Anda di halaman 1dari 38

DIAGNOSIS DAN PENANGANAN

OBSTETRIC ANAL SPHINCTER INJURY (OASI)

dr. I Gede Mega Putra, SpOG(K)

BAGIAN /SMF OBSTETRI DAN GINEKOLOGI

FK UNUD/RSUP SANGLAH DENPASAR

2011
BAB I
PENDAHULUAN

Obstetric Anal Sphincter Injury (OASI) merupakan salah satu komplikasi


persalinan dan juga merupakan penyebab paling sering timbulnya inkontinensia alvi. Hal
ini akan menimbulkan efek jangka panjang yang sangat merugikan terhadap kualitas
hidup seorang wanita.1,2 Oleh karena itu, mengetahui adanya cedera sfingter ani akibat
persalinan dan memberikan penanganan yang baik merupakan hal yang penting.
Pada suatu penelitian terhadap dua puluh ribu persalinan pervaginam didapatkan
bahwa dengan diagnosa klinis angka kejadian OASI sebesar 2,9% pada wanita primipara
dan 0,8% pada wanita multipara. Namun seiring dengan semakin seringnya penggunaan
ultrasonografi endoanal ternyata didapatkan angka kejadian OASI sebesar 11% sampai
dengan 36%.3 Penelitian lain melaporkan angka kejadian OASI sekitar 2,5% pada partus
pervaginam dengan episiotomi mediolateral dan sekitar 11% pada partus pervaginam
dengan episiotomi medial. Namun hampir 33% wanita yang mengalami partus
pervaginam mengalami cedera pada sfingter ani.1 Sehingga sering OASI tidak terdeteksi
dan tidak mendapatkan penanganan yang optimal.
OASI sering salah didiagnosis sebagai ruptur perineum derajat dua.
Kemungkinan penyebab kesalahan diagnosa OASI adalah : Pertama, kurangnya
pengetahuan dokter dan bidan terhadap anatomi perineum dan sistim klasifikasi cedera
perineum. Pada suatu penelitian tentang pengetahuan anatomi perineum yang dimilki
dokter dan bidan, didapatkan bahwa 41% dokter dan 16% bidan melakukan kesalahan
dalam mengklasifikasikan cedera sfingter ani eksternal partial dan komplit sebagai cedera
perineum derajat dua. Kedua, OASI sering disembunyikan dan dicatat dalam catatan
medis sebagai cedera perineum derajat dua oleh karena adanya stigma pada kasus OASI
dimana ada kecenderungan untuk menyalahkan individu ketimbang menganalisa faktor-
faktor yang menyebabkan terjadinya OASI.3
Selain itu meskipun OASI telah didiagnosa dan telah dilakukan reparasi,
namun lebih dari 59% tetap akan mengalami gangguan defekasi. Hal tersebut merupakan
cerminan dan kontribusi dari pengetahuan yang kurang dan teknik reparasi yang salah
dalam penanganan OASI.1
Melihat besarnya penyimpangan yang terjadi maka perlu bagi kita sebagai
praktisi dalam pelayanan untuk mendiagnosis OASI secara tepat dan melakukan reparasi
dengan benar. Untuk itu maka sari pustaka mengenai Diagnosis dan Penanganan
Obstetric Anal Sphincter Injury diharapkan dapat menambah pengetahuan kita sebagai
praktisi dalam mendiagnosa dan menangani kasus OASI.
BAB II
OBSTETRIC SPHINCTER ANAL INJURY (OASI)

2.1. DEFINISI
Cedera pada sfingter ani eksterna maupun interna yang disebabkan oleh
proses persalinan. Berdasarkan klasifikasi cedera perineum menurut Royal College
Obstetric and Gynecology (RCOG) (Tabel 3.1), maka OASI identik dengan cedera
perineum derajat tiga dan empat.3

2.2. EPIDEMIOLOGI
Angka kejadian ruptur perineum derajat tiga dan empat sangat bervariasi.
Dilaporkan bahwa angka kejadiannya di negara-negara Eropa berkisar antara 0,5%
sampai dengan 3,0%. Di Amerika angka kejadiannya berkisar antara 5,85% sampai
dengan 8,9%. Pada tahun 1993 di Inggris didapatkan angka kejadiannya hanya 3%,
dan hanya sepertiga mengalami gangguan buang air besar. Namun dengan semakin
maju pengetahuan dan teknologi kedokteran, penelitian terbaru di Inggris
2
mendapatkan angka kejadian cedera sfingter sebesar 24,5%. Di Indonesia belum
ada penelitian yang mencari angka kejadian OASI.

2.3. ANATOMI SFINGTER ANI


Kompleks sfingter ani terdiri dari komponen internal dan komponen
eksternal. Dikatakan sebagai kompleks sfingter ani kerena komponen internal dan
eksternal sfingter ani bekerja sama dalam menjaga kontinen alvi saat istirahat dan
mengatur defekasi. Sfingter ani interna merupakan perpanjangan dan penebalan dari
otot polos sirkuler dalam rektum, yang terletak tepat dibawah mukosa rektum. Oleh
karena itu sfingter ani interna selalu cedera pada cedera perineum derajat empat,
dan dapat pula cedera meskipun tanpa adanya cedera mukosa rektum. Sfingter ani
interna dikendalikan secara otonomic (tidak volunter). Sfingter ani interna memberi
kontribusi 70% tonus pada saat sfingter ani dalam keadaan istirahat. Kerusakan
pada sfingter ani interna akan menimbulkan gejala inkontinesia fecal lebih berat
daripada kerusakan pada sfingter ekterna.2
Sfingter ani eksterna terdiri dari 3 bagian dari distal sampai proksimal, yaitu
bagian subkutaneus, superfisial dan profunda. Bagian subkutaneus dan superfisial
dari sfingter ani eksterna yang memiliki pengaruh klinis paling banyak terhadap
terjadinya OASI. Bagian anterior dari sfingter ani eksterna (pada posisi jam 12)
merupakan bagian yang selalu cedera pada cedera-cedera obstetri. Sfingter ani
eksterna berhubungan erat dengan bagian dari levator ani yaitu muskulus
puborektalis yang membentuk penyangga pada rectum. Sfingter ani eksterna terdiri
dari otot lurik yang merupakan otot volunter, tetapi juga memberi kontribusi 25%
tonus pada saat sfingter ani dalam keadaan istirahat. Oleh karena itu dengan
komponen levator ani lainnya, sfingter ani ekterna bekerja untuk mempertahankan
pengaturan defekasi secara volunter. Sfingter ani eksterna diinervasi oleh nervus
pudendal.2

Gambar 2.1. Anatomi sfingter ani.2

2.4. FAKTOR RISIKO


Beberapa faktor risiko tidak dapat dihindari. Salah satunya adalah
primiparitas, yang selalu menjadi variabel bebas. Faktor risiko lain yang juga
berhubungan terhadap terjadinya OASI adalah persalinan pervaginam dengan
bantuan alat. Pada tabel 2.1 dapat dilihat faktor-faktor risiko apa saja yang
memperbesar kemungkinan terjadinya OASI.2
Table 2.1. Faktor Risiko terjadinya Obstetric Anal Sphincter Injury.2

Beberapa faktor risiko yang disebutkan di atas menyebabkan peningkatan


kejadian OASI secara tidak langsung. Pemanjangan persalinan kala dua akan
meningkatkan pertolongan persalinan dengan instrumen. Demikian pula dengan
penggunaan epidural analgesia, dimana akan meningkatkan kejadian pemanjangan
persalinan kala dua, pertolongan persalinan dengan instrumen yang lebih sering dan
meningkatnya kejadian malposisi.7

2.5. MEKANISME CEDERA


Komplek sfingter dapat mengalami cedera selama persalinan melalui 3
mekanisme, yaitu 2 :
1. Cedera mekanis langsung, dimana cedera mengenai otot (miopati). Cedera otot
sfingter ani interna dan eksterna dapat terjadi, dimana secara klinis tampak
laserasi perineum derajat tiga dan empat atau tampak dengan menggunakan
endoanal ultrasonografi.
2. Cedera neurologis, dimana cedera mengenai saraf (neuropati). Neuropati nervus
pudendal dapat terjadi sebagai akibat dari penggunaan forsep atau kompresi
kepala bayi terhadap saraf yang cukup lama. Neuropati traksi dapat juga terjadi
pada bayi makrosomia dan pada tindakan meneran yang lama pada persalinan
kala 2, atau pada peregangan saraf yang lama oleh karena kecilnya tonus dasar
panggul postpartum dalam waktu yang lama. Cedera saraf sering terjadi
demielinasi tetapi biasanya akan pulih dalam waktu tertentu.
3. Kombinasi cedera mekanis dan neurologis. Cedera saraf saja, seperti yang telah
dijelaskan sebelumnya, sangat jarang terjadi. Neuropati lebih sering bersamaan
dengan kerusakan mekanis.
BAB III
DIAGNOSIS OASI

Diagnosis OASI dapat ditegakkan secara klinis dan dengan pemeriksaan


penunjang seperti endoanal ultrasonografi. Untuk mendiagnosis OASI secara tepat
maka kita perlu mengetahui anatomi dari sfingter ani dan klasifikasi cedera sfingter
ani itu sendiri.

3.1. KLASIFIKASI
Menurut Sultan yang kemudian diadopsi oleh RCOG dan the International
Consultation on Incontinence, klasifikasi ruptur perineum dibagi berdasarkan
derajat rupturnya.1,2,4,5 (Tabel 3.1)

Tabel 3.1. Klasifikasi Ruptur Perineum.1,2,4,5

Derajat Ruptur Keterangan


Derajat 1 Laserasi pada lapisan epitel vagina atau kulit perineum saja
Derajat 2 Mengenai otot perineum, namun tidak mengenai sfingter ani
Derajat 3 Mengenai sfingter ani, dan dibagi lagi menjadi tiga derajat yang berbeda
(lihat dibawah)
Derajat 3a Ruptur kurang dari 50% tebal sfingter ani eksterna
Derajat 3b Ruptur lebih dari 50% tebal sfingter ani eksterna
Derajat 3c Ruptur mengenai sfingter ani interna
Derajat 4 Ruptur derajat 3 hingga mengenai lapisan epitel anus
Gambar 3.1. Klasifikasi Ruptur Perineum.6
A. derajat 1. B. derajat 2. C. derajat 3. D. derajat 4

3.2. DIAGNOSIS KLINIS OASI


Diagnosa OASI dilakukan segera setelah persalinan dapat dilakukan dengan
pemeriksaan klinis pada perineum dan vagina, termasuk pemeriksaan colok dubur
yang harus dilakukan pada setiap persalinan pervaginam untuk mendeteksi adanya
cedera pada sfingter ani. Inspeksi harus dikombinasikan dengan palpasi, dengan
melakukan pill rolling movement (Gambar 3.2) menggunakan jari telunjuk pada
rektum dan ibu jari diatas sfingter ani untuk memeriksa keutuhan otot sfingter.3

Gambar 3.2. Mendiagnosa dengan OASI dengan pill rolling movement.3


Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Andrews dkk terhadap 241 wanita
yang mengalami persalinan pervaginam pertama kali. Mereka menjalani
pemeriksaan klinis perineum ulang oleh seorang ahli dan endoanal USG segera
setelah melahirkan dan 7 minggu setelah melahirkan. Didapatkan diagnosis OASI
meningkat setelah diperiksa klinis ulang oleh ahli, dari 11% menjadi 25% (n=59).8
Sehingga dengan pemeriksaan klinis yang baik dan cermat maka kemungkinan
kesalahan diagnosis OASI dapat diperkecil dan selanjutnya pasien dapat ditangani
sesuai diagnosis sehingga kejadian inkontinensia alvi dapat dihindari.

3.3. PROSEDUR PENEGAKAN DIAGNOSIS KLINIS


Sebelum melakukan pemeriksaan klinis terhadap cedera sfingter ani, berikut
beberapa prosedur yang harus diperhatikan:9
1. Harus dilakukan inform consent untuk pemeriksaan vagina dan rektal. Hal ini
berkaitan dengan pemeriksaan yang akan kita lakukan akan menimbulkan
ketidaknyaman, bahkan nyeri bagi pasien.
2. Cedera perineum harus dapat dilihat dengan jelas dan pasien dalam posisi
litotomi.
3. Pencahayaan harus baik.
4. Jika pemeriksaan menjadi terbatas karena nyeri, maka analgesik yang adequat
perlu diberikan.
5. Saat melakukan inspeksi, labia harus terbuka dan pemeriksaan vagina dilakukan
untuk memastikan seluruh robekan vagina. Bila didapatkan robekan yang dalam
dan banyak, maka pemeriksaan dan penanganan paling baik dalam posisi
litotomi. Ujung dari laserasi vagina harus selalu diidentifikasi.
6. Pemeriksaan rektal harus dilakukan untuk menyingkirkan cedera sampai ke
mukosa rectum dan sfingter ani. Vagina harus tampak dengan membuka labia
menggunakan jari telunjuk dan jari tengah tangan yang lainnya. Tiap pasien
harus dilakukan pemeriksaan rektal sebelum dilakukan penjahitan untuk
menghindari robekan terisolasi yang terlewatkan seperti robekan buttonhole
pada mukosa rektum (Gambar 3.3). Cedera derajat tiga dan empat dapat pula
terjadi di bawah kulit perineum yang utuh (Gambar 3.4).

Gambar 3.3. Robekan buttonhole, robekan pada mukosa rektum (panah kuning)
tetapi sfingter ani eksterna utuh.9
(a) (b) (c)
Gambar 3.4. (a) Cedera sfingter ani derajat tiga dengan kulit perineum yang utuh,
(b) Robekan bucket handle tampak di belakang kulit perineum yang utuh,
(c) Tampak sfingter ani eksterna yang robek.9

7. Untuk menegakkan diagnosa OASI, inspeksi yang baik sangat diperlukan dan
cedera harus dikonfirmasi dengan palpasi. Dengan memasukkan jari telunjuk ke
anus dan ibu jari ke vagina, sfingter ani dapat diraba dengan pill-rolling
movement. Jika ada keraguan ibu diperintahkan untuk mengkontraksikan
sfingter ani dan jika sfingter ani mengalami cedera, akan terasa adanya gap pada
bagian anterior. Bila kulit perineum utuh, maka tidak akan terasa kedutan pada
kulit perianal anterior. Hal ini tidak bisa terjadi bila pasien dalam keadaan
pembiusan regional atau umum. Jika sfingter ani eksternal dalam keadaan
kontraksi tonik, maka cedera yang terjadi akan membuat ujung sfingter tertarik
ke dalam. Untuk itu ujung sfingter ani perlu dicari dan dipegang. Sfingter ani
interna juga perlu diidentifikasi dan bila cedera perlu direparasi tersendiri.
8. Sfingter ani interna merupakan otot polos sirkular (Gambar 3.5) yang tampak
lebih pucat (seperti daging ikan mentah) dari otot lurik sfingter ani eksterna
(seperti daging merah mentah). Pada keadaan normal, ujung distal sfingter ani
interna terletak beberapa milimeter proksimal dari ujung distal sfingter ani
ekaterna. Namun jika sfingter ani eksterna dalam keadaan relaksasi oleh karena
pembiusan regional atau umum, maka ujung distal sfingter ani interna akan
tampak lebih rendah. Jika sfingter ani interna atau mukosa rectum mengalami
robekan, maka sfingter ani eksterna dapat dipastikan juga mengalami robekan.
SAI

SAE

Mukosa Rektum

Gambar 3.5. Ruptur perineum derajat 3b. Sfingter ani interna (SAI) masih
utuh. Sfingter ani eksterna (SAE) dipegang oleh klem Allis.
Tampak SAI lebih pucat dari SAE.9

3.4. OCCULT OASI / OASI TERSEMBUNYI


Occult OASI atau OASI tersembunyi merupakan OASI yang tidak
tampak pada saat persalinan. Dengan adanya perkembangan endoanal USG, Sultan
dkk, menemukan bahwa 33% wanita mengalami OASI tersembunyi.10 Beberapa
penelitian prospektif menemukan kejadian OASI tersembunyi berkisar antara
11
20% dan 41% 12. Namun hal ini masih belum jelas apakah OASI tersembunyi
tersebut memang benar-benar tersembunyi atau tidak teridentifikasi pada saat
persalinan.
Penelitian yang dilakukan oleh Andrews dkk mendapatkan bahwa 44%
kejadian OASI tidak terdiagnosa oleh penolong persalinan. Penelitian ini
menyimpulkan bahwa sebagian besar cedera sfingter yang sebelumnya dianggap
sebagai cedera tersembunyi sebenarnya dapat ditemukan segera setelah
persalinan tetapi tidak teridentifikasi.8
Groom dan Paterson juga menemukan bahwa angka kejadian cedera sfingter
derajat tiga meningkat 15% ketika semua pasien cedera sfingter derajat dua
dilakukan pemeriksaan ulang oleh orang yang berpengalaman. Penelitian ini
menyarankan perlunya pelatihan yang terfokus dan intensif dalam mengidentifikasi
OASI.13
Sultan dkk melakukan wawancara terhadap 75 dokter dan 75 bidan dan
menyimpulkan bahwa 91% dan 60% didapatkan tidak mendapatkan pelatihan
anatomi perineum yang adekuat, dan 84% dan 61% didaptkan tidak mendapatkan
pelatihan mengidentifikasi cedera perineum derajat tiga dengan adequat. 14
Namun demikian juga ada kemungkinan alasan terjadinya OASI
tersembunyi oleh karena underdiagnosis. Alasan adanya underdiagnosis adalah
adanya stigma yang berhubungan dengan OASI, dimana di beberapa unit pelayanan
persalinan terjadinya OASI akan memicu hukuman dan hal ini yang menyebabkan
OASI sering tidak dilaporkan secara akurat.
Jika OASI tidak terdiagnosa maka akan semakin banyak wanita dengan
riwayat episiotomi atau cedera perineum spontan derajat dua yang mengalami
inkontinensia ani. Lal dkk menunjukkan bahwa secara signifikan bahwa
inkontinensia ani banyak terjadi pada cedera perineum derajat dua dibandingkan
dengan perineum yang utuh (23% lawan 3%).15 Benifla dkk menemukan bahwa
kejadian inkontinensia ani meningkat 16 kali pada perineum derajat dua.16 Kedua
penelitian ini mendukung temuan Andrew dkk dimana banyak kasus OASI tidak
terdiagnosis dan salah terklasifikasi sebagai ruptur perineum derajat dua.

3.5. ENDOANAL ULTRASONOGRAFI (EAUS)


Endoanal Ultrasonografi (EAUS) pertama kali dikembangkan di awal tahun
1990-an, sebagai sebuah metode sederhana untuk pencitraan komplek sfingter.
EAUS digunakan sebagai pelengkap anorektal manometri, sehingga dapat menilai
fungsi dan juga struktur sfingter ani dengan baik. Meskipun teknik EAUS tampak
sederhana, namun anatomi sonografi daerah perineum merupakan hal yang
komplek.
Saat pemeriksaan pasien dalam posisi tengkurap (kecuali sedang hamil).
Probe EAUS (Gambar 3.6) dimasukkan ke dalam anus secara perlahan, kemudian
diputar sehingga septum rektovaginal berada di anterior (Gambar 3.7).
Gambar 3.6 Probe EAUS dan penempatan probe EAUS.17
Pencitraan USG struktur sfingter normal tampak terdiri dari empat lapis
(Gambar 3.7) yang dibedakan oleh perbedaan reflektifitas akustik masing-masing
lapisan. Lapisan-lapisan tersebut (dari medial ke lateral) adalah : 17
1. Subepitelium (reflektifitas sedang)
Lapisan mukosa tidak teridentifikasi. Lapisan submukosa muskularis mungkin
tampak sebagai lapisan tipis dengan reflektifitas rendah menyatu dengan lapisan
subepitelium bagian atas.
2. Sfingter ani interna (reflektifitas rendah)
Tampak gambaran cincin yang jelas, merupakan patokan yang penting untuk
anatomi sonografi. Ketebalan cincin sekitar 2 mm, dan semakin tebal dengan
bertambahnya umur. Dapat pula ditemukan agak menipis di bagian anterior dan
tidak selalu ketebalan cincinnya simetris. Perubahan kecil mereleksikan
kontraksi yang terjadi pada otot polos, tetapi perubahan apapun pada ketebalan
adalah abnormal. Rata-rata panjang cincin pada penelitian 3D adalah 34 mm,
berakhir pada 8 mm proksimal dari anus. Sfingter ani interna berbeda dengan
otot polos sirkular dari rectum, dimana sfingter ani interna dapat dikenali
dengan peningkatan ketebalan.
3. Lapisan longitudinal (reflektifitas rendah sampai sedang)
Struktur komplek ini terdiri dari jaringan fibroelastik dari fascia pubocervicalis,
otot polos dari lapisan longitudinal rektum dan otot lurik dari puboanal. Serabut
otot bersatu pada bagian atas saluran dan menghilang sebelum sfingter ani
interna berakhir, sehingga reflektifitas rendah dari kumpulan serat otot akan
tampak pada lapisan longitudinal bagian atas dan reflektifitas sedang dari
jaringan fibroelastik hanya akan tampak pada lapisan longitudinal bagian
bawah.
4. Sfingter ani eksterna
Merupakan otot lurih yang tampak dengan reflektifitas rendah sampai sedang.

Gambar 3.7 USG endoanal pada struktur sfingter yang normal (ANT: anterior,
IAS: Internal Anal Sphincter, LM: Lapisan Longitudinal, EAS:
External Anal Sphincter).17

EAUS merupakan salah satu metode untuk mengeksplorasi otot sfingter ani,
mengukur ketebalan dan keutuhan serta mendeteksi adanya jaringan parut atau
diskontinuitas jaringan otot (Gambar 3.8 dan 3.9). Saat ini EAUS merupakan
metode yang terbaik untuk evaluasi sfingter ani post partum. Namun metode ini
memerlukan peralatan khusus dan tidak dilakukan secara rutin setelah melahirkan.
Gambar 3.8. Lesi sfingter ani eksterna pada Endo-anal Ultrasonografi (EAUS)
(A) endoanal sebelum reparasi menunjukkan adanya defek sfingter
ani pada arah jam 12 ; (B) setelah reparasi dengan teknik overlap
pada sfingter ani eksterna.3

Gambar 3.9. Tampilan potongan coronal dari gambaran EAUS tiga


dimensi dan tampak adanya defek dari sfingter ani
eksternal (panah hitam).17

Salah satu metode alternatif ultrasonografi sfingter adalah dengan


menggunakan Trans-perineal ultrasonografi (TPUS). TPUS menggunakan probe
ultrasonografi biasa yang digunakan semua ahli obstetri sehingga peralatan lebih
sederhana. TPUS merupakan metode yang berguna dimana dapat memberikan
visualisasi yang baik terhadap struktur anatomi sfingter ani, tetapi sensitivitas dalam
mendeteksi cedera sfingter masih lebih baik EAUS.18 (Gambar 3.10)
Gambar 3.10. Trans-perineal Ultrasonografi (TPUS) 18
(A) Normal Sfingter Ani (1) Sfingter Ani Eksterna dan (2) Sfingter Ani Interna.
(B) Lesi pada sfingter ani eksterna (tanda panah)
BAB IV
PENANGANAN OASI

Dalam penanganan OASI ada beberapa prinsip dasar yang harus


diperhatikan yaitu tahap reparasi primer sfingter ani, tahap perawatan pasca reparasi
dan tahap follow up pasca reparasi sfingter ani. Ketiga tahap harus dapat
dilaksanakan dengan benar untuk memberikan keluaran yang baik terhadap pasien.
Kegagalan atau kesalahan penanganan OASI dapat memberikan dampak jangka
panjang bagi kehidupan sosial dan aktifitas sehari-hari penderita.

4.1. PERSIAPAN REPARASI PRIMER SFINGTER ANI


Setiap tindakan harus selalu dimulai dengan persiapan baik dari pasien,
operator dan peralatan yang diperlukan selama prosedur. Selain persiap seperti pada
tindakan bedah pada umumnya, pada reparasi primer sfingter ani terdapat persiapan
khusus yang harus diperhatikan, yaitu :
1. Harus dilakukan oleh dokter yang telah berpengalaman dalam reparasi sfingter
ani atau dokter dalam pelatihan dengan supervisi.1,5
2. Reparasi harus dilakukan di kamar operasi dimana terdapat penerangan yang
baik, peralatan yang memadai dan kondisi aseptik. Peralatan (Gambar 4.1)
terdiri dari : 1 buah retraktor Weitlander, 4 buah forsep Allis, gunting McIndoe,
forsep bergigi, 4 buah forsep arteri, gunting benang dan needle holder.1
3. Anestesia umum atau regional merupakan syarat yang penting, terutama pada
reparasi dengan teknik overlap. Dengan anestesia maka otot akan dalam kondisi
relaks. Otot yang tidak relaks dapat menyebabkan robekan pada otot tersebut
saat reparasi.
4. Evaluasi secara cermat dan hati-hati dengan pemeriksaan vagina dan rectal pada
posisi litotomi dan tentukan klasifikasi ruptur.
Gambar 4.1 Peralatan penunjang reparasi cedera sfingter ani.19

4.2. PROSEDUR REPARASI PRIMER SFINGTER ANI


Sampai tahun 2001 belum ada panduan dalam penanganan OASI. RCOG
merekomendasikan bahwa cedera perineum derajat tiga dan empat segera dilakukan
reparasi primer setelah persalinan. Sedangkan reparasi sekunder adalah reparasi
yang dikerjakan untuk penanganan inkontinensia alvi, dilakukan beberapa bulan
atau tahun setelah persalinan dan biasanya dikerjakan oleh ahli bedah kolorektal.3
Yang akan kita bahas pada sari pustaka ini adalah reparasi primer. Berikut
ini adalah panduan yang dapat diterapkan dengan aman dan berdasarkan bukti-bukti
ilmiah atau penerapan yang terbaik. Prosedur reparasi primer sfingter ani adalah
sebagai berikut 1 :
1. Pada ruptur derajat empat, robekan lapisan mukosa rektum dijahit terputus satu-
satu dengan menggunakan benang Polyglactin 3-0 (seperti Vicryl) dengan
simpul pada rektum. Lapisan epitel tersebut dapat juga dijahit subkutikuler
melalui pendekatan transvaginal.
2. Otot sfingter dijahit dengan benang Polydioxalone 3-0 (seperti PDS). Benang
monofilamen lebih sedikit terjadi infeksi dibandingkan dengan benang
multifilamen, meskipun belum ada penelitinan yang mengatakan hal tersebut.
Benang nonabsorbable monofilamen seperti nilon atau polypropylene (Prolene)
juga efektifitas yang sama, namun dapat menimbulkan abses pada jahitan dan
ujung benang menyebabkan ketidaknyamanan. Oleh karena itu PDS
direkomendasikan sebagai pilihan pertama.
3. Sfingter ani interna harus dapat diidentifikasi dan dijahit terpisah dengan
sfingter ani eksterna. Sfingter ani interna terletak diantara sfingter ani eksterna
dan lapisan mukosa rektum. Tampat lebih pucat dibandingkan dengan sfingter
ani eksterna dan serat-serat ototnya tersusun sirkuler. Penampakan sfingter ani
interna seperti daging ikan mentah, sedangkan sfingter ani eksterna tampak
seperti daging merah. Ujung dari otot sfingter ani interna yang terkoyak
dipegang dengan klem Allis dan dijahit end-to-end secara terputus atau matras
dengan benang PDS 3-0. Robekan sfingter interna sebaiknya didekatkan dengan
jahitan terputus (satu-satu).1,5
4. Bermacam-macam teknik penjahitan sfingter ani eksterna telah dipaparkan.
Teknik yang paling sering digunakan di Inggris adalah end-to-end dengan
jahitan figure-of-eight (Gambar 4.2). Ahli bedah kolorektal lebih memilih teknik
overlap pada pasien dengan keluhan inkontinensia alvi, meskipun follow up
jangka panjang menyarankan bahwa keluhan akan berkurang dengan jalannya
waktu.

Gambar 4.2. Teknik end-to-end.2,3


Gambar 4.3. Teknik overlap. 2,3

Berdasarkan hal tersebut, Sultan dan rekan memaparkan teknik overlap untuk
cedera sfingter ani eksterna dan aproksimasi sfingter ani yang terpisah.
Identifikasi ujung otot sfingter ani eksterna yang terkoyak, ujung tersebut
dipegang dengan klem Allis. Untuk melakukan teknik overlap, otot sfingter ani
eksterna harus dibuat mobile, sehingga otot tersebut perlu dilakukan deseksi
dengan jaringan sekitarnya di sisi lateral dengan menggunakan gunting
McIndoe. Sfingter ani eksterna dipegang dengan klem Allis dan ditarik hingga
overlap atau menumpuk ujung satu dengan ujung yang lain. Kemudian dijahit
dengan teknik overlap (Gambar 4.3) dengan menggunakan benang PDS 3-0.
Identifikasi lebar seluruh otot sfingter ani eksterna sangatlah penting untuk
memastikan aproksimasi atau overlap secara keseluruhan.

Gambar 4.4. Ilustrasi untuk menggambarkan teknik overlap pada reparasi cedera
sfingter eksterna. Jahitan pertama dimasukan pada 1,5 cm dari ujung
sfingter ani yang terkoyak (panah hijau) dan dilanjutkan jahitan pada
0,5 cm dari ujung sfingter ani yang lainnya.1
Salah satu keuntungan dari teknik overlap adalah bahwa untuk melakukan
teknik tersebut maka seluruh lebar sfingter ani harus terlihat dan memungkinkan
kontak permukaan otot menjadi lebih luas. Apabila terjadi retraksi pada otot
setelah reparasi, maka dengan teknik overlap keutuhan reparasi masih bisa
dipertahankan dibandingkan dengan teknik end-to-end.
Dengan teknik overlap, kejadian aposisi inkomplit (Gambar 4.5) lebih jarang
terjadi dibandingkan dengan teknik end-to-end. Aposisi inkomplit dapat
menyebabkan pemendekan panjang anus yang merupakan prediktor terbaik
inkontinensia alvi. Penemdekan panjang anus sering terjadi pada reparasi
dengan menggunakan teknik end-to-end.

Gambar 4.5 Ilustrasi aposisi inkomplit, merupakan keluaran yang jelek, yang dapat
terjadi pada penggunaan teknik end-to-end.1

5. Penanganan yang baik harus terus dilatih dalam melakukan rekonstruksi otot
perineum untuk mendukung reparasi sfingter. Sedikit kekurangan dalam
perawatan perineum akan membuat sfingter ani lebih rawan terhadap trauma
pada persalinan pervaginam berikutnya. Otot pada perineum dijahit satu-satu
dengan benang Vicril 2-0, kemudian penutupan lapisan epitel vagina secara
jelujur dengan benang Vicril 3-0. Dan terakhir, kulit perineum dijahit jelujur
subkutikuler dengan benang Vicril 3-0 dimana keuntungan dari teknik ini
adalah nyeri perineum yang lebih ringan, jarak luka yang dekat dan tidak perlu
melepas benang.
6. Pemeriksaan rektovaginal harus dilakukan untuk konfirmasi perbaikan
perineum dan memastikan semua tampon dan kasa telah keluar.
7. Antibiotika intravenous harus diberikan saat operasi dan dilanjutkan peroral
selama satu minggu. Bukti dari sebuah penelitian acak terhadap wanita dengan
cedera sfingter menunjukkan bahwa kelompok yang menerima antibiotika
profilaksis saat reparasi memiliki angka insiden infeksi pada luka operasi 2
minggu post partum yang lebih rendah dan angka insiden keluarnya cairan
purulen dari luka operasi yang lebih rendah. Scottish Intercollegiate Guideline
Network juga merekomendasikan perioperatif antibiotik untuk mencegah
terlepasnya reparasi.3
8. Rasa tidak nyaman yang berat pada daerah perineum, biasanya yang menyertai
persalinan dengan alat, diyakini sebagai penyebab retensio uri dan diikuti oleh
regional anestesia yang bisa mencapai 12 jam sebelum sensasi berkemih
kembali. Foley kateter harus dipasang selama 24 jam kecuali dapat dipastikan
BAK spontan setiap 3 jam.
9. Temuan dan proses reparasi harus dicatat dengan terperinci. Menjabarkan
gambaran dari robekan sangat berguna pada saat catatan tersebut digunakan
untuk meninjau komplikasi, audit dan litigasi.

PERBANDINGAN ANTARA TEKNIK OVERLAPPING DAN END-TO-END


Meskipun Sultan dan kawan-kawan melaporkan hasil yang memuaskan
dengan teknik overlap, namun hal ini juga bisa mencerminkan keahlian operator.
Penelitian kontrol acak yang dilakukan oleh Fitzpatrick dan kawan-kawan,
melibatkan 112 wanita primipara. Tidak didapatkan perbedaan yang bermakna
antara kedua teknik tersebut, meskipun ada sedikit perbedaan akan keluhan yang
menetap dan fecal urgency pada kelompok end-to-end.1,20 Namun pada dasarnya
para peneliti setuju bahwa keluaran dari kedua teknik tersebut akan lebih baik
apabila terdapat pendidikan dan pelatihan reparasi sfingter ani.
Pada review penelitian Cochrane yang melibatkan 279 pasien dengan kasus
OASI membandingkan kedua teknik reparasi dalam hal nyeri perineum,
dispareunia, fecal urgency, inkontinensia flatus, inkontinensia alvi, deteriorasi
gejala inkontinensia alvi dan kualitas hidup. Dengan data yang terbatas memberikan
kesimpulan bahwa teknik reparasi overlap memliki risiko fecal urgency gejala
inkontinensi alvi yang lebih rendah. Namun oleh karena keahlian ahli bedah yang
melakukan reparasi tidak diketahui maka tidak cukup bukti untuk
merekomendasikan teknik mana yang lebih baik.4
Dalam panduan RCOG memberikan rekomendasi A dalam penggunaan
teknik overlap atau end-to-end untuk reparasi sfingter ani eksterna, oleh karena
outcome yang dihasilkan sama.5
Randomized Control Trial yang dilakukan oleh Fernando dan kawan-kawan,
yang membanding kedua teknik reparasi tersebut yang dilakukan terhadap 64 kasus
OASI dari bulan Desember 1998 sampai November 2000, dilakukan di
Staffordshire Hospital di Inggris. Tiga puluh dua kasus direparasi dengan teknik
overlap, sedangkan 32 kasus lainnya direparasi dengan teknik end-to-end. Reparasi
dilakukan oleh dua dokter yang telah dilatih untuk melakukan kedua teknik
tersebut. Kemudian dilakukan follow up pasca reparasi pada minggu ke-6, bulan ke-
3, bulan ke-6 dan bulan ke-12. Didapatkan hasil bahwa kejadian inkontinensia alvi,
fecal urgency dan nyeri perineum lebih rendah secara signifikan dibandingkan
dengan teknik end-to-end. Dan selama follow up keluhan-keluhan tersebut
membaik pada kelompok teknik overlap, sedangkan pada teknik end-to-end
keluhan-keluhan tersebut menetap.21

4.3. PERAWATAN PASCA REPARASI


Pada perawatan pasien di ruangan rawat inap setelah tindakan, penanganan yang
perlu perhatikan adalah pemberian antibiotika, pelunak feses dan perineal higiene.
1. Pemberian antibiotika broad-spectrum peroral selama 1 minggu untuk
mengurangi kejadian infeksi post operatif dan wound dehiscence. Infeksi pada
luka operasi akan meningkatkan kejadian inkontinensia alvi dan terbentuk fistel.
Pemberian Metronidazol juga dipertimbangkan bila ada kemungkinan
kontaminasi feses pada luka operasi.1,5
2. Penggunaan laksatif berhubungan dengan nyeri yang lebih ringan serta
pemulangan pasien dari rumah sakit lebih cepat dibandingkan dengan
penggunaan regimen constipating. Pada survey nasional terbaru di Inggris, 94%
para ahli obstetri merekomendasikan laksatif.3 Feses yang keras dapat
mengganggu reparasi, pelunak feses seperti lactulosa (15 ml dua kali per hari)
dan debulging agent, seperti Fybogel (dua kali satu bungkus per hari) harus
diberikan selama minimal 2 minggu setelah operasi. Kolostomi masih
dikerjakan oleh beberapa praktisi yang berpendapat bahwa feses dapat
mengganggu reparasi mukosa rektum dan otot sfingter yang baru. Namun pada
sebuah penelitian prospektif, acak, surgeon-blind didapatkan bahwa keluaran
dari bedah rekonstruksi anorektal tidak dipengaruhi oleh dilakukannya
kolostomi dan sangat sedikit dipengaruhi oleh benturan feses. Oleh karena itu
penting untuk dipastikan bahwa pasien dapat defekasi sebelum dipulangkan dari
rumah sakit.
3. Saat dipulangkan dari rumah sakit, pasien harus mendapatkan nasihat mengenai
higiene umum, latihan-latihan dasar panggul dan bagaimana menghindari
kontipasi dari seorang fisioterapis.3 Pasien harus paham akan dampak dari
robekan dan tahu bagaimana mencari bantuan jika terjadi gejala infeksi atau
inkontinensia.

4.4. PEMANTAUAN PASCA REPARASI


Pollack dan kawan-kawan mendapatkan bahwa primipara dengan OASI
yang telah direparasi, 44% akan mengalami kejadian inkontinensia alvi dengan
berbagai derajat dalam waktu 9 bulan post partum dan angka kejadian akan
meningkat menjadi 55% pada pemantauan 5 tahun post partum.22 Namun belum
jelas kapan dan berapa lama waktu yang optimal untuk pemantau dan sampai saat
ini masih belum ada penelitian yang membandingkan penerapan pemantau yang
berbeda-beda.
Royal College of Obstetricians and Gynaecologists merekomendasikan
untuk menawarkan fisioterapi dan latihan dasar panggul kepada pasien setelah 6
sampai 12 minggu pasca reparasi sfingter ani dan juga dilakukan evaluasi oleh
seorang konsultan setelah 6 sampai 12 minggu setelah melahirkan.3
Pertimbangannya adalah bahwa segera setelah persalinan maka kekuatan sfingter
ani akan jauh berkurang, baik dengan atau tanpa OASI, dan berangsur-angsur mulai
kembali setelah 3 bulan persalinan.
Beberapa rumah sakit mendirikan klinik perineal multidisiplin untuk
memastikan bahwa pasien mendapat pemantauan yang baik. Penting untuk
mengetahui bagaimana buang air berat, buang air kecil dan fungsi sexual. Dengan
anamnesis sering agak susah mengetahui OASI oleh karena keluhan inkontinensia
alvi merupakan keluhan yang memalukan dan sering disembunyikan oleh penderita,
maka perlu dilakukan dengan menggunakan kuestioner.1 Fecal Continence Scoring
Scale (Tabel 3) merupakan cara objektif untuk menilai ada inkontinensia alvi.2 Bisa
juga dengan menggunakan Cleveland Clinic Incontinence Score (Tabel 4).23
Apabila masih didapatkan inkontinensia alvi pada 9 bulan pasca persalinan
merupakan prediktor penting terjadinya gejala yang menetap.22

Tabel 4.1. Fecal Continence Scoring Scale 2


Tabel 4.2. Cleveland Clinic Incontinence Score 22

Satu sampai dua minggu setelah reparasi, dilakukan pemeriksaan vagina dan
rektal perlu dilakukan untuk memeriksa penyembuhan, nyeri pada jaringan parut
dan tonus dari sfingter ani. Idealnya, semua wanita menjalani anorektal manometri
dan endoanal ultrasonografi pada saat pemantauan. Pemeriksaan endoanal
ultrasonografi dan evaluasi anorektal manometri diperlukan untuk mendiagnosis
secara tepat. Namun apabila fasilitas tersebut tidak tersedia, maka wanita dengan
gejala dan secara klinis terdapat penurunan tonus atau kontraksi sfingter ani harus
dirujuk ke tempat dengan fasilitas yang lebih memadai dimana pemeriksaan yang
lebih baik dapat dilakukan.1

4.5. ANOREKTAL MANOMETRI 24


Jari tangan merupakan alat pengukur tekanan yang buruk, pemeriksaan
digital saja tidaklah akurat untuk mendiagnosa fungsi sfingter ani. Namun bukan
tidak mungkin untuk menilai fungsi motorik dan aktifitas sfingter ani. Anorektal
monometri merupakan alat terbaik dan telah banyak dipergunakan untuk menilai
inkontinensa alvi. Anorektal manometri dibuat untuk dapat mengukur defisit fungsi
sfingter ani, ada tidaknya refleks rektoanal dan fungsi sensoris rektal.
Adapun komponen alat anorektal manometri terdiri dari empat komponen
utama, yaitu:
1. Kateter intraluminal yang sensitif terhadap tekanan.
2. Transduser tekanan.
3. Sebuah balon untuk pengempisan pada rectum, yang berhubungan dengan
kateter.
4. Alat perekam/pencatat hasil.
Salah satu kelemahan terbesar penggunaan anorektal manometri adalah
tidak adanya keseragaman alat dan teknik penggunaan. Maka sebagai
konsekuensinya komparasi hasil yang berbeda didapatkan dari berbagai pusat
penelitian menjadi masalah dimana setiap institusi mengembangkan nilai kontrol
tersendiri.
Dengan menggunakan anorektal manometri (Gambar 9) kita dapat
mengevaluasi fungsi sfingter dengan mengukur resting pressure sfingter ani interna
dan voluntary pressure sfingter ani eksterna. Pada gangguan fungsi sfingter ani
akan tampak dengan adanya penurunan maximum resting anal pressure (MRAP)
dan penurunan maximum sgueeze pressure (MASP) pada pemeriksaan manometri.25

Gambar 4.6. Manometer Anorektal.24


Gambar 4.7 Hasil anorektal manometri pada sfingter ani normal saat resting pressure 24

Gambar 4.8 Hasil anorektal manometri pada sfingter ani normal saat voluntary pressure,
(tanda * = kenaikan voluntary pressure; tanda = maximum voluntary
pressure) 24

Gambar 4.9 Hasil anorektal manometri pada cedera sfingter ani saat resting pressure 24
Gambar 4.10 Hasil anorektal manometri pada cedera sfingter ani saat voluntary pressure 24

4.6. PROGNOSIS UNTUK KEHAMILAN BERIKUTNYA


Untuk memberikan konseling yang baik terhadap wanita dengan riwayat
cedera derajat tiga atau empat, maka data hasil kuesioner gejala, hasil anal
ultrasonografi dan hasil anorektal manometri perlu disertakan. Jika akan
direncanakan persalinan pervaginam maka perlu dilakukan pemeriksaan-
pemeriksaan tersebut di atas selama kehamilan saat ini kecuali bila sebelumnya
telah dilakukan dan hasilnya abnormal. Bukti terbaru menyarankan bila pada
pemeriksaan anal ultrasonografi didapatkan defek yang besar (lebih dari satu
kuadran) atau tekanan jepit sfingter ani kurang dari 20 mmHg maka risiko
terjadinya inkontinensia meningkat setelah melahirkan.
Pada wanita dengan inkontinensia ringan perlu dilakukan konseling dan
ditawarkan seksio sesarea. Inkontinensia ringan (fecal urgency atau flatus
inkontinensia) dapat dikontrol dengan pengaturan diet, obat kontipasi, fisioterapi
atau biofeedback.
Wanita dengan tanpa keluhan fungsi sfingter ani dapat disarankan untuk
menjalani persalinan pervaginam dengan penolong yang berpengalaman. Tidak
disarankan tindakan episiotomi profilaksis rutin pada persalinan berikutnya. Hasil
awal sebuah penelitian multicenter tidak mendukung pelaksanaan episiotomi
profilaksis rutin pada persalinan pervaginam berikutnya, sehingga episiotomi
dikerjakan jika ada indikasi klinis pada saat persalinan.1,5 Namun ada pula yang
tetap menawarkan untuk dilakukan sectio secarea oleh karena risiko cedera
perineum derajat tiga atau empat dapat timbul lagi bila menjalani persalinan
pervaginam.26 Pada semua pasien dengan riwayat OASI, perlu kita berikan
konseling tentang risiko terjadinya inkontinensia alvi ataupun perburukan dari
gejala inkontinensia yang terjadi apabila menjalani persalinan pervaginam pada
kehamilan berikutnya.5
Belum ada penelitian untuk mengetahui metode persalinan yang paling baik
pada pasien dengan riwayat cedera perinuem derajat tiga atau empat. Wanita
dengan riwayat reparasi sekunder sfingter ani oleh karena inkontinensia alvi harus
melahirkan dengan sectio secarea.15 Wanita yang pernah mengalami cedera
perineum derajat tiga atau empat diikuti dengan keluhan inkontinensia berat harus
ditawarkan reparasi sekunder sfingter ani yang dikerjakan oleh ahli bedah
kolorektal dan semua persalinan berikutnya harus dilakukan sectio secarea.

Gambar 4.11. Algoritma penanganan OASI 27


Beberapa wanita dengan inkontinensia alvi dapat memiliki anak terlebih
dahulu sampai jumlah anak cukup sebelum menjalani pembedahan sfingter ani.
Disarankan untuk melakukan persalinan pervaginam dengan alasan bahwa cedera
telah terjadi, risiko untuk kerusakan lebih lanjut minimal dan tidak mempengaruhi
keluaran dari reparasi. Keuntungannya adalah memperkecil risiko yang
berhubungan dengan sectio secarea pada kehamilan-kehamilan berikutnya.

4.7. PENCEGAHAN OASI


Pencegahan cedera perineum pada saat persalinan dan menurunkan serendah
mungkin kejadian OASI merupakan tantangan tersendiri bagi penolong persalinan.
Dalam beberapa dekade ini, penelitian-penelitian randomised controlled trial
(RCT) dan sistemik review telah dilakukan. Namun penelitian-penelitian terhadap
pencegahan cedera perineum masih terbatas. Secara umum, pencegahan OASI
adalah dengan mencegah terjadinya faktor risiko. Namun metode persalinan dengan
angka kejadian cedera perineum yang rendah perlu dicari dan dievaluasi. Beberapa
intervensi, dari penelitian RCT, yang berpotensi menurunkan kejadian cedera
perineum dapat diterapkan (Tabel 4.3).28
Tabel 4.3. Rangkuman penelitian RCT yang terbukti bermakna dalam mengurangi
cedera perineum.28
Seksio sesarea sering dianggap menjadi satu-satunya alternatif untuk
menghindari persalinan pervaginam dengan bantuan alat pada kasus persalinan
macet atau pada kasus dimana kelahiran harus yang segera terjadi. Namun
perlindungan dasar panggul dalam mencegah cedera sfingter ani, harus seimbang
dengan morbiditas yang bisa terjadi pada seksio sesarea.
Penelitian dilakukan oleh Minaglia dan kawan-kawan untuk menghitung
berapa jumlah seksio sesarea yang diperlukan untuk mencegah satu kasus OASI.
Penelitian dengan menggunakan data sekunder terhadap pasien dengan persalinan
macet dimana dapat ditangani dengan persalinan operatif pervaginam atau seksio
sesarea. Didapatkan 50 kasus OASI (23,9%) pada 209 pasien yang menjalani
persalinan operatif pervaginam, dan tidak didapatkan kasus OASI pada 254 pasien
yang mengalami seksio sesarea. Didapatkan absolute risk reduction (ARR) sebesar
23,9%, sehingga didapatkan number need to treat (NTT) sebesar 4,2 (confidence
interval 95%). Sehingga pada penelitian ini disimpulkan bahwa perlu 5 tindakan
seksio sesarea untuk mencegah terjadinya 1 kasus OASI pada persalinan operatif
pervaginam.29
BAB VI
RINGKASAN

Anatomi dari sfingter ani kurang diketahui dan dipahami oleh dokter dan bidan.
Sebuah klasifikasi cedera perineum telah diperkenalkan dan protokol untuk reparasi telah
diusulkan untuk memfasilitasi diagnosa dan penanganan cedera sfingter ani dengan tepat.
Pelatihan khusus merupakan syarat mutlak sebelum melaksanakan reparasi sfingter.
Reparasi sfingter harus dilaksanakan atau disupervisi oleh ahli yang berpengalaman dan
harus dicatat dengan seksama apa yang ditemukan dan teknik reparasi yang dikerjakan.
Follow up dan komunikasi yang baik dengan pasien, keluarga pasien dan dokter pribadi
pasien merupakan hal yang mendasar. Karena seksio sesarea bukan merupakan tindakan
tanpa morbiditas dan mortalitas, maka konseling yang tepat mengenai rekomendasi
tentang cara persalinan perlu dilakukan berkaitan dengan kehamilan berikutnya.
DAFTAR PUSTAKA

1. Thakar R, Sultan AH. Manajement of obstetric anal sphincter injury. The Obstetrician
and Gynaecologist 2003;5:72-8.
2. Power D, Fitzpatrick M, OHerlihy C. Obstetric anal sphincter injury : How to avoid,
how to repair : A literature review. The Journal of Family Practice 2006;55(3):193-
200.
3. Abbott D, Robert NA, Williams A, Ntim EO, Chappel LC. Obstetric anal sphinter
injury. BMJ 2010;341:140-5.
4. Fernando R, Sultan AH, Kettle C, Thakar R, Radley S. Methode of repair for
obstetric anal sphincter injury. The Cochrane Library 2007, Issue 4.
5. Fernando RJ, Williams AA, Adams EJ. The Management of Third- and Fourth-
Degree Perineal Tears. RCOG Green-top Guideline No. 29. March 2007.
6. Labor and Normal Delivery. In : Cunningham FG, Leveno KJ ed, William Obstetric
23rd. Chapter 17
7. Carroll TG, Engelken M, Mosier MC, Nazie N. Epidural analgesia and severe
Perineal laceration in a community-based obstetric practice. J Am Board Fam Prac
2003;16:1-6.
8. Andrews V, Sultan AH, Thakar R, Jones P. Occult anal sphincter injuries myth or
reality? Br J Obstet Gynaecol 2006;113:195200.
9. Sultan AH, Kettle C. Diagnosis of Perineal Trauma. In: Sultan AH, Thakar R, Fenner
DE, ed. Perineal and Anal Sphincter Trauma. London. Springer-Verlag 2007; 13-19.
10. Sultan AH, Kamm MA, Hudson CN, Thomas JM, Bartram CI. Anal sphincter
disruption during vaginal delivery. N Engl J Med 1993;329:190511.
11. Zetterstrom J, Mellgren A, Jensen LJ, Wong WD, Kim DG, Lowry AC, Madoff RD,
Congilosi SM. Effect of delivery on anal sphincter morphology and function. Dis
Colon Rectum 1999;42:125360.
12. Rieger N, Schloithe A, Saccone G, Wattchow D. A prospective study of anal
sphincter injury due to childbirth. Scand J Gastroenterol 1998;33:9505.
13. Groom KM, Paterson-Brown S. Can we improve on the diagnosis of third degree
tears? Eur J Obstet Gynecol Reprod Biol 2002;101(1):1921.
14. Sultan AH, Kamm MA, Hudson CN. Obstetric perineal tears: an audit of training. J
Obstet Gynaecol 1995;15:1923.
15. Lal M, Mann Ch, Callender R, Radley S. Does cesarean delivery prevent anal
incontinence? Obstet Gynecol 2003;101:30512.
16. Benifl a JL, Abramowitz L, Sobhani I et al. Postpartum sphincter rupture and anal
incontinence: prospective study with 259 patients. Gynecol Obstet Fertil
2000;28(1):1522.
17. Bartram C, Sultan AH. Imaging of The Anal Sphincter. In: Sultan AH, Thakar R,
Fenner DE, ed. Perineal and Anal Sphincter Trauma. London. Springer-Verlag
2007;123-132
18. Cornelia L, Stephan B, Michel B, Antoine W, Felix K. Trans-perineal versus endo-
anal ultrasound in the detection of anal sfingter tears. Eur J Obstet Gynecol Reprod
Biol 2002;103:79-82.
19. Mega Putra G. Penanganan Terkini Ruptur Perineum Totalis. In: Adnyana P, Budiana
G ed. Buku Materi PKB ke-4 Obgin. Denpasar. SMF Obgin/FK Unud. 2009.
20. Garcia V, Rogers RG, Kim SS, Hall RJ, Kammerer-Doak DN. Primary repair of
obstetric anal sphincter laceration: A randomized trial of two surgical techniques.
American Journal of Obstetric and Gynecology. 2005;192:1697-701.
21. Fernando RJ, Sultan AH, Kettle C, Radley S, Jones P, OBrien PMS. Repair
Technique for Obstetric Anal Sphincter Injuries: A Randomized Control Trial. Obstet
Gynecol 2006;107:1261-8.
22. Pollack J, Nordenstam J, Brisman S, Lopez A, Altman D, Zetterstrom J. Anal
Incontinence After Vaginal Delivery: A Five-Year Prospective Cohort Study. Obstet
Gynecol 2004;104:1397-1402.
23. Cawich SO, Mitchell DIG, Martin A, Brown H, DaCosta VE, Lewis T, Newnham M,
Christie L. Management of Obstetric Anal Sphincter Injuries at the University
Hospital of the West Indies. West Indian Med J 2008;57(5):482-5.
24. Scott SM, Lunniss PJ. Investigations of Anorectal Function. In: Sultan AH, Thakar R,
Fenner DE, ed. Perineal and Anal Sphincter Trauma. London. Springer-Verlag
2007;102-122
25. Yilmaz E, Nas T, Korucuoglu U, Guler I. Manometric evaluation of anal sphincter
function after vaginal and cesarean delivery. International Journal of Gynecology and
Obstetrics 2008;103:162-5.
26. Heit M, Mudd K, Cullinga P. Prevention of Childbirth Injuries to the Pelvic Floor.
Current Womens Health Report. 2001;1:72-80.
27. Sultan AH, Thakar R. Third and Fourth Degree Tears. In: Sultan AH, Thakar R,
Fenner DE, ed. Perineal and Anal Sphincter Trauma. London. Springer-Verlag
2007;33-51.
28. Thakar R, Eason E. Prevention of Perineal Trauma. In: Sultan AH, Thakar R, Fenner
DE, ed. Perineal and Anal Sphincter Trauma. London. Springer-Verlag 2007;52-64.
29. Minaglia SM, Kimata C, Soules KA, Pappas T, Oyama IA. Defining an at-risk
population for Obstetric Anal Sphincter Laceration. American Journal of Obstetric
and Gynecology. November 2009;526:e1-6.

Anda mungkin juga menyukai