Tutorial DR Cut
Tutorial DR Cut
TUBERCULOSIS MYCOBACTERIUM
PEMBIMBING :
dr. Cut Yulia Indah Sari, Sp. P
Disusun oleh :
Nia Nurhayati Zakiah 2012730067
Reyhan Calabro 2012730149
Thia Resti 2011730164
Nursigit 2010730151
II. ANAMNESIS
a. Keluhan Utama : Batuk sejak 2 minggu sebelum masuk
rumah sakit
b. Keluhan Tambahan : Lemas, keringat malam, kurang nafsu
makan, sesak, mual, penurunan berat
badan, demam.
c. Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang ke Poli Penyakit Dalam Rumah Sakit Islam Jakarta
Cempaka Putih dengan keluhan batuk lebih dari 2 minggu SMRS. Batuk
tidak berdahak, tidak berdarah (-). Kadang pasien merasa sesak saat batuk.
Keringat malam juga dikeluhkan pasien meskipun pasien tidak sedang
beraktivitas maupun di tempat yang dingin. Pasien menyangkal keluhan
mual. Pasien mengaku malas makan, tiap makan tidak pernah habis.
Pasien juga merasakan lemas beraktivitas dan menyupir mobil. Selama
beberapa minggu ini pasien mengeluh mengalami penurunan berat badan.
1 hari SMRS pasien sempat demam, demam turun naik. Pasien
mengatakan tidak ada keluhan pada BAB dan BAK.
2
- Riwayat TB Paru (-)
- Riwayat Hipertensi (-)
- Riwayat Diabetes Melitus (+)
.
e. Riwayat Penyakit Keluarga : - Terdapat anggota keluarga yang
mengalami keluhan flek paru
saat kecil
- Riwayat TB paru dalam
keluarga tidak diketahui
- Riwayat asma dalam keluarga
tidak ada
- Riwayat hipertensi dalam
keluarga tidak ada
- Riwayat diabetes mellitus dalam
keluarga tidak ada.
f. Riwayat Alergi : Tidak terdapat alergi udara, debu,
makanan, maupun obat-obatan
g. Riwayat Pengobatan : Pasien sudah berobat ke klinik
untuk keluhannya saat ini, namun
tidak ada perubahan.
h. Riwayat Psikososial :
Pasien tinggal disebuah rumah dengan tiga buah kamar, ruang tamu, dapur
dan satu kamar mandi bersama anak & istrinya.
Keadaan sekitar rumah menurut pasien rapih, antar rumah jaraknya cukup
di komplek perumahan di bekasi.
Pasien seorang guru matematika yang biasa kumpul di Ruang Guru SMA.
Tidak pernah mengkonsumsi alkohol maupun obat-obatan terlarang
3
III. PEMERIKSAAN FISIK.
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis
GCS : 15 (E4M6V5)
Vital Sign : Tekanan Darah: 110/70 mmHg
Nadi : 86 x/menit
Pernapasan : 23 x/menit
Suhu : 37,0O C
Tinggi Badan : 160 cm
Berat Badan sebelum sakit : 63 kg
Berat Badan saat sakit : 58 kg
IMT : 22,6 kg/m2 (Normoweight)
Kesan : Nampak pada berat badan ideal
Status Generalis
Kepala : Normocephal
Mata : Konjungtiva anemis -/-, Sklera ikterik -/-, Reflek cahaya +/+, Pupil
isokor 3 mm/3mm
Hidung: Deviasi septum (-), Perdarahan -/-, Sekret -/-
Mulut : Mukosa bibir lembab
Telinga: Normotia, Perdarahan -/-, serumen -/-
Leher : Pembesaran KGB -/-
Thoraks
o Inspeksi : Pergerakan dada simetris
o Perkusi : Sonor seluruh lapang paru-paru
o Palpasi : Vocal Fremitus sama di kedua paru
o Auskultasi Paru : Vesikuler +/+, Ronkhi +/-, Wheezing -/-
o Auskultasi Jantung : Bunyi Jantung I & II reguler, Murmur (-),
Gallop (-)
Abdomen
o Inspeksi : Datar
o Auskultasi : Bising Usus (+) normal
o Perkusi : Timpani
4
o Palpasi : Nyeri tekan epigatrium (-)
Ekstremitas
o Atas
Akral : Hangat
Udem : -/-
RCT < 2 detik : +/+
o Bawah
Akral : Hangat
Edem : -/-
RCT < 2 detik : +/+
Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan
19/08/2017, 15.30
Darah Perifer
Hemoglobin 15 g/dL 13,2-17,3
Jumlah leukosit 6,96 ribu/L 3,80-10,60
Hematokrit 41 % 40-52
Trombosit 245 Ribu 150-440
Eritrosit 4,89 % 4,4-5,9
MCV 84 fL 80-100
MCH 31 pg 26-34
MCHC 37 gr/dL 32-36
Elektrolit
Natrium darah 132 mEq/L 135-147
Kalium darah 3,8 mEq/L 3,5-5,0
Klorida darah 93 mEq/L 94-111
Hitung jenis darah
Basofil 0 % 0-1
Eosinofil 1 % 2-4
5
Neutrofil batang 3 % 3-5
Neutrofil segmen 66 % 50-70
Limfosit 19 % 25-40
Monosit 11 % 2-8
Gula darah
Sewaktu 480 mg/dL 70-200
6
V. RESUME
Tn. P usia 51 tahun datang ke Poli Penyakit Dalam RSIJ Cempaka Putih
dengan keluhan batuk kering lebih dari 2 minggu SMRS. Kadang pasien merasa sesak
saat batuk. Keringat malam (+). Pasien mengaku malas makan, tiap makan tidak
pernah habis. Pasien juga merasakan lemas beraktivitas dan menyupir mobil. Selama
beberapa minggu ini pasien mengeluh mengalami penurunan berat badan. 1 hari
SMRS pasien sempat demam, demam turun naik. Pasien memiliki riwayat diabetes
mellitus.
Pada pemeriksaan fisik di dapatkan:
Keadaan Umum: Tampak sakit sedang
Kesadaran: Compos mentis
Tanda Vital:
o Tekanan Darah : 110/70 mmHg
o Nadi : 86 x/menit
o Pernapasan : 23 x/menit
o Suhu : 37O C
Tinggi Badan : 160 cm
Berat Badan sebelum sakit : 63 kg
Berat Badan saat ini : 58 kg
Status Gizi : Normoweight
Pada pemeriksaan fisik paru : auskultasi : Rhonki +/-
VII. ASSESMENT
Tuberculosis
S: Pasien mengeluh batuk kering sejak 2 minggu sebelum masuk rumah sakit, sesak,
keringat dingin.
O: - Pada auskultasi : ronkhi +/-
- Pada foto thorax : tampak kavitas dengan infiltrat di sekitarnya, Kesan : TB
dupleks aktif
A: Tussis ec tuberculosis
P: Ambroxol 3x1
Salbutamol 3x1/2
Rifampisin 1x450 mg
INH 1x300 mg
Hiperglikemia
S: Pasien juga mengatakan memiliki riwayat kencing manis.
O: Pada pemeriksaan lab, gula sewaktu pasien 480 mg/dL
A: Hiperglikemia e.c Diabetes Mellitus
P: Edukasi :
- Kontrol gula
- Minum obat teratur
- Menjaga pola hidup
8
- Diet makanan yang sehat
Terapi :
- Glimepiride 2 x 2 mg
- Metformin 2 x 500 mg
X. PROGNOSIS
Quo ad vitam : dubia ad malam
Quo ad functionam : dubia ad malam
9
BAB II
PEMBAHASAN
I. TUBERKULOSIS
10
bertambah besar dan dapat menginduksi gangguan pada jaringan sekitar misalnya lesi
pada pleura yang berasal dari fokus subpleura. Penyebaran secara hematogen
biasanya terjadi pada kasus yang berat. Mycobacterium tuberculosis menyebar ke
organ lainnya dan membentuk fokus granuloma.1
Tuberculosis Post Primer Biasanya disebut juga sebagai tuberculosis sekunder.
Tuberculosis ini terjadi sebagai proses reaktivasi infeksi laten dan biasanya terjadi
pada segmen atas paru dimana tekanan oxigen lebih tinggi dibandingkan bagian paru
lainnya yang sangat menunjang pertumbuhan bakteri. Pada tahap ini, perkembangan
lesi biasanya sangat bervariasi mulai dari bercak inflitrat hingga terbentuknya kavitas
bahkan diikuti dengan infeksi sekunder yang menyebabkan pneumonia, selain itu
pada tahap ini, pasien sangat mudah untuk menularkan bakteri ke lingkungannya.1
WHO mendefinisikan penderita TB sebagai penderita yang terbukti secara
positif terinfeksi tuberculosis dengan menggunakan metode diagnosa apapun. TB paru
didefinisikan sebagai TB yang menyerang parenkim paru dan berdasarkan hasil
apusan tahan asam TB dibagi menjadi Sputum positif atau sputum negatif. 2
Pasien dengan sputum postif merupakan pasien yang sedikitnya menunjukkan
satu hasil positif dari 3 sampel sputum yang diambil. Sedangkan sputum negatif
merujuk kepada pasien dengan hasil pemeriksaan sputum tanpa ditemukannya basil
tahan asam, namun pada pasien dengan sputum negatif tetapi hasil kultur
menunjukkan positif maka tetap dianggap sebagai pasien TB dengan sputum negatif.2
TB ekstra paru merupakan kasus infeksi TB yang menyerang organ lain selain
paru antara lain pleura, limfonodus, abdomen, saluran kemih, kulit, persendian, tulang
dan meninges. Diagnosa harus ditegakkan berdasarkan kultur atau pemeriksaan
histologis. Pasien dengan TB paru dan ekstra paru digolongkan sebagai kasus TB
paru.1
Kasus baru TB adalah pasien yang belum pernah menerima pengobatan TB.
Pada kasus berobat ulang atau retreatment digolongkan dalam 3 jenis yakni
retreatment karena gagal pengobatan, retreatment pada keadaan default, dan
Retreatment pada pasien sputum positif dengan pengobatan tuntas.2
Saat ini dikenal pula istilah Multidrug-resistant TB (MDR-TB) dan
Extensively drug-resistant TB (XDR-TB). Multidrug-resistant TB (MDR-TB)
disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis yang resisten terhadap isoniazid dan
rifampicin. MDR-TB biasanya terjadi akibat infeksi primer dari bakteri yang sudah
resisten atau dari pengobatan yang tidak maksimal yang menimbulkan resistensi.3
11
Extensively drug-resistant TB (XDR-TB) merupakan bentuk infeksi
tuberculosis yang lebih berat daripada MDR-TB dimana terjadi resistensi pengobatan
lini kedua seperti amikacin, kanamycin atau capreomycin. Bentuk TB ini tidak
berespon terhadap pengobatan selama 6 bulan dengan pengobatan lini pertama dan
perlu pengobatan selama 2 tahun atau bahkan lebih.3
II. ETIOLOGI
III. EPIDEMIOLOGI
Secara global pada tahun 2015, diperkirakan ada 10,4 juta kasus kejadian TB
(kisaran, 8,7 juta sampai 12,2 juta), setara dengan 142 kasus per 100.000 populasi.
Perkiraan kejadian TB telah direvisi ke atas untuk periode 2000-2015, dibandingkan
12
dengan yang dipublikasikan dalam laporan TB global 2015. Berikut ini akumulasi
bukti bahwa beban penyakit TBC di India jauh lebih tinggi dari perkiraan sebelumnya
(Kotak 3.3). Dan revisi kecil yang lebih kecil untuk Rakyat Demokratik. Korea
Selatan dan Filipina. Perkiraan terbaru untuk India harus dipertimbangkan sementara,
sambil menunggu penilaian yang lebih pasti yang akan mengikuti survei prevalensi
TB nasional, yang dijadwalkan Untuk memulai tahun 2017.4
Sebagian besar perkiraan jumlah kasus pada tahun 2015 terjadi di Asia (61%)
dan WHO African Region (26%); Proporsi kasus yang lebih kecil terjadi di
Mediterania Timur. Wilayah (7%), Wilayah Eropa (3%) dan Wilayah Benua Amerika
(3%). 30 negara dengan beban TB tinggi menyumbang 87% dari semua kasus insiden
yang diperkirakan terjadi di seluruh dunia. Keenam negara yang menonjol sebagai
jumlah kasus insiden terbanyak pada tahun 2015 adalah (dalam urutan menurun)
India, Indonesia, China, Nigeria, Pakistan dan Selatan Afrika (gabungan, 60% dari
total keseluruhan). Dari jumlah tersebut, China, India dan Indonesia sendiri
menyumbang 45% kasus global di tahun 2015.Jumlah tahunan kejadian kasus TB
relatif terhadap ukuran populasi (tingkat kejadian) sangat bervariasi. 4
13
Gambar 1. Perkiraan jumlah insiden, Berdasarkan negara, tahun 2015.4
Gambar 2. Perkiraan prevalensi HIV pada kasus TB baru dan relaps, 2015 4
14
IV. PATOFISOLOGI
PROSES PENULARAN
PROSES INFEKSI
Dropet nukleus cukup kecil untuk masuk kedalam saluran nafas dan mampu
bertahan dari proses filtrasi di saluran nafas atas. Sekali terhirup, droplet nukleus
dapat mencapai alveoli untuk melakukan invasi dan menimbulkan infeksi. Pada
sekitar 5 % pasien yang terinfeksi, M. tuberculosis mampu berkembang biak dalam
jangka waktu mingguan hingga bulanan dan dapat memberikan pembesaran
limfonodus perihilar dan peritracheal serta dapat memberikan gambaran pneumonia
lobaris dan merangsang terjadinya reaksi serosa serta efusi pleura. 1
M. tuberculosis kemudian ditelan oleh makrofag alveolar melalui proses
introduksi yang melibatkan aktivasi komplemen C3b. Liporabinomannan yang
terdapat dalam dinding M. tuberculosis mampu menghambat peningkatan ion Ca2+
yang dapat menyebabkan terjadinya gangguan pada jalur calmodulin yang akan
menimbulkan gangguan fusi phagosom dan lisosom sehingga tidak ada percampuran
antara bakteri dengan lisosom yang menyebabkan bakteri dapat bertahan dan
15
berkembang biak didalam makrofag. Selain itu faktor yang dapat mendukung
pertumbuhan M. tuberculosis didalam makrofag adalah adanya gen protektif antara
lain katG yang memproduksi enzim katalase/peroksidase yang dapat melindungi
M.tuberkulosis dari proses oksidatif, gen rpoV yang merupakan gen induk dari
beberapa protein penting M. Tuberculosis. Dua gen ini merupakan gen yang penting
dalam proses virulensi M. Tuberculosis. Selain itu gen lain seperti erp membantu
proses pembentukan protein untuk multiplikasi. 1
Makrofag yang terinfeksi mengeluarkan sitokin seperti TNF dan IL-1 serta
sitokin lainnya untuk merangsang Monosit dan Limfosit T terutama CD4+ yang akan
membentuk IFN yang akan mengaktivasi makrofag lainnya. Proses ini dikenal
sebagai Macrophage Activating response sedangkan sel CD4+ Th2 akan
memproduksi IL 4, IL 5, IL 10 dan IL 13 dan merangsang sistem imun humoral. Sel
Dendritik juga berperan dalam mempresentasikan antigen dan merangsang proses
imun lebih jauh didalam limfonodus. Tahapan ini dikenal sebagai proses Cell
Mediated Immunity. Pada tahapan ini pasien dapat menunjukkan gambaran delayed-
type-hypersensitivity terhadap protein tuberkulin. Reaksi ini dapat timbul 48-96 jam
setelah injeksi tuberkulin dan bertahan hingga 6 minggu namun sekitar 20 % pasien
tidak bereaksi terhadap tes tuberkulin. 1
Pada jaringan, Makrofag tersebut dapat membentuk sel raksasa berinti banyak
dan akan membentuk granuloma yang dikelilingi oleh limfosit dan makrofag yang
teraktifasi. Pada granuloma, pertumbuhan M. tuberculosis dapat terhambat karena
lingkungan yang rendah oksigen dan derajat keasaman yang rendah. Ketika
mengalami proses penyembuhan dapat terbentuk fibrosis. Proses ini dikenal sebagai
Tissue Damaging Reponse. Dalam jangka waktu tahunan, granuloma dapat meluas
dan membentuk kalsifikasi dan akan tampak dalam gambaran radiologi sebagai
densitas radioopaque pada lapangan paru atas, apex paru (fokus Simon), atau
limfonodus perihilar. Focus granuloma juga dapat ditemukan pada jaringan lainnya
tergantung seberapa luas penyebaran M. Tuberculosis.1
Pada kasus tertentu, pada pusat lesi, material kaseosa mencair, dinding
bronchial dan pembuluh darah menjadi rusak dan terbentuklah kavitas. Pada materi
caseosa yang mencair terdapat basil M. tuberculosis dalam jumlah besar yang dapat
menyebar ke jaringan paru lainnya dan dapat keluar saluran nafas melalui batuk dan
berbicara. 1
16
Bila tidak timbul penyakit, maka telah terjadi keseimbangan antara sistem
imun dan reaksi patologis dari M. Tuberculosis. Faktor yang dapat menimbulkan
terjadinya aktivasi M.Tuberculosis adalah kekuatan sistem imun. Sekitar 10% pasien
dengan imunokompeten biasanya akan menderita tuberculosis. 1
Pada pasien dengan infeksi laten, infeksi dapat teraktivasi dalam jangka waktu
beberapa tahun, aktivasi dapat terjadi pada hampir semua jaringan karena M.
tuberculosis menyebar secara limfogen. Lokasi tertentu yang lebih sering terjadi
reaktivasi adalah jaringan paru. Rekativasi muncul pada fokus granuloma terutama
pada apeks paru. Fokus kaseosa yang besar dapat membentuk kavitas pada parenkim
paru. 1
Semakin banyak jumlah basil M. tuberculosis yang ditularkan maka semakin
infeksius. Hal ini dapat dilihat dari jumlah M. tuberculosis pada sediaan tahan asam.
M. tuberculosis dapat dideteksi pada sputum yang mengandung sedikitnya 104 M.
Tuberculosis. Pada pasien dengan TB paru berkavitas biasanya lebih infeksius.1
V. DIAGNOSIS
MANIFESTASI KLINIS
Gejala yang muncul awalnya bersifat non spesifik, biasanya ditandai dengan
demam baik subfebris hingga febris dan keringat malam, berat badan yang menurun,
anoreksia, dan merasa lemas. Pada 80 % kasus ditemukan demam dan tidak adanya
demam bukan berati tuberculosis dapat dihilangkan. Dalam sebagian besar kasus,
batuk non produktif biasanya muncul minimal selama 2 minggu dan selanjutnya
diikuti oleh batuk produktif dengan sputum yang purulen bahkan diikuti bercak darah.
Hemoptisis yang masif biasanya muncul sebagai destruksi pembuluh darah pada
kavitas terutama pembuluh darah yang berdilatasi pada dinding kavitas (Rasmussen's
aneurysm). Nyeri dada biasa juga dirasakan terutama pada pasien dengan lesi pada
pleura. Lebih lanjut biasanya pasien akan sesak nafas dan diikuti dengan adult
respiratory distress syndrome (ARDS). 1
Temuan pemeriksaan fisis cukup terbatas pada TB paru. Terkadang
abnormalitas tidak ditemukan pada pemeriksaan thorax. Bunyhi ronkhi biasa
ditemukan terutama karena peningkatan produksi sputum. Bunyi wheezing juga
terkadang ditemukan akibat obstruksi parsial bronkus dan bunyi amphoric klasik pada
kavitas. Terkadang bunyi pernafasan terdengar redup yang berarti menunjukkan ada
17
proses abnormalitas yang cukup parah sebagai komplikasi dari infeksi tuberculosis.
Pada keadaan tertentu pasien juga dapat menunjukkan wajah yang pucat serta
clubbing finger.1
PEMERIKSAAN PENUNJANG
18
Gambar 3. TB paru primer
(dikutip dari kepustakaan nomor 8)
Pada gambar diatas, gambar kiri menunjukkan gambaran limfadenopati hilar
pada lapangan paru kanan sedangkan gambar kanan adalah gambaran CT scan yang
menunjukkan limfadenopati hilar kanan.
Gambar kiri tampak kavitas dan bercak berawan pada kedua lapangan atas
paru dan pada CT scan terdapat gambaran kavitas pada kedua lapangan paru.
Dalam hasil analisis laboratorium darah dapat ditemukan leukositosis,
limfositik leukopenia atau neutrofilik leukopenia. Ditemukan pula anemia normositik
normokrom dan hiponatremia terutama pada pasien dengan penyebaran lesi yang
luas.1
Apusan sputum dan kultur merupakan pemeriksaan yang perlu dilakukan
untuk menegakkan diagnosis dengan sensitivitas 40-60%. Pada pasien suspek
tuberculosis paru, tiga sampel sputum diambil yakni sewaktu, pada pagi hari dan
sewaktu. Pada pasien dengan tuberculosis paru, sputum dapat diperoleh dengan proses
19
ekspektorasi atau nebulisasi dengan saline hipertonik, bilasan bronkus atau bahkan
dengan bronchoscopy.1
Induksi sputum dianggap sebagai salah satu cara yang umum dilakukan untuk
mendapatkan sputum, terutama dalam keadaan yang tidak memungkinkan
dilakukannya pengambilan sputum. Pada penelitian yang dilakukan di Bangladesh
menunjukkan bahwa sputum yang diinduksi dengan nebulisasi Salin 3% memberikan
sensitifitas dan spesifitas yang sama dengan teknik diagnosa menggunakan bilasan
bronkus.9
Pengambilan sputum dengan fibreoptic bronchoscopy (FOB) dan
transbronchial lung biopsy (TBLB) biasanya sangat membantu dalam menegakkan
diagnosa TB. Walaupun demikian FOB merupakan metode yang invasif dan
membutuhkan tenaga ahli untuk melakukannya.Selain itu FOB dapat berkontribusi
meningkatkan penularan TB.9
Pada anak-anak, aspirasi cairan lambung juga dapat digunakan untuk
mendiagnosa TB dan memberikan hasil yang jauh lebih baik. Aspirasi nasofaringeal,
induksi sputum, apusan laring juga dapat dilakukan.10
Pemeriksaan apusan sputum dilakukan dengan menggunakan metode tahan
asam Ziehl-Neelsen atau Kinyoun dimana bakteri akan tampak bewarna kemerahan
dengan latar belakang biru dan putih. Metode pewarnaan lainnya seperti auramine
juga dapat dilakukan, dengan pewarnaan ini maka Mycobacterium tuberculosis yang
terwarna akan dapat berpendar pada sinaran Ultra Violet. Mycobacterium tuberculosis
akan tampak berwarna kuning muda. Akan tetapi hasil apusan sputum bergantung
pada jumlah bakteri yang ditemukan pada sampel sehingga dianggap kurang sensitif.1
20
Kultur merupakan gold standard untuk menegakkan diganosis akan tetapi hal
ini membutuhkan waktu yang lama. Spesimen diinokulasi di kultur Lwenstein-
Jensen atau Middlebrook 7H10 dan diinkubasi pada suhu 37C. Karena
pertumbuhannya lambat maka kultur harus ditunggu 4-8 minggu. Selain dari
penampakan koloninya yang berwarna persik, tes biokimia juga penting untuk
menentukan jenis mycobacterium. Teknik kultur yang cepat sedang dikembangkan
untuk memotong waktu pemeriksaan.1
Analisa cairan tubuh juga dapat dilakukan apabila terjadi infeksi tuberculosis
ekstra paru seperti analisa cairan pleura, pericardium dan peritoneal. Biasanya akan
ditemukan cairan yang sifatnya eksudat dengan kadar glukosa yang normal hingga
rendah. Sampel tersebut dapat digunakan untuk apusan, dan kultur untuk penegakan
diagnosa. Nilai spesifiknya mencapai 65% pada cairan peritoneal, 75% pada cairan
perikardium dan 85% pada cairan pleura. Biopsi biasa dilakukan terutama untuk
mendapatkan bukti adanya pembentukan granuloma. 1
Pada umumnya diagnosis biasa di tegakkan berdasarkan gejala, temuan
radiologi dan respon terhadap pengobatan empiris tanpa konfirmasi kultur. Akan
tetapi melihat insidensi resistensi obat yang tinggi maka pemeriksaan kultur dan tes
sensitivitas perlu dilakukan. Secara umum, Mycobacterium tuberculosis perlu
diperiksa senstivitas terhadap isoniazid, rifampin, dan ethambutol. Pemeriksaan
terhadap sensitivitas obat lainnya juga perlu dilakukan guna mencegah resistensi dan
kegagalan pengobatan. 1
Pada pasien dengan infeksi tuberculosis laten, Tuberculin Skin Test dapat
dilakukan. Pada tahun 1891, Robert Koch menemukan komponen Mycobacterium
tuberculosis yang disebut tuberculin. Komponen ini mampu merangsang reaksi kulit
ketika diinjeksi secara subkutan pada pasien dengan tuberculosis. Pada tahun 1932,
Seibert dan Munday memurnikan produki ini dengan presipitasi amonium sulfat yang
dikenal sebagai tuberculin purified protein derivative (PPD). Tahun 1941 tes ini
dijadikan sebagai tes standar diagnosa. Keterbatasan terbesarnya adalah spesifitas
yang rendah karena protein tersebut banyak disekresikan oleh varian mycobacterium
lainnya. Dan yang perlu diperhatikan hasil tes tuberkulin juga positif pada pasien
dengan imunisasi BCG dan infeksi mycobacterium lainnya. 1
IGRAs atau IFN- Release Assays merupakan tes yang lebih spesifik
dibandingkan tes tuberkulin. IGRAs juga tampak lebih sensitif dalam mendeteksi
21
tuberculosis aktif dan tuberculosis laten. Keuntungan lainnya dari IGRAs terletak
pada kemampuannya untuk mengurangi hasil yang subjektif terutama pada skin test.1
Saat ini terdapat 2 jenis pemeriksaan IFN- yang dapat bereaksi dengan
antigen ESAT-6 dan CFP-10 Mycobacterium tuberculosis yakni QuantiFERON-TB
Gold (Cellestis Ltd., Carnegie, Australia) yang menggunakan prinsp enzyme-linked
immunosorbent assay (ELISA) untuk mengukur kadar IFN-, dan T-SPOT.TB
(Oxford Immunotec, Oxford, UK) yang menggunakan enzyme-linked immunospot
(ELISpot). Studi komparatif pemeriksaan IGRAs dengan metode ELISpot memiliki
sensitifitas lebih tinggi dibanding ELISA.1
Amplifikasi asam nukleat merupakan cara lain dalam mendiagnosa
tuberculosis. Pemeriksaan ini dapat membantu menegakkan diagnosa dalam hitungan
jam dengan spesifitas dan sensitivitas yang tinggi. Tes ini biasa digunakan sebagai
konfirmasi cepat untuk pasien dengan BTA positif maupun negatif. Selain itu semua
tahap pengerjaan dilakukan dengan mesin sehingga mengurangi resiko infeksi
tuberculosis pada pekerja laboratorium 1
Tes ini juga berperan untuk menentukan gen yang mengalami mutasi yang
juga menjadi sumber masalah resistensi pengobatan TB antara lain gen rpoB yang
menimbulkan resistensi rifampicin, dan gen lainnya inh A dan katG untuk INH, dan
gen gyr untuk resistensi fluoroquinolon sehingga kasu MDR-TB dapat diketahui
dengan cepat. Salah satu tes amplifikasi asam nukleat yang direkomendasikan oleh
WHO yakni Xpert() MTB/RIF assay 2
VII. PENATALAKSANAAN
22
kedua adalah pemberian 2HRZE/6HE. Pemberian tiga kali seminggu Isoniazid dan
rifampicin(2HRZE/4(HR)3) pada fase lanjutan merupakan pilihan lain yang dapat
dilakukan namun perlu dilakukan pemantauan ketat menelan obat. Pemberian regimen
tiga kali seminggu baik pada fase intensif maupun fase lanjutan (2(HRZE)3/4(HR)3)
merupakan alternatif terakhir yang dapat diberikan asalkan pasien tidak tinggal dalam
lingkungan yang rentan dengan infeksi HIV. Secara umum pemberian regimen
pengobatan setiap hari lebih diutamakan karena angka keberhasilan pengobatan lebih
tinggi dibanding dengan metode pemberian 3 kali seminggu.12
WHO tidak lagi menyarankan pemberian ethambutol pada fase intensif pasien
dengan TB non-kavitas, BTA Negatif atau TB ekstraparu pada pasien dengan HIV
negatif. Namun demikian, walaupun masih tergolong lemah bukti, pada pasien yang
tinggal di negara dengan resistensi isoniazid yang tinggi, pemberian Ethambutol pada
fase lanjutan dapat dipertimbangkan walaupun dengan resiko gangguan visual yang
tinggi. 12
Pada pasien TB yang positif mengidap HIV dan pasien yang tinggal dalam
lingkungan beresiko tinggi terinfeksi HIV, regimen yang diberikan adalah regimen
harian baik pada fase intensif dan lanjutan. Pada keadaan tertentu dimana pasien tidak
dapat menerima terapi harian, pemberian obat tiga kali seminggu tetap dapat
dipertimbangkan. 12
MONITORING TERAPI
Pada pasien TB paru baik pasien baru maupun pasien relaps yang ditangani
dengan regimen lini pertama, pemeriksaan sputum dilakukan setelah fase intensif
23
selama 2 bulan. Beberapa bukti menunjukkan bahwa hasil apusan tahan asam bukan
merupakan indikator utama untuk menentukan kegagalan terapi.12
Bila pasien menunjukkan hasil positif pada smear bulan kedua, makan
pemeriksaan smear tahan asam dilanjutkan pada bulan ketiga. Bila hasil pada bulan
ketiga masih menunjukkan hasil positif maka harus dilakukan kultur sputum dan tes
sensitivitas antibiotik. Pemeriksaan tetap dilanjutkan hingga bulan ke 5 dan ke 6. Bila
masih positif maka pengobatan dianggap gagal. 12
Tabel 2. Pedoman Monitoring Sputum pada pasien TB baru dengan regimen lini pertama
(dikutip dari kepustakaan nomor 12)
Pada pasien yang diobati dengan regimen rifampicin, bila hasil smear
ditemukan positif pada fase intensif yang sudah selesai, tidak direkomendasikan untuk
memperpanjang fase intensif. 12
Pada pasien yang sudah pernah mendapat pengobatan sebelumnya, pasien
perlu menjalani tes kultur sputum dan sensitivitas antibiotik rifampicin dan isoniazid
sebelum memulai pengobatan. Di negara dengan tes sensitivitas antiobitik yang rutin
dilakukan, regimen pengobatan mengacu pada hasil tes sedangkan pada negara yang
jarang menjalankan tes sensitivitas antibiotik, pengobatan didasarkan pada empirisme
atau regimen MDR-TB. 12
24
Regimen yang dapat diberikan pada pasien dengan relaps dengan pengobatan
lini pertama adalah 2HRZES/1HRZE/5HRE dengan catatan bahwa negara tersebut
tergolong negara dengan insidensi MDR yang rendah. 12
Tabel 3. Pedoman Monitoring Sputum pada pasien TB retreatmen dengan regimen lini pertama
(dikutip dari kepustakaan nomor 12)
Saat ini obat kombinasi tetap atau Fixed Drug Combination (FDC) sering
digunakan walaupun dalam kenyataanya WHO belum mengkaji lebih lanjut mengenai
FDC. Akan tetapi WHO tetap merekomendasikan penggunaan FDC untuk mencegah
insidensi obat yang tidak terminum yang berujung pada resistensi pengobatan.12
25
Sedangkan studi yang dilakukan Francois et al terhadap 661 pasien di
Kamboja menunjukkan bahwa pemberian ART 2 minggu sejak dimulainya terapi
tuberculosis meningkatkan angka survivalitas pada pasien dengan CD4+ T-cell 200
per cubic millimeter atau lebih rendah. 12
WHO tetap menganjurkan pemberian antiretroviral 8 minggu setelah terapi
TB dimulai terlepas dari jumlah CD4+ penderita dan berbagai penelitian terbaru
lainnya. ART yang dianjurkan adalah lini pertama yang mengandung dua jenis
nucleoside reverse transcriptase inhibitors (NRTIs) ditambah satu jenis nonnucleoside
reverse transcriptase inhibitor (NNRTI). Atau agen ART terbaru lainnya seperti
protease inhibitors sebagai pengobatan lini kedua. NRTI pilihan antara lain
zidovudine (AZT) atau tenofovir disoproxil fumarate (TDF), kombinasi dengan
lamivudine (3TC) atau emtricitabine (FTC). Untuk NNRTI, WHO merekomendasikan
efavirenz (EFV) atau nevirapine (NVP) (23). Pada pasien TB, regimen ART yang
direkomendasikan harus mengandung efavirenz (EFV) karena interaksinya dengan
obat TB tergolong rendah namun tidak dianjurkan pada kehamilan.Regimen AZT
+3TC + NVP atau TDF +3TC atau FTC + NVP atau triple NRTI regimen
(AZT+3TC+ABC atau AZT+3TC+TDF) direkomendasi bila efavirenz tidak
memungkinkan untuk diberikan.12
26
membran potensial mitokondria yang dapat mengganggu fungsi mitokondria. Selain
itu ethambutol juga dapat menyebabkan penipisan serat saraf di retina 12
Pada Retina Pigmented Epithelial, keterlibatan isozim PKC yang diinduksi
oleh ethambutol menyebabkan perlambatan proliferasi sel, dan menggangu siklus sel.
Hal ini juga berhubungan dengan peningkatan apoptosis pada sel epitel berpigmen
pada retina. Toksisitas bergantung pada dosis dan durasi yang diberikan. 12
Isoniazid dimetabolisme di hati melalui asetilasi oleh N-acetyl transferase
yang mennghasilkan acetylisoniazid.Acetylisoniazid dihidrolisa menjadi asam
isonicotinic dan acetylhydrazine yang keduanya akan diekskresi di urin.
Acetylhydrazine akan dimetabolisme menjadi bahan reaktif yakni hydrazine yang
menyebabkan hepatotoksisitas. INH dapat mengganggu metabolisme pyridoxin dan
meningkatkan pengeluaran pyridoxin ke urin. Metabolit hydrazine menghambat
secara kompetitif enzim pyridoxine kinase yang mengkonversi pyridoxine menjadi
pyridoxal phospate yang berujung pada terhambatnya produksi neurotransmitter
inhibitor yakni GABA. Hal ini menjelaskan mengapa isoniazid dapat menimbulkan
kejang. Selaini itu, mekanisme ini menyebabkan terjadinya neuropati defisiensi.12
Pasien dinyatakan sembuh apabila tidak ditemukan BTA pada pewarnaan
tahan asam dibandingkan dengan sebelum pengobatan. Terapi dikatakan gagal apabila
sudah menjalani terapi intensif dan lanjutan namun hasil BTA tetap positif pada bulan
ke lima atau bulan berikutnya. Pasien default adalah pasien dengan terapi yang
terinterupsi selama minimal dua bulan berturut-turut.12
PENANGANAN MDR-TB
27
3. Eliminasi obat yang tergolong tidak aman untuk diberikan pada pasien
misalnya obat yang menimbulkan alergi atau efek samping yang tidak
dapat ditolerir pasien.
4. Pemilihan lini pengobatan dilakukan berdasarkan tingkat potensi obat. Bila
obat lini pertama masih dapat digunakan untuk mengobati MDR maka
regimen tersebut dapat digunakan. Bila tidak memungkinkan maka
pilihlah tingkat regimen yang lebih tinggi. Bila obat di regimen lini
pertama tidak cukup 4 jenis, maka obat lainnya bisa diambil dari regimen
yang lebih tinggi tingkatannya. Hindari penggunaan streptomisin bila
terjadi resistensi, selain itu efek ototoksiknya juga tinggi. Berikut adalah
kelompok golongan obat-obat anti tuberculosis
Kelompok 1
Obat kelompok 1 merupakan obat yang sangat poten dan efek sampingnya dapat
ditolerir yakni rifampicin, Ethambutol dan Pyrazinamide. Bila hasil laboratorium dan
pengalaman klinis mendukung efektifitas obat ini maka obat-obatan golongan ini
masih dapat dipakai untuk pengobatan walaupun insidensi resistensi silang akan
mungkin terjadi misalnya resistensi terhadap rifabutin akibat penggunaan rifampicin.
Kelompok 2
Bila hasil tes sensitivitas menunjukkan hasil yang baik pada obat-obatan golongan ini
maka obat ini perlu digunakan. Obat golongan ini adalah aminoglikosida dan yang
sering direkomendasikan adalah kanamycin dan amikacin karena efek samping
ototoksitas yang lebih rendah dibanding streptomycin. Bila terjadi resistensi amikacin
dan kanamycin, capreomycin dapat digunakan.
Kelompok 3.
Floroquinolon dapat diberikan pada pasien dengan infeksi tuberculosis yang sensitif
dengan golongan ini seperti levofloxacin dan moxifloxacin, Ciprofloxacin tidak lagi
direkomendasikan untuk pengobatan TB resisten.
Kelompok 4
Ethionamide atau protionamide sering ditambahkan dalam regimen pengobatan. P-
aminosalicylic acid (PAS) juga dapat diberikan terlebih dulu. Kombinasi PAS dan
Ethionamid terkadang sering memberikan efek gastrointestinal dan hypothyroidisme
Cycloserine juga dapat ditambahkan kedalam regimen pengobatan. Tiga agen ini
sering dipakai secara bersamaan. Terizidone dapat pula digunakan untuk
28
menggantikan cycloserin
Kelompok 5.
Kelompok 5 tidak direkomendasikan oleh WHO dalam penggunaan rutin untuk
mengatasi TB resisten karena efektifitasnya yang masih tidak jelas. Regimen ini
membutuhkan pendapat para ahli terutama dalam penanganan XDR TB
29
VIII. PROGNOSIS
30
31
DAFTAR PUSTAKA
32
12. Herchline, Thomas E. Tuberculosis. [online] updated December 9 2011. Cited
at december 18 2011. Downloaded from
www.emedicine.medscape.com/article/230802- overview.
33