Anda di halaman 1dari 3

Reinterpretasi Perjuangan Ke-Islaman dan Ke-Indonesiaan HMI dalam Tantangan

Kemajemukan Bangsa

Arus globalisasi yang saat ini terasa semakin luas cakupannya dalam penetrasinya dan instan
kecepatannya, setiap negara bukan saja menghadapi potensi ledakan pluralitas dari dalam,
melainkan juga tekanan keragaman dari luar. Memasuki awal milenium baru terjadi berbagai
perubahan yang cepat, dinamis dan mendasar dalam tata pergaulan dan kehidupan
antarbangsa dan masyarakat.

Anthony Giddens (1990) menuliskan bahwa yang dimaksud dengan globalisasi adalah
intersifikasi relasi-relasi sosial dunia yang menghubungkan lokalitas yang berjauhan
sedemikian rupa sehingga peristiwa-peristiwa lokal dipengaruhi oleh peristiwa-peristiwa
yang terjadi di wilayah-wilayah seberang jauh dan begitupun sebaliknya. Globalisasi
merestrukturisasi cara hidup umat manusia secara mendalam, nyaris pada setiap aspek
kehidupan.

Elie Wiesel dalam buku Communicating With Strangers, An Approach to Intercultural


Communication memberikan pernyataan bahwa kebencian yang ditujukan kepada kelompok
politik dan ideologi yang berbeda merupakan persoalan utama yang kita hadapi (hingga
sekarang ini). Kebencian dan konflik telah dan tengah terjadi di berbagai belahan dunia
tempat kita hidup. Konflik kebangsaan yang terjadi diberbagai belahan dunia seperti antara
Azerbaijan dengan America, konflik etnis yang terjadi antara warga Serbia, Kroasia dengan
Muslim dibekas negara Yugoslavia, konflik antara kelompok Protestan dengan Katholik yang
masih berlangsung di Irlandia Utara serta konflik antara Palestina dengan Israel yang belum
berhenti, merupakan realitas dari teori yang telah diungkapkan oleh Wiesel untuk menyebut
beberapa konflik antar kelompok yang terjadi hingga saat ini.

Di Indonesia konflik antar kelompok yang menjadikan perbedaan latar belakang budaya
sebagai alat pemantik sudah lama berlangsung dan beberapa diantara konflik itu dilakukan
lewat penyerangan fisik yang sudah mengarah pada tataran prasangka yang paling tinggi,
yaitu eksterminasi. Secara konseptual, tindakan eksterminasi diekspresikan dalam wujud
pemusnahan terhadap kelompok etnis tertentu. Konflik antar kelompok yang terjadi di
Indonesia, dalam catatan sosiolog Universitas Indonesia, Imam B. Prasdjo merupakan satu
dari banyak persoalan yang dihadapai oleh negara kita. Masalah keamanan, sosial, ekonomi,
politik dan moral saling terkait satu sama lain, sehingga sulit untuk mengurai dan mengatasi
beragam masalah tersebut. Akibat dari situasi ini, pemerintah seperti tidak memiliki cukup
kemampuan untuk memberikan perlindungan kepada warganya, sedangkan masyarakat
sendiri telah kehilangan kekuatan untuk mengatasi masalah yang dihadapi.

Dalam terminologi ilmu sosial, bila berbagai persoalan yang dihadapi tidak segera diatasi,
maka suatu negara akan memasuki situasi yang disebut dengan darurat kompleks (complex
emergency). Tentu tidak berlebihan bila dikatakan bahwa Indonesia telah memasuki situasi
darurat kompleks ini, karena persoalan-persoalan yang dihadapi sudah sedemikian perlu
mendapat penanganan yang sungguh-sungguh. Masyarakat Indonesia secara demografis
maupun sosiologis merupakan wujud dari bangsa yang majemuk. Ciri yang menandai sifat
kemajemukan ini adalah adanya keragaman budaya yang terlihat dari perbedaan bahasa, suku
bangsa (etnis) dan keyakinan agama serta kebiasaan-kebiasaan kultural lainnya. Pada satu
sisi, kemajemukan budaya ini merupakan kekayaan bangsa yang sangat bernilai, namun pada
sisi yang lain keragaman kultural memiliki potensi bagi terjadinya disintegrasi atau
perpecahan bangsa.

Untuk itu dirasa perlu untuk mendapatkan formula yang tepat guna penerapan gagasan yang
telah dibangun para pendiri kita yakni bhineka tunggal ika dapat kembali menjadi
pemersatu seluruh elemen masyarakat Indonesia. Dalam perjalanan bangsa Indonesia
keberadaan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) sebagai organisasi kader selalu diharapkan
untuk mampu menjadi alat perjuangan dalam mentransformasikan gagasan dan aksi terhadap
rumusan cita yang ingin dibangun yakni terbinanya insan akademis, pencipta, pengabdi yang
bernafaskan islam dan bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang
diridhoi Allah SWT. HMI sebagia organisasi kader memiliki platform yang jelas dalam
menyusun agenda dengan mendekatkan diri kepada realitas masyarakat dan secara konsisten
membangun proses dialektika secara obyektif dalam pencapaian tujuannya. Daya sorot HMI
terhadap persoalan akan tergambar pada penyikapan kader yang memiliki keberpihakan
kepada kaum tertindas (mustadhaafin) dan memperjuangkan kepentingan mereka serta
membekalinya dengan ideologi yang kuat untuk melawan kaum penindas (mustakbirin).
Telah dirumuskan pula pedoman yang berguna untuk mengontrol arah perkaderan di HMI.
Secara formal perkaderan di HMI terbagi dalam tiga bentuk tingkatan Latihan Kader (Latihan
Kader I, II dan III) yang kemudian ditunjang dengan perkaderan non-formal (seperti LKK,
SC, TI, TPL dan lain-lainnya).
Oleh karena sebagai satu kesatuan dari HMI, HMI Cabang Samarinda dalam pagelaran
Latihan Kader II dan Latihan Khusus KOHATI tingkat Nasional yang akan dilaksanakan
telah mengusung tema HMI Dalam Upaya Merekontruksi Arah Strategi Kebudayaan Guna
Menopang Pembangunan Bangsa sebagai upaya dalam menentukan bentuk baku dari
konsep tersebut. Seperti diketahui Latihan Kader II dan Latihan Khusus KOHATItingkat
Nasional di HMI merupakan sebuah kegiatan tempat bertemunya kader HMI dari berbagai
macam daerah yang memiliki latar belakang pemikiran yang berbeda pula dan kemudian
disatukan dalam sebuah forum guna memberikan pemikirannya dalam menentukan bentuk
baku dari strategi arah kebudayaan bangsa Indonesia. Maka dari itu Himpunan Mahasiswa
Islam Cabang Samarinda sebagai lembaga struktural HMI yang bertanggung jawab atas
penyelenggaraan Latihan Kader II dan Latihan Khusus KOHATIdalam periodesasi ini
bertekad menggelar proses perkaderan sebagai wujud nyata pertanggungjawban pengurus
HMI pada proses perkaderan yang terencana, sistematis dan berkesinambungan.

Anda mungkin juga menyukai