Anda di halaman 1dari 38

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Stres dan Stres Kerja

1. Pengertian Stres

Stres adalah persepsi kita terhadap situasi atau kondisi di dalam

lingkungan kita sendiri. Pengertian lain menyatakan bahwa stres

merupakan suatu kondisi ketegangan yang mempengaruhi emosi,

proses berpikir, dan kondisi seseorang. Jika seorang karyawan

mengalami stres yang terlalu besar, maka akan mengganggu

kemampuan seseorang tersebut untuk menghadapi lingkungan dan

pekerjaannya Waluyo (2009). Menurut Cooper (1994) dalam Perry &

Potter (2009) stress didefinisikan sebagai tanggapan atau proses

internal atau eksternal yang mencapai tingkat ketegangan fisik dan

psikologis sampai pada batas atau melebihi batas kemampuan

subjek. Stres juga dapat diartikan sebagai ketidakmampuan

mengatasi ancaman yang dihadapi oleh mental, fisik, emosional dan

spiritual manusia, yang suatu saat dapat mempengaruhi kesehatan

fisik manusia tersebut.

2. Pengertian Stres Kerja

Menurut Greenberg (2012) stres kerja adalah konstruk yang

sangat sulit didefinisikan, stres dalam pekerjaan terjadi pada

seseorang, dimana seseorang berlari dari masalah, sejak beberapa

pekerja membawa tingkat pekerjaan pada kecenderungan stres,

stress kerja sebagai kombinasi antara sumber-sumber stress pada

pekerjaan, karakteristik individual, dan stresor di luar organisasi. Stres

10
11

kerja dapat berakibat positif (eustress) yang diperlukan untuk

menghasilkan prestasi yang tinggi, namun pada umumnya stres kerja

lebih banyak merugikan diri karyawan maupun perusahaan

(Munandar, 2008). Dampak negatif yang ditimbulkan oleh stres kerja

dapat berupa gejala fisiologis, psikologis, dan perilaku (Robbins,

2007).

Lingkungan pekerjaan berpotensi sebagai stressor kerja. Stressor

kerja merupakan segala kondisi pekerjaan yang dipersepsikan

karyawan sebagai suatu tuntutan dan dapat menimbulan stres kerja.

Bila ia sanggup mengatasi stressor kerja tersebut artinya tidak ada

gangguan fungsi organ tubuh, maka dikatakan yang bersangkutan

tidak mengalami stres. Tetapi sebaliknya bila ternyata ia mengalami

gangguan pada satu atau lebih fungsi organ tubuh mengakibatkan

seseorang tidak lagi dapat menjalankan tugasnya dengan baik, maka

ia disebut distres (Waluyo, 2009). Stres kerja adalah suatu kondisi

ketegangan yang menciptakan adanya ketidak seimbangan fisik dan

psikis, yang mempengaruhi emosi, proses berpikir, dan kondisi

seorang karyawan.

Berdasarkan pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa stres

kerja adalah kondisi ketegangan yang menyebabkan menciptakan

adanya ketidak seimbangan kondisi fisik, dan psikis pada karyawan

yang bersumber dari Individu maupun Organisasi sehingga

berpengaruh pada fisik, psikologis, perilaku karyawan.


12

3. Tingkatan Stres Kerja

Setiap individu mempunyai persepsi dan respon yang berbeda

beda terhadap stres. Persepsi seseorang di dasarkan pada keyakinan

dan norma, pengalaman dan pola hidup, faktor lingkungan, struktur

dan fungsi keluarga, pengalaman masa lalu dengan stres dan

mekanisme kopling. Terganggu atau tidaknya individu, tergantung

pada persepsinya terhadap peristiwa yang dialaminya. Dengan kata

lain bahwa reaksi terhadap stres dipengaruhi oleh bagaimana pikiran

dan tubuh individu mempersepsikan suatu peristiwa. Penilaian

kongnitif bersifat individual differences, maksudnya berbeda pada

masing masing individu. Perbedaan ini disebabkan oleh persepsi

dan respon yang berbeda terhadap stres tersebut. Dimana stres di

ubah bentuk menjadi suatu cara pandang yang positif terhadap diri

dalam menghadapi situsi yang stres full. Sehingga respon terhadap

stressor bisa menghasilkan outcome yang lebih baik bagi

individu(Potter & Perry, 2009). Membagi tingkatan dalam stres

menjadi tiga bagian, antara lain :

a. Situasi Stres Ringan

Stres ringan merupakan stressor yang dihadapi setiap

orang secara teratur, seperti terlalu banyak tidur, kemacetan lalu

lintas serta kritikan dari atasan. Kondisi ini berlangsung selama

beberapa menit sampai beberapa jam. Stressor ini bukan resiko

signifikan yang dapat menimbulkan gejala yang muncul akibat

stres. Akan tetapi, stresor ringan dan banyak dalam waktu singkat
13

dapat meningkatkan resiko penyakit Holmes & Rahe (1976) dalam

Potter & Perry (2009).

b. Situasi Stres Sedang

Kondisi stres sedang berlangsung lebih lama, beberapa

jam sampai beberapa hari. Jenis stressor yang dihadapi misalnya

perselisihan dengan rekan kerja, anak yang sedang sakit, serta

ketidak hadiran anggota keluarga dalam waktu yang lama.

c. Situasi Stres Berat

Kondisi stres berat merupakan kondisi kronis yang

berlangsung lama, durasinya mulai beberapa minggu sampai

beberapa tahun. Jenis stressor yang dihadapi misalnya

perselisihan perkawinan, kesulitan keuangan yang

berkepanjangan, serta penyakit kronis. Semakin sering dan lama

situasi stres, maka semakin tinggi resiko kesehatan yang

ditimbulkan Wiebi & Wiliam (1992) dalam Potter & Perry (2009).

4. Faktor faktor penyebab Stres Kerja

Menurut Robbins, 2007 (dalam Rahmaniaty, 2010), Faktor-faktor

penyebab stres kerja ada 3, yaitu faktor individu, organisasi, dan

lingkungan kerja.

a. Faktor Karakteristik Individu Faktor karakteristik individu yang

berkontribusi menyebabkan stres adalah umur, jenis kelamin,

pendidikan, status perkawinan, dan pengalaman kerja (Siboro,

2008).
14

1) Umur

Rentang umur perawat ada dalam fase dewasa. Menurut

Erickson fase dewasa dibagi menjadi 3 yaitu dewasa awal (20-

40 tahun), dewasa tengah (41-65 tahun), dan dewasa akhir

(>65 tahun) (Ciccarelli & Meyer, 2008). Perkembangan

psikologis pada dewasa awal adalah berfokus untuk mencari

dan mendapatkan pasangan hidup, mampu untuk percaya,

berbagi dan perhatian pada orang lain atau pasangannya. Jika

mampu melalui fase ini dengan baik, maka individu tersebut

akan mempunyai hubungan yang intim, dan jika tidak sukses

melalui fase ini maka individu tersebut akan mengisolasi dari

orang lain dan akan merasa kesepian.

Kelompok umur dewasa tengah perkembangan

psikologisnya adalah menjadi lebih matang dan bijaksana,

lebih kreatif dan produktif, menjadi pendidik dan pengawas

untuk anak-anaknya (generasi selanjutnya). Pada dewasa

akhir perkembangan psikologisnya menjadi semakin

bijaksana, lebih mendalami agamanya, mulai menikmati dan

menerima kehidupannya.

Umur berhubungan dengan maturitas atau tingkat

kedewasaan, secara teknis maupun psikologis semakin

bertambahnya umur seseorang maka akan meningkat

kedewasaannya, kematangan jiwanya, dan kemampuan dalam

melaksanakan tugasnya (Siboro, 2008). Bertambahnya umur

maka akan meningkat pula kemampuan membuat keputusan,


15

berpikir rasional, semakin bijaksana, mampu mengendalikan

emosi, lebih toleran, dan terbuka dengan pandangan atau

pendapat orang lain. Hal tersebut akan terlihat saat individu

sedang dalam tekanan atau ketika beban kerja meningkat,

yang bisa memicu terjadinya stres kerja. Stres kerja

berhubungan dan berbanding terbalik dengan umur, lama kerja

sebagai perawat. Perawat yang lebih tua dan yang lebih

berpengalaman memiliki stres kerja yang ringan (Erns, Franco,

Messmer & Gonzalez, 2008).

2) Jenis Kelamin

Jenis kelamin berhubungan dengan karakteristik fisik,

psikologis, dan sosial antara laki-laki dan perempuan.

Karakteristik fisik yang utama adalah tentang organ reproduksi

yang terdiri dari: vagina, ovarium, dan uterus pada perempuan

dan penis, testis, dan skrotum pada laki-laki (Coon, 2007).

Robbins (2007), menyatakan bahwa tidak ada perbedaan yang

konsisten pada laki-laki dan perempuan dalam hal

kemampuan berfikir, menyelesaikan masalah, menyesuaikan

diri dengan lingkungan kerja, motivasi, keterampilan dan

analisis. Jadi baik laki-laki maupun perempuan bisa saja

mengalami stres kerja, tergantung kemampuannya

menyesuaikan diri dengan dunia kerja dan mekanisme koping.

Penelitian yang dilakukan oleh Saragih (2011) tentang

hubungan karakteristik perawat dengan proses adaptasi

perawat baru di RS. Pondok Indah, RS. St. Boromius, dan RS.
16

St. Carolus pada 57 responden,menyebutkan bahwa tidak ada

hubungan yang signifikan antara kemampuan beradaptasi

terhadap pekerjaan dengan jenis kelamin. Namun, jika

dikaitkan dengan peran ganda, pada perempuan yang bekerja

dan sudah berkeluarga, tentunya tanggung jawabnya menjadi

lebih besar, tuntutannya lebih tinggi, sehingga bisa

menyebabkan stres, dan dipengaruhi dengan kemampuan

beradaptasi dan mekanisme koping dari individu tersebut

(Siboro, 2008).

3) Tingkat Pendidikan

Pendidikan merupakan pengalaman seseorang dalam

mengembangkan kemampuan dan meningkatkan

intelektualitas, yang artinya semakin tinggi tingkat pendidikan

maka semakin tinggi tingkat pengetahuan dan keahliannya

(Siboro, 2008). Tingkat pendidikan berpengaruh terhadap daya

kritik dan daya nalar, sehingga individu semakin mampu untuk

menyelesaikan masalah yang dihadapi, mengatasi tekanan

atau beban kerja yang dihadapinya, mampu menyesuaikan diri

terhadap pekerjannya, dan pada akhirnya mampu mengontrol

stres yang dialaminya. Untuk tingkat pendidikan Anoraga &

Suyati (1995) dalam Lannasari (2005) berpendapat bahwa

pada umumnya seseorang yang memiliki tingkat pengetahuan

tinggi akan mempunyai motivasi dan kesempatan berprestasi

kerja yang tinggi. Sedangkan kurangnya motivasi kerja individu


17

akan menjadi faktor pencetus terjadinya stres dalam bekerja di

ruangan ICU (Ling et al, 2005).

4) Status Pernikahan

perkawinan mempunyai hubungan dengan tanggung jawab

dan kinerja pegawai, bagi yang sudah menikah, pekerjaan

menjadi hal yang lebih utama dibandingkan bagi yang belum

menikah (Robbins, 2007). Individu yang sudah menikah atau

sudah berkeluarga akan berpengaruh dalam melaksanakan

pekerjaannya sehari-hari. Perawat dalam memenuhi tanggung

jawab kerja dan mempertahankan keluarga, serta kehidupan

individu dapat meningkatkan kejadian stres, jika tidak

mempunyai energi dan waktu yang cukup untuk melakukan

semuanya. Individu yang sudah menikah jika mendapat

dukungan dari keluarga, ada pasangan untuk bertukar pikiran

dan berbagi tentang masalah pekerjaannya, tentunya dapat

mengurangi stresnya di tempat kerja. Jadi, dukungan keluarga

bermanfaat untuk menurunkan stres kerja seseorang.

5) Lama Kerja atau Masa Kerja

Lama kerja berkaitan dengan pengalaman kerja, yaitu

berbagai peristiwa yang dialami seseorang selama bekerja,

dan hal tersebut bisa dijadikan pelajaran untuk meningkatkan

kulitas pekerjaan (Robbins, 2007). Pengalaman kerja yang

lebih lama, akan meningkatkan keterampilan seseorang dalam

bekerja, semakin mudah menyesuaikan dengan pekerjaannya,

sehingga semakin mampu menghadapi tekanan dalam


18

bekerja. Perawat yang lebih senior dan lebih berpengalaman

memiliki stres kerja yang ringan (Erns, Franco, Messmer &

Gonzalez, 2008).

Faktor karakteristik individu usia, status perkawinan, dan

pendidikan tidak menunjukkan hubungan yang bermakna dengan

stres kerja (Siboro, 2008). Berdasarkan pembagian usia, kelompok

usia dewasa muda merupakan kelompok umur yang secara

psikologis masih labil, sedangkan kelompok usia dewasa tengah

merupakan kelompok usia produktif yang sangat stabil dan mantap

dalam mengambil keputusan serta memiliki tanggungjawab yang

tinggi sehingga bekerja secara bersungguh- sungguh. Tingkat

produktivitas kerja berbeda antara usia muda dan usia tua. Pada usia

lebih tua sering terjadi gangguan fisik sehingga dapat menurunkan

produktivitas kerja sedangkan pada pekerja yang berusia muda dapat

terjadi tingkat absensi yang tinggi, hal tersebut bukan karena penyakit

tetapi karena sebagian usia muda tersebut mengalami kesulitan

beradaptasi dengan lingkungan kerja sehingga dapat menurunkan

produktivitas dalam bekerja.

b. Faktor organisasi

Banyak sekali faktor di dalam organisasi yang dapat

menimbulkan stres. Tekanan untuk menyelesaikan tugas dalam

waktu terbatas, beban kerja berlebihan, konflik dengan atasan ,

dan rekan kerja yang tidak menyenangkan merupakan penyebab

stres kerja bagi karyawan. Faktor pekerjaan yang dapat

menimbulkan stres bagi perawat adalah beban kerja yang


19

berlebihan, otonomi/kewenangan perawat, konflik dengan rekan

kerja/dokter/kepala ruangan, adanya tuntutan dari klien dan

keluarganya, kondisi klien yang kritis dan kematian klien (death

and dying of patients) (Kuruvilla, 2007).

c. Faktor Lingkungan

Faktor lingkungan terdiri dari ketidakpastian politik, adanya

resersi ekonomi, lingkungan kerja yang tidak aman, misalnya

adanya terorisme. Sedangkan faktor lingkungan yang bisa

menyebabkan stres pada perawat, yaitu lingkungan yang bising,

ventilasi yang kurang bagus, pencahayaan yang kurang, dan

fasilitas yang kurang memadai (Santrock dalam rahmaniaty,

2010).

Sedangkan faktor faktor yang menyebabkan stres kerja menurut

Greenberg (2012) meliputi : a. faktor pekerjaan yang bersumber

pada pekerjaan, b. faktor stres kerja yang bersumber pada

karakteristik individu dan c. faktor stres kerja yang bersumber

diluar organisasi. tersebut terdiri beberapa bagian yang tercermin

dalam cara berfikir dan perilaku individu yang mengalami stres

tersebut.

a. Faktor Pekerjaan yang bersumber pada pekerjaan

1) Sumber intrinsik pada pekerjaan

Termasuk dalam kategori ini adalah tuntutan fisik dan

tuntutan tugas ( Munandar, 2008). Tuntutan fisik meliputi:

bising, vibrasi dan hygiene. Sedangkan faktor- faktor tugas

mencakup: kerja shift/kerja malam, beban kerja, kondisi kerja


20

yang sedikit menggunakan aktifitas fisik, waktu kerja yang

menekan, dan penghayatan dari risiko dan bahaya. Penelitian

mengenai beban kerja terhadap stres kerja menunjukkan

bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara beban kerja

dengan stres kerja di seluruh ruang rawat inap RSUD

sidikalang (Prihatini, 2007).

Beban kerja berlebih dan beban kerja terlalu sedikit

merupakan pembangkit stres. Beban kerja dapat dibedakan

lebih lanjut dalam beban kerja berlebih/ terlalu sedikit secara

kuantitatif, yang timbul akibat tugas-tugas yang terlalu

banyak/sedikit diberikan kepada tenaga kerja untuk

diselesaikan dalam jangka waktu tertentu. Beban kerja

berlebih/terlalu sedikit secara kualitatif, yaitu jika orang tidak

mampu untuk melakukan suatu tugas, atau tugas tidak

menggunakan keterampilan dan / atau potensi dari tenaga

kerja. Selain itu beban kerja berlebih kuantitatif dan kualitatif

dapat menimbulkan kebutuhan untuk bekerja selama jumlah

jam yang sangat banyak, yang merupakan sumber tambahan

dari stres (Munandar, 2008).

Faktor yang berpengaruh terhadap sumber intrinsik

pekerjaan lain meliputi rutinitas kerja dan suasana lingkungan

kerja (Robbin dalam Rahmaniaty 2010). Dalam penelitiannya

mengenai perbedaan persepsi stres kerja perawat dengan

setting kerja ICU dan ruang rawat biasa, mengidentifikasi

faktor penyebab terjadinya stres kerja di ruangan ICU meliputi


21

prosedur yang dilakukan secara rutin di ruangan ICU,

kurangnya motivasi perawat dan kurangya staff perawat yang

kompeten dan tantangan pasien dengan kondisi emergensi

dan kasus pasien dengan henti jantung paru. Hal tersebut

sejalan dengan bukti penelitian Hudak & Gallo (2010) yang

mengidentifikasi faktor penyebab terjadinya stres kerja di

ruangan ICU salah satunya akibat kejenuhan. Sebab

kejenuhan antra lain: pekerjaan rutin yang diulang-ulang,

setiap langkah harus ditulis, perpindahan perawat dari tempat

lain, situasi krisis akut yang sering terjadi dan lain-lain.

Berdasarkan hasil penelitian juga mengindikasikan bahwa

ruangan ICU merupakan lingkungan kerja yang penuh

dengan sumber stres bagi perawat, dimana perawat bekerja di

ruangan dengan kondisi stres yang tinggi (White & Tonkin,

1991; Stechmiller& Yarandi, 1993; Goodfellow, 1996 dalam

Robins, 2007). Hal tersebut dipersepsikan oleh karena

tanggungjawab yang besar perawat terhadap perawatan

pasien. Perawat ICU dihadapkan tidak hanya pada kondisi

pasien kritis tetapi kebutuhan teknik perawatan pasien dengan

mutu dan kualitas yang baik. Hal tersebut sering menjadi

masalah bagi perawat ICU dan menjadi penyebab terjadinya

burnout diantara perawat ICU.

2) Faktor ekstrinsik dalam organisasi.

Peran dalam organisasi Setiap tenaga kerja bekerja sesuai

dengan perannya dalam organisasi, artinya setiap tenaga


22

kerja mempunyai kelompok tugasnya yang harus ia lakukan

sesuai dengan aturan-aturan yang ada dan sesuai dengan

yang diharapkan oleh atasannya. Namun demikian tenaga

kerja tidak selalu berhasil untuk memainkan perannya tanpa

menimbulkan masalah (Munandar, 2008). Kurang baik

berfungsinya (disfunction) peran yang merupakan pembangkit

stres, meliputi peran yang ambigu, konflik peran, tanggung

jawab kepada orang lain, konflik batasan-batasan organisasi

(conflicts reorganization boundaries) baik secara internal

maupun eksternal. Konflik peran timbul jika pekerja mengalami

adanya a) pertentangan antara tugas-tugas yang harus ia

lakukan dan antara tanggungjawab yang ia miliki, b) tugas-

tugas yang harus ia lakukan menurut pandangannya bukan

merupakan bagian dari pekerjaannya, c) tuntutan-tuntutan

yang bertentangan dari atasan, rekan, bawahan, atau orang

lain yang dinilai penting bagi dirinya, serta d) pertentangan

dengan nilai-nilai dan keyakinan pribadinya sewaktu

melakukan tugas pekerjaan (Munandar, 2008).

Peran yang ambigu jika seorang pekerja tidak memiliki

cukup informasi untuk dapat melaksanakan tugasnya, atau

tidak mengerti atau merealisasi harapan harapan yang

diberikan dengan peran tertentu. Faktor-faktor yang dapat

menimbulkan keterpakasaan peran menurut Everly dan

Girdano 1980 dalam Munandar (2008) ialah a) ketidak jelasan

dari sasaran-sasaran (tujuan-tujuan kerja), b) kesamaran


23

tentang tanggung jawab, c) ketidak jelasan tentang prosedur

kerja, d) kesamaran tentang apa yang diharapkan orang lain,

dan e) kurang adanya balikan, atau ketidak pastian tentang

kerja pekerjaan.

3) Faktor ekstrinsik dalam Perkembangan karir.

Perkembangan karir Terdiri dari promosi ke jenjang yang

lebih tinggi atau penurunan tingkat, tingkat keamanan kerja

yang kurang, ambisi perkembangan karir yang mengalami

hambatan (NIOSH dalam simajorang 2008). Promosi sendiri

dapat merupakan sumber dari stres, jika peristiwa tersebut

dirasakan sebagai perubahan drastis yang mendadak,

misalnya jika pekerja kurang dipersiapkan untuk promosi.

Pengembangan karir merupakan pembangkit stres potensial

yang mencakup ketidakpastian pekerjaan, promosi yang

berlebih dan promosi yang kurang (Munandar, 2008).

4) Faktor ekstrinsik Hubungan relasi di tempat kerja

Hubungan interpersonal di tempat kerja Meliputi antara lain

kurangnya hubungan interpersonal dengan pimpinan, tim kerja

(dokter, rekan sekerja, pasien dan keluarganya) atau dengan

bawahan serta kesulitan dalam mendelegasikan tanggung

jawab. Struktur organisasi dan iklim kerja, yaitu antara lain

karena terlalu sedikit atau bahkan tidak ada partisipasi dalam

pembuatan keputusan/kebijakan, hambatan dalam perilaku,

politik di tempat kerja, kurang efektifnya konsultasi yang

terjadi. Dalam beberapa literatur mengenai stres kerja pada


24

perawat, hubungan interpersonal yang buruk (adanya konflik

interpersonal) merupakan salah satu penyebab terjadinya

stres kerja pada perawat (Hudak & Gallo , 2010). Hubungan

sosial yang menunjang satu dengan yang lainnya diharapkan

dapat menurunkan resiko terjadinya stres dalam pekerjaan

dan kesehatan yang lebih baik (Munandar, 2008).

5) Faktor ekstrinsik pengawasan atasan.

Pengawasan atasan Adanya pengawasan atasan

(supervisi) merupakan hal penting dalam pelaksanaan tugas

sesuai tujuan organisasi. Tidak adanya atau kurangnya kontrol

dalam tugas (supervisi) dari atasan (khususnya pengawasan

dari supervisor, kepala ruangan atau pengawasan dari

managemen keperawatan yang lebih tinggi) dapat menjadi

salah satu penyebab dan memicu terjadinya stres kerja bagi

perawat (Munandar, 2008). Snelgrove (1998) dalam William

(2007) dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa peningkatan

pengawasan atasan (supervisi) dapat menurunkan tingkat

stres perawat dalam melaksanakan tugas.

b. Faktor stres kerja yang bersumber pada individu

Reaksi-reaksi terhadap stres adalah hasil dari interaksi

situasi dengan individu, mencakup ciri-ciri kepribadian yang

khusus dan pola-pola perilaku yang didasarkan pada sikap,

kebutuhan, nilai-nilai, pengalaman lalu, keadaan kehidupan dan

kecakapan (antara lain intelegensia, pendidikan, pelatihan,

pembelajaran). Menurut Junaidi (2015) Faktor-faktor dalam


25

individu berfungsi sebagai faktor pengubah antara rangsang dari

lingkungan yang merupakan pembangkit stres potensial dengan

individu. Faktor pengubah ini yang menentukan bagaimana, dalam

kenyataannya individu bereaksi terhadap pembangkit stres

potensial. Faktor stres kerja yang berumber pada karakteristik

individu diantaranya: 1) Tingkat kecemasan, 2) Toleransi terhadap

hal yang ambiguitas/ketidakjelasan, 3) Pola tingkah laku tipe A

(Greenberg, 2012).

Salah satu faktor stres kerja yang berumber pada

karakteristik individu meliputi kepribadian type A. Pola tingkah laku

type A digambarkan sebagai orang yang memiliki derajat dan

intensitas yang tinggi untuk ambisi, dorongan untuk pencapaian

(achievemet) dan pengakuan (recognition), kebersaingan

(competitiveness) dan ke agresifan. Orang tipe A memiliki

paksaan untuk bekerja berlebih, selalu bergelut dengan batas

waktu, dan sering menelantarkan aspek- aspek lain dari

kehidupan seperti keluarga, kegiatan-kegiatan waktu luang dan

rekreasi. Sebaliknya pola perilaku tipe B digambarkan sebagai tipe

easy-going dan santai. Secara relatif bebas dari rasa mendesak,

mereka tidak selalu harus berkejar dengan waktu (Munandar,

2008).

c. Faktor stres kerja yang bersumber di luar organisasi.

Kategori pembangkit stres potensial ini mencakup segala

unsur kehidupan yang dapat berinteraksi dengan peristiwa-

peristiwa kehidupan dan kerja di dalam satu organisasi, dan


26

dengan demikian memberi tekanan pada individu. Isu-isu tentang

masalah dalam keluarga, peristiwa krisis dalam kehidupan,

kesulitan secara finansial, keyakinan-keyakinan pribadi dan

organisasi yang bertentangan, konflik antara tuntutan keluarga dan

tuntutan perusahaan, semuanya dapat merupakan tekanan pada

individu dalam pekerjaannya, sebagaimana halnya stres dalam

pekerjaan mempunyai dampak negatif pada kehidupan keluarga

dan pribadi (Munandar, 2008). Tuntutan peran ganda umumnya

dialami perempuan yang melibatkan diri dalam lingkungan

organisasi, yaitu sebagai wanita karir dan ibu rumah tangga

sehingga lebih rentan mengalami stres. Tuntutan pekerjaan,

rumah tangga dan ekonomi berpotensi wanita karir rentan

mengalami stres (Anitawidanti, 2010). Hasil penelitian Indriyani

(2009) menyatakan bahwa konflik pekerjaan-keluarga cenderung

mengarah pada stres kerja karena ketika urusan pekerjaan

mencampuri kehidupan keluarga, tekanan seringkali terjadi pada

individu untuk mengurangi waktu yang dihabiskan dalam

pekerjaan dan menyediakan banyak waktu untuk keluarga. Sama

halnya dengan konflik keluarga-pekerjaan dapat mengarah pada

stres kerja dikarenakan banyaknya waktu yang dibutuhkan dalam

menangani urusan pekerjaan dan ini merupakan sumber potensial

terjadinya stres kerja.

National Safety Council faktor stres kerja meliputi faktor

penyebab organisasi, penyebab individu dan penyebab

lingkungan. Kedua pendapat tersebut memiliki persamaan,


27

penyebab organisasi dalam National Safety council memiliki

karakteristik yang sama sebagai faktor pekerjaan yang bersumber

pada pekerjaan dalam pendapat Greenberg (2012). National

Institute for Occupational Safety and Health (NIOSH, 2008)

menyebutkan beberapa faktor penyebab stres kerja meliputi: 1)

faktor pekerjaan atau kebutuhan tugas (beban kerja berlebih, tidak

adanya kontrol terhadap tugas (supervisi), dan peran yang

ambigu), 2) faktor organisasi ( hubungan interpersonal yang

kurang baik, managemen organisasi yang tidak adil), 3) faktor

ekonomi dan finansial (konflik tanggung jawab antara pekerjaan

dan peran dalam keluarga), 4) pelatihan dan perkembangan karir

(tidak adanya kesempatan untuk berkembang atau promosi) dan

5) buruknya iklim organisasi (kurangnya komitmen manajemen,

konflik gaya komunikasi). Selain faktor tersebut diatas, secara

umum faktor penyebab stres kerja pada perawat lainnya termasuk

adanya paparan penyakit infeksi, kecelakaan kerja akibat jarum

suntik, deprivasi tidur akibat kerja shift, kurangnya staf perawat

yang kompeten (understaffing) serta berhadapan dengan kondisi

kritis pasien.

5. Gejala Stres Kerja

Menurut Greenberg (2012) seseorang yang mengalami stres pada

pekerjaan aka menimbulkan gejala-gejala yang meliputi 3 aspek,

yaitu: Physiology, Psychology dan Behavior :


28

a. Physiology (fisiologi)

Masalah kesehatan fisik mencakup: masalah sistem kekebalan

tubuh seperti terdapat pengurangan kemampuan untuk melawan

rasa sakit dan infeksi, masalah sistem kardiovaskular seperti

tekanan darah tinggi dan penyakit jantung, masalah sistem

muskulosketal (otot dan rangka) seperti sakit kepala dan sakit

punggung, masalah sistem gastrointestinal (perut) seperti diare

dan sembelit.

b. Psychology (psikologikal)

Ditandai dengan: ketidakpuasan hubungan kerja, tegang, gelisah,

cemas, depresi, kebosanan, mudah marah, hingga sampai pada

tindakan agresif seperti sabotase, agresi antar pribadi,

permusuhan dan keluhan.

c. Behavior (tingkah laku)

Memiliki indikator yaitu: terdapat perubahan pada produktivitas,

ketidakhadiran dalam jadwal kerja, perubahan pada selera makan,

meningkatnya konsumsi rokok, alkohol dan obat-obatan, dan

susah tidur.

Dalam penelitiannya, Simanjorang (2008) menyatakan bahwa

terdapat efek yang signifikan antara stres kerja dengan kesehatan

fisik dan mental perawat di rumah sakit dan terdapat perbedaan

signifikan dalam pribadi dan perilaku perawat yang mengalami stres

kerja yang tinggi dengan perawat dengan tingkat stres yang rendah.

Pada penelitian tersebut disebutkan bahwa perawat yang mengalami

stres kerja yang tinggi (55,5 %) menunjukkan masalah pribadi dan


29

perilaku kerja seperti perilaku intimidasi, absenteisme, mengundurkan

diri dan turn over.

Adanya gejala stres kerja diakibatkan oleh respon tubuh

terhadap stres. Berbagai faktor penyebab terjadinya stres kerja dapat

berdampak negatif baik terhadap fisik, psikologis ataupun perilaku

seseorang. Gejala-gejala stres kerja tersebut dapat diidentifikasi

dengan mengkaji indikator baik fisik, psikologis, ataupun indikator

perilaku emosional (Perry & Potter, 2009). Terry Beehr dan John

Newman (Rice 1999 dalam Waluyo, 2009) mengkaji ulang beberapa

kasus stres pekerjaan dan mengkategorikan kategori stres kerja

menjadi tiga yaitu gejala fisiologis, gejala psikologis dan gejala

perilaku.

6. Dampak Stres Kerja

Dampak stres kerja bisa mengganggu kesehatan individu.

Menurut Kozier (2010) stres bisa menurunkan sistem imunitas. Hal ini

terjadi karena saat seseorang menghadapi stressor maka akan

mempengaruhi neuron bagian medial parvocellular nucleus

paraventricular(mpPVN) di hipotalamus. Neuron tersebut akan

mensintesis corticotropin releasing hormone (CRH) dan arginine

vasopressin (AVP), yang akan melewati sistem portal untuk dibawa

ke hipofisis anterior. Reseptor CRH dan AVP akan menstimulasi

hipofisis anterior untuk mensintesis adrenocorticotropin hormon

(ACTH) dari prekursornya, POMC (propiomelanocortin) serta

mengsekresikannya. Kemudian ACTH mengaktifkan proses

biosintesis dan mensekresi glukokortikoid dari korteks adrenal.


30

Glukokortikoid bekerja berlawanan dengan sistem imun. Stres

akan menyebabkan imunodepresi melalui peningkatan kadar

glukokortikoid. Stres juga menyebabkan penurunan respon

limfoproliferatif terhadap mitogen (PHA, Con- A), penurunan aktifitas

Natural Killer Cell (sel NK) dan produksi Interferon Gamma (IFN-)

yang berfungsi sebagai sistem imun. Akibatnya, fungsi imun pada

individu yang mengalami stres akan menurun sehingga mudah

terserang penyakit dan mengganggu kesehatannya. Jika kesehatan

tergannggu maka akan mempengaruhi kinerja dan kualitas kerja

karyawan.

Dampak stres kerja tersebut bisa positif atau negatif. Stres kerja

berpengaruh signifikan positif terhadap kinerja perawat. Stres dapat

menciptakan keunggulan kompetitif bagi perusahaan dengan

manajemen yang baik. Stres juga memberikan dampak positif yang

lain seperti dengan adanya batasan waktu perusahaan dapat menjadi

lebih efisien dan efektif seperti yang dikemukakan oleh Price (2003);

William, et al (2001) dalam Indriyani (2009). Namun stres kerja juga

bisa berdampak negatif terhadap kinerja perawat, dari hasil penelitian

Indriyani (2009) menunjukkan bahwa semakin tinggi stres kerja akibat

tingginya konflik keluarga pekerjaan atau pekerjaan-keluarga, maka

semakin rendah kinerja perawat tersebut. Arnold (1986) dalam

Waluyo (2009) menyebutkan bahwa ada empat konsekuensi yang

dapat terjadi akibat stres kerja yang di alami oleh individu, yaitu

terganggunya kesehatan fisik, kesehatan psikologis, performance,

serta mempengaruhi individu dalam pengambilan keputusan. Pada


31

umumnya stres kerja lebih banyak merugikan diri karyawan maupun

perusahaan. Pada diri karyawan, konsekuensi tesebut dapat berupa

menurunnya gairah kerja, kecemasan yang tinggi, frustasi dan

sebagainya (Rice, 1999) dalam Prihatini (2007). Konsekuensi pada

karyawan ini tidak hanya berhubungan dengan aktivitas kerja saja,

tetapi dapat meluas ke aktivitas lain di luar pekerjaan. Seperti tidak

dapat tidur dengan tenang, selera makan berkurang, kurang mampu

berkonsentrasi dan sebagainya. Stres kerja dalam waktu yang lama

dapat menimbulkan dampak penyakit secara fisik seperti penyakit

kardiovaskular dan gangguan muskuloskeletal. Konsekuensi jangka

panjang stres kerja juga dapat berpengaruh secara psikologis dan

sosial seperti terjadinya gangguan penyakit gangguan mental ataupun

perubahan perilaku sosial. Perawat ICU rentan mengalami Post

Traumatic Stres Disorder (PTSD) dibandingkan dengan perawat

umum (Mealer, 2007). Berdasarkan penelitian Mealer tersebut

didapatkan hasil bahwa 24 % perawat ICU mengalami PTSD

sementara 14 % perawat umum yang mengalami PTSD. Bagi

perusahaan, konsekuensi yang timbul dan bersifat tidak langsung

adalah meningkatnya tingkat absensi, menurunnya tingkat

produktivitas, dan secara psikologis dapat menurunkan komitmen

organisasi, menurunkan kepercayaan diri, rendahnya kepuasan dan

prestasi kerja, meningkatnya beban kerja, memicu perasaan

teralienasi, hingga turnover (Robbins, 2007). Berdasarkan penelitian

yang dilakukan oleh Ilmi (2003) mengenai pengaruh stres kerja

terhadap prestasi kerja pada perawat ruang rawat inap RSUD


32

Banjarmasin adalah bahwa makin tinggi tingkat stres kerja perawat,

maka perawat cenderung akan mempunyai prestasi kerja yang baik.

Namun apabila stres melebihi tingkat optimal maka akan

menyebabkan perawat menjadi sakit dan pada akhirnya prestasi kerja

menurun.

7. Alat Ukur Stres Kerja

Terdapat beberapa cara pengukuran stres diantaranya

Physiological measure, merupakan metoda pengukuran stres dengan

melihat perubahan-perubahan yang terjadi pada fisik seperti

perubahan tekanan darah, ketegangan otot-otot bahu, leher, pundak,

denyut nadi dan jantung, berkeringat dan sebagainya. Performance

measure, merupakan metode pengukuran stres dengan melihat atau

mengobservasi perubahan-perubahan perilaku yang ditampilkan

seseorang. Biomechanical measure, merupakan metode pengukuran

stres dengan melihat respon biokimia di dalam darah dan urin.

Pemeriksaan terhadap sejumlah hormon dapat juga dipakai sebagai

indikator adanya stres, seperti neurohormonal (adrenalin dan

noradrenalin), kortisol dan sebagainya. Self report measure,

merupakan metode pengukuran stres yang ditujukan untuk

mengetahui keluhankeluhan subjektif yang dirasakan pekerja dengan

cara wawancara atau kuisioner (Dwijayanti, 2010).

B. Konsep Rumah Sakit

1. Pengertian Rumah Sakit

Rumah sakit adalah suatu organisasi yang melalui tenaga medis

profesional yang terorganisir serta sarana kedokteran yang permanen


33

menyelenggarakan pelayanan kedokteran, asuhan keperawatan yang

berkesinambungan, diagnosa serta pengobatan penyakit yang

diderita oleh pasien (AHA dalam Azwar,A, 2011).

Rumah sakit adalah tempat dimana orang sakit mencari dan

menerima pelayanan kedokteran serta tempat dimana orang sakit

mencari dan menerima pelayanan kedokteran serta tempat dimana

pendidkan klinik untuk mahasiswa kedokteran, perawat, dan berbagai

tenaga profesi kesehatan lainnya diselenggarakan (Wolper dan Pena,

dalam Azwar, 2011).

Rumah sakit adalah pusat dimana pelayanan kesehatan

masyarakat, pendidikan serta penelitian kedokteran

diselenggarakan(AHC dalam Azwar, 2011).

2. Orgnisasi Rumah Sakit

Azwar(2011) secara sederhana pengorganisasian rumah sakit

dibedakan menjadi :

a. para penentu kebijakan

b. para pelaksana pelayanan non-mdis

c. para pelaksana pelayanan medis

3. Jenis tenaga kesehatan di Rumah Sakit

Yang dimaksud dengan tenaga di rumah sakit berdasarkan jenis

pekerjaan adalah tenaga medis, tenaga keperawatan, tenaga

penunjang non medis , dan staf administrasi.pekerjaan di rumah sakit

juga ada beberapa jenis yang beresiko tinggi(efek radiasi diintalansi

Rontgen),perawatan yang terus menerus harus dilaksanakan selama

24 jam yaitu Icu dan unit perawatan lainnya. Jenis dan sifat pekerjaan
34

ini merupakan variabel penting untuk merencanakan kebtuhan tenaga

disebuah rumah sakit.

4. Jenis Rumah Sakit di Indonesia

Di indonesia di kenal tiga jenis rumah sakit sesuai dengan

kepemilikannya, jenis pelayanannya dan kelasnya. Berdasarkan

kepemilikannya, dibedakan tiga macam rumah sakit yaitu arumah

Sakit Pemerintah(RS Pusat, RS Propinsi, RS Kabupaten), Rumah

Sakit BUMN/ABRI dan Rumah sakit Swasta yang menggunakan dana

investasi dari sumber dalam negri(PMDN) dan sumber luar

negri(PMA) berdasarkan jenis pelayanannya rumah sakit adalah

Rumah Sakit Umum, Rumah Sakit Jiwa, Rumah Sakit Khusus(mata,

paru, kusta, rehabilitasi, jantung , kanker) dan sebagainya.

Berdasarkan kelasnya dibedkan menjadi Rumah Sakit kelas A, Kelas

B pendidikan dan non pendidikan, Rumah Sakit kelas C dan Rumah

sakit kelas D ( Kemenkes no.51 menkes/SK/II/1979 dalam Azwar, A

2011)

Azwar.(2011) mengatakan bahwa kelas rumah sakit juga

dibedakan berdasarkan jenis pelayanan yang tersedia. Rumah sakit

kelas A tersedia pelayanan spsialistik yang luas termasuk sub

spesialistik. Rumah sakit kelas B mempunyai minimal sebelas

spesialistik dan sub spesialistik terdaftar. Rumah sakit kelas C

mempunyai minimal empat spesialistik dasar (bedah, penyakit dalam,

kebidanan, dan anak). Rumah sakit kelas D hanya terdaftar

pelayanan medik dasar. Beberapa jenis instalasi rumah sakit yang

ada pada rumah sakit umum(RSU) Kelas A adalah intalansi rawat


35

jalan, rawat darurat, rawatinap, rawat intensif, bedah sentral, farmasi,

patologi anatomi, patologi klinik, gizi, laboratorium, perpustakaan,

pemeliharaan jenasah, sterilisasi sentral, pengamanan dan ketertiban

lingkungandan binatu. Susunan organisasi RSU Kelas B, hampir

sama dengan kelas A, bedanya hanya terletak pada jumlah, dan

jenis-jenis SMF dan pada RSU kelas B tidak ada sub spesialistiknya.

Susunan organisasi RSU kelas C dan D lebih sederhana jika

dibandingkan dengan kelas A dan kelas B, secara umum, jenis

kebutuhan masyarakat akan pelayanan kesehatan juga akan ikut

menentukan peningkatan kelas sebuah rumah sakit di suatu wilyah,

terutama yang berlokasi di ibukota provinsi.

C. Pengertian Perawat

1. Pengertian Perawat

Perawat adalah seseorang yang telas lulus pendidikan formal

dalam bidang keperwatan yang program pendidikannya telah

disyahkan oleh pemerintah (PPNI, 1999). Perawat adalah mereka

yang memiliki kemampuan dan kewenangan melakukan tindakan

keperawatan berdasarkan ilmu yang dimilikinya, yang diperoleh

melalui pendidikan keperawatan (UU RI No23 tahun 1992 tentang

Kesehatan)

Dari definisi di atas dapat disimpulkan perawat adalah pekerjaan

yang memiliki kemampuan dan kewenangan melakukan tindakan

keperawatan yang ilmunya di peroleh melalui pendidikan keperawatan

formal yang di sahkan dan diakui oleh pemerintah.


36

2. Jenjang Pendidikan Perawat

Pada saat ini berbagai upaya dilakukan untuk mengembangkan

pendidikan keperawatan profesional, sedang dilakukan dengan

mengkonvensi pendidikan SPK ke jenjang Akademi Keperawatan

sebagai perawat vokasional (DIII) dan dari lulusan Akademi

Keperwatan diharapkan dapat melanjutkan ke jenjang S1

Keperawatan sebagai perawat profesional (Nursalam, 2008).

Dimasa yang akan datang jenjang pendidikan perawat profesionl

mengarah pada program magister keperawatan yang menghasilkan

perawat ilmuwan(Scientist) dan program pendidikan Ners

Spesialis(Magister) yang menghasilkan perawat ilmuan (SK

Mendikbud No.056/U/1994).

3. Peran, Tugas dan Fungsi Perawat

Menurut Nursalam (2008) perawat profesional adalah sebagai

berikut :

a. Communication/carrer

Perawat profesional dalam memberikan asuhan keperawatan

harus dapat berkomunikasi secara lengkap, adekuat, cepat. Di

masa depan perawat harus mempunyai dasar pendidikan yang

memandai, perawat dituntut menguasai konsep manajemen

secara keseluruhan khususnya manajemen keperawatan.

b. Activity

Perawat harus dapat bekerjasama dengan teman sejawat dan

tenaga kesehatan lainnya khususnyatim medis sebagai mitra

kerja, selain itu perawat harus memahami tentang semua tindakan


37

yang dilakukan baik dari segi keilmuan maupun etik dan moral

keperawatan.

c. Review/role

Prinsip utama dalam melaksanakan peran tersebut adalah moral

dan etik. Prinsip etik meliputi 1) Justice/ keadilan 2) autonomy /

asas menghormati 3) Beneficience / asas manfaat 4) veracity /

asas kejujuran 5) confidentiality / asas kerahasiaan. Dalam

melaksanakan peran role perawat dituntut mampu bekerja sama

dengan profesional lain dan harus dapat membedakan peran yang

dimaksud.

d. Education/Enhancement

Perawat harus mempunyai komitmen tinggi terhadap profesi

dengan secara kontinu menambah ilmu melalui pendidikan formal

maupun nunformal dan harus mengembangkan diri secara terus

menerus seiring dengan perkembangan jaman yang dinamis dan

selalu berubah setiap saat.

Nursalam (2008) mengatakan bahwa keberhasilan suatu

asuham keperawatan kepada klien sangat di tentukan oleh

pemilihan metode pemberian asuhan keperawatan profesional,

maka sistem pemberian asuhan keperawatan harus efektif dan

efisien, adapun tugas dan fungsi perawat dalam konteks MAKP.

a. Kepala ruangan

Adalah perawat yang bertugas merencanakan,

mengorganisasikan, mengarahkan dan mengawasi langsung


38

ketua tim dan pelaksana keperawatan dalam memberikan asuhan

keperawatan kepada pasien.

b. Perawat primer / ketua tim

Adalah perawat yang bertugas mengkaji kebutuhan klien,

membuat tujuan dan rencana keperawatan, melaksanakan dan

mengevaluasi keberhasilan yang dicapai. Selain itu

mengkomunikasikan, mengkoordinasikan pelayanan yang

diberikan oleh perawat lain, membuat jadwal perjanjian klinik,

mengadakan kunjungan rumah.

c. Perawat pelaksana / PA

Seorang perawat yang diberi wewenang dan ditugaskan

untuk memberikan pelayanan perawatan langsung kepada klien,

termasuk dalam penatalaksanaan ruangan secara administrasi,

melaksanakan tugas dinas, pagi, sore dan malam, melaporkan

segala sesuatu baik secara lisan maupun tulisan, dan membuat

laporan harian klien.

Praningsih(2006), mengatakan dalam praktek keperawatan

fungsi perawat terdiri dari

a. Fungsi independen

Tindakan perawat bersifat dan tidak memerlukan perintah

dokter, tugas ini meliputi mengkaji fisik dan status kesehatan

pasien / keluarga, mengidentifikasi tindakan keperawatan,

membantu pasien dalam melakukan kegiatan dan aktivitas sehari

hari dan mendorong pasien untuk berperilaku secara wajar,


39

memotivasi dan memberikan semangat dalam konteks empati dan

terapeutik untuk sesembuhan pasien,

b. Fungsi interdependen

Tindakan keperawatan berdasarkan atas kerjasama

dengan tim perawatan atau tim kesehatan dalam memberikan

pelayanan kesehatan yang menyeluruh terhadap pasien dan

bertanggung jawab secara bersama sama terhadap kegagalan

pelayanan kesehatan.

c. Fungsi dependen

Pada fungsi ini perawat bertindak membantu dokter dalam

memberikan pelayanan medik dan perawat bekerja berdasarkan

perintah dokter. Perawat membantu dokter memberikan

pelayanan pengobatan dan tindakan khusus yang menjadi

wewenang dokter dan seharusnya dilakukan oleh dokter, oleh

karena itu setiap kegagalan tindakan medis menjadi tanggung

jawab dokter sepenuhnya oleh karena itu intruksi dokter harus

tertulis dari dokter penanggung jawab mutlak di perlukan.

D. Konsep Pelayanan Keperawatan Intensive

Pelayanan keperawatan intensive berbeda dengan pelayanan

keperawatan di ruang rawat biasa, karena tingkat ketergantungan pasien

terhadap perawat di ruang intensive sangat tinggi. Intensive care unit

(ICU) adalah suatu bagian dari rumah sakit yang terpisah, dengan staf

khusus dan perlengkapan yang khusus, yang ditujukan untuk observasi,

perawatan dan terapi pasien-pasien yang menderita cedera atau penyulit-


40

penyulit yang mengancam jiwa atau potensial mengancam jiwa. ICU

menyediakan kemampuan dan sarana, prasarana serta kemampuan

khusus untuk menunjang fungsi-fungsi vital dengan menggunakan

keterampilan staf medik, perawat dan staf lain yang berpengalaman

dalam pengelolaan keadaan-keadaan tersebut. Beberapa komponen ICU

yang spesifik yaitu :

1. pasien dirawat dalam keadaan kritis

2. Desain ruangan dan sarana yang khusus

3. Peralatan berteknologi tinggi dan mahal

4. Pelayanan dilakukan oleh staf yang profesional dan berpengalaman

dan mampu mempergunakan peralatan yang canggih dan mahal

(Hanafie, 2007).

Pelayanan keperawatan intensive disediakan dan diberikan pada

pasien dalam keadaan kegawatan dan kedaruratan yang perlu

ditanggulangi dan diawasi secara ketat, terus menerus serta tindakan

segera, ditujukan untuk observasi, perawatan dan terapi. Pelayanan

keperawatan intensif tersebut diberikan melalui pendekatan multidisiplin

secara komprehensif.

Perawat intensive adalah seorang perawat profesional berlisensi

yang bertanggungjawab terhadap pasien kritis dan keluarganya untuk

memperoleh perawatan yang optimal (Chulay & Burn, 2006). Perawat

intensive dalam memberikan pelayanannya mengacu pada standar

keperawatan kritikal, komitmen pada kode etik keperawatan dapat

berfungsi sebagai perwakilan pasien secara tepat serta menunjukkan

akuntabilitas terhadap tindakannya. Perawat kritikal menggunakan


41

intervensi independen, dependen dan interdependent dalam mengelola

pasien. Untuk dapat memberikan pelayanan sesuai dengan

kompleksitisas pasien di ICU maka dibutuhkan perawat yang memiliki

kompetensi minimal/dasar dan khusu/lanjut (Depkes RI, 2006).

Kompetensi dasar minimal meliputi:

1. Memahami konsep keperawatan intensif.

2. Memahami issue etik dan hukum pada perawatan intensif.

3. Mempergunakan keterampilan komunikasi yang efektif untuk

mencapai asuhan yang optimal.

4. Melakukan pengkajian dan analisa data yang didapat khususnya

mengenai: henti napas dan jantung, status pernafasan, gangguan

irama jantung, status hemodinamik pasien dan status kesadaran

pasien.

5. Mempertahankan kebersihan jalan napas pada pasien yang

terpasang Endotracheal tube (ETT).

6. Mempertahankan patensi jaan napas dengan menggunakan ETT.

7. Melakukan fisioterapi dada.

8. Memberikan terapi inhalasi.

9. Mengukur saturasi dengn menggunakan pulse oksimetri.

10. Memberikan terapi oksigen dengan berbagai metode.

11. Melakukan monitoring hemodinamik non invasif.

12. Memberikan Basic life support (BLS) dan Advanced live support

(ALS).

13. Melakukan perekaman EKG (elektrokaediogram).


42

14. Melakukan interpretasi hasil rekaman EKG meliputi gangguan sistim

konduksi, gangguan irama, dan pasien dengan gangguan

miocardium (iskemik, injuri dan infark).

15. Melakukan pengambilan contoh darah untuk pemeriksaan analisa

gas darah (AGD) dan elektrolit serta melakukan interpretasi hasil

pemeriksaan AGD dan elektrolit.

16. Mengetahui koreksi terhadap hasil analisa gas darah dan elektrolit

yang tidak normal.

17. Melakukan interpretasi hasil photo thorax.

18. Melakukan persiapan pemasangan water seal drainage (WSD).

19. Mempersiapkan pemberian terapi melalui syringepump dan infus

pump.

20. Melakukan pengelolaan pasien dengan nutrisi parenteral.

21. Melakukan pengelolaan pasien dengan terapi cairan intravena.

22. Melakuka pengelolaan pasien dengan sindrom koroner akut.

23. Melakukan penanggulangan infeksi nosokomial di ICU.

24. Mengelola pasien yang menggunakan ventilasi mekanik.

25. Mempersiapkan pemasangan kateter arteri dan vena sentral serta

arteri pulmonal.

26. Melakukan pengukuran curah jantung, pengukuran tekanan vena

central.

27. Melakkukan persiapan pemasangan alat hemodialisis, hemofiltrasi

(Continous arterial venous hemoviltration, CAVH / Continous

venous-venous hemofiltration, CVVH).


43

28. Melakukan pengelolaan pasien yang terpasang cateter invasive

(Artery line, CVP line, kateter Swanz Ganz).

29. Melakukan pengukuran PETCO2 (konsentrasi CO2 pada akhir

ekspirasi).

E. Konsep model keperawatan

Menurut Sister Calista Roy berpendapat bahwa ada empat

elemen penting dalam model adaptasi keperawatan, yakni keperawatan,

tenaga kesehatan, lingkungan, dan sehat.

1. Elemen keperawatan

Keperawatan adalah suatu disiplin ilmu dan ilmu tersebut menjadi

landasan dalam melaksanakan praktik keperawatan (Roy, 1983).

Lebih spesifik Roy (1986) berpendapat bahwa keperawatan sebagai

ilmu dan praktik berperan dalam meningkatkan adaptasi individu dan

kelompok terhadap kesehatan sehingga sikap yang muncul semakin

positif. Keperawatan memberi perbaikan pada manusia sebagai sutu

kesatuan yang utuh untuk beradaptasi dengan perubahan yang terjadi

pada lingkungan dan berespons terhadap stimulus internal yang

mempengaruhi adaptasi.Jika stressor terjadi dan individu tidak dapat

menggunakan koping secara efektif maka individu tersebut

memerlukan perawatan. Tujuan keperawatan adalah meningkatkan

interaksi individu dengan lingkungan, sehingga adaptasi dalam setiap

aspek semakin meningkat.Komponen-komponen adaptasi mencakup

fungsi fisiologis, konsep diri, fungsi peran, dan saling ketergantungan.


44

2. Elemen manusia

Manusia merupakan bagian dari sistem adaptasi, yaitu suatu kumpulan

unit yang saling berhubungan mempunyai masukan, proses kontrol,

keluaran dan umpan balik (Roy, 1986). Proses kontrol adalah

mekanisme koping yang dimanifestasikan dengan adaptasi secara

spesifik. Manusia dalam sistem ini berperan sebagai kognator dan

regulator (pengaturan) untuk mempertahankan adaptasi. Terdapat

empat cara adaptasi, mencakup adaptasi terhadap fungsi fisologis,

konsep diri, fungsi peran dan terhadap kebutuhan saling

ketergantungan. Pada model adaptasi keperawatan, manusia dilihat

dari sistem kehidupan yang terbuka, adaptif, melakukan pertukaran

energi dengan zat/benda dan lingkungan. Manusia sebagai masukan

dalam sistem adaptif, terdiri dari lingkungan eksternal dan internal.

Proses kontrol manusia adalah mekanisme koping yakni sistem

regulator dan kognator. Keluaran dari sistem ini dapat berupa respons

adaptif atau respons tidak efektif.

3. Elemen lingkungan

Lingkungan didefenisikan sebagai semua kondisi, keadaan, dan faktor

lain yang mempengaruhi perkembangan dan perilaku individu atau

kelompok.

4. Elemen sehat

Kesehatan didefenisikan sebagai keadaan yang muncul atau proses

yang terjadi pada mahluk hidup dan terintegrasi dalam individu

seutuhnya (Roy, 1984).


45

Proses adaptasi melibatkan seluruh fungsi secara holistik,

mencakup semua interaksi individu dengan lingkungannya dan dibagi

menjadi dua proses, seperti yang berikut.

1. Proses yang ditimbulkan oleh perubahan lingkungan internal dan

eksternal.

Perubahan ini merupakan stresor atau stimulus fokal. Apabila stresor

atau stimulus tersebut mendapat dukungan dari faktor-faktor

konseptual dan resitual maka akanmuncul interaksi yang biasa disebut

stres. Dengan demikian adaptasi sangat diperlukan untuk mengatasi

stres.

2. Proses mekanisme koping yang dirangsang untuk menghasilkan

respons adaptif atau tidak efektif.

Hasil dari proses adaptasi adalah suatu kondisi yang dapat

meningkatkan pencapaian tujuan individu mencakup kelangsungan

hidup, pertumbuhan, reproduksi, dan integritas.

F. Kerangka Konsep

Berdasarkan tinjauan pustaka, terdapat beberapa faktor penyebab stres

kerja dapat menjadi penyebab stres kerja bagi perawat ICU. Faktor

tersebut meliputi karakteristik demografi responden (usia, jenis kelamin,

tingkat pendidikan, status perkawinan dan lama bekerja), faktor yang

bersumber pada pekerjaan,N meliputi faktor instrinsik dalam pekerjaan

(beban kerja berlebih kualitatif dan kuantitatif, dan rutinitas kerja dan

suasana lingkungan kerja), faktor ekstrinsik pekerjaan (hubungan

interpersonal, pengembangan karir, peran individu dalam organisasi, dan


46

pengawasan atasan) dan faktor individu diluar pekerjaan (masalah

keluarga, masalah ekonomi dan tipe kepribadian). Menurut Greenberg

(2012) seseorang yang mengalami stres pada pekerjaan akan

menimbulkan gejala-gejala yang meliputi 3 aspek, yaitu: Physiology

(fisiologi), Psychology (psikologikal), Behavior (tingkah laku). Terdapat

beberapa cara pengukuran stres diantaranya Physiological measure,

merupakan metoda pengukuran stres dengan melihat perubahan-

perubahan yang terjadi pada fisik, Performance measure, merupakan

metode pengukuran stres dengan melihat atau mengobservasi perubahan-

perubahan perilaku yang ditampilkan seseorang. Biomechanical measure,

merupakan metode pengukuran stres dengan melihat respon biokimia di

dalam darah dan urin. Penilaian kongnitif bersifat individual differences,

maksudnya berbeda pada masing masing individu. Perbedaan ini

disebabkan oleh persepsi dan respon yang berbeda terhadap stres

tersebut. Dimana stres di ubah bentuk menjadi suatu cara pandang yang

positif terhadap diri dalam menghadapi situsi yang stres full, tingkatan

dalam stres menjadi tiga bagian, antara lain : Situasi Stres Ringan

merupakan stressor yang dihadapi setiap orang secara teratur, Situasi

Stres Sedang berlangsung lebih lama, beberapa jam sampai beberapa

hari. Situasi Stres Berat merupakan kondisi kronis yang berlangsung lama,

durasinya mulai beberapa minggu sampai beberapa tahun. Adapun

kerangka konsep Faktor Faktor penyebab stres yang dapat di

gambarkan berdasarkan beberapa sumber yang telah diambil.


47

Faktor karakteristik Faktor intrsinsik


Beban kerja
Usia Rutinitas kerja kerja
Jenis kelamin Lingkungan kerja
Pendidikan (Munandar,2008. Greenberg,
Status pernikahan 2012)
Lama kerja
(ciccarelli, 2008. Lanasari,
2005)

Faktor ekstrinsik
Hubungan interpersonal
Pengembangan karir
Peran dalam organisasi Alat ukur
Gejala stres
Pengawasan atasan stres
(Munandar, 2008 ) kerja Physiological
Fisiologi measure
Performance
Psikologi measure
Perilaku Biomechanical
Faktor individu di luar organisasi measure
(Greenberg (Dwiyanti,2010)
Masalah keluarga
,2012)
Masalah ekonomi
Kesulitan keuangan
(Munandar, 2008)
Tingkatan stres
kerja

Ringan
Sedang
Berat
(Potter &
Perry,2009)

Dampak stres

Positif
Negatif


Skema 2.1 Kerangka teori

Sumber: Dwiyanti(2010), Greenberg (2012), Munandar (2008), (2008), Potter &


Perry (2009), Robbins(2007) (dalam Rahmaniaty,2010)

Anda mungkin juga menyukai