe endometroid
Karsinoadenoskuamosa
Karsinoma glassy cell
Karsinoma sel kecil
Karsinoma adenoid basal
Tumor karsinoid
Karsinoma adenoid kistik
Tumor Mesenkim
Karsinoma tidak berdiferensiasi

14
b. Stadium Klinik
Stadium klinik yang sering digunakan adalah klasifikasi yang dianjurkan oleh
International Federation Of Gynecology and Obstetricts, yaitu seperti berikut :

Tabel 2. Stadium klinik kanker serviks


Stadium 0 : Karsinoma insitu atau intraepitel, selaput basal masih utuh.
Stadium I : Karsinoma masih terbatas pada serviks
IA : Invasi kanker ke stroma hanya dapat dikenali secara mikroskopik, lesi
dapat dilihat secara langsung walau dengan invasi yang sangat
superfisial dikelompokkan sebagai stadium 1b. Kedalaman invasi ke
stroma tidak lebih dari 5 mm dan lebarnya lesi tidak lebih dari 7 mm
IA1 : Invasi ke stroma dengan kedalaman tidak lebih dari 3 mm dan lebar
tidak lebih dari 7 mm.
IA2 : Invasi ke stroma dengan kedalaman lebih dari 3 mm tapi kurang dari
5 mm dan lebar tidak lebih dari 7 mm.
IB : Lesi terbatas di serviks atau secara mikroskopis lebih dari 1a.
IB1 : Besar lesi secara klinis tidak lebih dari 4 cm.
IB2 : Besar lesi secara klinis lebih dari 4 cm.
Stadium II : Telah melibatkan vagina, tetapi belum sampai 1/3 bawah atau
infiltrasi ke parametrium belum mencapai dinding panggul.
IIA : Telah melibatkan vagina tapi belum melibatkan parametrium.
IIB : Infiltrasi ke parametrium,tetapi belum mencapai dinding panggul.
Stadium : Telah melibatkan 1/3 bawah vagina atau adanya perluasan sampai
dinding panggul. Kasus dengan hidroneprosis atau gangguan fungsi
ginjal dimasukkan dalam stadium ini, kecuali kelainan ginjal dapat
dibuktikan oleh sebab lain.
A : Keterlibatan 1/3 bawah vagina dan infiltrasi parametrium belum
mencapai dinding panggul.
B : Perluasan sampai dinding panggul atau adanya hidroneprosis atau
gangguan fungsi ginjal.

15
Stadium V : Perluasan ke luar organ reproduktif.
VA : Keterlibatan mukosa kandung kemih atau mukosa rektum.
VB : Metastase jauh atau telah keluar dari rongga panggul.

2.8. Diagnosa
Kanker serviks pada masa prakanker atau stadium awal tidak
menimbulkan gejala sehingga dengan membuat diagnosis sedini mungkin dan
memulai pengobatan yang sesuai, hasil yang diperoleh akan lebih baik sehingga
jumlah wanita yang meninggal akibat kanker serviks dapat berkurang.

a. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan serviks merupakan prosedur mutlak yang perlu dilakukan untuk
melihat perubahan portio vaginalis dan mengambil bahan apusan untuk
pemeriksaan sitologi ataupun biopsi. Setelah biopsi, pemeriksaan dilanjutkan
dengan palpasi bimanual vagina dan rektum untuk mengetahui luas massa tumor
pada serviks dan rektum.

b. Tes pap smear


Tes pap merupakan salah satu pemeriksaan sel serviks untuk mengetahui
perubahan sel, sampai mengarah pada pertumbuhan sel kanker sejak dini. Apusan
sitologi pap diterima secara universal sebagai alat skrining kanker serviks. Metode
ini peka terhadap pemantauan derajat perubahan pertumbuhan epitel serviks.
Pemeriksaan tes pap dianjurkan secara berkala meskipun tidak ada keluhan
terutama bagi yang berisiko (1-2 kali setahun). Berkat teknik tes pap, angka
kematian turun sampai 75%.

16
Gambar 7. Pemeriksaan pap smear

Pemeriksaan ini dapat dilakukan kapan saja, kecuali sedang haid . Hambatan
lain untuk pelaksanaan pap smear sebagai program skriming adalah teknik yang
kurang praktis oleh karena hanya bisa dikerjakan oleh tenaga-tenaga terlatih,
interprestasi hasil memerlukan waktu yang lebih lama, dan biaya pemeriksaan
yang cukup tinggi.
Prosedur pemeriksaan pap smear ini juga sangat panjang dan kompleks.
Sediaan yang telah diambil dan difiksasi tersebut, kemudian diseleksi oleh skriner
apakah memenuhi syarat atau tidak. Setelah itu, dilakukan proses pengecatan oleh
tenaga terlatih dan kemudian dibaca oleh ahli sitologi. Bila hasil pembacaan
menunjukkan tanda-tanda lesi pra kanker atau kanker invasif, barulah kemudian
dilakukan pemeriksaan kolposkopi dan pemeriksaan penunjang lainnya. Dengan

17
prosedur yang kompleks ini mengakibatkan pemeriksaan menjadi mahal. Selain
itu sarana yang digunakan, seperti cytobrush tidak terlalu tersedia.

Tabel 3. Grading dari pap smear (Previous System and Bethesda System)
Grading Deskripsi Bethesda 2001
I Normal Normal and variants
II Reactive Changes Reactive Changes
Atypia ASC, ASG
Koilocytosis Low Grade SIL
III CIN I Mild dysplasia Low Grade SIL
III CIN II Moderate dysplasia High Grade SIL
III CIN III Severe dysplasia High grade SIL
IV Ca in situ High grade SIL
V Invasive Microinvasion

Gambar 8. Gambaran grading berdasarkan tes pap smear

CIN (Cervical Intra-epithellia neoplasma)


Pertumbuhan sel abnormal pada permukaan serviks. Dikategorikan dari
nomor 1 sampai 3 untuk menggambarkan sel abnormal dan jumlah jaringan
serviks yang terlibat.

18
Serviks uteri dilapisi oleh epitel columner simpleks disertai dengan kelenjar
serviks yang akan mengeluarkan sekresi sejalan dengan siklus menstruasi. Pada
bagian atas bawah serviks uteri dan bagian atas vagina dilapisi oleh epitel
skuamos kompleks non keratin, daerah perbatasan ini dinamakan squamo-
columnar junction

Gambar 9. Serviks normal

Pada dysplasia serviks terdapat pertumbuhan sel yang kurang terorganisasi.


Pada CIN 1 (mild dysplasia) hanya beberapa sel yang abnormal. Sedangkan pada
CIN II, moderate dysplasia, sel abnormal sekitar setengah dari ketebalan serviks.

Gambar 10. CIN II


Karsinoma in situ atau severe dysplasia (CIN III) seluruh sel mengalami
kelainan, tetapi sel abnormal tidak melewati membrane basalis. Apabila keadaan
ini tidak diperbaiki akan mengalami perubahan menjadi karsinoma yang invasive

19
Gambar 11. CIN III

Gambar 12. Invasive Cancer

c. Kolposkopi
Kolposkopi adalah alat ginekologi yang digunakan untuk melihat perubahan
stadium dan luas pertumbuhan abnormal epitel serviks. Metode ini mampu
mendeteksi pra karsinoma serviks dengan akurasi diagnostik cukup tinggi.
Kolposkopi hanya digunakan selektif pada sitologi Tes Pap abnormal yaitu
displasia dan karsinoma in situ atau kasus yang mencurigakan maligna.
Kombinasi kolposkopi dan tes Pap memberikan ketepatan diagnostic lebih kuat.
Sensitivitas tes Pap dan kolposkopi masing-masing 55% dan 95% dan spesifisitas
masing-masing 78,1% dan 99,7%.

20
Gambar 13. Kolposkopi

d. Konisasi
Jika pemeriksaan kolposkopi tidak memuaskan maka konisasi harus dilakukan
yaitu pengawasan endoserviks dengan serat asetat selulosa di mana daerah
abnormal ternyata masuk ke dalam kanalis servikalis.

e. Biopsi
Biopsi memerlukan prosedur diagnostik yang penting sekalipun sitologi
apusan serviks menunjukkan karsinoma. Spesimen diambil dari daerah tumor
yang berbatasan dengan jaringan normal. Jaringan yang diambil diawetkan
dengan formalin selanjutnya diproses melalui beberapa tahapan hingga jaringan
menjadi sediaan yang siap untuk diperiksa secara mikroskopis.

Gambar 14. Biopsi kerucut pada serviks

21
2.9. Penatalaksanaan
Bila diagnosa histopatologik telah dibuat,maka pengobatan harus segera
dilakukan dan pilihan pengobatan tergantung pada beberapa faktor, yaitu:
1. Letak dan luas lesi
2. Usia dan jumlah anak serta keinginan menambah jumlah anak
3. Adanya patologi lain dalam uterus
4. Keadaan sosial ekonomi
5. Fasilitas

Pengobatan kanker serviks tergantung pada tingkatan stadium klinis.


Secara umum dapat digolongkan ke dalam tiga golongan terapi, yaitu:

a. Operasi
Operasi dilakukan pada stadium klinis dan , meliputi histerektomi
radikal,histerektomi ekstrafasial dan limpadenotomi. Pada stadium klinis , di
samping operasi, dilakukan juga terapi radiasi untuk mengurangi risiko penyakit
sentral yang terus berlanjut.

b. Radioterapi
Terapi radiasi yaitu dengan menggunakan sinar X berkekuatan tinggi yang
dapat dilakukan secara internal maupun eksternal. Terapi radiasi dilakukan pada
Stadium klinis . Selain radiasi terkadang diberikan pula kemoterapi sebagai
kombinasi terapi.

c. Kemoterapi
Kemoterapi dilakukan bila terapi radiasi tidak mungkin diberikan karena
metastase sudah sangat jauh. Umumnya diberikan pada Stadium klinis V B dan
hanya bersifat paliatif.

22
2.9. Prognosis
Faktor-faktor yang menentukan prognosis adalah umur, keadaan umum
fisik, tingkat klinik, ciri-ciri histologik sel-sel tumor, kemampuan ahli yang
menangani dan sarana yang tersedia.
Kemampuan mempertahankan kelangsungan hidup pasien 5 tahun setelah
pengobatan adalah sebagai berikut:

Tabel 4. Prognosis kanker serviks


Tingkat Klinik I 85%
Tingkat Klinik II 42% - 70%
Tingkat Klinik III 26% - 42%
Tingkat Klinik IV 0% - 12%

2.10. Upaya Pencegahan


Upaya pencegahan dapat dilakukan melalui pencegahan primer, sekunder,
dan tertier.

a. Pencegahan Primer
Pencegahan primer harus dilakukan dengan menghindari faktor risiko seperti
tidak merokok dan juga dengan vaksinasi. Kelompok yang berisiko juga harus
melakukan tes paps smear secara rutin. Pencegahan primer juga dilakukan dengan
penyuluhan dan pendidikan kepada masyarakat mengenai penyebab dan faktor
risiko terjadinya kanker serviks. Keberhasilan program penyuluhan dilanjutkan
dengan skrining.

b. Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder dilakukan dengan cara deteksi dini terhadap kanker.
Artinya penyakit harus ditemukan pada saat pra kanker. Salah satu bentuk
pencegahan sekunder adalah dengan melakukan tes paps smear secara teratur.
Paps smear adalah semata-mata alat screening dan peranannya terutama pada
wanita-wanita yang asimtomatis. Pemeriksaan papsmear berguna untuk

23
mendeteksi adanya kanker serviks pada stadium dini, khususnya pada wanita yang
telah melakukan hubungan seksual.
Bagi wanita yang berisiko tinggi sebainya menjalani paps smear lebih sering
(dua kali setahun) dan dilakukan secara teratur selama dua tahun. Jika hasilnya
negatif, maka pemeriksaan selanjutnya setiap 3 tahun sekali sampai usia 65
tahun.Bila ada lesi pada serviks harus dilakukan biopsi sebab lesi dapat
menunjukkan hasil paps smear negative. Penting sekali untuk melakukan
pemeriksaan sel-sel hasil biopsi.Jika terdapat sel-sel tidak normal, segera
dilakukan pemeriksaan lebih lanjut.

c. Pencegahan Tertier
Pencegahan tertier dapat dilakukan berupa penyuluhan terhadap pasangan
penderita kanker serviks khususnya yang telah menjalani histerektomi total agar
tetap memperlakukan pasangannya sebagaimana biasanya, sehingga
keharmonisan hubungan suami istri tetap terjaga. Konseling dapat dilakukan
terhadap penderita stadium lanjut agar faktor psikologis tidak memperburuk
keadaan.

24
BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN
Kanker Serviks ataupun lebih dikenali sebagai kanker leher rahim adalah
tumor ganas yang tumbuh di dalam leher rahim/serviks yang merupakan
bagian terendah dari rahim yang menempel pada puncak vagina.
Kanker serviks saat ini menempati urutan pertama daftar kanker yang diderita
kaum wanita.
Studi-studi epidemiologi menunjukkan lebih dari 90% kanker serviks
dihubungkan dengan jenis human papiloma virus (HPV).
Faktor resiko kanker serviks dibagi menjadi faktor resiko yang telah
dibuktikan dan yang diperkirakan. Faktor resiko yang telah dibuktikan:
hubungan seksual, karakteristik patner, riwayat ginekologis, agen infeksius
(HPV, virus herpes simpleks), dan merokok. Faktor resiko yang diperkirakan:
kontrasepsi oral, diet, dan pekerjaan.
Gejala-gejala yang timbul pada kanker serviks, antara lain: keputihan,
perdarahan pervaginam, perdarahan kontak, nyeri, konstipasi, dan
inkontinensia urine.
Kanker serviks, terdiri dari IV stadium, penatalaksanaan tergantung dari
stadium kanker. Penatalaksanaan yang dapat dilakukan dengan tindakan
operasi, radioterapi, serta kemoterapi.
Diagnosa kanker serviks dengan pemeriksaan fisik, tes pap smear, kolposkopi,
konisasi, dan biopsi.
Faktor-faktor yang menentukan kanker serviks, seperti umur, keadaan umum
fisik, tingkat klinik, ciri-ciri histologik sel-sel tumor, kemampuan ahli yang
menangani dan sarana yang tersedia.
Pencegahan dari kanker serviks terdiri secara primer, sekunder, dan tertier.

25
DAFTAR PUSTAKA

1. Anonim. Definition Cervical Dysplasia. Diunduh pada


http://www.cancer.gov/dictionary/?CdrID=44899
2. Arif Mansjoer, et al. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 3 , Jilid 1. EGC:
Jakarta.
3. Aziz, M.farid. Buku Acuan Onkologi Ginekologi. Edisi 4, Cetakan 1. 2006.
Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo (BP-SP).
4. Eroschenko, Victor. 2003. Atlas Histologi di Fiore dengan Korelasi
Fungsional. Edisi 9. Jakarta: EGC.
5. Kumar, Robins. 2002. Ovarium, dalam Buku Ajar Patologi II, Edisi 4. Jakarta:
EGC.
6. Liewellyn, Derek dan Jones. 2001. Dasar-Dasar Obstetri dan Ginekologi,
Edisi 6. Jakarta: EGC.
7. Mardjikoen Praswoto. Tumor Ganas Alat Genital, dalam Ilmu Kandungan,
Edisi 2. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirahardjo. Jakarta, 1999;14:380-
390.
8. Mochtar, Rustam. 1989. Synopsis Obstetric. Jakarta: EGC.
9. Prawirohardjo, Sarwono. 2008. Ilmu Kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina
Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
10. Rasad S. 2005. Radiologi Diagnostik, Edisi Kedua, Editor: Ekayuda I. Jakarta:
FKUI.
11. Rivlin, E, M. 2000. Obstetrics and Gynecologi, 5 th. Ed. Lippincott Williams
& Wilkins p.
12. Rasjidi, Imam. 2009. Epidemiologi Kanker Serviks. Indonesia Jurnal of
Cancer, Vol. III, No. 3. Divisi Ginekologi Onkologi, Departemen Obstetri dan
Ginekologi Siloam Hospitals, Lippo Karawaci, Fakultas Kedokteran
Universitas Pelita Harapan, Tangerang.

26
13. Ramolga, D., Masire. 2015. Cervical Cancer: Epidemiology and
Pathogenesis. Country Director, Botswana UPenn Partnership Associate
Professor ObGyn, University of Botswana U54 Mentoring Course.

27

Anda mungkin juga menyukai