EPILEPSI
A. PENGERTIAN
Epilepsi adalah suatu gejala atau manifestasi lepasnya muatan listrik yang berlebihan
di sel neuron saraf pusat yang dapat menimbulkan hilangnya kesadaran, gerakan
involunter, fenomena sensorik abnormal, kenaikan aktivitas otonom dan berbagai
gangguan fisik (Doenges, 2000).
Epilepsi adalah penyakit serebral kronik dengan karekteristik kejang berulang akibat
lepasnya muatan listrik otak yang berlebihan dan bersifat reversibel (Tarwoto, 2007).
Terdapat dua golongan utama epilepsi serangan parsial atau fokal yang mulai pada suatu
tempat tertentu di otak (biasanya di daerah korteks serebri) dan serangan umum yang agak
mencakup seluruh korteks serebri dan di ensefalon.
a. Epilepsi Parsial
1) Pada epilepsi parsial sederhana hanya satu jari atau tangan yang bergetar, atau
mulut dapat bersentak tak terkontrol. Individu ini bicara yang tidak dapat
dipahami, pusing, dan mengalami sinar, bunyi, dan rasa yang tidak umum
atau tidak nyaman.
3) Kedua jenis epilepsi parsial tersebut dapat menyebar dan menjadi serangan
umum (motorik utama).
b. Kejang Umum
Lebih umum sebagai kejang grand mall, melibatkan kedua hemisfer otak, yang
menyebabkan kedua sisi tubuh bereaksi. Mungkin ada kekakuan pada seluruh
tubuh yang diikuti oleh kejang bergantian dengan relaksasi dan kontraksi otot
(kontraksi tonik-klonik umum).
B. ETIOLOGI
Perlu diketahui bahwa epilepsi bukanlah suatu penyakit, tetapi suatu gejala yang dapat
timbul karena penyakit. Secara umum serangan epilepsi dapat timbul jika terjadi pelepasan
aktifitas energi yang berlebihan dan mendadak dalam otak, sehingga mengganggu
kerja otak. Otak akan segera mengkoreksinya dan kembali normal dalam beberapa
saat.
Faktor precipitasi atau faktor pencetus atau yang mempermudah terjadinya gejala
o Faktor sensoris seperti cahaya yang berkedip-kedip (fotosensitif), bunyi-bunyi
yang mengejutkan, air, dan lain-lain.
o Faktor sistemis seperti demam, penyakit infeksi, obat-obatan tertentu
(fenotiazin, klorpropamid, barbiturat, valium), perubahan hormonal
(hipoglikemia), kelelahan fisik.
o Faktor mental seperti stress, gangguan emosional, kurang tidur.
Tidak semua sel neuron di susunan saraf pusat dapat mengakibatkan kejang epilepsi
klinik, walaupun ia melepas muatan listrik berlebihan. Sel neuron di serebellum di bagian
bawah batang otak dan di medulla spinalis, walaupun mereka dapat melepaskan muatan
listrik berlebihan, namun posisi mereka menyebabkan tidak mampu mengakibatkan kejang
epilepsi. Sampai saat ini belum terungkap dengan pasti mekanisme apa yang mencetuskan
sel-sel neuron untuk melepas muatan secara sinkron dan berlebihan.
C. PATOFISIOLOGI
Konduksi atau hantaran merupakan proses aktif yang bekerja sendiri dan memerlukan
penggunaan energi oleh saraf. Konduksi impuls saraf walaupun cepat, namun berlangsung
lebih lambat daripada listrik, karena jaringan saraf merupakan konduktor pasif yang relatif
sangat buruk. Saraf memerlukan potensial beberapa volt untuk dapat menghasilkan
impuls, sebab sel saraf mempunyai ambang yang rendah terhadap perangsangan
(impuls). Di tingkat membran sel, sel fokus kejang memperlihatkan beberapa fenomena
biokimiawi, termasuk yang berikut :
d. Defisiensi vitamin B6, konsumsi MSG berlebih, dan adanya cedera kepala
dapat mengakibatkan sinkronisasi dalam aliran listrik dalam otak.
Sinkronisasi ini dapat terjadi pada sekelompok atau seluruh neuron di otak
secara serentak, secara teori sinkronisasi ini dapat terjadi.
D. MANIFESTASI KLINIS
c. Bagian tubuh yang kejang tergantung lokasi dan sifat fokus epileptogen.
d. Dapat mengalami aura yaitu suatu sensasi tanda sebelum kejang epileptik (aura
dapat berupa perasaan tidak enak, melihat sesuatu, mencium bau-bauan tidak
enak, mendengar suara gemuruh, mengecap sesuatu, sakit kepala dan sebagainya).
g. Satu jari atau tangan yang bergetar, mulut tersentak dengan gejala sensorik khusus
atau somatosensorik seperti: mengalami sinar, bunyi, bau atau rasa yang tidak
normal seperti pada keadaan normal.
h. Individu terdiam tidak bergerak atau bergerak secara automatik, dan terkadang
individu tidak ingat kejadian tersebut setelah episode epileptikus tersebut lewat.
i. Di saat serangan, penyandang epilepsi terkadang juga tidak dapat berbicara secara
tiba- tiba.
j. Kedua lengan dan tangannya kejang, serta dapat pula tungkainya menendang-
menendang.
m. Terkadang keluar busa dari mulut dan diikuti dengan buang air kecil.
n. Klien sadar kembali dengan lesu, nyeri otot dan sakit kepala.
E. KOMPLIKASI
a. Retradasi mental
b. IQ rendah
d. Hal ini akan menyebabkan efek samping pada penurunan prestasi belajar terutama
bagi penderita yang masih dalam masa belajar.
F. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1. Pungsi Lumbar
Pungsi lumbar adalah pemeriksaan cairan serebrospinal (cairan yang ada di otak
dan kanal tulang belakang) untuk meneliti kecurigaan meningitis. Pemeriksaan ini
dilakukan setelah kejang demam pertama pada bayi :
Pada anak dengan usia > 18 bulan, pungsi lumbar dilakukan jika tampak
tanda peradangan selaput otak, atau ada riwayat yang menimbulkan
kecurigaan infeksi sistem saraf pusat. Pada anak dengan kejang demam yang
telah menerima terapi antibiotik sebelumnya, gejala meningitis dapat
tertutupi, karena itu pada kasus seperti itu pungsi lumbar sangat dianjurkan
untuk dilakukan.
2. EEG (electroencephalogram)
2. Pemeriksaan laboratorium
4. Neuroimaging
Yang termasuk dalam pemeriksaan neuroimaging antara lain adalah CT-scan dan
MRI kepala. Pemeriksaan ini tidak dianjurkan pada kejang demam yang baru
terjadi untuk pertama kalinya.
5. Pencitraan CT
Pemeriksaan ini digunakan untuk mendeteksi lesi pada otak, fokal abnormal,
serebrovaskuler abnormal, dan perubahan degenerative serebral.
G. PENATALAKSANAAN
Medis :
a. Pengobatan Kausal :
Perlu diselidiki apakah pasien masih menderita penyakit yang aktif, misalnya
tumor serebri, hematome sub dural kronik. Bila ya, perlu diobati dahulu.
b. Pengobatan Rumat :
Pasien epilepsi diberikan obat antikonvulsan secara rumat. Di klinik saraf anak
FKUI-RSCM Jakarta, biasanya pengobatan dilanjutkan sampai 3 tahun bebas
serangan, kemudian obat dikurangi secara bertahap dan dihentikan dalam jangka
waktu 6 bulan. Pada umumnya lama pengobatan berkisar antara 2-4 tahun bebas
serangan. Selama pengobatan harus diperiksa gejala intoksikasi dan pemeriksaan
laboratorium secara berkala.
Obat yang dipakai untuk epilepsi yang dapat diberikan pada semua bentuk kejang:
o Fenobarbital, dosis 3-8 mg/kg BB/hari.
o Diazepam, dosis 0,2 -0,5 mg/Kg BB/hari.
o Diamox (asetazolamid); 10-90 mg/Kg BB/hari.
o Dilantin (Difenilhidantoin), dosis 5-10 mg/Kg BB/hari.
o Mysolin (Primidion), dosis 12-25 mg /Kg BB/hari.
Non Medis :
Selama kejang
Setelah kejang
7. Pola Kebiasaan
d. Eliminasi.
Gejalanya yaitu sakit kepala, nyeri otot, nyeri abnormal paroksismal selama
fase iktal. Ditandai dengan sikap atau tingkah laku yang hati-hati, distraksi,
perubahan tonus otot.
h. Pernafasan.
Gejalanya yaitu fase iktal : gigi mengatup, sianosis, pernafasan cepat dan
dangkal, peningkatan sekresi mucus.
i. Keamanan
j. Interaksi sosial
Gejalanya yaitu terdapat masalah dalam hubungan interpersonal dalam
keluarga atau lingkungan sosialnya melakukan pembatasan, penghindaran
terhadap kontak sosial.
8. Pemeriksaan Fisik
a. Tingkat kesadaran
b. Abnormal posisi mata
c. Perubahan pupil
d. Gerakan motorik
e. Tingkah laku setelah kejang
f. Apnea
g. Cyanosis
h. Saliva banyak
B. DIAGNOSA
Kriteria hasil :
Intervensi
Mandiri
1. Gali bersama sama pasien berbagai stimulasi yang dapat menjadi pencetus
kejang.
R/ alkohol, berbagai obat dan stimulasi lain (seperti kurang tidur, lampu terlalu
terang, menonton televisi terlalu lama) dapat meningkatkan aktivitas otak,
yang selanjutnya meningkatkan risiko terjadinya kejang.
2. Pertahankan bantalan lunak pada penghalang tempat tidur yang terpasang
dengan posisi tempat tidur rendah.
R/ mengurangi trauma saat kejang (sering/umum) terjadi selama pasien berada
di tempat tidur.
3. Evaluasi kebutuhan untuk/berikan perlindungan pada kepala.
R/ penggunaan penutup kepala (semacam helm) dapat memberikan
perlindungan tambahan terhadap seseorang yang mengalami kejang terus
menerus/kejang berat.
4. Pertahankan tirah baring secara ketat jika pasien mengalami tanda tanda
timbulnya fase prodromal/aura. Jelaskan perlunya kegiatan ini.
R/ pasien mungkin merasa tidak dapat beristirahat/perlu untuk bergerak atau
melepaskan diri dari suatu keadaan selama fase aura, namun bergerak dengan
memperdulikan diri dari keamanan lingkungan dan mudah di observasi.
Pemahaman kepentingan untuk mempertimbangkan tentang pentingnya
kebutuhan keamanan diri sendiri dapat menambah keikutsertaan (kerja sama)
pasien.
5. Tinggalah bersama pasien dalam waktu beberapa lama selama/setelah kejang.
R/ meningkatkan keamanan pasien.
6. Catat tipe dari aktivitas kejang (seperti lokasi/lamanya aktivitas motorik,
hilang/penurunan kesadaran, inkontinensia, dan lain - lain) dan berapa kali
terjadi (frekuensi/kekambuhannya).
R/ membantu untuk melokalisasi daerah otak yang terkena.
7. Observasi munculnya tanda tanda status epileptikus, seperti kejang tonik
klonik setelah jenis yang muncul dengan cepat dan cukup meyakinkan.
R/ hal ini merupakan keadaan darurat yang mengancam hidup yang dapat
menyebabkan henti napas, hipoksia berat, dan/atau kerusakan pada otak dan
sel saraf. Intervensi yang segera dibutuhkan untuk mengendalikan aktivitas
kejang. Catatan: meskipun kejang tidak ada mungkin menjadi statis, biasanya
hal seperti ini tidak membahayakan (mengancam kehidupan)
Kolaborasi
Intervensi
Mandiri
Kolaborasi
Tujuan :
Kriteria Hasil :
Intervensi
Mandiri
Kolaborasi
7. Rujuk pasien/orang terdekat pada kelompok penyokong seperti yayasan
epilepsi dan sebagainya.
R/ Memberikan kesempatan untuk mendapatkan informasi, dukungan dan
ide-ide untuk mengatasi masalah dari orang lain yang telah memiliki
pengalaman yang sama.
8. Diskusikan rujukan kepada psikoterapi dengan pasien atau orang terdekat.
R/ Kejang mempunyai pengaruh yang besar pada hargi diri seseorang dan
pasien/orang terdekat dapat merasa berdosa atas keterbatasan penerimaan
terhadap dirinya dan stigma masyarakat.
DX 4 : Kurang Pengetahuan ( Kebutuhan Belajar ), Mengenai Kondisi Dan Aturan
Pengobatan berhubungkan dengan Keterbatasan kognitif.
Tujuan:
D. IMPLEMENTASI
E. EVALUASI
Merupakan tahap akhir dari proses asuhan kebidanan untuk menilai tentang kriteria
hasil yang dicapai, apakah sesuai dengan rencana atau tidak dalam evaluasi dilakukan
dengan pendekatan SOAP, yang dimaksud SOAP adalah sebagai berikut :
O : Obyektif : Yang didapatkan dari hasil pemeriksaan oleh petugas yang terkait.