Anda di halaman 1dari 43

1.

MM peranan insulin dalam tubuh manusia


1.1 struktur kimia insulin, sintesis dan sekresi dalam tubuh manusia normal
Struktur
Insulin merupakan polipeptida yang terdiri dari 2 rantai, yaitu rantai A dan rantai B. Rantai A
terdiri dari 21 asam amino, rantai B terdiri dari 30 asam amino. Kedua rantai trsebut dihubungkan oleh
jembatan disulfida, yaitu pada A7 dengan B7 dan pada A20 dengan B19. Ada pula jembatan disulfida intra
rantai pada rantai A yaitu pada A6 dan A11. Posisi ketiga jembatan tersebut selalu tetap. Kadang terjadi
substitusi asam amino terutama pada rantai A posisi 8, 9, 10 namun tidak mempengaruhi bioaktivitas
rangkaian tesebut.

Struktur Primer rantai insulin :


1. Rantai A (21 residu asam amino):
2. Rantai B (30 residu asam amino):
Struktur Sekunder rantai insulin :
1. Rantai A tersusun cukup rapat, mengandung 2 bag - helix (A2 Ile - A8 Thr dan A13
Leu - A19 Tyr)
2. Rantai B mengandung bag - helix yg lebih besar (B9 Ser- B19 Cys) dan residu Glisin
yg lebih kecil pada 20 dan 23 menyebabkannya melipat dan membentuk huruf V
Struktur tersier
Struktur Tersier dari insulin distabilkan oleh ikatan disulfida. Pada struktur insulin
terdapat 6 sistein sehingga terbentuk 3 ikatan disulfida : 2 antara rantai A dan B (antara A7&B7
dan A20&B19) dan satu dalam rantai A (A6&A11).

Proses Sintesis dan Sekresi Insulin


Insulin merupakan hormon yang terdiri dari rangkaian asam amino, dihasilkan oleh sel beta kelenjar
pankreas. Dalam keadaan normal, bila ada rangsangan pada sel beta, insulin disintesis dan kemudian
disekresikan kedalam darah sesuai kebutuhan tubuh untuk keperluan regulasi glukosa darah. Secara
fisiologis, regulasi glukosa darah yang baik diatur bersama dengan hormone glukagon yang disekresikan
oleh sel alfa kelenjar pankreas.
Sintesis insulin dimulai dalam bentuk preproinsulin (precursor hormon insulin) pada retikulum
endoplasma sel beta. Dengan bantuan enzim peptidase, preproinsulin mengalami pemecahan sehingga
terbentuk proinsulin, yang kemudian dihimpun dalam gelembung-gelembung
(secretory vesicles) dalam sel tersebut. Di sini, sekali lagi dengan bantuan enzim peptidase, proinsulin
diurai menjadi insulin dan peptida-C (C-peptide) yang keduanya sudah siap untuk disekresikan secara
bersamaan melalui membran sel.
Mekanisme di atas diperlukan bagi berlangsungnya proses metabolisme secara normal, karena fungsi
insulin memang sangat dibutuhkan dalam proses utilisasi glukosa yang ada dalam darah. Kadar glukosa
darah yang meningkat, merupakan komponen utama yang memberi rangsangan terhadap sel beta dalam
memproduksi insulin. Disamping glukosa, beberapa jenis asam amino dan obat-obatan, dapat pula
memiliki efek yang sama dalam rangsangan terhadap sel beta. Mengenai bagaimana mekanisme
sesungguhnya dari sintesis dan sekresi insulin setelah adanya rangsangan tersebut, merupakan hal yang
cukup rumit dan belum sepenuhnya dapat dipahami secara jelas.
Diketahui ada beberapa tahapan dalam proses sekresi insulin, setelah adanya rangsangan oleh molekul
glukosa. Tahap pertama adalah proses glukosa melewati membrane sel. Untuk dapat melewati membran
sel beta dibutuhkan bantuan senyawa lain. Glucose transporter (GLUT) adalah senyawa asam amino yang
terdapat di dalam berbagai sel yang berperan dalam proses metabolisme glukosa. Fungsinya sebagai
kendaraan pengangkut glukosa masuk dari luar kedalam sel jaringan tubuh. Glucose transporter 2
(GLUT 2) yang terdapat dalam sel beta misalnya, diperlukan dalam proses masuknya glukosa dari dalam
darah, melewati membran, ke dalam sel. Proses ini penting bagi tahapan selanjutnya yakni molekul
glukosa akan mengalami proses glikolisis dan fosforilasi didalam sel dan kemudian membebaskan molekul
ATP. Molekul ATP yang terbentuk, dibutuhkan untuk tahap selanjutnya yakni proses mengaktifkan
penutupan K channel pada membran sel. Penutupan ini berakibat terhambatnya pengeluaran ion K dari
dalam sel yang menyebabkan terjadinya tahap depolarisasi membran sel, yang diikuti kemudian oleh tahap
pembukaan Ca channel. Keadaan inilah yang memungkinkan masuknya ion Ca sehingga menyebabkan
peningkatan kadar ion Ca intrasel. Suasana ini dibutuhkan bagi proses sekresi insulin melalui mekanisme
yang cukup rumit dan belum seutuhnya dapat dijelaskan.( Gambar 1 )
Seperti disinggung di atas, terjadinya aktivasi penutupan K channel tidak hanya disebabkan oleh
rangsangan ATP hasil proses fosforilasi glukosa intrasel, tapi juga dapat oleh pengaruh beberapa faktor
lain termasuk obat-obatan. Namun senyawa obat-obatan tersebut, misalnya obat anti diabetes sulfonil urea,
bekerja pada reseptor tersendiri, tidak pada reseptor yang sama dengan glukosa, yang disebut
sulphonylurea receptor (SUR) pada membran sel beta.

Glucose Ca2+
K+ Insuli
Channel
GLUT-2 n
channel Opens
Relea
shut se

Glucose K+

Glucose-6- Insulin + C peptide

Depolarizati Cleava
phosphate
ge
ATP on
Proinsulin
enzym
es
of
Glucose
membrane preproinsu
signaling
lin
B. cell Insulin
Preproinsu
Synthesis
lin
Gambar Mekanisme sekresi insulin pada sel beta akibat stimulasi
Glukosa (Kramer, 95)

Dinamika sekresi insulin


1.2 faktor yang menstimulasi dan menghambat sekresi insulin

Faktor yang Mempengaruhi Sekresi Insulin

FAKTOR YANG MENINGKATKAN SEKRESI FAKTOR YANG MENURUNKAN


INSULIN SEKRESI INSULIN

Peningkatan glukosa darah Penurunan kadar glukosa darah

Peningkatan asam lemak bebas Keadaan puasa

Peningkatan asam amino Somatostatin

Hormon gastrointestinal (gastrin, kolesistokinin, Aktivitas alfa adrenergic


sekretin, gastric inhibitory product (GIP)

Hormon glukagon, hormon pertumbuhan, kortisol Leptin

Stimulasi parasimpatis (asetilkolin) dan beta adrenergik

Keadaan resistensi insulin: obesitas

Obat-obatan: sulfonilurea

Kaskade Sekresi Insulin

Konsentrasi asam
amino darah
Hormon pencernaan Konsentrasi glukosa
darah

Kontrol utama
Asupan makanan

Sel-sel pulau Stimulasi simpatis


Stimulasi Langerhans (dan epinefrin)
parasimpatis

Sekresi Insulin

Glukosa darah, Asam lemak darah, Asam amino darah, Sintesis protein,
Penyimpanan bahan bakar

Sekresi insulin diatur tidak hanya oleh konsentrasi glukossa darah, tapi oleh asam amino dan faktor-
faktor lain.
Faktor-faktor lain yang merangsang sekresi insulin:

Asam amino: yang berpengaruh kuat adalah arginin dn lisin. Pemberian asam amino
dilakukan sewaktu tidak ada peningkatan kadar glukosa darah, hanya menyebabkan
sekresi insulin sedikit. Akan tetapi, bila pemberian itu dilakukan padasaat trjadi
peningkatan glukosa darah, sekresi insulin yang diinduksi oleh glukosa dapat berlipat ganda
pada saat ada kelebihan asam amino.jadi, asam amino itu sangat memperkuat rangsangan glukosa
terhadap sekresi insulin.
Hormone gastrointestinal: beberapa yang penting:gastrin,sekretin, kolesistokinin, dan peptide
penghambat asam lambung. Akan meningkatkan sekresi insulin dalam jumlah cukup bnayk.
Hormone-hormon lain:glucagon, hormone pertumbuhan, kortisol, dan yang lebih lemah
adalah progesterone dan estrogen. Maanfaat efek perangsangan dari hormone-hormon ini
adalah bahwa pemanjangan sekresi dari salah satu jenis hormone ini dalam jumlah
besar kadang-kadang dapat mengakibatkan pulau langerhans menjadi kelelahan dan akibatnya
timbul diabetes.
Pada beberapa keadaan, perangsangan saraf parasimpatis atau simpatis terhadap pancreas
juga meningkatkan sekresi insulin.
Peran insulin (dan hormone lain) dalam pengalihan antara metbolisme KH dan lemak. Salah satu
peran fungsional yang paling penting dari insulin adalah untuk mengatur kedua jenis (KH dan
lemak) mana yang akan dipergunaakan oleh sel-sel sbg sumber energynya dari waktu ke waktu.

Empat macam hormone yang punya peran dalam mekanisme pengalihan ini:
1. Hormone pertumbuhan, yang dikeluarkan oleh kelenjar hipofisis anterior
2. Hormone kortisol, yang dikeluarkan oleh korteks adrenal
3. Hormone epinefrin, yang dikeluarkan oleh medulla adrenal
4. Hormone glucagon, yang dikeluarkan oleh sel-sel alfa pulau langerhans dalam pancreas.
H. Pertumbuhan dan kortisol merupakan respon terhadap timbulnya keadaan hipoglikemia,
dan kedua hormone ini menghambat pemakaian glukosa dalam sel, sambil meningkatkan pemakaian
lemak. Akan tetapi, efek kedua hormone ini sangat lambat dan biaasanya membutuhkan waktu
berjam-jam untuk mencapai kadar maksimum.
H. epinefrin secara khusus berguna untuk meningkatkan konsentrasi glukosa dalam plasma sewaktu
stress yakni bila system saraf simpatis dirangsang.

1.3 fisiologi insulin (terutama efeknya terhadap metabolisme KH, lemak dan protein)

Efek pada karbohidrat


Insulin memilik 4 efek yang menurunkan kadar glukosa darah dan menigkatkan
penyimpanan karbohidrat :
Insulin mempermudah masuknya glukosa ke dalam sel. Beberapa jaringan yang tidak
bergantung pada insulin untuk meyerap glukosa yaitu otak,otot yang aktif dan hati
Insulin merangsang glikogenesis, pembentukan glikogen dari glukosa baik di otot maupun
dihati
Insulin menghambat glikogenolisis, penguraian glikogen menjadi glukosa. Dengan menghambat
penguraian glikogen, insulin meningkatkan penyimpanan karbohidrat dan menurunkan
penguraian glukosa dalam hati
Insulin menurunkan pengeluaran glukosa oleh hati dengan menghambat glukoneogenesis,
perubahan asam amino menjadi glukosa di hati.
Insulin menurunkan konsentrasi glukosa darah dengan meningkatkan penyerapan glukosa dari
darah untuk digunakan dan disimpan oleh sel. secara simultan menghambat mekanisme yang
digunakan oleh hati untuk mengeluarkan glukosa baru dalam darah. Insulin adalah satu satunya
hormon yang menurunkan kadar glukosa darah.
Proses pelepasan glukosa dari hati ke dalam sirkulasi darah :

Efek insulin terhadap lemak


Insulin akan memacu sintesis dan penyimpanan lemak .Peran insulin dalam penyimpanan
lemak di sel-sel adipose :
1. Menghambat kerja lipase peka-hormon.
Hal ini akan menghambat hidrolisis trigliserida yang sudah disimpan dalam sel-sel lemak,
sehingga pelepasan AL dari jaringan adipose ke dalam sirkulasi darah akan terhambat.

2. Meningkatkan pengangkutan glukosa melalui membran sel ke dalam sel-sel lemak.


Glukosa dipakai untuk membentuk -gliserol fosfat, yang akan menyediakan gliserol yang akan
berikatan dengan asam lemak untuk membentuk trigliserida (bentuk lemak yang disimpan dalam
sel-sel adipose)

Defisiensi insulin dapat menyebabkan :


1. Terjadi lipolisis simpanan lemak dan pelepasan AL bebas
Terjadi peningkatan aktivitas enzim lipase peka-hormon( di sel lemak) yang menyebabkan
terhidrolisisnya trigliserida, yang akan melepaskan AL dan gliserol ke sirkulasi darah

Gambar 1. Efek pengangkatan pankreas terhadap perkiraan konsentrasi glukosa darah, AL bebas
dalam plasma dan asam asetoasetat. (Guyton and Hall. 11th ed.)

2. Meningkatkan konsentrasi fosfolipid dan kolesterol plasma

Efek pada protein


Insulin menurunkan kadar asam amino darah dan meningkatkan sintesis protein :
Insulin mendorong transportasi aktif asam asam amino dari darah ke dalam otot dan jaringan
lain. Efek ini menurunkan kadar asam amino dalam darah dan menghasilkan bahan pembangun
untuk sintesis protein dalam sel.
Insulin meningkatkan kecepatan penggabungan asam amino ke dalam protein dengan
merangsang perangkat pembuat protein di dalam sel.
Insulin menghambat penguraian protein.

Faktor yang mempengaruhi sekresi insulin


Peningkatan kadar glukosa darah, seperti setelah penyerapan makanan,secara langsung
merangsang sintesis dan pengeluaran insulin oleh sel beta. Sebaliknya penurunan kadar glukosa darah
di bawah normal, seperti pada puasa, secara langsung menghambat sekrresi insulin. Selain konsentrasi
glukosa plasma, berbagai masukan berikut juga berperan dalam mengatur sekresi insulin
Peningkatan kadar asam amino plasma,setelah memakan makanan tinggi protein, secara langsung
merangsang sel beta untuk meningkatkan sekresi insulin. Melalui mekanisme umpan balik negatif,
peningkatan insulin tersebut meningkatkan masuknya asam asam amino tersebut ke dalam
sel,sehingga kadar asam amino dalam darah menurun sementara sintesis protein meningkat.
Hormon pencernaan utama yang disekresikan oleh saluran pencernaan sebagai respons terhadap
adanya makanan, terutama gastric inhibitory peptide, merangsang sekresi insulin pankreas selain
memiliki efek regulatorik langsung pada sistem pencernaan. Melalui kontrol ini, sekresi insulin
meningkat secara feedforward atau antisipatorik bahkan sebelum terjadi penyerapan zat gizi yang
meningkatkan kadar glukosa darah dan asam amino dalam darah.
Sistem saraf otonom secara langsung juga mempengaruhi sekresi insulin. Pulau pulau langerhans
dipersyarafi oleh banyak serat saraf parasimpatis dan simpatis. Peningkatan aktivitas parasimpatis
yang terjadi sebagai respons terhadap makanan dalam saluran pencernaan merangsang pengerluaran
insulin. Sebaliknya, stimulasi simpatis dan peningkatan pengeluaran epinefrin akan menghambat
sekresi insulin, penurunan insulin meningkatkan kadar glukosa darah, suatu respons yang sesuai untuk
keadaan keadaan pada saat terjadi aktivitas sistem simpatis yaitu, stress dan olahraga.

Pada jaringan perifer seperti jaringan otot dan lemak, insulin berikatan dengan
sejenis reseptor (insulin receptor substrate = IRS) yang terdapat pada membran sel tersebut. Ikatan
antara insulin dan reseptor akan menghasilkan semacam sinyal yang berguna bagi proses regulasi
atau metabolisme glukosa didalam sel otot dan lemak, meskipun mekanisme kerja yang
sesungguhnya belum begitu jelas. Setelah berikatan, transduksi sinyal berperan dalam
meningkatkan kuantitas GLUT-4 (glucose transporter-4) dan selanjutnya juga pada mendorong
penempatannya pada membran sel. Proses sintesis dan translokasi GLUT-4 inilah yang bekerja
memasukkan glukosa dari ekstra ke intrasel untuk selanjutnya mengalami metabolism. Untuk
mendapatkan proses metabolisme glukosa normal, selain diperlukan mekanisme serta dinamika
sekresi yang normal, dibutuhkan pula aksi insulin yang berlangsung normal. Rendahnya sensitivitas
atau tingginya resistensi jaringan tubuh terhadap insulin merupakan salah satu faktor etiologi
terjadinya diabetes, khususnya diabetes tipe 2.

2. MM Diabetes Melitus
2.1 Definisi
Menurut American Diabetes Association (ADA) tahun 2010, Diabetes Melitus merupakan suatu
kelompok penyakit metabolic dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan
sekresi insulin, kerja insulin, atau kedua-duanya. Diabetes Melitus tipe 2 adalah diabetes yang
tidak tergantung insulin, sekresi insulin mungkin normal atau bahkan meningkat, tetapi sel sasaran
insulin kurang peka terhadap hormone ini dibandingkan dengan sel normal.

Diabetes Melitus tipe 2 adalah diabetes yang tidak tergantung insulin, sekresi insulin mungkin
normal atau bahkan meningkat, tetapi sel sasaran insulin kurang peka terhadap hormone ini
dibandingkan dengan sel normal.
DM merupakan penyakit metabolik yang ditandai dengan timbulnya hiperglikemia akibat
gangguan sekresi insulin. Hal ini terkait dengan kelainan pada karbohidrat, metabolism lemak
dan protein (Palaian, et al., 2005). Hiperglikemia kronik dan gangguan metabolik DM lainnya
akan menyebabkan kerusakan jaringan dan organ, seperti mata, ginjal, syaraf, dan system
vaskular (Cavallerano, 2009)

2.2 etiologi

Non Insulin Dependent Diabetes Melitus (NIDDM) atau Diabetes Melitus Tidak Tergantung
Insulin (DMTTI) disebabkan karena kegagalan relatif sel dan resisitensi insulin. Resistensi insulin adalah
turunnya kemampuan insulin untuk merangsang pengambilan glukosa oleh jaringan perifer dan untuk
menghambat produksi glukosa oleh hati. Sel tidak mampu mengimbangi resistensi insulin ini sepenuhnya,
artinya terjadi resistensi relatif insulin. Ketidakmampuan ini terlihat dari berkurangnya sekresi insulin
pada rangsangan glukosa, namun pada rangsangan glukosa bersama bahan perangsang sekresi insulin lain.
Berarti sel pankreas mengalami desensitisasi terhadap glukosa (Kapita Selekta Kedokteran, 2001).

Faktor resiko Diabetes Melitus dari emedicine health :


1. Usia diatas 45 tahun
Pada orang-orang berumur fungsi organ tubuh semakin menurun, hal ini diakibatkan aktivitas sel
beta pankreas untuk menghasilkan insulin menjadi berkurang dan sensifisitas sel-sel jaringan
menurun sehinga tidak menerima insulin.
2. Obesitas atau kegemukan
Pada orang gemuk aktivitas jaringan lemak dan otot menurun sehingga dapat memicu DM. selain
itu, asam-asam lemak pada obesitas dapat menumpuk abnormal di otot dan mengganggu kerja
insulin di otot, asam lemak berlebih juga dapat memicu apoptosis sel beta pankreas.
3. Pola makan
Pola makan yang serba instan saat ini memang sangat digemari oleh sebagian masyarakat
perkotaan. Pola makan yang tidak sesuai kebutuhan tubuh dapat menjadi penyebab DM, misalnya
makanan gorengan yang mengandung nilai gizi yang minim.
4. Riwayat Diabetes Melitus pada keluarga
15-20% penderita NIDDM (Non Insulin Dependen Diabetes Melitus) atau DM tipe 2 mempunya
riwayat keluarga DM, sedangkan IDDM (Insulin Dependen Diabetes Melitus) tipe 1 sebanyak
57% keluarga DM.
5. Kurang berolahraga atau beraktivitas
Dapat menurunkan sensitifitas sel terhadap insulin sehingga mengakibatkan penumpukan lemak
dalam tubuh yang dapat menyebabkan DM.
6. Infeksi
Virus : Rubella, mumps, human coxsackievirus B4. Melalui infeksi sitolitik dalam sel beta
pankreas virus ini menyebabkan kerusakan dan destruksi sel. Dapa tjuga menyarang melalui
reaksi autoimunitas sehingga hilangnya autoimun dalam sel beta pankreas. DM akibat bakteri
masih belum bias di deteksi.
(Waspadji, 2002)

2.3 patogenesis

1. Diabetes Tipe 1
Terdapat ketidakmampuan untuk menghasilkan insulin karena sel-sel pankreas telah dihancurkan
oleh proses autoimun. Glukosa yang berasal dari makanan tidak dapat disimpan dalam hati
meskipun tetap dalam darah dan menimbulkan hiperglikemia posprandial (sesudah makan).
Jika konsentrasi glukosa dalam darah cukup tinggi, ginjal tidak dapat menyerap kembali semua
glukosa yang tersaring keluar akibatnya glukosa tersebut dieksresikan dalam urin (glukosuria).
Eksresi ini akan disertai oleh pengeluaran cairan dan elekrolit yang berlebihan, keadaan ini disebut
diuresis osmotik. Pasien mengalami peningkatan dalam berkemih (poliuria) dan rasa haus
(polidipsi).
2. Diabetes Tipe II
Terdapat 2 masalah utama yang berhubungan dengan insulin, yaitu: resistensi insulin dan
gangguan sekresi insulin. Normalnya insulin akan terikat dengan reseptor khusus pada permukaan
sel. Sebagai akibat terikatnya insulin dengan reseptor tersebut, terjadi suatu rangkaian reaksi
dalam metabolisme glukosa di dalam sel. Resistensi insulin pada diabetes tipe II disertai dengan
penurunan reaksi intrasel, dengan demikian insulin menjadi tidak efektif untuk menstimulasi
pengambilan glukosa oleh jaringan.
Untuk mengatasi resistensi insulin dan mencegah terbentuknya glukosa dalam darah harus
terdapat peningkatan insulin yang disekresikan. Pada penderita toleransi glukosa terganggu,
keadaan ini terjadi akibat sekresi insulin yang berlebihan dan kadar glukosa akan dipertahankan
pada tingkat yang normal atau sedikit meningkat. Namun, jika sel-sel tidak mampu mengimbangi
peningkatan kebutuhan akan insulin maka kadar glukosa akan meningkat dan terjadi DM tipe II.
Meskipun terjadi gangguan sekresi insulin yang merupakan ciri khas diabetes tipe II, namun
terdapat jumlah insulin yang adekuat untuk mencegah pemecahan lemak dan produksi badan
keton. Oleh karena itu, ketoasidosis diabetik tidak terjadi pada diabetes tipe II. Meskipun
demikian, diabetes tipe II yang tidak terkontrol dapat menimbulkan masalah akut lainnya yang
dinamakan sindrom hiperglikemik hiperosmoler nonketotik. Akibat intoleransi glukosa yang
berlangsung lambat dan progresif, maka awitan diabetes tipe II dapat berjalan tanpa terdeteksi,
gejalanya sering bersifat ringan dan dapat mencakup kelelahan, iritabilitas, poliuria, pilidipsia,
luka pada kulit yang tidak sembuh-sembuh, infeksi dan pandangan yang kabur.
3. Diabetes Gestasional
Didefenisikan sebagai permulaan intoleransi glukosa atau pertama sekali didapat selama
kehamilan (Michael F. Greenean dan Caren G. Solomon, 2005)

2.4 klasifikasi

Menurut American Diabetes Association (ADA) tahun 2009, klasifikasi


Diabetes Melitus adalah sbb:

1. Diabetes Melitus tipe 1


DM tipe 1 sering dikatakan sebagai diabetes Juvenile onset atau Insulin dependent
atau Ketosis prone, karena tanpa insulin dapat terjadi kematian dalam beberapa hari yang
disebabkan ketoasidosis. Istilah juvenile onset sendiri diberikan karena onset DM tipe 1 dapat
terjadi mulai dari usia 4 tahun dan memuncak pada usia 11-13 tahun, selain itu dapat juga terjadi
pada akhir usia 30 atau menjelang 40. Karakteristik dari DM tipe 1 adalah insulin yang beredar di
sirkulasi sangat rendah, kadar glukagon plasma yang meningkat, dan sel beta pankreas
gagal berespons terhadap stimulus yang semestinya meningkatkan sekresi insulin.
DM tipe 1 sekarang banyak dianggap sebagai penyakit autoimun. Pemeriksaan
histopatologi pankreas menunjukkan adanya infiltrasi leukosit dan destruksi sel Langerhans. Pada
85% pasien ditemukan antibodi sirkulasi yang menyerang glutamic-acid decarboxylase (GAD)
di sel beta pankreas tersebut. Prevalensi DM tipe 1 meningkat pada pasien dengan
penyakit autoimun lain, seperti penyakit Grave, tiroiditis Hashimoto atau myasthenia
gravis. Sekitar 95% pasien memiliki Human Leukocyte Antigen (HLA) DR3
atau HLA DR4.
Kelainan autoimun ini diduga ada kaitannya dengan agen infeksius/lingkungan, di
mana sistem imun pada orang dengan kecenderungan genetik tertentu, menyerang molekul sel
beta pankreas yang menyerupai protein virus sehingga terjadi destruksi sel beta dan defisiensi
insulin. Faktor-faktor yang diduga berperan memicu serangan terhadap sel beta, antara lain virus
(mumps, rubella, coxsackie), toksin kimia, sitotoksin, dan konsumsi susu sapi pada masa bayi.
Selain akibat autoimun, sebagaian kecil DM tipe 1 terjadi akibat proses yang idiopatik.
Tidak ditemukan antibodi sel beta atau aktivitas HLA. DM tipe 1 yang bersifat idiopatik ini, sering
terjadi akibat faktor keturunan, misalnya pada ras tertentu Afrika dan Asia.

2. Diabetes Melitus tipe 2


Tidak seperti pada DM tipe 1, DM tipe 2 tidak memiliki hubungan dengan aktivitas
HLA, virus atau autoimunitas dan biasanya pasien mempunyai sel beta yang masih
berfungsi (walau terkadang memerlukan insulin eksogen tetapi tidak bergantung seumur
hidup). DM tipe 2 ini bervariasi mulai dari yang predominan resistensi insulin disertai
defisiensi insulin relatif, sampai yang predominan gangguan sekresi insulin bersama resistensi
insulin. Pada DM tipe 2 resistensi insulin terjadi pada otot, lemak dan hati serta terdapat
respons yang inadekuat pada sel beta pankreas.
Terjadi peningkatan kadar asam lemak bebas di plasma, penurunan transpor glukosa di otot,
peningkatan produksi glukosa hati dan peningkatan lipolisis. Defek yang terjadi pada DM tipe 2
disebabkan oleh gaya hidup yang diabetogenik (asupan kalori yang berlebihan, aktivitas
fisik yang rendah, obesitas) ditambah kecenderungan secara genetik. Nilai BMI yang
dapat memicu terjadinya DM tipe 2 adalah berbeda-beda untuk setiap ras.

3. Diabetes Melitus tipe lain


Defek genetik fungsi sel beta
Beberapa bentuk diabetes dihubungkan dengan defek monogen pada fungsi sel beta, dicirikan
dengan onset hiperglikemia pada usia yang relatif muda (<25 tahun) atau disebut maturity-onset
diabetes of the young (MODY).
Terjadi gangguan sekresi insulin namun kerja insulin di jaringan tetap normal. Saat ini telah
diketahui abnormalitas pada 6 lokus di beberapa kromosom, yang paling sering adalah mutasi
kromosom 12, juga mutasi di kromosom 7p yang mengkode glukokinase. Selain itu juga
telah diidentifikasi kelaian genetik yang mengakibatkan ketidakmampuan mengubah proinsulin
menjadi insulin.
Defek genetik kerja insulin
Terdapat mutasi pada reseptor insulin, yang mengakibatkan hiperinsulinemia, hiperglikemia dan
diabetes. Beberapa individu dengan kelainan ini juga dapat mengalami akantosis nigricans, pada
wanita mengalami virilisasi dan pembesaran ovarium.
Penyakit eksokrin pancreas, meliputi pankreasitis, trauma, pankreatektomi, dan carcinoma pankreas.
Endokrinopati
Beberapa hormon seperti GH, kortisol, glukagon dan epinefrin bekerja mengantagonis
aktivitas insulin. Kelebihan hormon-hormon ini, seperti pada sindroma Cushing, glukagonoma,
feokromositoma dapat menyebabkan diabetes. Umumnya terjadi pada orang yang sebelumnya
mengalami defek sekresi insulin, dan hiperglikemia dapat diperbaiki bila kelebihan
hormon- hormon tersebut dikurangi.
Karena obat/zat kimia
Beberapa obat dapat mengganggu sekresi dan kerja insulin. Vacor (racun tikus) dan pentamidin
dapat merusak sel beta. Asam nikotinat dan glukokortikoid mengganggu kerja insulin.
Infeksi
Virus tertentu dihubungkan dengan kerusakan sel beta, seperti rubella, coxsackievirus B,
CMV, adenovirus, dan mumps.
Imunologi
Ada dua kelainan imunologi yang diketahui, yaitu sindrom stiffman dan antibodi
antiinsulin reseptor. Pada sindrom stiffman terjadi peninggian kadar autoantibodi GAD di sel beta
pankreas.
Sindroma genetik lain
Downs syndrome, Klinefelter syndrome, Turner syndrome, dll.

4. Diabetes Kehamilan/gestasional
Diabetes kehamilan didefinisikan sebagai intoleransi glukosa dengan onset pada waktu kehamilan.
Diabetes jenis ini merupakan komplikasi pada sekitar 1-14% kehamilan. Biasanya toleransi glukosa
akan kembali normal pada trimester ketiga.

2.5 MK
Manifestasi klinik yang sering dijumpai pada pasien diabetes melitus menurut Riyadi (2007 : 80) yaitu:
1. Poliuria (Peningkatan pengeluaran urin)
2. Polidipsia (Peningkatan rasa haus) akibat volume urin yang sangat besar dan keluarnya air
menyebabkan dehidrasi ekstrasel. Dehidrasi intrasel mengikuti dehidrasi ekstrasel karena air
intrasel akan berdifusi keluar sel mengikuti penurunan gradien konsentrasi ke plasma yang
hipertonik (sangat peka). Dehidrasi intrasel merangsang pengeluaran ADH (antidiuretik hormon)
dan menimbulkan rasa haus.
3. Rasa lelah dan Kelemahan otot akibat gangguan aliran darah pada pasien diabetes lama ,
katabolisme protein di otot dan ketidakmampuan sebagian besar sel untuk menggunakan gkukosa
sebagai sumber energi .
4. Polifagia (Peningkatan rasa lapar)
5. Peningkatan angka infeksi akibat penurunan protein sebagai bahan pembentukan antibodi,
peningkatan konsentrasi glukosa disekresi mukus, gangguan fungsi imun, dan penurunan aliran
darah pada penderita diabetes kronik.
6. Kelainan kulit : gatal gatal , bisul
Kelaianan kulit berupa gatal gatal, biasanya terjadi didaerah ginjal. Lipatan kulit seperti di ketiak
dan dibawah payudara. Biasanya akibat tumbuhnya jamur.
7. Kelaianan ginekologis : Keputihan dengan penyebab tersering yaitu jamur terutama candida.
8. Kesemutan rasa baal akibat terjadinya neuropati.
Pada penderita diabetes melitus regenerasi sel persarafan mengalami gangguan akibat kekurangan
bahan dasar utama yang berasal dari unsur protein. Akibatnya banyak sel persarafan terutama
perfifer mengalami kerusakan
9. Kelemahan tubuh
Kelemahan tubuh terjadi akibat penurunan produksi energi metabolik yang dilakukan oleh sel
melalui proses glikolisis tidak dapat berlangsung secar optimal.
10. Luka/bisul yang tidak sembuh-sembuh
Proses penyembuhan luka membutuhkan bahan dasar utama dari protein dan unsur makanan yang
lain. Pada penderita diabetes melitus bahan protein banyak diformulasikan untuk kebutuhan energi
sel sehingga bahan yang dipergunakan untuk penggantian jaringan yang rusak mengalami
gangguan. Selain itu luka yang sulit sembuh yg juga dapat disebabkan oleh pertumbuhan
mikroorganisme yang cepat pada penderita diabetes melitus.
11. Pada laki-laki terkadang mengeluh impotensi
Penderita diabetes melitus mengalami penurunan produksi hormon seksual akibat kerusakan
testosteron dan sistem yang berperan.
12. Mata kabur
Disebabkan oleh katarak/ gangguan refraksi akibat perubahan pada lensa oleh hiperglikemia,
mungkin juga disebabkan kelainan pada korpus vitreum.

Gejala diabetes dapat dikelompokkan berdasarkan onset menjadi dua,yaitu :


a. Gejala Akut
Pada permulaan gejala yang ditunjukkan meliputi tiga serba banyak yaitu:
Banyak makan (polifagia)
Banyak minum (polidipsi)
Banyak kencing (poliuria)
Dalam fase ini biasanya penderita menunjukkan berat badan yang terus bertambah, karena pada
saat itu jumlah insulin masih mencukupi.
Apabila keadaan ini tidak segera diobati maka akan timbul keluhan lain yang disebabkan oleh kurangnya
insulin. Keluhan tersebut diantaranya:
nafsu makan berkurang
banyak minum
banyak kencing
berat badan turun dengan cepat
mudah lelah
Bila tidak segera diobati,penderita akan merasa mual bahkan penderita akan jatuh koma (koma diabetik).

b. Gejala Kronik
Gejala kronik akan timbul setelah beberapa bulan atau beberapa tahun setelah penderita menderita
diabetes. Gejala kronik yang sering dikeluhkan oleh penderita, yaitu:
Kesemutan
Kulit terasa panas
Terasa tebal dikulit
Kram
Lelah
Mudah mengantuk
Mata kabur
Gatal disekitar kemaluan
Gigi mudah goyah dan mudah lepas
Kemampuan seksual menurun
Bagi penderita yang sedang hamil akan mengalami keguguran atau kematian janin dalam
kandungan atau berat bayi lahir lebih dari 4 kg.

2.6 Diagnosis dan DD

Anamnesis
Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang DM. Kecurigaan adanya DM perlu dipikirkan apabila
terdapat keluhan klasik DM seperti:
Keluhan klasik DM: poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan yang tidak dapat
dijelaskan sebabnya
Keluhan lain dapat berupa: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi ereksi pada
pria, serta pruritus vulvae pada wanita

Pemeriksaan Fisik
Pengukuran tinggi badan, berat badan, dan lingkar pinggang
Tinggi badan dan berat badan (tidak sesuai dengan IMT), tekanan darah (hipertensi), lingkar
pinggang (perempuan >80, pria>90)
Indeks Massa Tubuh (IMT) dihitung dengan cara berat badan (kg) dibagi dengan tinggi badan (m)
pangkat 2, atau lebih jelasnya: IMT=BB/(TBxTB)

Pengukuran tekanan darah, termasuk pengukuran tekanan darah dalam posisi berdiri untuk
mencari kemungkinan adanya hipotensi ortostatik, serta ankle brachial index (ABI), untuk
mencari kemungkinan penyakit pembuluh darah arteri tepi
Pemeriksaan rongga mulut dan kelenjar tiroid
Pemeriksaan jantung
Evaluasi nadi, baik secara palpasi maupun dengan stetoskop
Pemeriksaan ekstremitas atas dan bawah, termasuk jari
Pemeriksaan kulit (acantosis nigrican dan bekas tempat penyuntikan insulin) dan pemeriksaan
neurologis.
Tanda-tanda penyakit lain yang dapat menimbulkan DM tipe-lain

Pemeriksaan Penunjang
Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah. Diagnosis tidak dapat ditegakkan
atas dasar adanya glukosuria. Guna penentuan diagnosis DM, pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan
adalah pemeriksaan glukosa secara enzimatik dengan bahan darah plasma vena. Penggunaan bahan darah
utuh (whole blood), vena ataupun kapiler tetap dapat dipergunakan dengan memperhatikan angka-angka
kriteria diagnostik yang berbeda sesuai pembakuan oleh WHO. Sedangkan untuk tujuan pemantauan hasil
pengobatan dapat dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan glukosa darah kapiler.
Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang diabetes. Kecurigaan adanya DM perlu dipikirkan
apabila terdapat keluhan klasik DM seperti tersebut di bawah ini.
1. Keluhan klasik DM berupa : poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan yang tidak
dapat dijelaskan sebabnya.
2. Keluhan lain dapat berupa : lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur dan disfungsi ereksi pada pria,
serta pruritus vulvae pada wanita.
Diagnosis DM dapat ditegakkan melalui tiga cara. Pertama, jika keluhan klasik ditemukan, maka
pemeriksaan glukosa plasma sewaktu >200 mg/dL sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM.
Kedua, dengan pemeriksaan glukosa plasma puasa yang lebih mudah dilakukan, mudah diterima oleh
pasien serta murah, sehingga pemeriksaan ini dianjurkan untuk diagnosis DM. Ketiga dengan TTGO.
Meskipun TTGO dengan beban 75 g glukosa lebih sensitif dan spesifik dibanding dengan
pemeriksaan glukosa plasma puasa, namun memiliki keterbatasan tersendiri. TTGO sulit untuk
dilakukan berulang-ulang dan dalam praktek sangat jarang dilakukan.
Apabila hasil pemeriksaan tidak memenuhi kriteria normal atau DM, maka dapat digolongkan ke dalam
kelompok TGT atau GDPT tergantung dari hasil yang diperoleh.
1. TGT : Diagnosis TGT ditegakkan bila setelah pemeriksaan TTGO didapatkan glukosa plasma 2 jam
setelah beban antara 140 199 mg/dL (7.8-11.0 mmol/L).
2. GDPT : Diagnosis GDPT ditegakkan bila setelah pemeriksaan glukosa plasma puasa didapatkan
antara 100 125 mg/dL (5.6 6.9 mmol/L).
Kriteria diagnosis DM:

Cara pelaksanaan TTGO (WHO, 1994) :


1. Tiga hari sebelum pemeriksaan tetap makan seperti kebiasaan sehari-hari (dengan karbohidrat yang
cukup) dan tetap melakukan kegiatan jasmani seperti biasa
2. Berpuasa paling sedikit 8 jam (mulai malam hari) sebelum pemeriksaan, minum air putih tanpa gula
tetap diperbolehkan
3. Diperiksa kadar glukosa darah puasa
4. Diberikan glukosa 75 g (orang dewasa), atau 1,75 g/Kg BB (anak-anak), dilarutkan dalam 250 ml air
dan diminum dalam waktu 5 menit
5. Berpuasa kembali sampai pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan 2 jam setelah minum larutan
glukosa selesai
6. Diperiksa kadar glukosa darah 2 jam sesudah beban glukosa
7. Selama proses pemeriksaan, subyek yang diperiksa tetap istirahat dan tidak merokok.
Apabila hasil pemeriksaan tidak memenuhi kriteria normal atau DM, maka dapat digolongkan ke
dalam kelompok TGT (Toleransi GlukosaTerganggu) atau GDPT (Glukosa Darah Puasa Terganggu) dari
hasil yang diperoleh.

Pemeriksaan Penyaring
Pemeriksaan penyaring ditujukan pada mereka yang mempunyai risiko DM namun tidak
menunjukkan adanya gejala DM. Pemeriksaan penyaring bertujuan untuk menemukan pasien dengan DM,
TGT maupun GDPT, sehingga dapat ditangani lebih dini secara tepat. Pasien dengan TGT dan GDPT juga
disebut sebagai intoleransi glukosa, merupakan tahapan sementara menuju DM. Kedua keadaan tersebut
merupakan faktor risiko untuk terjadinya DM dan penyakit kardiovaskular di kemudian hari.
Pemeriksaan penyaring dikerjakan pada kelompok yang memiliki salah satu faktor risiko DM.
Pemeriksaan penyaring dapat dilakukan melalui pemeriksaan kadar glukosa darah sewaktu atau kadar
glukosa darah puasa. Apabila pada pemeriksaan penyaring ditemukan hasil positif, maka perlu dilakukan
konfirmasi dengan pemeriksaan glukosa plasma puasa atau dengan tes toleransi glukosa oral (TTGO)
standar.
Pemeriksaan penyaring untuk tujuan penjaringan masal (mass screening) tidak dianjurkan
mengingat biaya yang mahal, serta pada umumnya tidak diikuti dengan rencana tindak lanjut bagi mereka
yang diketemukan adanya kelainan. Pemeriksaan penyaring juga dianjurkan dikerjakan pada saat
pemeriksaan untuk penyakit lain atau general check-up.
Kadar glukosa darah sewaktu dan glukosa darah puasa sebagai patokan penyaring dapat dilihat pada tabel
di bawah ini.
Pemeriksaan HbA1C
HbA1C adalah komponen Hb yang terbentuk dari reaksi non-enzimatik antara glukosa dengan N
terminal valin rantai b Hb A dengan ikatan Almidin. Produk yang dihasilkan ini diubah melalui proses
Amadori menjadi ketoamin yang stabil dan ireversibel.7,10,11 Metode pemeriksaan HbA1C: ion-exchange
chromatography, HPLC (high performance liquid chromatography), Electroforesis, Immunoassay, Affinity
chromatography, dan analisis kimiawi dengan kolorimetri.
Metode Ion Exchange Chromatography: harus dikontrol perubahan suhu reagen dan kolom,
kekuatan ion, dan pH dari bufer. Interferens yang mengganggu adalah adanya HbS dan HbC yang bisa
memberikan hasil negatif palsu.
Metode HPLC: prinsip sama dengan ion exchange chromatography, bisa diotomatisasi, serta
memiliki akurasi dan presisi yang baik sekali. Metode ini juga direkomendasikan menjadi metode referensi.
Metode agar gel elektroforesis: hasilnya berkorelasi baik dengan HPLC, tetapi presisinya kurang
dibanding HPLC. Hb F memberikan hasil positif palsu, tetapi kekuatan ion, pH, suhu, HbS, dan HbC tidak
banyak berpengaruh pada metode ini.
Metode Immunoassay (EIA): hanya mengukur HbA1C, tidak mengukur HbA1C yang labil
maupun HbA1A dan HbA1B, mempunyai presisi yang baik.
Metode Affinity Chromatography: non-glycated hemoglobin serta bentuk labil dari HbA1C tidak
mengganggu penentuan glycated hemoglobin, tak dipengaruhi suhu. Presisi baik. HbF, HbS, ataupun HbC
hanya sedikit mempengaruhi metode ini, tetapi metode ini mengukur keseluruhan glycated hemoglobin,
sehingga hasil pengukuran dengan metode ini lebih tinggi dari metode HPLC.
Metode Kolorimetri: waktu inkubasi lama (2 jam), lebih spesifik karena tidak dipengaruhi non-
glycosylated ataupun glycosylated labil. Kerugiannya waktu lama, sampel besar, dan satuan pengukuran
yang kurang dikenal oleh klinisi, yaitu m mol/L.

Interpertasi Hasil Pemeriksaan HbA1C


HbA1C akan meningkat secara signifikan bila glukosa darah meningkat. Karena itu, HbA1C bisa
digunakan untuk melihat kualitas kontrol glukosa darah pada penderita DM (glukosa darah tak terkontrol,
terjadi peningkatan HbA1C-nya ) sejak 3 bulan lalu (umur eritrosit). HbA1C meningkat: pemberian Tx
lebih intensif untuk menghindari komplikasi.
Nilai yang dianjurkan PERKENI untuk HbA1C (terkontrol): 4%-5,9%.4 Jadi, HbA1C penting
untuk melihat apakah penatalaksanaan sudah adekuat atau belum.1,18 Sebaiknya, penentuan HbA1C ini
dilakukan secara rutin tiap 3 bulan sekali.
Reduksi Urine
Pemeriksaan reduksi urine merupakan bagian daripemeriksaan urine rutin yang selalu dilakukan diklinik.
Hasil yang (+) menunjukkan adanyaglukosuria. Beberapa hal yang perlu diingat darihasil pemeriksaan
reduksi urine adalah 5 Digunakan pada pemeriksaan pertama sekali untuk tes skrining, bukan untuk
menegakkan diagnosis
1. Nilai (+) sampai (++++)
2. Jika reduksi (+): masih mungkin oleh sebab lain, seperti: renal glukosuria, obat-obatan, dan
lainnya
3. Reduksi (++) kemungkinan KGD: 200 300 mg%
4. Reduksi (+++) kemungkinan KGD: 300 400 mg%
5. Reduksi (++++) kemungkinan KGD: 400 mg%
6. Dapat digunakan untuk kontrol hasil pengobatan
7. Bila ada gangguan fungsi ginjal, tidak bisa dijadikan pedoman

Mikroalbuminuria
Mikroalbuminuria: ekskresi albumin di urin sebesar 30-300 mg/24 jam atau sebesar 20-200
mg/menit.2,3,6,14 Mikroalbuminuria ini dapat berkembang menjadi makroalbuminuria. Sekali
makroalbuminuria terjadi maka akan terjadi penurunan yang menetap dari fungsi ginjal. Kontrol DM yang
ketat dapat memperbaiki mikroalbuminuria pada beberapa pasien, sehingga perjalanan menuju ke nefropati
bisa diperlambat.3,4,6 Pengukuran mikroalbuminuria secara semikuantitatif dengan menggunakan strip
atau tes latex agglutination inhibition, tetapi untuk memonitor pasien tes-tes ini kurang akurat sehingga
jarang digunakan. Yang sering adalah cara kuantitatif: metode Radial Immunodiffusion (RID), Radio
Immunoassay (RIA), Enzym-linked Immunosorbent assay (ELISA), dan Immunoturbidimetry. Metode
kuantitatif memiliki presisi, sensitivitas, dan range yang mirip, serta semuanya menggunakan antibodi
terhadap human albumin.2,6,12,14 Sampel yang digunakan untuk pengukuran ini adalah sampel urine 24
jam.
Ada 3 kategori albuminuria, yaitu albuminuria normal (<20 mg/menit), mikroalbuminuria (20--
200 mg/menit), Overt Albuminuria (>200 mg/menit).2,17 Pemeriksaan albuminuria sebaiknya dilakukan
minimal 1 X per tahun pada semua penderita DM usia > 12 tahun.
Diagnosis DM dapat ditegakkan melalui tiga cara:
Jika keluhan klasik ditemukan, maka pemeriksaan glukosa plasma sewaktu >200 mg/dL sudah
cukup untuk menegakkan diagnosis DM
Pemeriksaan glukosa plasma puasa 126 mg/dL dengan adanya keluhan klasik.
Tes toleransi glukosa oral (TTGO). Meskipun TTGO dengan beban 75 g glukosa lebih sensitif dan
spesiik dibanding dengan pemeriksaan glukosa plasma puasa, namun pemeriksaan ini memiliki
keterbatasan tersendiri. TTGO sulit untuk dilakukan berulang-ulang dan dalam praktek sangat
jarang dilakukan karena membutuhkan persiapan khusus.
Kadar HBA1c 6,5% atau lebih tinggi ; pemerisaan harus dilakukan pada lab dengan sertifikat
National Glycohemoglobin Standardization Program (NGSP) dan distandarisasi atau disetujui
oleh Diabetes Control and Complications Trial (DCCT) reference assay

Diagnosis Banding
A. Insulin Resistance
Resistensi Insulin (IR) adalah kondisi di mana jumlah normal insulin tidak memadai untuk menghasilkan
respons insulin normal dari sel lemak, sel otot dan sel hati. resistensi insulin umumnya bersifat "pasca-
reseptor", yang berarti masalah terletak pada respon sel terhadap insulin alih-alih produksi insulin. Kadar
plasma yang tinggi dari insulin dan glukosa akibat resistensi insulin diyakini sebagai asal usul sindrom
metabolik dan diabetes tipe 2, termasuk komplikasinya.

B. Hiperglikemi reaktif
Hiperglikemi reaktif adalah gangguan regulasi gula darah yang dapat terjadisebagai reaksi non spesifik
terhadap terjadinya stress kerusakan jaringan, sehinggaterjadi peningkatan glukosa darah dari pada rentang
kadar puasa normal 80 90 mg / dl darah, atau rentang non puasa sekitar 140 160 mg /100 ml darah
(Pulsinelli,1996), hyperglikemia reaktif ini diartikan sebagai peningkatan kadar glukosa darahpuasa lebih
dari 110 mg/dl (zacharia, dkk, 2005), reaksi ini adalah fenomena yangtidak berdiri sendiri dan merupakan
salah satu aspek perubahan biokimiawi multipleyang berhubungan dengan stroke akut (Candelise, dkk,
1985).

C. Glucose intolerance
Diagnosis intoleransi glukosa ditegakkan dengan pemeriksaan TTGO setelah puasa 8 jam. Diagnosis
intoleransi glukosa ditegakkan apabila hasil tes glukosadarah menunjukkan salah satu dari tersebut
dibawah ini :
1. Toleransi glukosa terganggu (TGT = IGT)
Toleransi Glukosa Terganggu (TGT) adalah istilah yang dipakai untuk menyatakan adanya
disglikemi yaitu kenaikan glukosa plasma 2 jam setelah beban 75 gram glukosa pada
pemeriksaan tes toleransi glukosa oral (TTGO) yaitu antara 140 mg/dl sampai dengan 199
mg/dl. Keadaan ini disebut juga sebagai prediabetes oleh karena risiko untuk mendapat
Diabetes Melitus tipe 2 dan penyakit kardiovaskuler sangat besar. Disebut TGT jika gula
darah setelah makan tidak normal, atau berkisar antara 140-199 mg/dL. Sedangkan gula
darah puasa normal.
2. Gula darah puasa terganggu (GDPT = IFG)
Kadar gula darah yang tinggi, tetapi tidak cukup tinggi untuk menjadi diabetes. Disebut
GPT jika kadar gula darah puasa (8-10 jam tidak mendapat asupan kalori) tidak normal,
atau berkisar 100-125 mg/dL.

2.7 Tatalaksana
Non-Farmakoterapi
A. Edukasi
DM umumnya terjadi saat pola gaya hidup dan perilaku telah terbentuk dengan mapan. Timkes
mendampingi pasien untuk menuju perubahan perilaku sehat. Pengetahuan tentang pemantauan
glukosa darah mandiri, tanda dan gejala hipoglikemia serta cara mengatasinya harus diberikan
kepada pasien.
B. Terapi gizi medis
Terapi gizi medis merupakan salah satu terapi non farmakologis yang sangat
direkomendasikan bagi pasien ddiabetes, Terapi gizi medis ini pada pronsipnya adalah melakukan
pengaturan pola makan yang didasarkan pada stasus gizi medis diabetesi dan melakukan modifikasi
diet berdasarkan kebutuhan individual.

Beberapa manfaat yang telah terbukti dari terapi gizi medis ini antara lain: Menurunkan
berat badan, Menurunkan tekanan sistolik dan diastolik, Menurunkan kadar glukosa darah,
Memperbaiki profil lipid, Meningkatkan sensitivitas reseptor insulin, Memperbaiki sistem koagulsi
darah.

Tujuan terapi gizi medis ini adalah untuk mencapai dan mempertahankan:
Kadar glukosa darah mendekati normal
Glukosa puasa berkisar 90-130 mg/dl.
Glukosa darah 2 jam setelah makan <180 mg/dl.
Kadar A1c <7%.
Tekanan darah <130/80 mmHg.
Profil Lipid
Kolesterol LDL<100 mg/dl
Kolesterol HDL >40 mg/dl.
Trigliserida < 150 mg/dl.
Beran badan senormal mungkin.
C. Latihan jasmani
Latihan jasmani teratur dapat memperbaiki kendali glukosa darah, mempertahankan atau
menurunkan berat badan, serta dapat meningkatkan kadar kolesterol HDL.

Latihan jasmani yang dianjurkan: Dikerjakan sedikitnya selama 150 menit/minggu


dengan latihan aerobik sedang (mencapai 50-70% denyut jantung maksimal), atau 90 menit/minggu
dengan latihan aerobic berat (mencapai denyutjantung>70% maksimal). Latihan jasmani dibagi
menjadi 3-4 x aktivitas/minggu.

2.8 Pencegahan

Pencegahan Primer
Semua aktivitas yang ditujukan untuk mencegah timbulnya hiperglikemia pada individu yang
berisiko untuk jadi diabetes atau pada populasi umum.

Pencegahan Sekunder
Menemukan pengidap DM sedini mungkin, misalnya dengan tes penyaringan terutama
pada populasi resiko tinggi, dengan demikian pasien DM yang sebelumnya tidak terdiagnosa
dapat terjaring, sehingga dapat dilakukan upaya untuk mencegah komplikasi atau kalaupun sudah
ada komplikasi masih reversibel.
Oleh karena itu, pada tahun 1994 WHO menyatakan bahwa pendeteksian pasien baru
dengan cara skrining dimasukkan dalam upaya pencegahan sekunder supaya lebih diketahui lebih
dini komplikasi dapat dicegah karena dapat reversibel. Untuk negara berkembang termasuk
Indonesia upaya ini termasuk mahal.

Pencegahan Tersier
Semua upaya untuk mencegah komplikasi atau kecacatan akibat komplikasi itu. Untuk
mencegah kecacatan tentu saja harus dimulai dengan deteksi dini komplikasi DM agar kemudian
penyulit dapat dikelola dengan baik disamping tentu saja pengelolaan untuk mengendalikan kadar
glukosa darah. Upaya ini meliputi:
a. Mencegah timbulnya komplikasi diabetes
b. Mencegah berlanjutnya (progresi) komplikasi untuk tidak menjurus menjadi kegagalan organ
c. Mencegah terjadinya kecacatan tubuh disebabkan oleh karena kegagalan organ atau jaringan

2.9 Komplikasi

Komplikasi Metabolik Akut


Komplikasi metabolik diabetes disebabkan oleh perubahan yang relatif akut dari konsentrasi
glukosa plasma. Komplikasi metabolik yang paling serius pada diabetes tipe 1 adalah:

A. Ketoasidosis Diabetik (DKA).


Merupakan komplikasi metabolik yang paling serius pada DM tipe 1. Hal ini bisa juga terjadi pada
DM tipe 2. Hal ini terjadi karena kadar insulin sangat menurun, dan pasien akan mengalami hal
berikut:
Hiperglikemia
Hiperketonemia
Asidosis metabolik
Hiperglikemia dan glukosuria berat, penurunan lipogenesis, peningkatan lipolisis dan peningkatan
oksidasi asam lemak bebas disertai pembentukan benda keton (asetoasetat, hidroksibutirat, dan
aseton). Peningkatan keton dalam plasma mengakibatkan ketosis. Peningkatan produksi keton
meningkatkan beban ion hidrogen dan asidosis metabolik. Glukosuria dan ketonuria yang jelas juga
dapat mengakibatkan diuresis osmotik dengan hasil akhir dehidrasi dan kehilangan elektrolit. Pasien
dapat menjadi hipotensi dan mengalami syok.
Akhimya, akibat penurunan penggunaan oksigen otak, pasien akan mengalami koma dan
meninggal. Koma dan kematian akibat DKA saat ini jarang terjadi, karena pasien maupun tenaga
kesehatan telah menyadari potensi bahaya komplikasi ini dan pengobatan DKA dapat dilakukan
sedini mungkin.
Tanda dan Gejala Klinis dari Ketoasidosis Diabetik :
1. Dehidrasi 8. Poliuria
2. Hipotensi (postural atau supine) 9. Bingung
3. Ekstremitas Dingin/sianosis perifer 10. Kelelahan
4. Takikardi 11. Mual-muntah
5. Kusmaul breathing 12. Kaki kram
6. Nafas bau aseton 13. Pandangan kabur
7. Hipotermia 14. Koma (10%)

B. Hiperglikemia, Hiperosmolar, Koma Nonketotik (HHNK)


Komplikasi metabolik akut lain dari diabetes yang sering terjadi pada penderita diabetes tipe 2
yang lebih tua. Bukan karena defisiensi insulin absolut, namun relatif, hiperglikemia muncul tanpa
ketosis. Ciri-ciri HHNK adalah sebagai berikut:
Hiperglikemia berat dengan kadar glukosa serum > 600 mg/dl.
Dehidrasi berat
Uremia
Pasien dapat menjadi tidak sadar dan meninggal bila keadaan ini tidak segera ditangani. Angka
mortalitas dapat tinggi hingga 50%. Perbedaan utama antara HHNK dan DKA adalah pada HHNK
tidak terdapat ketosis.

C. Hipoglikemia (reaksi insulin, syok insulin)


Hipoglikemia adalah keadaan klinik gangguan saraf yang disebabkan penurunan glukosa darah.
Gejala ini dapat ringan berupa gelisah sampai berat berupa koma dengan kejang. Penyebab tersering
hipoglikemia adalah obat-obatan hipoglikemik oral golongan sulfonilurea, khususnya glibenklamid.
Hasil penelitian di RSCM 1990-1991 yang dilakukan Karsono dkk, memperllihatkan kekerapan
episode hipoglikemia sebanyak 15,5 kasus pertahun, dengan wanita lebih besar daripada pria, dan
sebesar 65% berlatar belakang DM. meskipun hipoglikemia sering pula terjadi pada pengobatan
dengan insulin, tetapi biasanya ringan. Kejadian ini sering timbul karena pasien tidak memperlihatkan
atau belum mengetahui pengaruh beberapa perubahan pada tubuhnya.
Tanda hipoglikemia mulai timbul bila glukosa darah < 50 mg/dl, meskipun reaksi hipoglikemia
bisa didapatkan pada kadar glukosa darah yang lebih tinggi. Tanda klinis dari hipoglikemia sangat
bervariasi dan berbeda pada setiap orang. Tanda-tanda Hipoglikemia :
1. Stadium parasimpatik: lapar, mual, tekanan darah turun.
2. Stadium gangguan otak ringan: lemah, lesu, sulit bicara, kesulitan menghitug sederhana.
3. Stadium simpatik: keringat dingin pada muka terutama di hidung dan bibir, tangan, berdebar-
debar.
4. Stadium gangguan otak berat: koma dengan atau tanpa kejang.
Keempat stadium hipoglikemia ini dapat ditemukan pada pemakaian obat oral ataupun suntikan.
Ada beberapa catatan perbedaan antara keduanya:
Obat oral memberikan tanda hipoglikemia lebih berat.
Obat oral tidak dapat dipastikan waktu serangannya, sedangkan insulin bisa diperkirakan pada
puncak kerjanya, misalnya:
Insulin reguler : 2-4 jam setelah suntikan
Insulin NPH : 8-10 jam setelah suntikan
P.Z.I : 18 jam setelah suntikan
Obat oral sedikit memberikan gejala saraf otonom (parasimpatik dan simpatik), sedangkan akibat
insulin sangat menonjol.
Komplikasi Kronik Jangka Panjang
Akibat kadar gula darah yang tidak terkontrol dan meninggi terus menerus yang dikarenakan tidak
dikelola dengan baik mengakibatkan adanya pertumbuhan sel dan juga kematian sel yang tidak
normal. Perubahan dasar itu terjadi pada endotel pembuluh darah, sel otot pembuluh darah maupun
pada sel masingeal ginjal, semuanya menyebabkan perubahan pada pertumbuhan dan kematian sel
yang akhirnya akan menjadi komplikasi vascular DM. Struktur pembuluh darah, saraf dan struktur
lainnya akan menjadi rusak. Zat kompleks yang terdiri dari gula di dalam dinding pembuluh darah
menyebabkan pembuluh darah menebal dan mengalami kebocoran. Akibat penebalan ini maka aliran
darah akan berkurang, terutama menuju kulit dan saraf. Akibat mekanisme di atas akan menyebabkan
beberapa komplikasi antara lain (Waspadji, 2006) :
a. Retinopati
Terjadinya gangguan aliran pembuluh darah sehingga mengakibatkan terjadi penyumbatan kapiler.
Semua kelainan tersebut akan menyebabkan kelainan mikrovaskular. Selanjutnya sel retina akan
berespon dengan meningkatnya ekspresi faktor pertumbuhan endotel vaskular yang selanjutnya
akan terbentuk neovaskularisasi pembuluh darah yang menyebabkan glaukoma. Hal inilah yang
menyebabkan kebutaan.
b. Nefropati
Hal-hal yang dapat terjadi antara lain : peningkatan tekanan glomerular dan disertai dengan
meningkatnya matriks ektraseluler akan menyebabkan terjadinya penebalan membran basal yang
akan menyebabkan berkurangnya area filtrasi dan kemudian terjadi perubahan selanjutnya yang
mengarah terjadinya glomerulosklerosis. Gejala-gejala yang akan timbul dimulai dengan
mikroalbuminuria dna kemudian berkembang menjadi proteinuria secara klinis selanjutnya akan
terjadi penurunan fungsi laju filtrasi glomerular dan berakhir dengan gagal ginjal.
c. Neuropati
Yang paling sering dan paling penting gejala yang timbul berupa hilangnya sensasi distal atau
seperti kaki terasa terbakar dan bergetar sendiri dan lebih terasa sakit dimalam hari.
d. Penyakit jantung coroner
Kadar gula darah yang tidak terkontrol juga cenderung menyebabkan kadar zat berlemak dalam
darah meningkat, sehingga mempercepat aterosklerosis (penimbunan plak lemak di dalam
pembuluh darah). Aterosklerosis ini 2-6 kali lebih sering terjadi pada penderita DM. Akibat
aterosklerosis akan menyebabkan penyumbatan dan kemudian menjadi penyakit jantung koroner.
e. Penyakit pembuluh darah kapiler
Mengenali dan mengelola berbagai faktor risiko terkait terjadinya kaki diabetes dan ulkus diabetes
merupakan hal yang paling sering pada penyakit pembuluh darah perifer yang dikarenakan
penurunan suplai darah di kaki.

2.10 Prognosis
Prognosis Diabetes Melitus usia lanjut tergantung pada beberapa hal dan tidak selamanya
buruk, pasien usia lanjut dengan Diabetes Melitus tri II (Diabetes Melitus III) yang terawat baik
prognosisnya baik pada pasien Diabetes Melitus usia lanjut yang jatuh dalam keadaan koma
hipoklikemik atau hiperosmolas, prognosisnya kurang baik. Hipoklikemik pada pasien usia lanjut
biasanya berlangsung lama dan serius dengan akibat kerusakan otak yang permanen. Karena
hiporesmolar adalah komplikasi yang sering ditemukan pada usia lanjut dan angka kematiannya
tinggi.

3. MM Tatalakasana DM
Famakoterapi
Terapi farmakologis diberikan bersama dengan pengaturan makan dan latihan jasmani (gaya hidup
sehat). Terapi farmakologis terdiri dari obat oral dan bentuk suntikan.
1. Terapi Insulin
a. Sediaan :Termasuk obat utama DM 1 dan beberapa tipe 2. Suntikan insulin dulakukan dengan
IV, IM, SK (jangka panjang). Pada SK insulin akan berdifusi ke sirkulasi perifer yang
seharusnya langsung masuk ke sirkulasi portal, karena efek langsung hormone ini pada hepar
menjadi kurang.
b. Indikasi dan tujuan : Insulin SK diberikan pada DM 1, DM 2 yang tidak dapat diatasi
dengan diet/ antidiabetik oral, dll. Tujuan pemberian insulin adalah selain untuk menormalkan
kadar insulin juga untuk memperbaiki semua aspek metabolism.
c. Dosis : Kebutuhan insulin pada DM antara 5-150 U sehari tergantung dari keadaan pasien.
- Dosis awal DM muda 0,7-1,5 U/kgBB
- Untuk DM dewasa kurus 8-10 U insulin kerja sedang diberikan 20-30mnt sblm makan pagi, dan
4-5 U sebelum makan malam.
- DM dewasa gemuk 20 U pagi hari dan 10 U sebelum makan malam.
d. ES : Hipoglikemi, alergi dan resisten, lipoatrofi dan lipohipertrofi, edem, kembung,dll.
e. Interaksi : antagonis (adrenalin, glukokortikoid, kortikotropin, progestin, GH, Tiroid,
estrogen, glucagon,dll)

2. Obat Antidiabetik Oral

a. Sulfonylurea ( insulin secretagogues )


- Pemberian : 15-30 mnt sebelum makan
- Mek. Kerja : berinteraksi dengan ATP sensitive K channel pada membrane sel beta depolarisasi
membrane dan keadaan ini membuka kanal Ca. sehingga Ca masuk sel beta, merangsang sekresi
insulin.
- Farmakokinetik :masa paruh dan metabolism sulfonylurea generasi 1 sangat bervariasi. Semua
sulfonylurea dimetabolisme di hepar dan dieksresi melalui ginjal, sediaan ini tidak boleh diberikan
pada pasien gangguan fungsi hepar atau ginjal yang berat.
- ES : hipoglikemi bahkan sampai koma, mual, muntah, diare, hematologic (leukopenia,
agranulositosis), susunan saraf pusat (vertigo, bingung, ataksia), mata dsbg.
- Indikasi : untuk pasien DM yang diabetesnya di peroleh pada usia diatas 40 tahun. Kegagalan
disebabkan perubahan farmakogenetik obat, misalnya penghancuran yang terlalu cepat.
- Peringatan : Tidak boleh diberikan sebagai obat tunggal pada pasien DM juvenile, pasien yang
kebutuhan insulinnya tidak stabil, DM berat, DM dengan kehamilan dan keadaan gawat.
- Interaksi : meningkatkan hipoglikemia (insulin, alcohol, sulfonamide, probenezid, kloramfenikol)

b. Meglitinid
- Pemberian : sesaat sebelum makan
- Mek. Kerja : sama dengan sulfonylurea, tetapi struktur kimianya berbeda. Merangsang insulin
dengan menutup kanal K yang ATP-independent di sel beta pankreas.
- Pemberian oral absorpsinya cepat dan kadar puncaknya dicapai dalam waktu 1 jam. Masa paruh 1
jam, sehingga harus diberikan beberapa kali sehari sebelum makan.
- Farmakokinetik : metabolism utama di hepar, 10% di ginjal.
- ES : hipoglikemi, gangguan saluran cerna, dan alergi.

c. Biguanid
- Pemberian : sebelum/saat/sesudah makan
- Teridiri : fenformin (ditarik dari peredaran karena sebabin asidosis laktat), buformin, metformin.
- Mek. Kerja : merupakan antihiperglikemik, metformin dapat menurunkan produksi glukosa
dihepar dan meningkatkan sensitivitas jaringan otot dan adipose terhadap insulin. Efek ini terjadi
karena adanya aktivasi kinase di sel (AMP activated protein kinase). Pada DM yang gemuk,
biguanid dapat menurunkan BB.
- Farmakokinetik : metformin oral di absorpsi di intestine, dalam darah tidak terikat protein
plasma, eksresi dalam urin utuh, masa paruh sekitar 2 jam.
- Dosis : awal 2x500 mg, maintenance dose 3x500 mg, max 2,5 gr. Diminum saat makan.
- Indikasi : pasien DM yang tidak memberikan respon dengan sulfonylurea dapat diatasi dengan
metformin, atau kombinasi dengan insulin atau sulfonylurea.
- ES :mual, muntah, diare, metallic taste, ketosis (pada pasien yang mutlak dengan insulin eksogen),
gangguan keseimbangan elektrolit cairan tubuh.
- KI : kehamilan, penyakit hepar berat, penyakit ginjal dengan uremi dan penyakit jantung
kongestif dan penyakit paru, dengan hipoksia kronik, pemberian zat kontras intravena atau yang
akan di operasi harus dihentikan dan sesudah 48 jam boleh.
d. Tiazolidinedion
- Pemberian : tidak bergantung pada jadwal makan
- Mek. Kerja : berikatan pada peroxisome proliferators activated receptor (PPAR ) suatu resptor
inti di sel otot dan sel lemak. Golongan ini menurunkan resistensi insulin dengan meningkatkan
jumlah protein pengangkut glukosa, sehingga meningkatkan ambilan glukosa di perifer.
- ES: peningkatan BB, edem, menambah volum plasma dan memperburuk gagal jantung kongestif,
hipoglikemi.
- KI : gagal jantung kelas I-IV karena dapat memperberat edema/retensi cairan dan juga pada
gangguan faal hati. Perlu pemantauan faal hati secara berkala.
- Interaksi : dengan insulin dapat menyebabkan edem.

e. Penghambat enzim Alfa-glikosidase (Acarbose)


- Pemberian : bersama makan suapan pertama
- Mek. Kerja : memperlambat absoprsi glukosa (polisakarida, dekstrin, dan disakarida) di usus
halus, sehingga dapat menurunkan kadar glukosa darah sesudah makan. Kerjanya tidak
mempengaruhi sekresi insulin.
- ES : kembung, flatulens.
- Interaksi : dengan insulin menimbulkan hipoglikemi.

f. DPP-4 Inhibitor
- Pemberian : diberikan bersama makan dan atau sebelum makan
- Mek. Kerja : glucagon like peptide 1 (GLP-1) merupakan suatu hormone peptide yang dihasilkan
oleh sel L dimukosa usus. GLP-1 merupakan perangsang kuat penglepasan insulin dan sekaligus
sebagai penghambat sekresi glucagon. Namun, sekresi GLP-1 menurun pada DM-2.

4. MM Retinopati Diabetik
4.1 Definisi
Retinopati diabetik merupakan komplikasi kronis diabetes melitus berupa mikroangiopati progresif
yang ditandai oleh kerusakan mikro vaskular pada retina dengan gejala penurunan atau perubahan
penglihatan secara perlahan.
4.2 Klasifikasi

Tabel 1 : Klasifikasi Retinopati Diabetik1,8,9


Tahap Deskripsi
Tidak ada Tidak ada tanda-tanda abnormal yang ditemukan pada retina. Penglihatan normal.
retinopati
Makulopati Eksudat dan perdarahan dalam area macula, dan/atau bukti edema retina, dan/atau
bukti iskemia retina. Penglihatan mungkin berkurang; mengancam penglihatan.
Praproliferatif Bukti oklusi (cotton wool spot). Vena menjadi ireguler dan mungkin terlihat
membentuk lingkaran. Penglihatan normal.
Proliferatif Perubahan oklusi menyebabkan pelepasan substansi vasoproliferatif dari retina
yang menyebabkan pertumbuhan pembuluh darah baru di lempeng optik (NVD)
atau di tempat lain pada retina (NVE). Penglihatan normal, mengancam
penglihatan.
Tahap Deskripsi
Lanjut Perubahan proliferatif dapat menyebabkan perdarahan ke dalam vitreus atau
antara vitreus dan retina. Retina juga dapat tertarik dari epitel pigmen di
bawahnya oleh proliferasi fibrosa yang berkaitan dengan pertumbuhan pembuluh
darah baru. Penglihatan berkurang, sering akut dengan perdarahan vitreus;
mengancam penglihatan.

Early Treatment Diabetik Retinopathy Study Research Group (ETDRS) membagi retinopati
diabetik atas nonproliferatif dan proliferatif.Retinopati diabetik digolongkan ke dalam retinopati
diabetik non proliferatif (RDNP) apabila hanya ditemukan perubahan mikrovaskular dalam
retina.Neovaskuler merupakan tanda khas retinopati diabetik proliferatif.

Tabel 2 : Klasifikasi Retinopati Diabetik berdasarkan ETDRS1,8,9


Retinopati Diabetik Non-Proliferatif
1 Retinopati nonproliferatif minimal : terdapat 1 tanda berupa dilatasi vena, mikroaneurisma,
. perdarahan intraretina yang kecil atau eksudat keras.
2 Retinopati nonproliferatif ringan sampai sedang : terdapat 1 tanda berupa dilatasi vena derajat
. ringan, perdarahan, eksudar keras, eksudat lunak atau IRMA.
3 Retinopati nonproliferatif berat : terdapat 1 tanda berupa perdarahan dan mikroaneurisma pada 4
. kuadran retina, dilatasi vena pada 2 kuadran, atau IRMA pada 1 kuadran.
4 Retinopati nonproliferatif sangat berat : ditemukan 2 tanda pada retinopati non proliferative
. berat.

Retinopati Diabetik Proliferatif


1 Retinopati proliferatif ringan (tanpa risiko tinggi) : bila ditemukan minimal adanya neovaskular
. pada diskus (NVD) yang mencakup <1/4 dari daerah diskus tanpa disertai perdarahan preretina
atau vitreus, atau neovaskular dimana saja di retina (NVE) tanpa disertai perdarahan preretina atau
vitreus.
2 Retinopati proliferatif risiko tinggi : apabila ditemukan 3 atau 4 dari faktor resiko sebagai berikut,
. a) ditemukan pembuluh darah baru dimana saja di retina, b) ditemukan pembuluh darah baru pada
atau dekat diskus optikus, c) pembuluh darah baru yang tergolong sedang atau berat yang
mencakup > daerah diskus, d) perdarahan vitreus. Adanya pembuluh darah baru yang jelas pada
diskus optikus atau setiap adanya pembuluh darah baru yang disertai perdarahn, merupakan dua
gambaran yang paling sering ditemukan pada retinopati proliferatif dengan resiko tinggi.

4.3 Etiologi

Faktor-faktor yang mendorong terjadinya retinopati adalah :


Terjadi karena adanya perubahan dinding arteri
Adanya komposisi darah abnormal
Meningkatnya agregasi platelet dari plasma menyebabkan terbentuknya mikrothrombin
Gangguan endothelium kapiler menyebabkan terjadinya kebocoran kapiler, selanjutnyaterjadi insudasi
dinding kapiler dan penebalan membran dasar dan diikuti dengan eksudasidinding haemorhagic
dengan udem perikapiler
Perdarahan kapiler dapat terjadi di retina dalam sybhyaloid dimana letaknya di depan jaringan retina.
Hemoraghi tidak terjadi intravitreal tetapi terdapat dalam ruangvitreo retinal yang tersisa karena
vitreus mengalami retraksi
Aliran darah yang kurang lancar dalam kapiler-kapiler, sehingga terjadi hipoksiarelatif di retina yang
merangsang pertumbuhan pembuluh-pembuluh darah yang baru.
Perubahan arteriosklerotik dan insufisiensi koroidal
Hipertensi yang kadang-kadang mengiringi diabetes

4.4 Patofisiologi

Mekanisme terjadinya RD masih belum jelas, namun beberapa studi menyatakan bahwa
hiperglikemi kronis merupakan penyebab utama kerusakan multipel organ. Komplikasi
hiperglikemia kronis pada retina akan menyebabkan perfusi yang kurang adekuat akibat kerusakan
jaringan pembuluh darah organ, termasuk kerusakan pada retina itu sendiri.Terdapat 4 proses
biokimiawi yang terjadi pada hiperglikemia kronis yang diduga berhubungan dengan timbulnya
retinopati diabetik, antara lain:

1) Akumulasi Sorbitol
Produksi berlebihan serta akumulasi dari sorbitol sebagai hasil dari aktivasi jalur poliol terjadi
karena peningkatan aktivitas enzim aldose reduktase yang terdapat pada jaringan saraf, retina, lensa,
glomerulus, dan dinding pembuluh darah akibat hiperglikemi kronis. Sorbitol merupakan suatu
senyawa gula dan alkohol yang tidak dapat melewati membrana basalis sehingga akan tertimbun
dalam jumlah yang banyak dalam sel. Kerusakan sel terjadi akibat akumulasi sorbitol yang bersifat
hidrofilik sehingga sel menjadi bengkak akibat proses osmotik.

Selain itu, sorbitol juga meningkatkan rasio NADH/NAD+ sehingga menurunkan uptake mioinositol.
Mioinositol berfungsi sebagai prekursor sintesis fosfatidilinositol untuk modulasi enzim Na-K-
ATPase yang mengatur konduksi syaraf.Secara singkat, akumulasi sorbitol dapat menyebabkan
gangguan konduksi saraf.

Percobaan pada binatang menunjukkan inhibitor enzim aldose reduktase(sorbinil) yang bekerja
menghambat pembentukan sorbitol, dapat mengurangi atau memperlambat terjadinya retinopatik
diabetik. Namun uji klinik pada manusia belum menunjukkan perlambatan dari progresifisitas
retinopati.

2) Pembentukan protein kinase C (PKC)

Dalam kondisi hiperglikemia, aktivitas PKC di retina dan sel endotel vaskular meningkat akibat
peningkatan sintesis de novo dari diasilgliserol, yang merupakan suatu regulator PKC dari
glukosa.PKC diketahui memiliki pengaruh terhadap agregasi trombosit, permeabilitas vaskular,
sintesis growth factor dan vasokonstriksi. Peningkatan PKC secara relevan meningkatkan
komplikasi diabetika, dengan mengganggu permeabilitas dan aliran darah vaskular retina.

Peningkatan permeabilitas vaskular akan menyebabkan terjadinya ekstravasasi plasma, sehingga


viskositas darah intravaskular meningkat disertai dengan peningkatan agregasi trombosit yang saling
berinteraksi menyebabkan terjadinya trombosis. Selain itu, sintesis growth factor akan menyebabkan
peningkatan proliferasi sel otot polos vaskular dan matriks ekstraseluler termasuk jaringan fibrosa,
sebagai akibatnya akan terjadi penebalan dinding vaskular, ditambah dengan aktivasi endotelin-1
yang merupakan vasokonstriktor sehingga lumen vaskular makin menyempit. Seluruh proses
tersebut terjadi secara bersamaan, hingga akhirnya menyebabkan terjadinya oklusi vaskular retina.

3) Pembentukan Advanced Glycation End Product (AGE)

Glukosa mengikat gugus amino membentuk ikatan kovalen secara non enzimatik. Proses tersebut
pada akhirnya akan menghasilkan suatu senyawa AGE. Efek dari AGE ini saling sinergis dengan
efek PKC dalam menyebabkan peningkatan permeabilitas vaskular, sintesis growth factor, aktivasi
endotelin 1 sekaligus menghambat aktivasi nitrit oxide oleh sel endotel. Proses tersebut tentunya
akan meningkatkan risiko terjadinya oklusi vaskular retina.

AGE terdapat di dalam dan di luar sel, berkorelasi dengan kadar glukosa. Akumulasi AGE
mendahului terjadinya kerusakan sel. Kadarnya 10-45x lebih tinggi pada DM daripada non DM
dalam 5-20 minggu. Pada pasien DM, sedikit saja kenaikan glukosa maka meningkatkan akumulasi
AGE yang cukup banyak, dan akumulasi ini lebih cepat pada intrasel daripada ekstrasel.

4) Pembentukan Reactive Oxygen Speciesi (ROS)

ROS dibentuk dari oksigen dengan katalisator ion metal atau enzim yang menghasilkan hidrogen
peroksida (H2O2), superokside (O2-). Pembentukan ROS meningkat melalui autooksidasi glukosa
pada jalur poliol dan degradasi AGE. Akumulasi ROS di jaringan akan menyebabkan terjadinya
stres oksidatif yang menambah kerusakan sel.

Kerusakan sel yang terjadi sebagai hasil proses biokimiawi akibat hiperglikemia kronis terjadi pada
jaringan saraf (saraf optik dan retina), vaskular retina dan lensa. Gangguan konduksi saraf di retina
dan saraf optik akan menyebabkan hambatan fungsi retina dalam menangkap rangsang cahaya dan
menghambat penyampaian impuls listrik ke otak. Proses ini akan dikeluhkan penderita retinopati
diabetik dengan gangguan penglihatan berupa pandangan kabur. Pandangan kabur juga dapat
disebabkan oleh edema makula sebagai akibat ekstravasasi plasma di retina, yang ditandai dengan
hilangnya refleks fovea pada pemeriksaan funduskopi.

Neovaskularisasi yang tampak pada pemeriksaan funduskopi terjadi karena angiogenesis sebagai
akibat peningkatan sintesis growth factor, lebih tepatnya disebut Vascular Endothelial Growt Factor
(VEGF). Sedangkan kelemahan dinding vaksular terjadi karena kerusakan perisit intramural yang
berfungsi sebagai jaringan penyokong dinding vaskular. Sebagai akibatnya, terbentuklah penonjolan
pada dinding vaskular karena bagian lemah dinding tersebut terus terdesak sehingga tampak sebagai
mikroaneurisma pada pemeriksaan funduskopi. Beberapa mikroaneurisma dan defek dinding
vaskular lemah yang lainnya dapat pecah hingga terjadi bercak perdarahan pada retina yang juga
dapat dilihat pada funduskopi. Bercak perdarahan pada retina biasanya dikeluhkan penderita dengan
floaters atau benda yang melayang-layang pada penglihatan.

4.5 MK

Gejala subjektif yang dapat ditemui dapat berupa:


Kesulitan membaca
Penglihatan kaburr
Penglihatan tiba-tiba menurun pada satu mata
Melihat lingkaran-lingkaran cahaya
Melihat bintik gelap dan cahaya kelap-kelip
Gejala objektif yang dapat ditemukan pada retina dapat berupa:
Mikroaneurisma, merupakan penonjolan dinding kapiler terutama daerah vena dengan bentuk
bintik merah kecil yang terletak dekat pembuluh darah terutama polus posterior.
Perdarahan dapat dalam bentuk titik, garis, dan bercak yang biasanya terletak dekat
mikroaneurisma dipolus posterior.
Dilatasi pembuluh darah dengan lumennya irreguler dan berkelok-kelok
Hard exudate merupakan infiltrasi lipid ke dalam retina. Gambarannya khusus yaitu irreguler,
kekuning-kunigan. Pada permulaan eksudat pungtata membesar dan bergabung. Eksudat ini dapat
muncul dan hilang dalam beberapa minggu.
Soft exudate yang sering dsebut cotton wool patches merupakan iskemia retina. Pada pemeriksaan
oftalmoskopi akan terlihat bercak berwarna kuning bersifat difus dan berwarna putih. Biasanya
terletak dibagian tepi daerah nonirigasi dan dihubungkan dengan iskemia retina.
Pembuluh darah baru (neovaskularisasi) pada retina biasanya terletak dipermukaan jaringan.
Tampak sebagai pembuluh yang berkelok-kelok, dalam, berkelompok, dan irreguler. Mula-mula
terletak dalam jaringan retina, kemudian berkembang ke daerah preretinal ke badan kaca. Pecahnya
neovaskularisasi pada daerah-daerah ini dapat menimbulkan perdarahan retina, prdarahan subhialoid
(preretinal) maupun perdarahan badan kaca.
Edema retina dengan tanda hilangnya gambaran retina terutama daerah makula sehingga sangat
mengganggu tajam penglihatan.

Perbedaan antara NPDR dan PDR1,5,7,10


NPDR PDR
Mikroaneurisma (+) Mikroaneurisma (+)
Perdarahan intraretina (+) Perdarahan intraretina (+)
Hard eksudat (+) Hard eksudat (+)
Oedem retina(+) Oedem retina (+)
Cotton Wool Spots (+) Cotton Wool Spots (+)
IRMA (+) IRMA(+)
Neovaskularisasi (-) Neovaskularisasi (+)
Perdarahan Vitreous (-) Perdarahan Vitreous (+)
Pelepasan retina secara Pelepasan retina secara traksi (+)
traksi (-)

4.6 Diagnosis dan DD

Diagnosis
Retinopati diabetik dan berbagai stadiumnya didiagnosis berdasarkan pemeriksaan
stereoskopik fundus dengan dilatasi pupil.Oftalmoskopi dan foto funduskopi merupakan gold
standard bagi penyakit ini.Angiografi Fluoresens(FA) digunakan untuk menentukan jika pengobatan
laser diindikasikan. FA diberikan dengan cara menyuntikkan zat fluorresens secara intravena dan
kemudian zat tersebut melalui pembuluh darah akan sampai di fundus.

Diagnosis banding
Diagnosis banding harus menyingkirkan penyakit vascular retina lainnya, adalah
hipertensive retinopathy. Retinopati hipertensi adalah suatu kondisi dengan karakteristik perubahan
vaskularisasi retina pada populasi yang menderita hipertensi.
Karakteristik utama pada diabetik retinopati yaitu perubahan parenkim dan vaskuler retina
dimana pada retina ditemukan mikroaneurismata, perdarahannya dalam bentuk bercak dan titik serta
edema sirsinata, adanya edema retina dan gangguan fungsi makula serta vaskularisasi retina dan
badan kaca. Sehingga dengan pemeriksaan laboratorium lengkap, funduskopi dan Angiografi
fluorescein akan ditemukan kelainan-kelainan pada retinopati diabetik yang berbeda dengan
retinopati hipertensif diantaranya pada retinopati hipertensif tidak ada mikroaneurisma.Kelainan
makula: pada retinopati hipertensif makula menjadi star-shaped, sedangkan pada retinopati diabetik
mengalami edema.Kapiler pada retinopati hipertensif menipis, sedangkan retinopati diabetik
menebal (beading).

4.7 Tatalaksana

Prinsip utama penatalaksanaan dari retinopati diabetik adalah pencegahan. Hal ini dapat
dicapai dengan memperhatikan hal-hal yang dapat mempengaruhi perkembangan retinopati diabetik
nonproliferatif menjadi proliferatif.
1. Pemeriksaan rutin pada ahli mata
Penderita diabetes melitus tipe I retinopati jarang timbul hingga lima tahun setelah diagnosis.
Sedangkan pada sebagian besar penderita diabetes melitus tipe II telah menderita retinopati saat
didiagnosis diabetes pertama kali.Pasien- pasien ini harus melakukan pemeriksaan mata saat
diagnosis ditegakkan.Pasien wanita sangat beresiko perburukan retinopati diabetik selama
kehamilan. Pemeriksaan secara umum direkomendasikan pada pasien hamil pada semester pertama
dan selanjutnya tergantung kebijakan ahli matanya.

Jadwal Pemeriksaan Berdasarkan Umur atau Kehamilan


Umur onset Rekomendasi pemeriksaan pertama Follow up rutin
DM/kehamil kali minimal
an
0-30 tahun Dalam waktu 5 tahun setelah Setiap tahun
diagnosis
>31 tahun Saat diagnosis Setiap tahun
Hamil Awal trimester pertama Setiap 3 bulan atau
sesuai kebijakan dokter
mata
Berdasarkan beratnya retinopati dan risiko perburukan penglihatan, ahli mata mungkin lebih
memilih untuk megikuti perkembangan pasien-pasien tertentu lebih sering karena antisipasi
kebutuhan untuk terapi

Jadwal Pemeriksaan Berdasarkan Temuan Pada Retina


Abnormalitas retina Follow-up yang disarankan
Normal atau mikroaneurisma yang Setiap tahun
sedikit
Retinopati Diabetik non proliferatif Setiap 9 bulan
ringan
Retinopati Diabetik non proliferatif Setiap 6 bulan
Retinopati Diabetik non proliferatif Setiap 4 bulan
Edema makula Setiap 2-4 bulan
Retinopati Diabetik proliferatif Setiap 2-3 bulan

2. Kontrol Glukosa Darah dan Hipertensi


Untuk mengetahui kontrol glukosa darah terhadap retinopati diabetik, Diabetik Control and
Cmplication Trial (DCCT) melakukan penelitian terhadap 1441 pasien dengan DM Tipe I yang
belum disertai dengan retinopati dan yang sudah menderita RDNP. Hasilnya adalah pasien yang
tanpa retinopati dan mendapat terapi intensif selama 36 bulan mengalami penurunan resiko terjadi
retinopati sebesar 76% sedangkan pasien dengan RDNP dapat mencegah resiko perburukan
retinopati sebesar 54%. Pada penelitian yang dilakukan United Kingdom Prospective Diabetes Study
(UKPDS) pada penderita DM Tipe II dengan terapi intensif menunjukkan bahwa setiap penurunan
HbA1c sebesar 1% akan diikuti dengan penurunan resiko komplikasi mikrovaskular sebesar 35%.
Hasil penelitian DCCT dan UKPDS tersebut memperihatkan bahwa meskipun kontrol glukosa darah
secara intensif tidak dapat mencegah terjadinya retinopati diabetik secara sempurna, namun dapat
mengurangi resiko timbulnya retinopati diabetik dan memburuknya retinopati diabetikyang sudah
ada.Secara klinik, kontrol glukosa darah yang baik dapat melindungi visus dan mengurangi resiko
kemungkinan menjalani terapi fotokoagulasi dengan sinar laser. UKPDS menunjukkan bahwa
control hipertensi juga menguntungkan mengurangi progresi dari retinopati dan kehilangan
penglihatan.

3. Fotokoagulasi
Perkembangan neovaskuler memegang peranan penting dalam progresi retinopati
diabetik.Komplikasi dari retinopati diabetik proliferatif dapat meyebabkan kehilangan penglihatan
yang berat jika tidak diterapi.Suatu uji klinik yang dilakukan oleh National Institute of Health di
Amerika Serikat jelas menunjukkan bahwa pengobatan fotokoagulasi dengan sinar laser apabila
dilakukan tepat pada waktunya, sangat efektif untuk pasien dengan retinopati diabetik proliferatif
dan edema makula untuk mencegah hilangnya fungsi penglihatan akibat perdarahan vitreus dan
ablasio retina. Indikasi terapi fotokoagulasi adalah retinopati diabetik proliferatif, edema macula dan
neovaskularisasiyang terletak pada sudut bilik anterior.
Ada 3 metode terapi fotokoagulasi yaitu :
1) scatter (panretinal) photocoagulation = PRP, dilakukan pada kasus dengan kemunduran visus
yang cepat atau retinopati diabetik resiko tinggi dan untuk menghilangkan neovaskular dan
mencegah neovaskularisasi progresif nantinya pada saraf optikus dan pada permukaan retina atau
pada sudut bilik anterior dengan cara menyinari 1.000-2.000 sinar laser ke daerah retina yang jauh
dari macula untuk menyusutkan neovaskular.
2) focal photocoagulation, ditujukan pada mikroaneurisma atau lesi mikrovaskular di tengah cincin
hard exudates yang terletak 500-3000 m dari tengah fovea. Teknik ini mengalami bertujuan untuk
mengurangi atau menghilangkan edema macula.
3) grid photocoagulation, suatu teknik penggunaan sinar laser dimana pembakaran dengan bentuk
kisi-kisi diarahkan pada daerah edema yang difus. Terapi edema macula sering dilakukan dengan
menggunakan kombinasi focal dan grid photocoagulation.

4. Injeksi Anti VEGF


Bevacizumab (Avastin) adalah rekombinan anti-VEGF manusia. Sebuah studi baru-baru ini
diusulkan menggunakan bevacizum intravitreus untuk degenerasi makula terkait usia. Dalam kasus
ini, 24 jam setelah perawatan kita melihat pengurangan dramatis dari neovaskularisasi iris, dan tidak
kambuh dalam waktu tindak lanjut 10 hari. Pengobatan dengan bevacizumab tampaknya memiliki
pengaruh yang cepat dan kuat pada neovaskularisasi patologis.Avastin merupakan anti angiogenik
yang tidak hanya menahan dan mencegah pertumbuhan prolirerasi sel endotel vaskular tapi juga
menyebabkan regresi vaskular oleh karena peningkatan kematian sel endotel. Untuk pengunaan
okuler, avastin diberikan via intra vitreal injeksi ke dalam vitreus melewati pars plana dengan dosis
0,1 mL.Lucentis merupakan versi modifikasi dari avastin yang khusus dimodifikasi untuk
penggunaan di okuler via intra vitreal dengan dosis 0,05 Ml.

5. Vitrektomi
Vitrektomi dini perlu dilakukan pada pasien yang mengalami kekeruhan (opacity) vitreus
dan yang mengalami neovaskularisasi aktif.Vitrektomi dapat juga membantu bagi pasien dengan
neovaskularisasi yang ekstensif atau yang mengalami proliferasi fibrovaskuler. Selain itu, vitrektomi
juga diindikasikan bagi pasien yang mengalami ablasio retina, perdarahan vitreus setelah
fotokoagulasi, RDP berat, dan perdarahan vitreus yang tidak mengalami perbaikan.1,2,8
Diabetic Retinopathy Vitrectomy Study (DVRS) melakukan clinical trial pada pasien dengan dengan
diabetik retinopati proliferatif berat. DRVS mengevaluasi keuntungan pada vitrektomi yang cepat
(1-6 bulan setelah perdarahn vitreus) dengan yang terlambat ( setalah 1 tahun) dengan perdarahan
vitreous berat dan kehilangan penglihatan (<5/200). Pasien dengan diabetes tipe 1 secara jelas
menunjukan keuntungan vitrektomi awal, tetapi tidak pada tipe 2.DRSV juga menunjukkan
keuntungan vitrektomi awal dibandingkan dengan managemen konvensional pada mata dengan
retinopati diabetik proliferatif yang sangat berat.

4.8 Komplikasi

1. Rubeosis iridis progresif


Penyakit ini merupakan komplikasi segmen anterior paling sering.Neovaskularisasi pada
iris (rubeosis iridis) merupakan suatu respon terhadap adanya hipoksia dan iskemia retina akibat
berbagai penyakit, baik pada mata maupun di luar mata yang paling sering adalah retinopati diabetik.
Neovaskularisasi iris pada awalnya terjadi pada tepi pupil sebagai percabangan kecil, selanjutnya
tumbuh dan membentuk membrane fibrovaskular pada permukaan iris secara radial sampai ke sudut,
meluas dari akar iris melewati ciliary body dan sclera spur mencapai jaring trabekula sehingga
menghambat pembuangan aquous dengan akibat intra ocular presure meningkat dan keadaan sudut
masih terbuka.Suatu saat membrane fibrovaskular ini konstraksi menarik iris perifer sehingga terjadi
sinekia anterior perifer (PAS) sehingga sudut bilik mata depan tertutup dan tekanan intra okuler
meningkat sangat tinggi sehingga timbul reaksi radang intra okuler.Sepertiga pasien dengan rubeosis
iridis terdapat pada penderita retinopati diabetika. Frekuensi timbulnya rubeosis pada pasien
retinopati diabetika dipengaruhi oleh adanya tindakan bedah. Insiden terjadinya rubeosis iridis
dilaporkan sekitar 25-42 % setelah tindakan vitrektomi, sedangkan timbulnya glaukoma neovaskuler
sekitar 10-23% yang terjadi 6 bulan pertama setelah dilakukan operasi.
2. Glaukoma neovaskular
Glaukoma neovaskuler adalah glaukoma sudut tertutup sekunder yang terjadi akibat
pertumbuhan jaringan fibrovaskuler pada permukaan iris dan jaringan anyaman trabekula yang
menimbulkan gangguan aliran aquous dan dapat meningkatkan tekanan intra okuler. Nama lain dari
glaukoma neovaskular ini adalah glaukoma hemoragik, glaukoma kongestif, glaukoma trombotik
dan glaukoma rubeotik. Etiologi biasanya berhubugan dengan neovaskular pada iris (rubeosis iridis).
Neovaskularisasi pada iris (rubeosis iridis) merupakan suatu respon terhadap adanya hipoksia dan
iskemia retina akibat berbagai penyakit, baik pada mata maupun di luar mata yang paling sering
adalah retinopati diabetik. Neovaskularisasi iris pada awalnya terjadi pada tepi pupil sebagai
percabangan kecil, selanjutnya tumbuh dan membentuk membrane fibrovaskuler pada permukaan
iris secara radial sampai ke sudut, meluas dari akar iris melewati ciliary body dan sclera spur
mencapai jaring trabekula sehingga menghambat pembuangan akuos dengan akibat Intra Ocular
Presure meningkat dan keadaan sudut masih terbuka.
3. Perdarahan vitreus rekuren
Perdarahan vitreus sering terjadi pada retinopati diabetik proliferatif.Perdarahan vitreus
terjadi karena terbentuknya neovaskularisasi pada retina hingga ke rongga vitreus.Pembuluh darah
baru yang tidak mempunyai struktur yang kuat dan mudah rapuh sehingga mudah mengakibatkan
perdarahan.Perdarahan vitreus memberi gambaran perdarahan pre-retina (sub-hyaloid) atau
intragel.Perdarahan intragel termasuk didalamnya adalah anterior, middle, posterior, atau
keseluruhan badan vitreous.
Gejalanya adalah perkembangan secara tiba-tiba dari floaters yang terjadi saat perdarahan
vitreous masih sedikit.Pada perdarahan badan kaca yang massif, pasien biassanya mengeluh
kehilangan penglihatan secara tiba-tiba.Oftalmoskopi direk secara jauh akanmenampakkan
bayangan hitam yang berlawanan dengan sinar merah pada perdahan vitreous yang masih sedikit
dan tidak ada sinar merah jika perdarahan vitreous sudah banyak. Oftalmoskopi direk dan indirek
menunjukkan adanya darah pada ruang vitreous.Ultrasonografi Bscan membantu untuk
mendiagnosa perdarahan badan kaca.
4. Ablasio retina
Merupakan keadaan dimana terlepasnya lapisan neurosensori retina dari lapisan pigmen
epithelium.Ablasio retina tidak menimbulkan nyeri, tetapi bisa menyebabkan gambaran bentuk-
bentuk ireguler yang melayang-layang atau kilatan cahaya, serta menyebabkan penglihatan menjadi
kabur.

4.9 Prognosis

Kontrol optimum glukosa darah (HbA1c < 7%) dapat mempertahankan atau menunda
retinopati.Hipertensi arterial tambahan juga harus diobati (dengan tekanan darah disesuaikan
<140/85 mmHg).Tanpa pengobatan, Detachment retinal tractional dan edema macula dapat
menyebabkan kegagalan visual yang berat atau kebutaan. Bagaimanapun juga, retinopati diabetik
dapat terjadi walaupun diberi terapi optimum.

4.10 Pencegahan

Pada tahun 2010, The American Diabetes Association7 menetapkan beberapa rekomendasi
pemeriksaan untuk deteksi dini retinopati DM. Pertama, orang dewasa dan anak berusia lebih dari
10 tahun yang menderita DM tipe I harus menjalani pemeriksaan mata lengkap oleh dokter spesialis
mata dalam waktu lima tahun setelah diagnosis DM di- tegakkan. Kedua, penderita DM tipe II harus
menjalani pemeriksaan mata lengkap oleh dokter spesialis mata segera setelah didiagnosis DM.
Ketiga, pemeriksaan mata penderita DM tipe I dan II harus dilakukan secara rutin setiap tahun oleh
dokter spesialis mata. Keempat, frekuensi pemeriksaan mata dapat dikurangi apabila satu atau lebih
hasil pemeriksaan menunjukkan hasil normal dan dapat ditingkatkan apabila ditemukan tanda
retinopati progresif. Kelima, perempuan hamil dengan DM harus menjalani pemeriksaan mata rutin
sejak trimester pertama sampai dengan satu tahun setelah persalinan karena risiko terjadinya
dan/atau perburukan retinopati DM meningkat, dan ia harus menerima penjelasan menyeluruh
tentang risiko tersebut.

5. MM cara menghitung kebutuhan kalori


Terapi gizi medis merupakan salah satu terapi non farmakologis yang sangat direkomendasikan
bagi pasien ddiabetes, Terapi gizi medis ini pada pronsipnya adalah melakukan pengaturan pola makan
yang didasarkan pada stasus gizi medis diabetesi dan melakukan modifikasi diet berdasarkan kebutuhan
individual.

Beberapa manfaat yang telah terbukti dari terapi gizi medis ini antara lain: Menurunkan berat
badan, Menurunkan tekanan sistolik dan diastolik, Menurunkan kadar glukosa darah, Memperbaiki profil
lipid, Meningkatkan sensitivitas reseptor insulin, Memperbaiki sistem koagulsi darah.

Tujuan terapi gizi medis ini adlah untuk mencapai dan mempertahankan:

a) Kadar glukosa darah mendekati normal f) Profil Lipid


b) Glukosa puasa berkisar 90-130 mg/dl. g) Kolesterol LDL<100 mg/dl
c) Glukosa darah 2 jam setelah makan h) Kolesterol HDL >40 mg/dl.
<180 mg/dl. i) Trigliserida < 150 mg/dl.
d) Kadar A1c <7%. j) Beran badan senormal mungkin.
e) Tekanan darah <130/80 mmHg.

Jenis Bahan Makanan

KARBOHIDRAT

Sebagai sumber energi, KH yang diberikan diabetisi tidak boleh lebih dar 55-65% dari total
kebutuhan energi sehari, atau tidak boleh lebih dari 70% jika dikombinasikan dengan pemberian asam
lemak tidak jenuh rantai tunggal (MUFA: monounsaturated fatty acids). Pada setiap gram karbohidrat
terdapat kandungan energi sebesar 4kilokalori.

Rekomendasi karbohidrat :

o Kandungan total kalori pada makanan yang mengandung KH, lebih ditentukan oleh jumlahnya
dibandungkan dengan jenis KH itu sendiri.
o Dari total kebutuhan kalori perhari, 60-70% diantaranya berasal dari sumber KH.
o Jika ditambah MUFA sebagai sumber energi, maka jumlah KH maksimal 70% dari total kebutuhan
kalori perhari.
o Julah serat 25-50 gram per hari.
o Jumlah sukrosa sebagai sumber energi tidak perlu dibatasi, namun jangan sampai lebih dari total
kebutuhan kalori perhari.
o Sebagai pemanis dapat digunakan pmanis non kalori seperti sakarin, aspartame, acesulfame, dan
sukralosa.
o Penggunaan alkohol harus dibatasi tidak boleh lebih dar10 gram/hari.
o Fruktosa tidak boleh lebih dari 60 gram/hari.
o Makanan yang mengandung sukrosa tidak perlu dibatasi.

PROTEIN

Jumlah kebutuhan protein yang direkomendasikan sekitar 10-15% dari total kalori perhari. Pada
penderita kelainan ginjal dimana diperlukan pembatasan asupan protein sampai 40 gram perhari, maka
perlu ditambahkan suplementasi asam amino esensial. Protein mengandung energi sebesar 2
kilokalori/gram.

Rekomendasi pemberian protein:

o Kebutuhan protein 15-20% dari total kebutuhan energi perhari.


o Pada keadaan kadar glukosa yang terkontrol, asupan protein tidak akan mempengaruhi konsentrasi
glukosa darah.
o Pada keadaan glukosa tidak terkontrol, pemberian protein sekitar 0,8-1,0 mg/kg BB/hari.
o Pada gangguan fungsi ginjal, asupan protein diturunkan sampai 0,85 gram/KgBB/hari dan tidak
kurang dari 40gram.
o Jika terdapat komplikasi kardiovaskular, maka sumber protein nabati lebih dianjurkan dibanding
protein hewani.

LEMAK

Lemak memiliki kandungan energi sebesar 9 kilokalori/gram. Bahan makanan ini sangat penting
untuk membawa vitamin yang larut dalam lemak seperti vitami A, D, E, K. Berdasarkan rantai karbonnya ,
lemak dibedakan menjadi lemak jenuh dan tidak jenuh. Pembatasan asupan lemak jenuh dan kolestrol
sangat disarankan pada diabetisi karena terbukti dapat memperbaiki profil lipid tidak normal bagi pasien
diabetes. Asam lemak tidak jenuh rantai tunggal (monounsaturated fatty acid : MUFA), merupakan salah
satu asam lemak yang dapat memperbaiki glukosa darah dan profil lipid. Pemberian MUFA pada diet
diabetisi, dapat menurunkan kadar trigliserida, kolestrol total, kolestrol VLDL, dan meningkatkan kadar
kolestrol HDL. Sedangkan asam lemak tidak jenuh rantai panjang (polyunsaturated fatty acid= PUFA)
dapat melindungi jantung, menurunkan kadar trigliserida, memperbaiki agregasi trombosit. PUFA
mengandung asam lemak omega 3 yang dapat menurunkan sintesis VLDL di dalam hati dan eningkatkan
aktivitas enzyme lipoprotein lipase yang dapat menurunkan kadar VLDL di jarngan perifer. Sehingga
dapat menurunkan kadar kolestrol LDL.

Rekomendasi Pemberian Lemak:

o Batasi konsumsi makanan yang mengandung lemak jenuh, jumlah maksimal 10% dari total kebutuhan
kalori per hari.
o Jika kadar kolestrol LDL 100 mg/dl, asupan asam lemak jenuh diturunkan sampai maksimal 7% dari
total kalori perhari.
o Konsumsi kolestrol maksimal 300mg/hari, jika ada kolestrol LDL 100 mg/dl, maka maksimal
kolestrol yang dapat dikonsumsi 200 mg per hari.
o Batasi asam lemak bentuk trans.
o Konsumsi ikan seminggu 2-3 kali untuk mencukupi kebutuhan asam lemak tidak jenuh rantai panjang.
o Asupan asam lemak tidak jenuh rantai panjang maksimal 10% dari asupan kalori perhari.

Penghitungan Jumlah Kalori

Perhitungan julah kalori ditentukan oleh stasus gizi, umur, ada tidaknya stress akut, dan kegiatan jasmani.
Penetuan stasu s gizi dapat dipakai indeks massa tubuh (IMT) atau rumus Brocca.

Penentuan stasus gizi berdasarkan IMT

IMT dihitung berdasarkan pembagian berat badan (dalam kilogram) dibagi dengat tinggi badan
(dalam meter) kuadrat.

o Berat badan kurang <18,5


o Berat badan normal 18,5-22,9
o Berat badan lebih 23,0
o Dengan resiko 23-24.9
o Obes I 25-29,9
o Obes II 30

Penentuan stasus gizi berdasarkan rumus Brocca

Pertama-tama dilakukan perhitungan berat badan idaman berdasarkan rumus:

berat badan idaman (BBI kg) = (TB cm - 100) -10%.

Penetuan stasus gizi dihitung dari : (BB aktual : BB idaman) x 100%

o Berat badan kurang BB <90% BBI o Berat badan lebih BB 110-120% BBI
o Berat badan normal BB 90-110% BBI o Gemuk BB>120% BBI

Untuk kepentingan praktis dalam praktek digunakan rumus Brocca.

Penentuan kebutuhan kalori perhari:


1. Kebutuhan basal:

o Laki-laki : BB idaman (Kg) x 30 kalor o Wanita : BB idaman (Kg) x 25 kalori

2. Koreksi atau penyesuaian:

o Umur diatas 40 tahun : -5% o Berat badan gemuk : -20%


o Aktivitas ringan : +10% o Berat badan lebih : -10%
o Aktifitas sedang : +20% o Berat badan kurus :+10%
o Aktifitas berat : +30%

3. Stress metabolik : +10-30%

4. Kehamilan trimester I dan II : +300 kalori

5. Kehamilan trimester II dan menyusui : +500 kalori

Makanan tersebut dibagi dalam 3 porsi besar untuk makan pagi (20%), makan siang (25%), serta
2-3 porsi ringan (10-15%) di antara makan besar. Pengaturan makan ini tidak berbeda dengan orang
normal, kecuali dengan pengaturan jadwal makan dan jumlah kalori. Usahakan untuk merubah pola makan
ini secara bertahap sesuai kondisi dan kebiasaan penderita.
6. MM makan yang halal dan baik sesuai Islam

Semua jenis makanan/minuman adalah halal dimakan/diminum kecuali yg dilarang tegas dlm nash
Allah memerintahkan kita untuk memakan makanan yang halal dan baik / Halalan Thoyyiban
Al Quran, Surat Al Maidah : 88

dan makanlah makanan yang halal lagi baik (thayib) dari apa yang telah dirizkikan kepadamu dan
bertaqwalah kepada Allah dan kamu beriman kepada-Nya

Wahai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah
kamu mengikuti langkah-langkah syetan; karena sesungguhnya syetan itu adalah musuh yang nyata
bagimu
Halal itu bukan sekedar halal makanannya, tapi juga dari sumber bagaimana mendapatkannya pun
harus halal. Kalau sumbernya haram seperti korupsi, mencuri, merampok, menggusur tanah rakyat
dengan harga yang rendah, maka makanan yang dimakan pun meski sebetulnya halal, tetap haram. Dan
akan membuat si pemakannya disiksa di api neraka. Nabi berkata:
Tiap tubuh yang tumbuh dari (makanan) yang haram maka api neraka lebih utama membakarnya. (HR.
Ath-Thabrani)

Selain halal, makanan juga harus baik. Meski halal tapi jika tidak baik, hendaknya tidak kita makan. Di
antara kriteria makanan yang baik adalah:
Bergizi tinggi
Makanan lengkap dan berimbang.
Tidak mengandung zat-zat yang membahayakan bagi kesehatan kita, misalnya kolesterol tinggi
atau bisa memicu asam urat kita.
Alami. Tidak mengandung berbagai zat kimia seperti pupuk kimia, pestisida kimia, pengawet
kimia (misalnya formalin), pewarna kimia, perasa kimia (misalnya biang gula/aspartame, MSG,
dsb)
Masih segar. Tidak membusuk atau basi sehingga warna, bau, dan rasanya berubah
Tidak berlebihan. Makanan sebaik apa pun jika berlebihan, tidak baik.

Anda mungkin juga menyukai