Anda di halaman 1dari 20

LAPORAN PENDAHULUAN

EPILEPSI

A. PENGERTIAN

Epilepsi adalah suatu gejala atau manifestasi lepasnya muatan listrik yang berlebihan
di sel neuron saraf pusat yang dapat menimbulkan hilangnya kesadaran, gerakan
involunter, fenomena sensorik abnormal, kenaikan aktivitas otonom dan berbagai
gangguan fisik (Doenges, 2000).

Epilepsi adalah penyakit serebral kronik dengan karekteristik kejang berulang akibat
lepasnya muatan listrik otak yang berlebihan dan bersifat reversibel (Tarwoto, 2007).

Adapun klasifikasi dari epilepsi adalah sebagai berikut :

Terdapat dua golongan utama epilepsi serangan parsial atau fokal yang mulai pada suatu
tempat tertentu di otak (biasanya di daerah korteks serebri) dan serangan umum yang agak
mencakup seluruh korteks serebri dan di ensefalon.

a. Epilepsi Parsial

Dapat bermanifestasi dengan gejala-gejala dasar ataupun kompleks. Epilepsi


parsial dengan gejala-gejala dasar adalah yang mencakup, gejala-gejala motorik
atau sensorik.

1) Pada epilepsi parsial sederhana hanya satu jari atau tangan yang bergetar, atau
mulut dapat bersentak tak terkontrol. Individu ini bicara yang tidak dapat
dipahami, pusing, dan mengalami sinar, bunyi, dan rasa yang tidak umum
atau tidak nyaman.

2) Epilepsi parsial yang kompleks melibatkan gangguan fungsional serebral


pada tingkat yang lebih tinggi seperti proses ingatan dan proses berpikir,
individu tetap tidak bergerak atau bergerak secara otomatis tetapi tidak tepat
dengan waktu dan tempat, atau mengalami emosi berlebihan yaitu takut,
marah, kegirangan, atau peka rangsang. Focus epileptic pada jenis epilepsi ini
seringkali pada lobus temporalis.

3) Kedua jenis epilepsi parsial tersebut dapat menyebar dan menjadi serangan
umum (motorik utama).
b. Kejang Umum

Lebih umum sebagai kejang grand mall, melibatkan kedua hemisfer otak, yang
menyebabkan kedua sisi tubuh bereaksi. Mungkin ada kekakuan pada seluruh
tubuh yang diikuti oleh kejang bergantian dengan relaksasi dan kontraksi otot
(kontraksi tonik-klonik umum).

Epilepsi tonik-klonik merupakan serangan epilepsi klasik. Serangan epilepsi ini


ditandai dengan adanya aura, diikuti oleh hilangnya kesadaran dan kejang tonik-
klonik. Aura merupakan suatu indikasi sensori yang menyatakan awal datangnya
epilepsi. Aura ini dapat berupa sensasi penglihatan atau penciuman yang hanya
berlangsung beberapa saat.

Serangan epilepsi dengan menghilangnya kesadaran secara cepat. Klien


kehilangan kemampuannya untuk tetap mempertahankan tubuh dalam keadaan
posisi yang tegak, gerakan tonik-klonik, inkontinensia urine dan feses, serta
disertai disfungsi otonom lainnya. Pada fase tonik, otot-otot berkontraksi dan
posisi tubuh dapat terganggu. Fase ini berlangsung hanya beberapa detik. Fase
klonik berupa kontraksi dan relaksasi kelompok otot-otot yang berlawanan
sehingga menimbulkan gerakan yang tersentak-sentak. Kontraksi sedikit demi
sedikit berkurang frekuensi tetapi tidak kekuatannya. Lidah dapat tergigit seperti
yang terjadi pada sekitar separuh dari klien yang mengalami kejang (spasme
rahang dan lidah). Serangan itu berlangsung sekitar 3-5 menit dan diikuti dengan
periode tidak sadar yang berlangsung selama beberapa menit sampai sekitar
setengah jam. Klien yang sadar kembali tampak bingung/stupor. Stadium ini
disebut stadium post iktal. Biasanya klien tidak dapat mengingat serangan yang
telah dialaminya.

B. ETIOLOGI

Perlu diketahui bahwa epilepsi bukanlah suatu penyakit, tetapi suatu gejala yang dapat
timbul karena penyakit. Secara umum serangan epilepsi dapat timbul jika terjadi pelepasan
aktifitas energi yang berlebihan dan mendadak dalam otak, sehingga mengganggu
kerja otak. Otak akan segera mengkoreksinya dan kembali normal dalam beberapa
saat.

a. Epilepsi Primer (Idiopatik)


Epilepsi primer hingga kini tidak ditemukan penyebabnya, tidak ditemukan
kelainan pada jaringan otak diduga bahwa terdapat kelainan atau gangguan
keseimbangan zat kimiawi dan sel-sel saraf pada area jaringan otak yang
abnormal. Faktor genetik dimana bila salah satu orang tua epilepsi (epilepsi
idiopatik) maka kemungkinan 4% anaknya epilepsi, sedangkan bila kedua orang
tuanya epilepsi maka kemungkinan anaknya epilepsi menjadi 20%-30%.
b. Epilepsi Sekunder (Simtomatik)
Faktor herediter, seperti neurofibromatosis, hipoparatiroidisme,
hipoglikemia.
Faktor genetik seperti pada kejang demam
Kelainan congenital otak seperti atropi, agenesis korpus kolosum
Gangguan metabolic seperti hipoglikemia, hipoklasemia, hiponatremia,
hipernatremia
Infeksi seperti radang yang disebabkan virus atau bakteri pada otak dan
selaputnya seperti toksoplasmosis, meningitis
Trauma seperti contusio cerebri, hematoma sub arachnoid, hematoma subdural
Neoplasma otak dan selaputnya
Kelainan pembuluh darah, malformasi dan penyakit kolagen
Keracunan oleh timbal, kamper/kapur barus, fenotiazin
Lain-lain seperti penyakit darah, gangguan keseimbangan hormon, degenerasi
cerebral

Faktor precipitasi atau faktor pencetus atau yang mempermudah terjadinya gejala
o Faktor sensoris seperti cahaya yang berkedip-kedip (fotosensitif), bunyi-bunyi
yang mengejutkan, air, dan lain-lain.
o Faktor sistemis seperti demam, penyakit infeksi, obat-obatan tertentu
(fenotiazin, klorpropamid, barbiturat, valium), perubahan hormonal
(hipoglikemia), kelelahan fisik.
o Faktor mental seperti stress, gangguan emosional, kurang tidur.

Tidak semua sel neuron di susunan saraf pusat dapat mengakibatkan kejang epilepsi
klinik, walaupun ia melepas muatan listrik berlebihan. Sel neuron di serebellum di bagian
bawah batang otak dan di medulla spinalis, walaupun mereka dapat melepaskan muatan
listrik berlebihan, namun posisi mereka menyebabkan tidak mampu mengakibatkan kejang
epilepsi. Sampai saat ini belum terungkap dengan pasti mekanisme apa yang mencetuskan
sel-sel neuron untuk melepas muatan secara sinkron dan berlebihan.
C. PATOFISIOLOGI
Konduksi atau hantaran merupakan proses aktif yang bekerja sendiri dan memerlukan
penggunaan energi oleh saraf. Konduksi impuls saraf walaupun cepat, namun berlangsung
lebih lambat daripada listrik, karena jaringan saraf merupakan konduktor pasif yang relatif
sangat buruk. Saraf memerlukan potensial beberapa volt untuk dapat menghasilkan
impuls, sebab sel saraf mempunyai ambang yang rendah terhadap perangsangan
(impuls). Di tingkat membran sel, sel fokus kejang memperlihatkan beberapa fenomena
biokimiawi, termasuk yang berikut :

a. Instabilitas membran sel saraf, sehingga sel lebih mudah mengalami


pengaktifan.

b. Neuron-neuron hipersensitif dengan ambang untuk melepaskan muatan


menurun dan apabila terpicu akan melepaskan muatan menurun secara
berlebihan.

c. Peningkatan suhu tubuh misalnya pada kasus kejang demam dapat


mengakibatkan peningkatan metabolisme basal 10-15% sehingga kebutuhan
akan oksigen dalam metabolisme tersebut pun akan ikut meningkat hingga
20%. Hal tersebut yang menyebabkan terganggunya keseimbangan membran
sel neuron. Seperti yang kita ketahui bahwa membrane sel neuron dalam
keadaan normal mudah dilalui oleh ion kalium dan ion klorida, tetapi sangat
sulit dilalui oleh ion natrium dan ion kalsium. Dengan demikian konsentrasi
yang tinggi ion kalium dalam sel ( intraseluler ), dan konsentrasi ion natrium
dan kalsium ekstraseluler tinggi. Sesuai dengan teori dari Dean (Sodium
pump), sel hidup mendorong ion natrium keluar sel, bila natrium ini
memasuki sel, keadaan ini sama halnya dengan ion kalsium. Bangkitan
epilepsi karena transmisi impuls yang berlebihan di dalam otak yang tidak
mengikuti pola yang normal, sehingga terjadi sinkronisasi dari impuls.

d. Defisiensi vitamin B6, konsumsi MSG berlebih, dan adanya cedera kepala
dapat mengakibatkan sinkronisasi dalam aliran listrik dalam otak.
Sinkronisasi ini dapat terjadi pada sekelompok atau seluruh neuron di otak
secara serentak, secara teori sinkronisasi ini dapat terjadi.

1) Fungsi jaringan neuron penghambat (neurotransmitter GABA dan Glisin)


kurang optimal hingga terjadi pelepasan impuls epileptik secara
berlebihan.
2) Keadaan dimana fungsi jaringan neuron eksitatorik (Glutamat dan
Aspartat) berlebihan hingga terjadi pelepasan impuls epileptik berlebihan
juga.

e. Ketidakseimbangan ion yang mengubah keseimbangan asam-basa atau


elektrolit, yang mengganggu homeostatis kimiawi neuron sehingga terjadi
kelainan depolarisasi neuron. Gangguan keseimbangan ini menyebabkan
peningkatan berlebihan neurotransmitter aksitatorik atau deplesi
neurotransmitter inhibitorik.

f. Hipoglikemia merupakan salah satu penyakit akibat gangguan metabolisme


yang dapat mengakibatkan epilepsi. Kekurangan glukosa dapat
mempengaruhi suplai ke otak khususnya bagi metabolisme sel glia pada otak.
Epilepsi terjadi akibat adanya kerusakan membran pada sel glia otak. Sel glia
merupakan bagian dari sel otak yang multi fungsi. Salah satu fungsi penting
dari sel glia bila dikaitkan dengan penyakit epilepsi ini adalah fungsi sel glia
sebagai pensuplai nutrisi dan reservoar dari elektrolit seperti ion K, Ca dan
Na. Ketidakseimbangan pada sel ini akan menyebabkan permasalahan pada
sel saraf. Proses epileptogenik akan terjadi bila ada pelepasan muatan
paroksiman karena mekanisme intrinsik dari membran neuron yang menjaga
kestabilan ambang lepas muatan terganggu sehingga bisa terjadi depolarisasi
secara terus menerus yang selanjutnya menyebabkan timbulnya letupan
potensial aksi (paroksismal depolarisasi shif).

g. Tumor atau neoplasma pada otak mengakibatkan terjadinya peningkatan


tekanan intrakranial sehingga suplai oksigen ke otak melali pembuluh darah
pun terganggu. Oksigen yang diperlukan juga dalam metabolisme sel glia
akan berkurang. Begitu juga halnya dengan infeksi yang terjadi pada otak
seperti meningitis akan menggangu aliran darah pada pembuluh darah otak
yang kaya akan nutrisi dan elektrolit. Kedua hal tersebutlah yang
mengakibatkan metabolisme sel glia terganggu dan oleh karenanya kestabilan
ambang lepas muatan pun akan terganggu sehingga terjadi epilepsi.

h. Beberapa penyelidikan menunjukkan peranan acetilkolin sebagai zat


yang merendahkan potensial membran prosinaptik dalam hal terlepasnya
muatan listrik yang terjadi sewaktu-waktu saja sehingga manisfestasi
klinisnya pun muncul sewaktu-waktu. Bila asetilkolin sudah cukup tertimbun
dipermukaan otak, maka pelepasan muatan listrik sel-sel saraf kortikal
dipermudah. Asetilkolin diproduksi oleh sel-sel saraf kolinergik dan
merembes keluar dari permukaan otak. Pada kesadaran awas waspada lebih
banyak asetilkolin yang merembes keluar dari permukaan otak daripada
selama tidur. Pada jejas otak lebih banyak asetilkolin daripada dalam otak
sehat. Pada tumor cerebri atau adanya sikatriks setempat pada permukaan
otak sebagai gejala sisa dari meningitis, encephalitis, kontusio atau trauma
lahir, dapat terjadi penimbunan setempat dari asetilkolin.

D. MANIFESTASI KLINIS

Manifestasi klinik yang terjadi dapat berupa :

a. Kejang-kejang, gangguan kesadaran atau gangguan penginderaan.

b. Kelainan gambaran EEG.

c. Bagian tubuh yang kejang tergantung lokasi dan sifat fokus epileptogen.

d. Dapat mengalami aura yaitu suatu sensasi tanda sebelum kejang epileptik (aura
dapat berupa perasaan tidak enak, melihat sesuatu, mencium bau-bauan tidak
enak, mendengar suara gemuruh, mengecap sesuatu, sakit kepala dan sebagainya).

e. Napas terlihat sesak dan jantung berdebar.

f. Raut muka pucat dan badannya berkeringat.

g. Satu jari atau tangan yang bergetar, mulut tersentak dengan gejala sensorik khusus
atau somatosensorik seperti: mengalami sinar, bunyi, bau atau rasa yang tidak
normal seperti pada keadaan normal.

h. Individu terdiam tidak bergerak atau bergerak secara automatik, dan terkadang
individu tidak ingat kejadian tersebut setelah episode epileptikus tersebut lewat.

i. Di saat serangan, penyandang epilepsi terkadang juga tidak dapat berbicara secara
tiba- tiba.

j. Kedua lengan dan tangannya kejang, serta dapat pula tungkainya menendang-
menendang.

k. Gigi geliginya terkancing.

l. Bola matanya berputar- putar.

m. Terkadang keluar busa dari mulut dan diikuti dengan buang air kecil.

n. Klien sadar kembali dengan lesu, nyeri otot dan sakit kepala.
E. KOMPLIKASI
a. Retradasi mental

b. IQ rendah

c. Kerusakan otak akibat hipoksia jaringan otak

d. Hal ini akan menyebabkan efek samping pada penurunan prestasi belajar terutama
bagi penderita yang masih dalam masa belajar.

e. Dapat timbul depresi dan keadaan cemas ( Elizabeth, 2001 : 174 )

F. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1. Pungsi Lumbar

Pungsi lumbar adalah pemeriksaan cairan serebrospinal (cairan yang ada di otak
dan kanal tulang belakang) untuk meneliti kecurigaan meningitis. Pemeriksaan ini
dilakukan setelah kejang demam pertama pada bayi :

a) Memiliki tanda peradangan selaput otak (contoh : kaku leher)


b) Mengalami complex partial seizure
c) Kunjungan ke dokter dalam 48 jam sebelumnya (sudah sakit dalam 48 jam
sebelumnya)
d) Kejang saat tiba di IGD (instalasi gawat darurat)
e) Keadaan post-ictal (pasca kejang) yang berkelanjutan. Mengantuk hingga
sekitar 1 jam setelah kejang demam adalah normal.
f) Kejang pertama setelah usia 3 tahun

Pada anak dengan usia > 18 bulan, pungsi lumbar dilakukan jika tampak
tanda peradangan selaput otak, atau ada riwayat yang menimbulkan
kecurigaan infeksi sistem saraf pusat. Pada anak dengan kejang demam yang
telah menerima terapi antibiotik sebelumnya, gejala meningitis dapat
tertutupi, karena itu pada kasus seperti itu pungsi lumbar sangat dianjurkan
untuk dilakukan.

2. EEG (electroencephalogram)

EEG adalah pemeriksaan gelombang otak untuk meneliti ketidaknormalan


gelombang. Pemeriksaan ini tidak dianjurkan untuk dilakukan pada kejang
demam yang baru terjadi sekali tanpa adanya defisit (kelainan) neurologis. Tidak
ada penelitian yang menunjukkan bahwa EEG yang dilakukan saat kejang demam
atau segera setelahnya atau sebulan setelahnya dapat memprediksi akan timbulnya
kejang tanpa demam di masa yang akan datang. Walaupun dapat diperoleh
gambaran gelombang yang abnormal setelah kejang demam, gambaran tersebut
tidak bersifat prediktif terhadap risiko berulangnya kejang demam atau risiko
epilepsi.

2. Pemeriksaan laboratorium

Pemeriksaan seperti pemeriksaan darah rutin, kadar elektrolit, kalsium, fosfor,


magnsium, atau gula darah tidak rutin dilakukan pada kejang demam pertama.
Pemeriksaan laboratorium harus ditujukan untuk mencari sumber demam, bukan
sekedar sebagai pemeriksaan rutin.

4. Neuroimaging

Yang termasuk dalam pemeriksaan neuroimaging antara lain adalah CT-scan dan
MRI kepala. Pemeriksaan ini tidak dianjurkan pada kejang demam yang baru
terjadi untuk pertama kalinya.

5. Pencitraan CT
Pemeriksaan ini digunakan untuk mendeteksi lesi pada otak, fokal abnormal,
serebrovaskuler abnormal, dan perubahan degenerative serebral.

G. PENATALAKSANAAN

Medis :

a. Pengobatan Kausal :

Perlu diselidiki apakah pasien masih menderita penyakit yang aktif, misalnya
tumor serebri, hematome sub dural kronik. Bila ya, perlu diobati dahulu.

b. Pengobatan Rumat :

Pasien epilepsi diberikan obat antikonvulsan secara rumat. Di klinik saraf anak
FKUI-RSCM Jakarta, biasanya pengobatan dilanjutkan sampai 3 tahun bebas
serangan, kemudian obat dikurangi secara bertahap dan dihentikan dalam jangka
waktu 6 bulan. Pada umumnya lama pengobatan berkisar antara 2-4 tahun bebas
serangan. Selama pengobatan harus diperiksa gejala intoksikasi dan pemeriksaan
laboratorium secara berkala.
Obat yang dipakai untuk epilepsi yang dapat diberikan pada semua bentuk kejang:
o Fenobarbital, dosis 3-8 mg/kg BB/hari.
o Diazepam, dosis 0,2 -0,5 mg/Kg BB/hari.
o Diamox (asetazolamid); 10-90 mg/Kg BB/hari.
o Dilantin (Difenilhidantoin), dosis 5-10 mg/Kg BB/hari.
o Mysolin (Primidion), dosis 12-25 mg /Kg BB/hari.

Bila menderita spasme infantil diberikan:

o Prednison dosisnya 2-3 mg/Kg BB/hari.


o Dexametasone, dosis 0,2-0,3 mg/Kg BB/hari.
o Adrenokortikotropin, dosis 2-4 mg/Kg BB/hari.\

Non Medis :

Selama kejang

a. Melindungi kepala dengan bantal untuk mencegah cedera dan membentur


permukaan keras.
b. Lepaskan pakaian yang ketat
c. Singkirkan benda yang dapat melukai pasien selama kejang
d. Jangan berusaha untuk membuka rahang yang terkatup pada keadaan spasme
untuk memasukkan sesuatu. Gigi patah dan cedera pada bibir dan lidah dapat
terjadi karena tindakan ini
e. Jika mungkin tempatkan pada posisi miring pada salah satu sisi dengan kepala
fleksi ke depan yang memungkinkan lidah jatuh dan memudahkan pengeluaran
saliva dan mucus.

Setelah kejang

a. Pertahankan pasien pada salah satu sisi untuk mencegah aspirasi


b. Diiorientasikan terhadap lingkungan
c. Jika mengalami serangan setelah kejang, lakukan pendekatan secara lembut dan
pemasangan restrain secara lembut dan halus.
H. ASUHAN KEPERAWATAN TEORITIS
A. PENGKAJIAN
1. Identitas
Nama, Umur, jenis kelamin, agama, suku bangsa, pekerjaan, pendidikan, status
perkawinan, alamt, tanggal masuk Rumah Sakit.
2. Keluhan utama
Pasien datang dalam kondisi kejang.
3. Riwayat penyakit sekarang
a. Kejang-kejang
b. Gangguan kesadaran
c. Gangguan penginderaan
4. Riwayat Kejang
a. Berapa sering terjadi kejang
b. Gambaran kejang seperti apa
c. Apakah sebelum kejang ada tanda-tanda awal
d. Apa yang dilakuakn pasien setelah kejang
5. Riwayat penggunaan obat
a. Nama obat yang dipakai
b. Dosis obat
c. Berapa kali penggunaan obat
d. Kapan putus obat
6. Riwayat penyakit dahulu.

Pernah mengalami kejang atau penyakit epilepsi sebelummnya.

7. Pola Kebiasaan

a. Aktivitas dan istirahat

Gejala yaitu keletihan, kelemahan umum, keterbatasan dalam beraktivitas


yang ditimbulkan oleh diri sendiri atau orang lain.
Tanda yaitu perubahan tonus, kekuatan otot, gerakan involunter, kontraksi
otot atau sekumpulan otot.
b. Sirkulasi.
Gejala yaitu iktal : hipertensi (tekanan darah tinggi), peningkatan nadi,
sianosis, tanda-tanda vital normal atau depresi dengan penurunan nadi dan
pernafasan.
c. Integritas ego.
Gejala yaitu stressor eksternal atau internal yang berhubungan keadaan dan
atau penanganan peka rangsang, perasaan tidak ada harapan dan tidak
berdaya, perubahan dalam berhubungan.Ditandai dengan pelebaran rentang
respon emosional.

d. Eliminasi.

Gejala yaitu inkontinesia, ditandai dengan iktal : peningkatan tekanan


kandung kemih, dan tonus sfingter, postiktal : otot relaksasi yang
mengakibatkan inkontinensia baik urine maupun fekal.

e. Makanan dan cairan.

Gejalanya yaitu sensitivitas terhadap makanan, mual dan muntah yang


berhubungan dengan aktivitas kejang. Ditandai dengan kerusakan jaringan
lunak dan gigi (cedera selama kejang).
f. Neurosensori
Gejalanya yaitu riwayat sakit kepala, kejang berulang, pingsan, pusing dan
memliki riwayat trauma kepala, anoksia, infeksi cerebral, adanya aura
(rangsangan audiovisiual,auditorius, area halusinogenik). Ditandai dengan
kelemahan otot, paralisis, kejang umum, kejang parsial (kompleks), kejang
parsial (sederhana).

g. Nyeri dan kenyamanan

Gejalanya yaitu sakit kepala, nyeri otot, nyeri abnormal paroksismal selama
fase iktal. Ditandai dengan sikap atau tingkah laku yang hati-hati, distraksi,
perubahan tonus otot.

h. Pernafasan.
Gejalanya yaitu fase iktal : gigi mengatup, sianosis, pernafasan cepat dan
dangkal, peningkatan sekresi mucus.
i. Keamanan

Gejalanya yaitu riwayat terjatuh, fraktur, adanya alergi. Ditandai dengan


trauma pada jaringan lunak, ekimosis, penurunan kesadaran, kekuatan tonus
otot secara menyeluruh.

j. Interaksi sosial
Gejalanya yaitu terdapat masalah dalam hubungan interpersonal dalam
keluarga atau lingkungan sosialnya melakukan pembatasan, penghindaran
terhadap kontak sosial.

k. Penyuluhan dan pembelajaran.


Gejalanya yaitu adanya riwayat epilepsi pada keluarga, penggunaan obat
maupun ketergantungan obat termasuk alkohol.

8. Pemeriksaan Fisik
a. Tingkat kesadaran
b. Abnormal posisi mata
c. Perubahan pupil
d. Gerakan motorik
e. Tingkah laku setelah kejang
f. Apnea
g. Cyanosis
h. Saliva banyak

B. DIAGNOSA

1) Risiko tinggi terhadap trauma / penghentian pernapasan berhubungan dengan


kesulitan keseimbangan.
2) Risiko tinggi terhadap bersihan jalan napas/pola napas takefektif b/d kerusakan
neuromuskuler.
3) Gangguan Harga Diri/Identitas Pribadi berhubungan denganPersepsi tentang
tindak kontrol
4) Kurang Pengetahuan ( Kebutuhan Belajar ), Mengenai Kondisi Dan Aturan
Pengobatan berhubungkan dengan Keterbatasan kognitif.
C. INTERVENSI

DX 1 : Risiko tinggi terhadap trauma / penghentian pernapasan berhubungan


dengan kesulitan keseimbangan.

Tujuan : mengungkapkan pemahaman faktor yang menunjang kemungkinan


trauma, dan / atau penghentian pernapasan dan mengambil langkah untuk
memperbaiki situasi.

Kriteria hasil :

1. mendemonstrasikan perilaku, perubahan gaya hidup untuk mengurangi faktor


risiko dan melindungi diri dari cidera.
2. Mengubah lingkungan sesuai indikasi untuk meningkatkan keamanan.
3. Mempertahankan aturan pengobatan untuk mengontrol/menghilangkan
aktivitas kejang.
4. Pemberi perawatan akan : mengidentifikasi tindakan untuk diambil bila terjadi
kejang.

Intervensi

Mandiri

1. Gali bersama sama pasien berbagai stimulasi yang dapat menjadi pencetus
kejang.
R/ alkohol, berbagai obat dan stimulasi lain (seperti kurang tidur, lampu terlalu
terang, menonton televisi terlalu lama) dapat meningkatkan aktivitas otak,
yang selanjutnya meningkatkan risiko terjadinya kejang.
2. Pertahankan bantalan lunak pada penghalang tempat tidur yang terpasang
dengan posisi tempat tidur rendah.
R/ mengurangi trauma saat kejang (sering/umum) terjadi selama pasien berada
di tempat tidur.
3. Evaluasi kebutuhan untuk/berikan perlindungan pada kepala.
R/ penggunaan penutup kepala (semacam helm) dapat memberikan
perlindungan tambahan terhadap seseorang yang mengalami kejang terus
menerus/kejang berat.
4. Pertahankan tirah baring secara ketat jika pasien mengalami tanda tanda
timbulnya fase prodromal/aura. Jelaskan perlunya kegiatan ini.
R/ pasien mungkin merasa tidak dapat beristirahat/perlu untuk bergerak atau
melepaskan diri dari suatu keadaan selama fase aura, namun bergerak dengan
memperdulikan diri dari keamanan lingkungan dan mudah di observasi.
Pemahaman kepentingan untuk mempertimbangkan tentang pentingnya
kebutuhan keamanan diri sendiri dapat menambah keikutsertaan (kerja sama)
pasien.
5. Tinggalah bersama pasien dalam waktu beberapa lama selama/setelah kejang.
R/ meningkatkan keamanan pasien.
6. Catat tipe dari aktivitas kejang (seperti lokasi/lamanya aktivitas motorik,
hilang/penurunan kesadaran, inkontinensia, dan lain - lain) dan berapa kali
terjadi (frekuensi/kekambuhannya).
R/ membantu untuk melokalisasi daerah otak yang terkena.
7. Observasi munculnya tanda tanda status epileptikus, seperti kejang tonik
klonik setelah jenis yang muncul dengan cepat dan cukup meyakinkan.
R/ hal ini merupakan keadaan darurat yang mengancam hidup yang dapat
menyebabkan henti napas, hipoksia berat, dan/atau kerusakan pada otak dan
sel saraf. Intervensi yang segera dibutuhkan untuk mengendalikan aktivitas
kejang. Catatan: meskipun kejang tidak ada mungkin menjadi statis, biasanya
hal seperti ini tidak membahayakan (mengancam kehidupan)

Kolaborasi

8. Berikan obat sesuai indikasi:


Obat anti epilepsi meliputi fenitoin (Dilantin), primidon (Myosoline),
karbamazepin (Tegretol), klonazepam (Klonopin), asam valproat (Depakote).
R/ obat anti epilepsi meningkatkan ambang kejang dengan menstabilkan
membran sel saraf, yang menurunkan eksitasi neuron atau melalui aktivitas
langsung pada sistem limbik, talamus, dan hipotalamus. Tujuannya adalah
untuk mengoptimalkan penekanan terhadap aktivitas kejang dengan dosis obat
yang terendah dan dengan efek samping yang minimal.
9. Siapkan untuk pembedahan/elektrolit pengganti sesuai indikiasi.
R/ stimulator saraf vagal, terapi dengan pancaran magnetik, atau intervensi
bedah lainnya (seperti: lubektomi temporal) dapat dilakukan untuk kejang
yang tidak dapat diobati atau melokasi dengan akurat lesi epiloptogenik ketika
pasien tidak dapat mengatasi dan adanya risiko yang amat tinggi terhadap
munculnya trauma yang serius.

DX 2 : Risiko tinggi terhadap bersihan jalan napas/pola napas takefektif


berhubungan dengan kerusakan neuromuskuler.
Tujuan dan kriteria hasil: mempertahankan pola perbapasan efektif dengan jalan
napas paten/aspirasi dicegah.

Intervensi

Mandiri

1. Anjurkan pasien untuk mengosongkan mulut dari benda/zat tertentu/gigi


palsu atau alat yang lain jika fase aura terjadi dan untuk menghindari rahang
mengatup jika kejang terjadi tanpa ditandai gejala awal.
R/ menurunkan risiko aspirasi atau masuknya sesuatu benda asing ke faring.
2. Letakkan pasien pada posisi miring, permukaan datar, miringkan kepala
selamaserangan kejang.
R/ meningkatkan aliran (drainase) sekret, mencegah lidah jatuh dan
menyumbat jalan napas.
3. Tanggalkan pakaian pada daerah leher/dada dan abdomen.
R/ untuk memfasilitasi usaha bernapas/ekspansi dada.
4. Masukkan spatel lidah/jalan napas buatan dan gulungan benda lunak sesuai
dengan indikasi.
R/ jika memasukkannya diawal untuk membuka rahang, alat ini dapat
mencegah tergigitnya lidah dan memfasilitasib saat penghisapan lendir atau
memberi sokongan terhadap pernapasan jika diperlukan. Jalan napas buatan
mungkin diindikasikan setelah meredanya aktivitas kejang jika pasien
tersebut tidak sadar dan tidak dapat mempertahankan posisilidah yang aman.
5. Lakukan penghisapan sesuai indikasi.
R/ menurunkan risiko aspirasi atau asfiksia.

Kolaborasi

6. Berikan tambahan oksigen/ventilasi manual sesuai kebutuhan pada fase


posiktal.
R/ dapat menurunkan hipoksia serebral sebagai akibat dari sirkulasi yang
menurun atau oksigen sekunder terhadap spasme vaskuler selama serangan
kejang. Catatan: ventilasi buatan selama serangan kejang umum dibatasi atau
tidak mungkin untuk memindahkan udara kedalam/keluar paru selama
kontraksi otot pernapasan yang amat berlebihan. Setelah kejang itu reda
fungsi pernapasan akan kembali jika tidak muncul masalah sekunder (seperti
benda asing atau terjadi aspirasi).
7. Siapkan untuk/bantu melakukan intubasi, jika ada indikasi.
R/ munculnya apnea yang berkepanjangan pada fase posikal membutuhkan
dukungan ventilator mekanik.

DX 3 : Gangguan Harga Diri/Identitas Pribadi berhubungan dengan Persepsi


tentang tindak kontrol

Tujuan :

o Pengungkapan tentang perubahan gaya hidup


o Takut penolakan;perasaan negatif tentang tubuh
o Perubahan pada persepsi diri tentang peran
o Perubahan pada pola tanggung jawab biasanya
o Kurang mengikuti/tidak berpartisipasi pada terapi

Kriteria Hasil :

1. Mengidentifikasi perasaan dan metode untuk koping dengan


2. Persepsi negatif pada diri sendiri
3. Mengungkapkan peningkatan rasa harga diri dalam hubungannya dengan
diagnosis.
4. Menggungkapkan persepsi realistisdan penerimaan diri dalam perubahan
peran/gaya hidup.

Intervensi

Mandiri

1. Diskusikan perasaan pasien mengenai diagnostik, persepsi diri terhadap


penanganan yang di lakukannya. Anjurkan untk
mengungkapkan/mengekspresikan perasaannya.
R/ Reaksi yang ada bervariasi diantara individu dan
pengetahuan/pengalaman awal dengan keadaan penyakitnya akan
mempengaruhi penerimaan terhadap aturan pengobatan. Adanya keluhan
merasa takut, marah dan sangat memperhatikan tentang implikasinya
dimasa yang akan datang dapat membantu pasien untuk menerima
keadaannya.
2. Identifikasi/antisipasi kemungkinan reaksi orang pada keadaan penyakitnya.
Anjurkan pasien untuk merahasiakan masalahnya.
R/ memberikan kesempatan untuk berespons pada proses pemecahan
masalah dan memberikan tindakan kontrol terhadap situasi yang dihadapi.
Merahasiaan sesuatu adalah destruksif (merusak) harga diri (potensial
mengalami menyangkal), menghentikan perkembangan dalam menangani
masalah dan mungkin secara aktual meningkatkan resiko trauma.
3. Gali bersama pasien mengenai keberhasilan yang telah di peroleh atau yang
akan dicapai selanjutnya dan kekuatan yang dimilikinya.
R/ Memfokuskan pada aspek yang positif dapat membantu untuk
menghilangkan perasaan dari kegagalan atau kesadaran terhadap diri sendiri
dan membentuk pasien mulai menerima penanganan terhadap penyakitnya.
4. Hindari pemberian perlindungan yang amat berlebih pada pasien, anjurkan
aktivitas dengan memberikan pengawasan/dengan mementau jika ada
indikasi.
R/ Partisipasi dalam sebanyak mungkin pengalaman dapat mengurangi
depresi tentang keterbatasan. Observasi/pengawasan perlu diberikan pada
beberapa aktivitas seperti latih tubuh (senam), olahraga memanjat/panjat
tebing atau olahraga air.
5. Tentukan sikap kecakapan orang terdekat. Bantu ia menyadari perasaan
tersebut adalah normal, sedangkan merasa bersalah dan menyalahkan diri
sendiri tidak ada manfaatnya.
R/ Pandangan yang negatif dari orang terdekat berpengaruh terhadap
perasaan kemampuan harga diri pasien dan mengurangi dukungan yang
diterima dari orang terdekat.
6. Tekanan pentingnya staf/orang terdekat untuk tetap dalam keadaan tenang
selama kejang.
R/ Ansietas dari pemberi asuhan adalah menjalar dan bila sampai pada
pasien dapat meningkatkan persepsi negatif terhadap keadaan
lingkungan/diri sendiri.

Kolaborasi
7. Rujuk pasien/orang terdekat pada kelompok penyokong seperti yayasan
epilepsi dan sebagainya.
R/ Memberikan kesempatan untuk mendapatkan informasi, dukungan dan
ide-ide untuk mengatasi masalah dari orang lain yang telah memiliki
pengalaman yang sama.
8. Diskusikan rujukan kepada psikoterapi dengan pasien atau orang terdekat.
R/ Kejang mempunyai pengaruh yang besar pada hargi diri seseorang dan
pasien/orang terdekat dapat merasa berdosa atas keterbatasan penerimaan
terhadap dirinya dan stigma masyarakat.
DX 4 : Kurang Pengetahuan ( Kebutuhan Belajar ), Mengenai Kondisi Dan Aturan
Pengobatan berhubungkan dengan Keterbatasan kognitif.

Tujuan:

- Tidak ada lagi pertanyaan yang diutarakan.


- Dapat mengikuti aturan obat.
Kriteria Hasil :
1. Mengungkapkan pemahaman tentang gangguan dan berbagai rangsangan
yang dapat meningkatkan/berpotensi pada aktivitas kejang.
2. Memulai perubahan perilaku/gaya hidup sesuai indikasi.
3. Mentaati aturan obat yang diresepkan.
Intervensi
Mandiri
1. Jelaskan kembali mengenai patofisiologi/prognosis penyakit dan perlunya
pengobatan/ penanganan dalam jangka waktu yang lama sesuai indikasi.
R/ Memberikan kesempatan untuk mengklarifikasi kesalahan persepsi dan
keadaan penyakit yang ada sebagai sesuatu yang dapat ditangani dalam cara
hidup yang normal.
2. Tinjau kembali obat obat yang didapat, penting sekali memakan obat sesuai
petunjuk, dan tidak menghentikan pengobatan tanpa pengawasan dokter.
Termasuk petunjuk untuk pengurangan dosis.
R/ Tidak adanya pemahaman terhadap obat obat yang didapat merupakan
penyebab dari kejang yang terus menerus tanpa henti. Pasien perlu untuk
mengetahui resiko timbulnya status epileptikus sebagai akibat dari
menghentikan penggunaan obat antikonvulsan. Bergantung pada obat dan
frekuensinya, pasien dapat diinstruksikan untuk menentukan dosi obat yang
tepat.
3. Berikan petunjuk yang jelas pada pasien untuk minum obat bersamaan dengan
waktu makan jika memungkinkan.
R/ Dapat menurunkan iritasi lambung, mual/muntah.
4. Diskusikan mengenai efek samping secara khusus, seperti mengantuk,
hiperaktif, gangguan tidur, hipertrofi pada gusi, gangguan penglihatan,
mual/muntah, timbul ruam pada kulit, sinkope/ataksia, kelahiran yang
terganggu dan anemia aplastik.
R/ Dapat mengindikasikan kebutuhan akan perubahan dalam dosis/obat pilihan
yang lain, meningkatkan keterlibatan/partisipasi dalam proses pengambilan
keputusan dan menyadari efek jangka panjangdari obat dan memberikan
kesempatan untuk mengurangi/mencegah komplikasi.
5. Berikan informasi tentang interaksi obat yang potensial dan pentingnya untuk
memberitahu pemberi perawatan yang lain dari pemberian obat tersebut.
R/ Pengetahuan mengenai penggunaan obat antikonvulsan menurunkan resiko
obat yang diresepkan yang dapat berinteraksi yang selanjutnya mengubah
ambang kejang atau memiliki efek terapeutik, contoh : Dilantin mempunyai
efek antikoagulasi dari Coumadin, sebaliknya INH dan kloromisetin
meningkatkan efek dari dilantin.
6. Anjurkan pasien untuk menggunakan semacam gelang identifikasi/semacam
petunjuk yang memberitahukan bahwa anda adalah penderita epilepsi.
R/ Mempercapat penanganan dan menentukan diagnosa dalam keadaan
darurat.
7. Tekankan perlunya untuk melakukan evaluasi yang teratur/melakukan
pemeriksaan laboratorium yang teratur sesuai dengan indikasi, seperti darah
lengkap harus diperiksa minimal dua kali dalam satu tahun dan munculnya
sakit tenggorokan atau demam.
R/ Kebutuhan terapeutik dapat berubah dan/efek samping obat yang serius (
seperti agranulositosis atau toksisitas ) dapat terjadi.
8. Bicarakan kembali kemungkinan efek dari perubahan hormonal.
R/ Gangguan hormonal yang terjadi selama menstruasi dan kehamilan dapat
meningkatkan resiko kejang.
9. Diskusikan manfaat dari kesehatan umum yang baik, seperti diet yang adekuat,
istirahat yang cukup, latihan yang cukup dan hindari bahaya, alcohol, kafein
dan obat yang dapat menstimulasi kejang.
R/Aktivitas yang sedang dan teratur dapat membantu
menurunkan/mengendalikan factor-faktor predisposisi yang meningkatkan
perasaan sehat dan kemampuan koping yang baik dan juga meningkatkan
harga diri.
10. Tinjau kembali pentingnya kebersihan mulut dan perawatan gigi yang teratur.
R/ Menurunkan resiko infeksi mulut dan hiperplasia dari gusi.
11. Identifikasi perlunya/meningkatkan penerimaan terhadap keterbatasan yang
dimiliki, diskusikan tindakan keamanan yang diperhatikan saat mengemudi,
menggunakan alat mekanik, panjat tebing, berenang, kesenangan ( hobi ) dan
sejenisnya.
R/ Menurunkan resiko trauma oleh diri sendiri atau orang lain terutama jika
kejang terjadi tanpa diawali oleh tanda-tanda peringatan tertentu.

D. IMPLEMENTASI

Pelaksanaan/implementasi merupakan tahap keempat dalam proses asuhan


keperawatan yang merupakan perwujudan dari rencana tindakan yang telah disusun
dalam tahap perencanaan, implementasi akan dilaksanakan pada kasus nyata serta
sesuai dengan kondisi klien.

E. EVALUASI

Merupakan tahap akhir dari proses asuhan kebidanan untuk menilai tentang kriteria
hasil yang dicapai, apakah sesuai dengan rencana atau tidak dalam evaluasi dilakukan
dengan pendekatan SOAP, yang dimaksud SOAP adalah sebagai berikut :

S : Subyektif : Yang didapatkan dari keluhan klien

O : Obyektif : Yang didapatkan dari hasil pemeriksaan oleh petugas yang terkait.

A : Assesment : Berisi kesimpulan dari data subyektif dan obyektif yang


menunjukkan keberhasilan tindakan yang telah dilakukan ataupun masalah
yang baru muncul.

P : Planning : Merupakan perencanaan lanjut dan tindakan yang sudah dilakukan


dengan berpedoman pada tingkat keberhasilan yang telah dicapai.

Anda mungkin juga menyukai