2011
BAB I
PENDAHULUAN
2.1. DEFINISI
Cedera pada sfingter ani eksterna maupun interna yang disebabkan oleh
proses persalinan. Berdasarkan klasifikasi cedera perineum menurut Royal College
Obstetric and Gynecology (RCOG) (Tabel 3.1), maka OASI identik dengan cedera
perineum derajat tiga dan empat.3
2.2. EPIDEMIOLOGI
Angka kejadian ruptur perineum derajat tiga dan empat sangat bervariasi.
Dilaporkan bahwa angka kejadiannya di negara-negara Eropa berkisar antara 0,5%
sampai dengan 3,0%. Di Amerika angka kejadiannya berkisar antara 5,85% sampai
dengan 8,9%. Pada tahun 1993 di Inggris didapatkan angka kejadiannya hanya 3%,
dan hanya sepertiga mengalami gangguan buang air besar. Namun dengan semakin
maju pengetahuan dan teknologi kedokteran, penelitian terbaru di Inggris
2
mendapatkan angka kejadian cedera sfingter sebesar 24,5%. Di Indonesia belum
ada penelitian yang mencari angka kejadian OASI.
3.1. KLASIFIKASI
Menurut Sultan yang kemudian diadopsi oleh RCOG dan the International
Consultation on Incontinence, klasifikasi ruptur perineum dibagi berdasarkan
derajat rupturnya.1,2,4,5 (Tabel 3.1)
Gambar 3.3. Robekan buttonhole, robekan pada mukosa rektum (panah kuning)
tetapi sfingter ani eksterna utuh.9
(a) (b) (c)
Gambar 3.4. (a) Cedera sfingter ani derajat tiga dengan kulit perineum yang utuh,
(b) Robekan bucket handle tampak di belakang kulit perineum yang utuh,
(c) Tampak sfingter ani eksterna yang robek.9
7. Untuk menegakkan diagnosa OASI, inspeksi yang baik sangat diperlukan dan
cedera harus dikonfirmasi dengan palpasi. Dengan memasukkan jari telunjuk ke
anus dan ibu jari ke vagina, sfingter ani dapat diraba dengan pill-rolling
movement. Jika ada keraguan ibu diperintahkan untuk mengkontraksikan
sfingter ani dan jika sfingter ani mengalami cedera, akan terasa adanya gap pada
bagian anterior. Bila kulit perineum utuh, maka tidak akan terasa kedutan pada
kulit perianal anterior. Hal ini tidak bisa terjadi bila pasien dalam keadaan
pembiusan regional atau umum. Jika sfingter ani eksternal dalam keadaan
kontraksi tonik, maka cedera yang terjadi akan membuat ujung sfingter tertarik
ke dalam. Untuk itu ujung sfingter ani perlu dicari dan dipegang. Sfingter ani
interna juga perlu diidentifikasi dan bila cedera perlu direparasi tersendiri.
8. Sfingter ani interna merupakan otot polos sirkular (Gambar 3.5) yang tampak
lebih pucat (seperti daging ikan mentah) dari otot lurik sfingter ani eksterna
(seperti daging merah mentah). Pada keadaan normal, ujung distal sfingter ani
interna terletak beberapa milimeter proksimal dari ujung distal sfingter ani
ekaterna. Namun jika sfingter ani eksterna dalam keadaan relaksasi oleh karena
pembiusan regional atau umum, maka ujung distal sfingter ani interna akan
tampak lebih rendah. Jika sfingter ani interna atau mukosa rectum mengalami
robekan, maka sfingter ani eksterna dapat dipastikan juga mengalami robekan.
SAI
SAE
Mukosa Rektum
Gambar 3.5. Ruptur perineum derajat 3b. Sfingter ani interna (SAI) masih
utuh. Sfingter ani eksterna (SAE) dipegang oleh klem Allis.
Tampak SAI lebih pucat dari SAE.9
Gambar 3.7 USG endoanal pada struktur sfingter yang normal (ANT: anterior,
IAS: Internal Anal Sphincter, LM: Lapisan Longitudinal, EAS:
External Anal Sphincter).17
EAUS merupakan salah satu metode untuk mengeksplorasi otot sfingter ani,
mengukur ketebalan dan keutuhan serta mendeteksi adanya jaringan parut atau
diskontinuitas jaringan otot (Gambar 3.8 dan 3.9). Saat ini EAUS merupakan
metode yang terbaik untuk evaluasi sfingter ani post partum. Namun metode ini
memerlukan peralatan khusus dan tidak dilakukan secara rutin setelah melahirkan.
Gambar 3.8. Lesi sfingter ani eksterna pada Endo-anal Ultrasonografi (EAUS)
(A) endoanal sebelum reparasi menunjukkan adanya defek sfingter
ani pada arah jam 12 ; (B) setelah reparasi dengan teknik overlap
pada sfingter ani eksterna.3
Berdasarkan hal tersebut, Sultan dan rekan memaparkan teknik overlap untuk
cedera sfingter ani eksterna dan aproksimasi sfingter ani yang terpisah.
Identifikasi ujung otot sfingter ani eksterna yang terkoyak, ujung tersebut
dipegang dengan klem Allis. Untuk melakukan teknik overlap, otot sfingter ani
eksterna harus dibuat mobile, sehingga otot tersebut perlu dilakukan deseksi
dengan jaringan sekitarnya di sisi lateral dengan menggunakan gunting
McIndoe. Sfingter ani eksterna dipegang dengan klem Allis dan ditarik hingga
overlap atau menumpuk ujung satu dengan ujung yang lain. Kemudian dijahit
dengan teknik overlap (Gambar 4.3) dengan menggunakan benang PDS 3-0.
Identifikasi lebar seluruh otot sfingter ani eksterna sangatlah penting untuk
memastikan aproksimasi atau overlap secara keseluruhan.
Gambar 4.4. Ilustrasi untuk menggambarkan teknik overlap pada reparasi cedera
sfingter eksterna. Jahitan pertama dimasukan pada 1,5 cm dari ujung
sfingter ani yang terkoyak (panah hijau) dan dilanjutkan jahitan pada
0,5 cm dari ujung sfingter ani yang lainnya.1
Salah satu keuntungan dari teknik overlap adalah bahwa untuk melakukan
teknik tersebut maka seluruh lebar sfingter ani harus terlihat dan memungkinkan
kontak permukaan otot menjadi lebih luas. Apabila terjadi retraksi pada otot
setelah reparasi, maka dengan teknik overlap keutuhan reparasi masih bisa
dipertahankan dibandingkan dengan teknik end-to-end.
Dengan teknik overlap, kejadian aposisi inkomplit (Gambar 4.5) lebih jarang
terjadi dibandingkan dengan teknik end-to-end. Aposisi inkomplit dapat
menyebabkan pemendekan panjang anus yang merupakan prediktor terbaik
inkontinensia alvi. Penemdekan panjang anus sering terjadi pada reparasi
dengan menggunakan teknik end-to-end.
Gambar 4.5 Ilustrasi aposisi inkomplit, merupakan keluaran yang jelek, yang dapat
terjadi pada penggunaan teknik end-to-end.1
5. Penanganan yang baik harus terus dilatih dalam melakukan rekonstruksi otot
perineum untuk mendukung reparasi sfingter. Sedikit kekurangan dalam
perawatan perineum akan membuat sfingter ani lebih rawan terhadap trauma
pada persalinan pervaginam berikutnya. Otot pada perineum dijahit satu-satu
dengan benang Vicril 2-0, kemudian penutupan lapisan epitel vagina secara
jelujur dengan benang Vicril 3-0. Dan terakhir, kulit perineum dijahit jelujur
subkutikuler dengan benang Vicril 3-0 dimana keuntungan dari teknik ini
adalah nyeri perineum yang lebih ringan, jarak luka yang dekat dan tidak perlu
melepas benang.
6. Pemeriksaan rektovaginal harus dilakukan untuk konfirmasi perbaikan
perineum dan memastikan semua tampon dan kasa telah keluar.
7. Antibiotika intravenous harus diberikan saat operasi dan dilanjutkan peroral
selama satu minggu. Bukti dari sebuah penelitian acak terhadap wanita dengan
cedera sfingter menunjukkan bahwa kelompok yang menerima antibiotika
profilaksis saat reparasi memiliki angka insiden infeksi pada luka operasi 2
minggu post partum yang lebih rendah dan angka insiden keluarnya cairan
purulen dari luka operasi yang lebih rendah. Scottish Intercollegiate Guideline
Network juga merekomendasikan perioperatif antibiotik untuk mencegah
terlepasnya reparasi.3
8. Rasa tidak nyaman yang berat pada daerah perineum, biasanya yang menyertai
persalinan dengan alat, diyakini sebagai penyebab retensio uri dan diikuti oleh
regional anestesia yang bisa mencapai 12 jam sebelum sensasi berkemih
kembali. Foley kateter harus dipasang selama 24 jam kecuali dapat dipastikan
BAK spontan setiap 3 jam.
9. Temuan dan proses reparasi harus dicatat dengan terperinci. Menjabarkan
gambaran dari robekan sangat berguna pada saat catatan tersebut digunakan
untuk meninjau komplikasi, audit dan litigasi.
Satu sampai dua minggu setelah reparasi, dilakukan pemeriksaan vagina dan
rektal perlu dilakukan untuk memeriksa penyembuhan, nyeri pada jaringan parut
dan tonus dari sfingter ani. Idealnya, semua wanita menjalani anorektal manometri
dan endoanal ultrasonografi pada saat pemantauan. Pemeriksaan endoanal
ultrasonografi dan evaluasi anorektal manometri diperlukan untuk mendiagnosis
secara tepat. Namun apabila fasilitas tersebut tidak tersedia, maka wanita dengan
gejala dan secara klinis terdapat penurunan tonus atau kontraksi sfingter ani harus
dirujuk ke tempat dengan fasilitas yang lebih memadai dimana pemeriksaan yang
lebih baik dapat dilakukan.1
Gambar 4.8 Hasil anorektal manometri pada sfingter ani normal saat voluntary pressure,
(tanda * = kenaikan voluntary pressure; tanda = maximum voluntary
pressure) 24
Gambar 4.9 Hasil anorektal manometri pada cedera sfingter ani saat resting pressure 24
Gambar 4.10 Hasil anorektal manometri pada cedera sfingter ani saat voluntary pressure 24
Anatomi dari sfingter ani kurang diketahui dan dipahami oleh dokter dan bidan.
Sebuah klasifikasi cedera perineum telah diperkenalkan dan protokol untuk reparasi telah
diusulkan untuk memfasilitasi diagnosa dan penanganan cedera sfingter ani dengan tepat.
Pelatihan khusus merupakan syarat mutlak sebelum melaksanakan reparasi sfingter.
Reparasi sfingter harus dilaksanakan atau disupervisi oleh ahli yang berpengalaman dan
harus dicatat dengan seksama apa yang ditemukan dan teknik reparasi yang dikerjakan.
Follow up dan komunikasi yang baik dengan pasien, keluarga pasien dan dokter pribadi
pasien merupakan hal yang mendasar. Karena seksio sesarea bukan merupakan tindakan
tanpa morbiditas dan mortalitas, maka konseling yang tepat mengenai rekomendasi
tentang cara persalinan perlu dilakukan berkaitan dengan kehamilan berikutnya.
DAFTAR PUSTAKA
1. Thakar R, Sultan AH. Manajement of obstetric anal sphincter injury. The Obstetrician
and Gynaecologist 2003;5:72-8.
2. Power D, Fitzpatrick M, OHerlihy C. Obstetric anal sphincter injury : How to avoid,
how to repair : A literature review. The Journal of Family Practice 2006;55(3):193-
200.
3. Abbott D, Robert NA, Williams A, Ntim EO, Chappel LC. Obstetric anal sphinter
injury. BMJ 2010;341:140-5.
4. Fernando R, Sultan AH, Kettle C, Thakar R, Radley S. Methode of repair for
obstetric anal sphincter injury. The Cochrane Library 2007, Issue 4.
5. Fernando RJ, Williams AA, Adams EJ. The Management of Third- and Fourth-
Degree Perineal Tears. RCOG Green-top Guideline No. 29. March 2007.
6. Labor and Normal Delivery. In : Cunningham FG, Leveno KJ ed, William Obstetric
23rd. Chapter 17
7. Carroll TG, Engelken M, Mosier MC, Nazie N. Epidural analgesia and severe
Perineal laceration in a community-based obstetric practice. J Am Board Fam Prac
2003;16:1-6.
8. Andrews V, Sultan AH, Thakar R, Jones P. Occult anal sphincter injuries myth or
reality? Br J Obstet Gynaecol 2006;113:195200.
9. Sultan AH, Kettle C. Diagnosis of Perineal Trauma. In: Sultan AH, Thakar R, Fenner
DE, ed. Perineal and Anal Sphincter Trauma. London. Springer-Verlag 2007; 13-19.
10. Sultan AH, Kamm MA, Hudson CN, Thomas JM, Bartram CI. Anal sphincter
disruption during vaginal delivery. N Engl J Med 1993;329:190511.
11. Zetterstrom J, Mellgren A, Jensen LJ, Wong WD, Kim DG, Lowry AC, Madoff RD,
Congilosi SM. Effect of delivery on anal sphincter morphology and function. Dis
Colon Rectum 1999;42:125360.
12. Rieger N, Schloithe A, Saccone G, Wattchow D. A prospective study of anal
sphincter injury due to childbirth. Scand J Gastroenterol 1998;33:9505.
13. Groom KM, Paterson-Brown S. Can we improve on the diagnosis of third degree
tears? Eur J Obstet Gynecol Reprod Biol 2002;101(1):1921.
14. Sultan AH, Kamm MA, Hudson CN. Obstetric perineal tears: an audit of training. J
Obstet Gynaecol 1995;15:1923.
15. Lal M, Mann Ch, Callender R, Radley S. Does cesarean delivery prevent anal
incontinence? Obstet Gynecol 2003;101:30512.
16. Benifl a JL, Abramowitz L, Sobhani I et al. Postpartum sphincter rupture and anal
incontinence: prospective study with 259 patients. Gynecol Obstet Fertil
2000;28(1):1522.
17. Bartram C, Sultan AH. Imaging of The Anal Sphincter. In: Sultan AH, Thakar R,
Fenner DE, ed. Perineal and Anal Sphincter Trauma. London. Springer-Verlag
2007;123-132
18. Cornelia L, Stephan B, Michel B, Antoine W, Felix K. Trans-perineal versus endo-
anal ultrasound in the detection of anal sfingter tears. Eur J Obstet Gynecol Reprod
Biol 2002;103:79-82.
19. Mega Putra G. Penanganan Terkini Ruptur Perineum Totalis. In: Adnyana P, Budiana
G ed. Buku Materi PKB ke-4 Obgin. Denpasar. SMF Obgin/FK Unud. 2009.
20. Garcia V, Rogers RG, Kim SS, Hall RJ, Kammerer-Doak DN. Primary repair of
obstetric anal sphincter laceration: A randomized trial of two surgical techniques.
American Journal of Obstetric and Gynecology. 2005;192:1697-701.
21. Fernando RJ, Sultan AH, Kettle C, Radley S, Jones P, OBrien PMS. Repair
Technique for Obstetric Anal Sphincter Injuries: A Randomized Control Trial. Obstet
Gynecol 2006;107:1261-8.
22. Pollack J, Nordenstam J, Brisman S, Lopez A, Altman D, Zetterstrom J. Anal
Incontinence After Vaginal Delivery: A Five-Year Prospective Cohort Study. Obstet
Gynecol 2004;104:1397-1402.
23. Cawich SO, Mitchell DIG, Martin A, Brown H, DaCosta VE, Lewis T, Newnham M,
Christie L. Management of Obstetric Anal Sphincter Injuries at the University
Hospital of the West Indies. West Indian Med J 2008;57(5):482-5.
24. Scott SM, Lunniss PJ. Investigations of Anorectal Function. In: Sultan AH, Thakar R,
Fenner DE, ed. Perineal and Anal Sphincter Trauma. London. Springer-Verlag
2007;102-122
25. Yilmaz E, Nas T, Korucuoglu U, Guler I. Manometric evaluation of anal sphincter
function after vaginal and cesarean delivery. International Journal of Gynecology and
Obstetrics 2008;103:162-5.
26. Heit M, Mudd K, Cullinga P. Prevention of Childbirth Injuries to the Pelvic Floor.
Current Womens Health Report. 2001;1:72-80.
27. Sultan AH, Thakar R. Third and Fourth Degree Tears. In: Sultan AH, Thakar R,
Fenner DE, ed. Perineal and Anal Sphincter Trauma. London. Springer-Verlag
2007;33-51.
28. Thakar R, Eason E. Prevention of Perineal Trauma. In: Sultan AH, Thakar R, Fenner
DE, ed. Perineal and Anal Sphincter Trauma. London. Springer-Verlag 2007;52-64.
29. Minaglia SM, Kimata C, Soules KA, Pappas T, Oyama IA. Defining an at-risk
population for Obstetric Anal Sphincter Laceration. American Journal of Obstetric
and Gynecology. November 2009;526:e1-6.