Kontributor Kontributor
Yasir Al Fatah, Haryanto R. Putro, Bambang Hero Catherine Plume, David Brown, Timothy H. Brown,
Saharjo, Silverius Oscar Unggul Lisa Curran.
Koordinator: Lisken L.M. Situmorang, Arbi Valentinus, Maggie Powell (desain),Sheila Mulvihill
Muhammad Ridwan (penyunting)
Hyacinth Billings (koordinator penyunting),
Pendanaan dan Administrasi, Pengelolaan Finansial: Rina
Agustine, E.G. Togu Manurung, Abdon Nababan, , Rainny
Natalia
Wishnu Tirta
Penyunting: Emily Matthews
Cara mengutip laporan ini: FWI/GFW. 2001. Keadaan Hutan Indonesia. Bogor , Indonesia: Forest Watch Indonesia
dan Washington D.C.: Global Forest Watch
xi
Laporan tentang Keadaan Hutan Indonesia ini adalah hasil karya Forest
Watch Indonesia (FWI) dan Global Forest Watch (GFW). FWI mulai
dibentuk pada akhir tahun 1997 oleh 20 lembaga swadaya masyarakat
untuk berperan sebagai bagian dari masyarakat sipil yang mendorong
percepatan proses demokratisasi, khususnya dalam hal alokasi dan
pengelolaan sumber daya hutan di Indonesia. GFW diluncurkan pada
tahun 1998 oleh World Resources Institute (WRI) untuk bekerja bersama
lembaga swadaya masyarakat dan para pemimpin lokal di negara-negara
yang memiliki hutan di seluruh dunia.
xii
DAFTAR ISI
i
DAFTAR ISI
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR TABEL
ii
KEADAAN HUTAN INDONESIA
3.8. HPH yang Dikonversi Menjadi Konsesi HTI Sampai Tahun 1998 Menurut Propinsi (ha) ........................ 45
3.9. Kepemilikan Lahan Oleh 10 Konglomerat Kelapa Sawit Terbesar, 1997 .................................................. 51
3.10. Kesenjangan Antara Kawasan Hutan yang Ditentukan Untuk Konversi dan Pengajuan
Untuk Konversi Hutan Menjadi Perkebunan .............................................................................................. 53
3.11. Kawasan Hutan yang Diserahkan Untuk Pembangunan Lokasi Transmigrasi (sampai Tahun 1998) .......... 59
4.1. Perkiraan Kerusakan Kawasan yang Disebabkan oleh Kebakaran Hutan Tahun 1997-1998 (ha) ............. 62
4.2. Ringkasan Biaya Ekonomi Akibat Kebakaran Hutan dan Kabut yang Dihasilkannya
tahun 1997-1998 .......................................................................................................................................... 63
4.3. Berbagai Dampak Kesehatan Akibat Terpapar Kabut yang Terkait dengan Kebakaran
Hutan di Delapan Propinsi di Indonesia, September-November 1997 .............................................. 66
DAFTAR BOKS
DAFTAR PETA
iii
UCAPAN TERIMA KASIH
F
orest Watch Indonesia dan Global Forest Kehutanan, Jakarta; Wilistra Danny, Direktorat
Watch ingin menyampaikan terima kasih Penanggulangan Kebakaran, Departemen Kehutanan,
kepada rekan-rekan berikut ini atas Jakarta; Sadikin Djajapertjunda; Dwi Prabowo YS,
FWI Simpul Bogor; Elfian Effendi, Natural Resource
dukungan, kontribusi, dan berbagai komentar
Management Program/EPIQ, Jakarta; Yasir Al Fatah,
kajian yang telah mereka berikan untuk FWI Simpul Kalimantan, Banjarmasin; Hargyono,
pembuatan laporan ini: Direktorat Bina Pengembangan Hutan Tanaman,
Ditjen BPK, Departemen Kehutanan, Jakarta;
Rapat Pengkajian Internal, dilaksanakan di Bambang Hero Saharjo, Laboratorium Kebakaran
Wisma Bogor Permai, 27-28 April, 2001 Hutan, IPB, Bogor; Imam, Direktorat Perencanaan,
Departemen Kehutanan, Jakarta; Rajidt Ch. Malley,
Rina Agustine, Sekretariat Nasional FWI, Bogor; FWI Simpul Sumatera/Yayasan Leuser Lestari-Medan;
Wardiyono, CIFOR, Bogor; Restu Achmaliadi, Jaringan Togu Manurung, Sekretariat Nasional FWI, Bogor;
Kerja Pemetaan Partisipatif, Bogor; Albertus T. Muhammad Yusram Massijaya, Fakultas Kehutanan
Mulyono, FWI Simpul Bogor; Chehafudin, Aliansi IPB, Bogor; Emily Matthews, Global Forest Watch/
Relawan untuk Penyelamatan Alam, Yogyakarta; Dwi World Resources Institute, Washington, D.C.; Muayat
Prabowo YS, FWI Simpul Bogor; Hariadi Kartodiharjo, Ali Muhsi, Konsorsium Pendukung Sistem Hutan
Fakultas Kehutanan, IPB/Bappedal, Bogor/Jakarta; Kerakyatan, Bogor; Abdon Nababan, Aliansi
Rajidt Ch. Malley, FWI Simpul Sumatera/Yayasan Masyarakat Adat Nusantara, Jakarta; Rainny Natalia,
Leuser Lestari, Medan; Togu Manurung, Sekretariat FWI Simpul Bogor; Nuswanto, Direktorat Jenderal
Nasional FWI, Bogor; Lyndon B. Pangkali, FWI Simpul Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam,
Papua, Jayapura; Christian Purba, FWI Simpul Bogor; Departemen Kehutanan, Jakarta; Lyndon B. Pangkali,
Muhammad Ridwan, Sekretariat Nasional FWI, FWI Simpul Papua, Jayapura; Christian Purba, FWI
Bogor; A. Ruwindrijarto, Telapak Indonesia, Bogor; Simpul Bogor; Boen M. Purnama, Pusat Rencana
Lisken Situmorang, ICRAF, Bogor; Wishnu Tirta, FWI Kehutanan, Badan Planologi Kehutanan, Departemen
Simpul Bogor; Yasir Al Fatah, FWI Simpul Kehutanan, Jakarta; Haryanto R. Putro, Fakultas
Kalimantan, Banjarmasin; Muchlis L. Usman, Yayasan Kehutanan IPB, Bogor; Widodo S. Ramono, Direktorat
Cinta Alam/ FWI Simpul Sulawesi, Kendari. Konservasi Kawasan, Direktorat Jenderal
Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, Jakarta;
Rapat Pengkajian oleh Pakar, dilaksanakan di Muhammad Ridwan, Sekretariat Nasional FWI, Bogor;
William M. Rombang, Birdlife-Indonesia Programme,
Wisma Bogor Permai, 29-30 Juni 2001
Bogor; A. Ruwindrijarto, Telapak Indonesia, Bogor;
Dian Agista, Birdlife-Indonesia Programme, Bogor; Harry Santoso, Pusat Pengukuhan dan Penatagunaan
Rina Agustine, Sekretariat Nasional FWI, Bogor; Restu Kawasan Hutan Badan Planologi Kehutanan,
Achmaliadi, Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif, Departemen Kehutanan, Bogor; Iman Santoso, Proyek
Bogor; Albertus T. Mulyono, FWI Simpul Bogor; M. Inventarisasi dan Pemantauan Hutan, Departemen
Ali Arsyad, Pusat Pembentukan Wilayah Pengelolaan Kehutanan, Jakarta; William Sunderlin, CIFOR,
dan Perubahan Kawasan Hutan, Badan Planologi Bogor; Jatna Supriatna, Conservation International-
Kehutanan, Departemen Kehutanan, Jakarta; Charles Indonesia Programme, Jakarta; Wishnu Tirta, FWI
Victor (Chip) Barber, World Resources Institute, Ma- Simpul Bogor; Silverius Oscar Unggul, Yayasan Cinta
nila; Chehafudin, Aliansi Relawan untuk Alam/ FWI Simpul Sulawesi, Kendari; Arbi Valentinus,
Penyelamatan Alam, Yogyakarta; Chrystanto, Pusat FWI Simpul Bogor/Telapak, Bogor; Joko Waluyo, Sawit
Perpetaan Badan Planologi Kehutanan, Departemen Watch/Walhi, Jakarta.
iv
KEADAAN HUTAN INDONESIA
v
KATA PENGANTAR
I
ndonesia dikaruniai dengan salah satu hutan sampai terjadinya krisis ekonomi pada tahun 1997
tropis yang paling luas dan paling kaya berhasil menarik penanaman modal miliaran
keanekaragaman hayatinya di dunia. dolar dari negara-negara Barat, ternyata
Puluhan juta masyarakat Indonesia meng- mendapatkan lebih dari separuh pasokan bahan
andalkan hidup dan mata pencahariannya dari baku kayu dari sumber-sumber ilegal. Kayu secara
hutan, baik dari mengumpulkan berbagai jenis rutin diselundupkan ke lintas perbatasan negara-
hasil hutan untuk memenuhi kebutuhan hidup negara tentangga, menyebabkan Pemerintah
mereka atau bekerja pada sektor industri Indonesia kehilangan penerimaan jutaan dolar
pengolahan kayu. Hutan tropis ini merupakan setiap tahun.
habitat flora dan fauna yang kelimpahannya tidak
Sementara bukti-bukti terjadinya
tertandingi oleh negara lain dengan ukuran luas
kerusakan sudah sedemikian banyak, namun
yang sama. Bahkan sampai sekarang hampir
gambaran tentang kerusakannya masih tetap
setiap ekspedisi ilmiah yang dilakukan di hutan
kabur karena data yang ada saling bertentangan,
tropis Indonesia selalu menghasilkan penemuan
informasi tidak tepat, dan klaim serta bantahan
species baru.
yang saling bertentangan. Oleh karena itu ada
Namun demikian, suatu tragedi terus kebutuhan yang sangat mendesak untuk
berlangsung di Indonesia. Sekarang Indonesia melakukan penilaian yang obyektif terhadap
menjadi pusat perhatian dunia, karena kalangan situasi hutan Indonesia, yang akan menghasilkan
di dalam negeri dan masyarakat internasional basis informasi yang benar bagi setiap individu dan
begitu gusar menyaksikan perusakan sumber daya organisasi yang berupaya untuk melakukan
alam yang semena-mena di negeri ini. "Keajaiban perubahan yang positif.
ekonomi" Indonesia pada tahun 1980-an dan 1990-
Kesulitan mengenai data memang berat,
an ternyata sebagian terjadi dengan meng-
tetapi laporan ini dibuat untuk memenuhi
hancurkan lingkungan dan pelanggaran hak dan
kebutuhan tersebut. Laporan ini menyajikan
tradisi mayarakat lokal. Sebagai contoh, salah
ringkasan yang komprehensif tentang skala dan
satu sektor perekonomian yang mengalami
laju perubahan yang mempengaruhi hutan-hutan
pertumbuhan paling pesat, yaitu industri pulp dan
Indonesia, dan berusaha untuk mengindentifikasi
kertas, ternyata didirikan tanpa terlebih dahulu
kekuatan-kekuatan dan para pelaku yang
membangun hutan tanaman industri yang sangat
menyebabkan terjadinya deforestasi. Forest Watch
diperlukan untuk menjamin pengadaan pasokan
Indonesia dan Global Forest Watch telah
kayu pulp. Sebaliknya, berbagai pabrik pulp ini
mengumpulkan semua data resmi dan laporan
mengandalkan bahan bakunya dari pembukaan
terbaik yang tersedia dari kalangan pemerhati
hutan alam secara besar-besaran. Perekonomian
lingkungan di lapangan untuk menjawab berbagai
Indonesia dinodai dengan ketidaktaatan terhadap
pertanyaan berikut: Berapa banyak tutupan hutan
hukum dan korupsi. Pembalakan ilegal sudah
yang masih tersisa di Indonesia dan berapa luas
berlangsung secara terang-terangan dalam volume
hutan yang telah hilang selama 50 tahun terakhir
yang sangat besar selama bertahun-tahun dan
ini? Bagaimana kondisi hutan yang masih tersisa
diyakini telah merusak hutan seluas 10 juta ha.
sekarang ini? Apa saja kekuatan-kekuatan utama
Industri pengolahan kayu di Indonesia beroperasi
yang menjadi penyebab deforestasi dan siapa para
di remang-remang sistem hukum yang aneh,
pelaku utamanya? Bagaimana prospek reformasi
dimana perusahaan-perusahaan besar yang
vi
KEADAAN HUTAN INDONESIA
vii
POKOK-POKOK TEMUAN
Indonesia sedang mengalami kehilangan pendukung politiknya. Kronisme di sektor
hutan tropis yang tercepat di dunia. kehutanan membuat para pengusaha
kehutanan bebas beroperasi tanpa
Indonesia masih memiliki hutan yang lebat memperhatikan kelestarian produksi jangka
pada tahun 1950. Sekitar 40 persen dari luas panjang.
hutan pada tahun 1950 ini telah ditebang
dalam waktu 50 tahun berikutnya. Jika Sebagai salah satu cara untuk meningkatkan
dibulatkan, tutupan hutan di Indonesia turun penerimaan ekspor Indonesia, dan juga
dari 162 juta ha menjadi 98 juta ha. karena keberuntungan yang berpihak kepada
perusahaan, paling sedikit 16 juta ha hutan
Laju kehilangan hutan semakin meningkat. alam telah disetujui untuk dikonversi menjadi
Pada tahun 1980-an laju kehilangan hutan di hutan tanaman industri atau perkebunan.
Indonesia rata-rata sekitar 1 juta ha per Dalam banyak kasus, konversi bertentangan
tahun, kemudian meningkat menjadi sekitar dengan persyaratan legal yang mengharuskan
1,7 juta ha per tahun pada tahun-tahun pembangunan hutan tanaman industri dan
pertama 1990-an. Sejak tahun 1996, laju perkebunan hanya pada areal lahan yang
deforestasi tampaknya meningkat lagi telah mengalami degradasi, atau pada lahan
menjadi menjadi rata-rata 2 juta ha per tahun. hutan yang telah dialokasikan untuk konversi.
Hutan-hutan tropis dataran rendah Indone- Pengembangan industri pulp dan kertas yang
sia yang memiliki persediaan kayu dan sangat agresif di Indonesia dalam dekade
keanekaragaman yang paling tinggi, adalah terakhir ini telah menimbulkan tingkat
yang memiliki resiko paling tinggi. Tipe hutan permintaan terhadap serat kayu yang tidak
ini hampir seluruhnya lenyap di Sulawesi, dan dapat dipenuhi oleh rejim pengelolaan hutan
diprediksikan akan lenyap di Sumatera pada di dalam negeri pada saat ini.
tahun 2005 dan di Kalimantan pada tahun
2010, jika kecenderungan seperti saat ini terus Pembukaan hutan oleh para petani skala
berlangsung. kecil juga cukup penting tetapi bukan
merupakan penyebab utama deforestasi.
Hampir setengah dari luas hutan di Indone-
sia sudah terfragmentasi oleh jaringan jalan, Pembalakan ilegal sudah mencapai tingkat
jalur akses lainnya, dan berbagai kegiatan epidemik sebagai akibat ketimpangan
pembangunan, seperti pembangunan struktural antara permintaan dan pasokan
perkebunan dan hutan tanaman industri. kayu legal yang telah lama terjadi di Indo-
nesia.
viii
KEADAAN HUTAN INDONESIA
legal. Kelebihannya sebanyak 35-40 juta tumbuh, utamanya Acacia mangium, untuk
meter kubik per tahun. menghasilkan kayu pulp. Implikasinya: 7 juta
ha lahan yang sebelumnya hutan sekarang
Kesenjangan antara permintaan dan pasokan dalam keadaan terlantar.
kayu legal ini dipenuhi dari pembalakan ilegal.
Banyak industri pengolahan kayu secara Hampir 7 juta ha hutan sudah disetujui untuk
terbuka mengakui ketergantungan mereka dikonversi menjadi perkebunan sampai akhir
terhadap kayu yang ditebang secara ilegal. tahun 1997 dan hutan ini hampir dapat
Jumlahnya mencapai sekitar 65 persen dari dipastikan telah ditebang habis. Tetapi lahan
pasokan total pada tahun 2000. yang benar-benar dikonversi menjadi
perkebunan kelapa sawit sejak tahun 1985
Penebangan hutan secara legal juga dilaku-
hanya 2,6 juta ha, sementara perkebunan baru
kan pada tingkat yang tidak berkelanjutan. untuk tanaman keras lainnya kemungkinan
Menurut statistik terkini dari Departemen luasnya mencapai 1-1,5 juta ha. Implikasinya:
Kehutanan, pasokan kayu legal yang berasal 3 juta ha lahan yang sebelumnya hutan
dari hutan alam produksi berkurang sekarang dalam keadaan terlantar.
jumlahnya, yaitu dari 17 juta meter kubik
pada tahun 1995 menjadi di bawah 8 juta Tidak ada perkiraan akurat yang tersedia
meter kubik pada tahun 2000. Penurunan mengenai luas hutan yang dibuka oleh para
produksi kayu bulat ini sebagian ditutupi oleh petani skala kecil sejak tahun 1985, namun
produksi kayu yang diperoleh dari hutan- ada perkiraan yang dapat dipercaya pada
hutan yang dibuka dan dikonversi menjadi tahun 1990 yang menghitung luas hutan yang
perkebunan atau hutan tanaman industri. dibuka oleh para peladang berpindah adalah
Tetapi sumber kayu tambahan ini sudah sekitar 20 persen dari total luas hutan yang
mencapi puncaknya pada tahun 1997. hilang. Ini berarti sekitar 4 juta ha hutan
telah ditebang habis antara tahun 1985
Hutan tanaman industri telah dipromosikan
sampai 1997.
secara besar-besaran dan diberi subsidi
sebagai suatu cara untuk menyediakan Program transmigrasi untuk memindahkan
pasokan kayu bagi industri pulp yang penduduk Pulau Jawa yang sangat padat ke
berkembang pesat di Indonesia, tetapi cara ini pulau-pulau lain di luar Jawa, antara tahun
mendatangkan tekanan terhadap hutan alam. 1960-an sampai program ini berakhir pada
Dalam kenyataannya, jutaan hektar hutan tahun 1999, menyebabkan pembukaan hutan
alam Indonesia sudah ditebang habis untuk seluas 2 juta ha. Disamping itu, migrasi dan
dijadikan hutan tanaman industri, dan dari pemukiman ilegal oleh para petani pionir di
semua lahan hutan yang telah dibuka tersebut sepanjang jalan operasi pembalakan HPH,
sekitar 75 persen tidak pernah ditanami. dan bahkan di dalam beberapa Taman
Nasional juga meningkat banyak sekali sejak
tahun 1997. Namun demikian, perkiraan yang
Lebih dari 20 juta hektar hutan sudah
dapat dipercaya tentang luas lahan hutan
ditebang habis sejak tahun 1985 tetapi
yang telah dibuka oleh para petani pionir pada
sebagian besar dari lahan ini belum pernah
tingkat nasional belum pernah dilakukan.
diolah menjadi alternatif penggunaan lahan
yang produktif. Para pemilik perkebunan skala besar banyak
yang menggunakan api sebagai cara yang
Hampir 9 juta ha lahan, sebagian besar
mudah dan murah untuk membuka hutan
adalah hutan alam, telah dialokasikan untuk untuk lahan perkebunan mereka.
pembangunan hutan tanaman industri. Pembakaran hutan yang disengaja, yang
Lahan ini kemungkinan telah ditebang habis dikombinasikan dengan keadaan kemarau
atau dalam waktu dekat akan ditebang habis. panjang akibat pengaruh fenomena El Nio,
Namun hanya sekitar 2 juta ha yang telah telah menimbulkan kebakaran besar yang
ditanami dengan jenis kayu yang cepat tidak dapat dikendalikan, dengan intensitas
ix
POKOK-POKOK TEMUAN
dan luas kebakaran hutan yang terjadi penyebab berbagai konflik tersebut.
mencapi tingkat yang belum pernah terjadi Pemerintah tidak lagi bersedia melindungi
sebelumnya. Lebih dari 5 juta ha hutan kepentingan-kepentingan perusahaan seperti
terbakar pada tahun 1994 dan sekitar 4,6 juta yang pernah dilakukan sebelumnya, namun
ha hutan lainnya juga terbakar pada tahun pemerintah juga tidak punya usaha yang
1997-1998. Sebagian dari areal yang terbakar terkoordinasi untuk mengatasi permasalahan
ini sekarang mengalami regenerasi menjadi yang ada.
semak belukar, sebagian telah dihuni oleh
para petani skala kecil, namun upaya secara Sejak tahun 1999, negara-negara donor
sistematis untuk memulihkan tutupan hutan utama Indonesia melakukan koordinasi
atau memanfaatkannya sebagai lahan bantuan mereka melalui suatu konsorsium
pertanian yang produktif masih belum yang disebut Consultative Group on Indone-
banyak dilakukan. sia (CGI), yang diketuai oleh Bank Dunia.
Pengelolaan hutan yang lebih baik telah
dinyatakan sebagai suatu prioritas, dan
Pemerintah Indonesia sekarang menghadapi pemerintah Indonesia telah memberikan
banyak tekanan dari dalam negeri maupun komitmen yang berisi 12 pokok rencana
dari luar negeri untuk segera mengambil reformasi kebijakan. Namun demikian,
tindakan, tetapi kemajuannya lambat dan masalah kekacauan politik yang terus
tidak semua reformasi kebijakan yang terjadi berlanjut tampaknya menyulitkan usaha-
merupakan kabar baik untuk memperbaiki usaha untuk mengimplementasikan komit-
kondisi hutan. men ini. Pada bulan April 2001, Menteri
Dalam suasana politik yang relatif lebih Kehutanan pada waktu itu mengakui bahwa
ada banyak kegagalan dan ia menyatakan
bebas setelah lengsernya Presiden Soeharto
bahwa seharusnya Indonesia tidak
pada tahun 1998, para aktivis lingkungan
menyetujui "target yang sangat tidak realistis
hidup menuntut akuntabilitas yang lebih
itu". Sebagai sebuah contoh, Pemerintah
tinggi dari pihak pemerintah dan sektor
memberlakukan moratorium konversi hutan
swasta. Akses terhadap informasi resmi
alam pada bulan Mei 2000, tetapi larangan
sekarang semakin terbuka, namun usaha-
tersebut tidak dipatuhi di berbagai propinsi.
usaha untuk mencegah penyalahgunaan
kekuasaan perusahaan masih belum Indonesia sekarang sedang bergerak cepat
menunjukkan keberhasilan yang berarti. dalam pelaksanaan sistem baru yang disebut
Banyak sekali masyarakat yang hidupnya "otonomi daerah", tetapi pemerintahan
kabupaten, penerima manfaat dari
mengandalkan hutan, yang merasakan
pelaksanaan desentralisasi, pada umumnya
semakin lemahnya kekuasaan pusat,
tidak memiliki kemampuan atau dana untuk
melampiaskan kemarahan mereka kepada
menyelenggarakan pemerintahan secara
para pengelola HPH, perkebunan dan HTI
efektif. Prioritas tertinggi mereka adalah
karena mereka dipandang telah merusak dan
meningkatkan pendapatan asli daerah, dan
menghancurkan sumber-sumber daya lokal.
intensifikasi eksploitasi sumber daya hutan
Masalah ketidakjelasan kepemilikan lahan
sudah terjadi di banyak daerah.
yang sudah terlalu lama menjadi akar