Anda di halaman 1dari 15

KEDERMAWANAN

Kedermawanan atau filantropi (philanthropy) adalah satu di antara konsep-konsep yang


mendesak. Konsep ini sekurang-kurangnya relevan untuk dua wacana pokok yang sedang
menyedot perhatian dan keprihatinan publik di Indonesia. Pertama, krisis pitumuka dan
dampak-dampak ikutannya (konflik sosial, pengungsian, pembengkak-an hutang negara), yang
menimpakan penderitaan bagi manusia Indonesia, terutama atas golongan yang kurang
beruntung atau tidak diuntungkan (the disadvantaged). Upaya-upaya pemulihan dengan biaya
sosial (social cost) tak kecil telah dilakukan, tetapi tanda-tanda kepulihan yang mendasar belum
juga tampak jelas. Pemulihan lebih lanjut, memerlukan dana sosial (social fund) yang tak kecil
pula. Kedua, agenda penegakan kembali tatanan masyarakat warga (civic minded, civil society)
yang terkait dengan wacana demokratisasi, rekonsiliasi, penguatan kapasitas (capacity
building), pemberdayaan (empowerment) atau tata pemerintahan yang baik (good governance).
Pertautan kedermawanan dengan konsep-konsep yang disebut terakhir terdapat pada elemen
dasar yaitu tindakan sukarela (volunteerism) secara keseluruhan disebut agenda-agenda
sukarela atau gerakan sosial (social movement), atau sektor filantropi (philanthropy sector),
atau sektor ketiga (third sector).

Tidak seperti di negeri-negeri demokratis pada umumnya, gerakan sosial di Indonesia relatif
terlambat berkembang, untuk menyebut mandeg, kerdil, atau rapuh. Peranannya tidak terlalu
signifikan mengisi proses transformasi di Indonesia. Agenda-agenda sukarela memerlukan
penanganan yang serius secara bersama di Indonesia.

Dalam konteks itu pula, maka upaya memahami kosep-konsep dan praktik-praktik
kedermawanan di Indonesia pada saat yang sama berarti mansyaratkan pengertian yang
sepadan mengenai sektor ketiga-agenda-agenda dan problematikanya.

Tidak seperti di negeri-negeri demokratis pada umumnya, gerakan sosial di Indonesia relatif
terlambat berkembang, untuk menyebut mandeg, kerdil, atau rapuh. Peranannya tidak terlalu
signifikan mengisi proses transformasi di Indonesia. Sebab utama, karena sistem politik
nasional yang memihak prinsip negara kuat selama empat dekade (sejak era Demokrasi
Terpimpin), memang tidak memberi peluang bagi bekerjanya kekuatan-kekuatan sosial
alternatif di luar sektor negara dan pasar (ekonomi politik). Jika pun terjadi, seperti ditunjukkan
oleh gerakan LSM sejak tahun 1970-an, ruang geraknya terbatas, peranannya marginal, dan
kultur bergiat yang dominan terendapkan di dalamnya boleh jadi tidak sehat. Gerakan
mahasiswa tahun 1997-1998 yang berhasil menumbangkan pemerintahan Orde Baru dapat
disebut sebagai sebuah gerakan sosial, sekalipun untuk sebagian, terutama dari perspektif
historis, kurang mencukupi.
Gerakan masyarakat warga di Indonesia praktis baru menemukan momentumnya berkembang
sejak angin keterbukaan dan reformasi bergulir lima tahun terakhir (1997). Belakangan OMW
tumbuh ibarat jamur di musim hujan . Mengimbuhi atau melanjutkan rintisan-rintisan peranan
LSM sebelumnya, peran OMW dewasa ini tak bisa dipungkiri kian signifikan. Penghargaan
dan penerimaan lingkungan sosial, baik dalam maupun luar negeri, terus menguat, meski
kontroversi wacana tak kurang menyertainya.

Karena itu tanggapan OMW terhadap perubahan pada umumnya juga mendua; sebagai agen
dan sekaligus pasien. Ketika peranan OMW menjadi tuntut-an dan kebutuhan aktual bagi
penegakan tatanan masyarakat warga, misalnya, secara inheren OMW sendiri sarat
keterbatasan. Gejala dan fakta paling konkret adalah kegiatan OMW di Indonesia sejauh ini
masih sangat tergantung kepada donasi dan solidaritas antarbangsa, apakah dari lembaga-
lembaga unilateral, multilateral dan bilateral atau LSM-LSM yang berpusat negara-negara
kaya. Kondisi ini, untuk sebagian, merupakan asas bagi berkembangnya isu yang merupakan
asas bagi berkembangnya isu yang meragukan otentitas sektor ketiga di Indonesia. Sebelum
OMW memperlihatkan tanda-tanda kemandirian dalam menggalang dana sosial dari sumber-
sumber domestik, isu atau penilaian semacam itu, untuk sebagian dapat dibenarkan dan tidak
bisa disangkal.

Adapun jumlah dana potensial yang mungkin digali diperkirakan lebih besar lagi. Penduduk
yang berjumlah 210 juta jiwa adalah dermawan-dermawan potensial, betapa pun bentuk dan
nilainya. Potensi itu diperkuat oleh ketersediaan kerangka referensi umum berupa nilai-nilai,
norma-norma, sikap, dan kepercayaan (agamis, suka menolong atau tolong menolong, ramah-
tamah) yang sering diasumsikan melekat pada bangunan sosial di Indonesia. Tindakan sosial
sukarela yang terlembaga itu tidak hanya potensial di dayagunakan untuk mengatasi masalah-
masalah sosial dan kemanusiaan yang sedang terjadi, tetapi juga membangun kemandirian dan
otentitas identitas diri sebagai sebuah bangsa. Apabila lembaga-lembaga perantara
(intermediary institutions, fundraisers, trustees) berhasil mengembangkan cara-cara alternatif
yang lebih aktual dan agenda-agenda sukarela berhasil dikembangkan secara terkoordinasi,
dana sosial yang akan dihasilkan dari sumber-sumber domestik akan jauh dari memadai untuk
menangani masalah-masalah sosial dan kemanusiaan yang terjadi di tanah air.
Sistem dana sosial di Indonesia juga bukan tanpa masalah. Dewasa ini terdapat anggapan kuat
bahwa kedermawanan lebih merupakan (a) milik atau tanggung jawab sosial golongan
menegah atas, yang lebih pantas digalang oleh (b) lembaga-lembaga pemerintah atau lembaga
yang dilegalisir pemerintah, sebagai (c) belas kasihan kepada golongan masyarakat yang
kurang mampu, dengan (d) cara-cara yang karitatif dan kuratif. Mekanisme pengelolaan
(penganggaran, pendistribusian, dan pertanggung jawaban) yang hibrid dan tertutup.
Mekanisme pertanggungjawaban dana sosial yang digalang oleh lembaga-lembaga tersebut
tidak begitu jelas. Tak sedikit komentar yang mencurigai dana-dana sosial tersebut digunakan
untuk kepentingan politik penguasa, baik di pusat maupun di daerah.
Dalam konteks makro ada dua pertanyaan pokok yang penting dijawab. Pertama, apakah
tersedia dan memungkinkan mengembangkan sebuah kerangka konseptual umum yang
koheren dalam memahami agenda-agenda sukarela di Indonesia? Kedua, kondisi apa yang
diperlukan sehingga agenda-agenda sukarela tersebut lebih mudah bekerja secara efektif dan
terkoordinasi? Terkait kedermawanan, pertanyaan pertama berhubungan dengan tugas
mengenali sifat dan hakikat kedermawanan dan subjek-subjek yang terkait dengan
kedermawanan. Sedangkan pertanyaan kedua berhubungan dengan cara membangkitkan
kedermawanan, yaitu: (1) Siapa atau dari golongan mana derma atau dana itu bersumber atau
seyogyanya bersumber (pribadi perorangan, lembaga)?; (2) Siapa atau lembaga mana yang
paling pantas, kompeten dan acceptable menjalankan peran sebagai perantara atau penggalang
derma atau dana-dana sosial tersebut?; (3) Bagaimana mekanisme pengelolaan (meringankan,
melayani, dan membebaskan) atau mekanisme penghantaran derma atau dana-dana sosial
tersebut (materi, non-materi, langsung dan tidak langsung, bersyarat dan tanpa syarat)?; (4)
Golongan mana yang menjadi penerima (individu, golongan sosial)? Keempat pertanyaan ini
sesungguhnya dapat terangkum oleh sebuah pertanyaan yakni bagaimana mengembangkan
sistem dana sosial yang berwibawa di Indonesia. Kebutuhan ini belum banyak dipertanyakan
dan dicari jawabannya.

Barangkali memang besar anggapan banyak pihak bahwa pengusaha telah mengeluarkan dana
dalam jumlah tak sedikit menanggapi baik tuntutan formal maupun keprihatinan sosial yang
terjadi di sekelilingnya. Akan tetapi siapa kelompok penerimanya, apa lembaga perantaranya,
bagaimana mekanisme penghantarannya, bagaimana dampak-nya, apa kendala dan
masalahnya, serta apa sesungguhnya opini mereka, sejauh ini belum diketahui secara jelas.
Para komentator dan kritikus di media sejauh ini baru berandai-andai tanpa disertai bukti-
bukti empiris.

Akan halnya kritik kepada pemerintah, tak jauh dari apa yang disebut oleh para ahli dengan
patologi birokrasi. Birokrasi sering kali terlalu lamban menangani kasus-kasus yang pada
dasarnya memerlukan tindakan sosial segera. Tak jarang bantuan pemerintah untuk menangani
masalah-masalah sosial, kemanusiaan, dan lingkungan hidup yang terlanjur kadaluarsa.
Belakangan, terutama sejak UU Otonomi Daerah berlaku, malah terdapat kecenderungan baru
di mana gerak birokrasi daerah justru lebih lamban. Jika masa sebelumnya gubernur, bupati
atau wali kota punya keleluasaan menggalang dana masyarakat dan mendistribusikannya
secara taktis menuju sasaran, sejak UU No. 22 tentang Otonomi Daerah, tidak lagi berlaku
demikian. Kalangan legislatif acap kali justru memainkan peran sebagai birokrasi tambahan,
berhubungan posisi politiknya dalam penyusunan peraturan daerah yang diperlukan dalam
penyelenggaraan pemerintah daerah.

Berkaitan dengan itu, prakarsa gerakan masyarakat warga yang diwakili oleh organisasi-
organisasi sukarela belum banyak memainkan perannya, menyambungkan peran dunia usaha
dan pemerintahan dengan kepentingan publik. Di luar aksi-aksi sosial yang lazim, seperti
kampanye, demonstrasi, advokasi atau secara terbatas pendampingan di akar rumput, jalur
alternatif belum berkembang. Upaya-upaya langsung menggalang dukungan dan solidaritas
unsur-unsur warga sekomunitas belum banyak digarap.
YAYASAN KOMUNITAS

Istilah CSR (Corporate Social Responsibility) atau sering diterjemahkan menjadi Tanggung
Jawab Sosial Perusahaan semakin ekstensif digunakan oleh berbagai kalangan : akademisi,
aktivis sosial (LSM) dan terutama dari kalangan bisnis (sektor privat). Istilah ini bergerak
menjadi trend bisnis terutama korporasi besar dan transnasional. Bahkan beberapa waktu lalu,
CSR telah diregulasikan di Indonesia. Ini tentu terobosan yang berani sebab isu CSR di lingkup
internasional masih dalam pertarungan antara mereka yang menghendaki voluntary yang lebih
mengedepankan pendekatan moral dan mereka yang menghendaki agar CSR diwajibkan
karena pendekatan moral dianggap tidak cukup mampu untuk mencegah perusahaan
melakukan tindakan yang tidak etis.Selain itu, kajian CSR telah menjadi lahan industri baru
yang diindikasikan oleh munculnya berbagai institusi yang menyediakan layanan yang
berkaitan dengan isu-isu CSR. Di Indonesia misalnya CFCD (Corporate Forum for Community
Development), IBL (Indonesian Bussiness Links). Sementara untuk skala global kita mengenal
BSR, UN Global Compact, WBCSD, CSR Asian Forum dan institusi lainnya. Kebanyakan dari
institusi-intitusi tersebut disponsori oleh perusahaan-perusahaan berkapital besar.

Sampai di sini menjadi kurang signifikan bagi kita untuk melacak motivasi perusahaan-
perusahaan tersebut aktif dalam mengintrodusir dan melakukan CSR. Dilihat dari sisi makro-
historis, sikap tersebut lebih merupakan tindakan reaktif terhadap gelombang demokratisasi
dan meningkatnya tuntutan agar perusahaan menghargai dan menjunjung tinggi nilai-nilai
HAM serta melestarikan lingkungan dalam melakukan aktivitasnya (Utting, 2005). Reputasi
dan legitimasi/lisensi sosial adalah dua dari beberapa manfaat strategis yang diperoleh
perusahaan (Moir, 2000). Setiap pihak selalu mencari insentif ;there are no free
lunch ungkap Adam Smith. Dengan kata lain, entitas perusahaan melakukan CSR jelas
didorong oleh rasionalitasnya : profit oriented.

Namun, kemudian profit tersebut tidak hanya hanya diukur dari sektor finansial semata, tetapi
diterjemahkan ke triple bottom line : financial, environmental, social. Rentang CSR pun
membentang yaitu kepada komunitas, pekerja dan keluarganya, konsumen, pemasok
(Moir,2000 ; WBCSD) CSR kepada komunitas atau yang lebih disimplifikasikan oleh berbagai
kalangan adalah CD (Community Development). Dalam melakukan CSR bidang sosial ke
komunitas, perusahaan sering melakukannya dengan bentuk donasi sosial (charity) seperti
sumbangan kepada korban bencana, bantuan beasiswa, bantuan pembangunan infrastruktur
fisik yang dilakukan oleh perusahaan tambang, misalnya PT Chevron di Riau dan PT Newmont
Nusa Tenggara di Sumbawa.

Tantangan CSR : Kemandirian dan Keberlanjutan Komunitas

Dengan komitmen perusahaan menyediakan dana dan terkadang membentuk departemen


khusus yang menanganI community development, maka pertanyaan sekaligus tantangan
terbesar selanjutnya adalah bagaimana aktivitas CSR dapat mewujudkan community
development?. Hal ini didasarkan peertimbangan bahwa CD lebih merupakan pendekatan
strategi dari pada sebuah program. Terlebih bila dilihat dari fakta sejarah bahwa CSR yang
notabene lebih bermakna sebagai the new strategy to do bussiness / the new way of
marketing, maka gagasan CSR akan serta merta merealisasikan community
development masih menghadapi beberapa tantangan.

Pertama, aspek sustainable self-help (kemandirian yang berkelanjutan). Pembangunan adalah


tujuan sekaligus proses menuju pribadi yang merdeka di saat bersamaan. Dalam pengertian
Amartya Sen, pembangunan adalah sebagai proses yang merdeka menuju individu yang
merdeka ; development as freedom. Kemerdekaan bukan hanya berfungsi sebagai tujuan, tetapi
juga sarana. Tidak jauh berbeda adalah Todaro yang menyatakan bahwa di antara visi
pembangunan adalah membebaskan diri dari sikap menghamba dan memperbanyak pilihan
(2000). Pola CSR yang karitatif dan paternalistik tidak akan mampu mengakomodasi
paradigma seperti ini karena pola karitatif tidak melibatkan proses yang partisipatif dan
mencerahkan komunitas. Pola karitatif hanya melihat komunitas sebagai pihak yang
membutuhkan bantuan (lemah). Oleh karena itu perlu dibantu. Permasalahannya adalah
bantuan ini sering tidak melibatkan perubahan struktural yang mendasar yang dibutuhkan
komunitas untuk memerdekakan diri dari ketertinggalan. Dengan mengabaikan proses yang
partisipatif maka visi mulia CSR sebagai pembangunan sulit untuk direalisasikan.

Kedua, pola perusahaan dalam melaksanakan CSR kepada komunitas. Pola charity atau
sekedar memberikan donasi sosial atau membentuk kegiatan ekonomi bagi lingkungan di
sekitar perusahaan tidaklah cukup ; necessary but not sufficient. Sudah sewajarnya perusahaan
meninggalkan program dan kebijakan CSR yang sekedar memberikan layanan sosial yang
paternalistis. Layanan paternalistis, walaupun diakui terkadang berguna daalam jangka pendek,
pada akhirnya cenderung menimbulkan sikap ketergantungan. Perlu dilakukan pembangunan
kapasitas bagi komunitas sehingga diharapkan masyarakat dapat mencari, menciptakan dan
memanfaatkan peluang yang ada saat ini dan masa depan.

Ketiga, aspek sustainable institutional. Institusi sosial memiliki dua arti. Pertama yaitu
pengertiannya sebagai sebuah organisasi. Kedua, pengertiannya sebagai seperangkat aturan
formal maupun informal yang mengarahkan perilaku seseorang. Keberadaan institusi akan
sangat berpengaruh dalam menyediakan alternatif tindakan anggota komunitas. Institusi juga
menyediakan sumberdaya (dana, keahlian, jaringan, komitmen) yang dibutuhkan untuk
mencapai pembangunan komunitas. Dengan peranan yang sedemikian besar itu, keberlanjutan
institusi yang menopang terciptanya pembangunan komunitas penting untuk diciptakan dan
dipertahankan. Institusi inilah yang menjembatani perbedaan nilai, karakter, kepentingan
antara perusahaan, komunitas dan pemerintah. Guncangnya institusi ini akan mengguncang
pula hubungan di antara ketiganya.

Ke empat, aspek komunitas. Dalam berbagai tulisan, kita sering disuguhkan bahwa komunitas
itu adalah sesuatu yang tunggal. Seolah-olah di dalamnya tidak terdapat dinamika. Padahal
dalam kenyataannya, komunitas memiliki dinamika dan struktur tersendiri. Ia terstratifikasi
atas berbagai kelas dan golongan, kepentingan. Semuanya saling kait mengkait membentuk
dinamika yang khas. Lebih lanjut, semua ini akan mempengaruhi program dan kebijakan sosial
perusahaan. Perusahaan dalam berhubungan dengan komunitas terkadang mengalami bias elit.
Menurut Moir (2002) perilaku sosial perusahaan sangat dipengaruhi oleh atribut
kekuasan (power), urgensitas. Tidak mengherankan bila kemudian perusahaan lebih intens
berhubungan dengan kelas elit dibandingkan non-elit. Permasalahannya adalah seandainya
pendekatan ini yang digunakan maka bukanlah pembangunan komunitas yang akan diperoleh
melainkan pertentangan anggota komunitas. Tanpa mekanisme yang jelas dan
mempertimbangkan aspek keadilan di dalam komunitas, maka bantuan justru dapat menjadi
bumerang bagi eksistensi perusahaan. Perusahaan kehilangan legitimasi/lisensi sosialnya.
Bantuan atau program yang tidak mempertimbangkan aspek lokalitas akan memproduksi
konflik baik antar anggota di dalam satu komunitas, komunitas-komunitas, komunitas-
perusahaan.

Dalam hal ini, transaksi antara eksternalitas negatif yang ditimbulkan perusahaan dan manfaat
yang diperoleh oleh komunitas memainkan peranan penting. Jika eksternalitas negatif tersebut
ditanggung oleh komunitas, maka sudah seharusnya manfaat dipetik oleh komunitas dalam
porsi yang sama. Kalau ini tidak terjadi maka aspek keadilan sosial akan terlukai. Ini akan
merangsang tumbuh suburnya deprivasi sosial. Pada proses selanjutnya, cukup diperlukan
pemicu guna terjadinya konflik terbuka tidak tertutup kemungkinan melibatkaan kekerasan
antara perusahaan dan masyarakat. Jika skala konflik membesar, tidak menutup kemungkinan
konflik akan melibatkan pemerintah sehingga konflik akan berlangsung antar sektor :
komunitas/masyarakat sipil, perusahaan/privat (pasar), pemerintah (wilayah politik).

Contoh kasus adalah konflik terbuka antara komunitas antara masyarakat yang mendukung dan
menolak sebuah usaha pertambangan di Pulau Sumbawa (Guntoro, 2007). Mereka yang
mendukung dalam banyak hal mendapat manfaat ekonomis yang lebih banyak dibandingkan
mereka yang menolak. Mereka yang mendukung memperoleh keuntungan tersebut dengan
menjadi pemasok bagi kebutuhan usaha. Mereka ini didominasi oleh kelas elit desa. Sementara
mereka yang menolak tidak memperoleh manfaat langsung ini. Ini bukanlah kecemburuan
sosial, tetapi ketidakadilan sosial. Logika yang berjalan adalah jika ekternalitas negatif itu
harus ditanggung oleh komunitas maka mengapa manfaat itu hanya untuk individu. Terjadi
kesenjangan transaksi di sini. Kesenjangan itu diproduksi oleh struktur sosial politik yang ada.

Epilog

CSR, dalam hal ini tanggungjawab kepada komunitas, memiliki potensi untuk mengankat taraf
hidup bangsa. CSR juga dapat menjadi perekat atau penghancur eksistensi komunitas.
Hancurnya komunitas ditengarai oleh Peter Drucker dalam tulisannya, Civilizing The
City(1998), menyebabkan meningkatnya kerawanan sosial seperti meningkatnya tindakan
kriminalitas. Oleh karena itu, ia menyarankan pentingnya membangun kembali komunitas
yang telah luluh lantak dihancurkan oleh kapitalisme brutal. Pembangunan
komunitas (community development) bukanlah urusan sekedar bagaimana meningkatkan
kekayaan ekonomi mereka sehingga dapat membeli lebih banyak mengisi keranjang konsumsi.

Namun, lebih dari itu, ia dalam waktu bersamaan harus mengajarkan kepada anggota
komunitas untuk lebih bertanggungjawab, peduli terhadap sesama atau avoiding social
ignorance seperti diungkapkan Frank dan Smith (1999). Tetapi tentu bukanlah sebuah sikap
untuk mengintervensi kebebasan dan menentukan baik buruknya apa yang harus dilakukan
seseorang. Sikap seperti ini bukanlah kepedulian melainkan sikap kediktatoran (dictatorship).
Inilah tantangan terbesar yang dihadapi oleh CSR.

CFs pertama kali digagas 1914 di Cleveland, Ohio, AS oleh Frederick Harris Goff. Saat itu
Goff bermaksud mengumpulkan dana dari berbagai kalangan masyarakat, baik dalam jumlah
besar maupun kecil. Ia membangun keterlibatan sebanyak mungkin anggota masyarakat dalam
penyantunan dana. Setelah itu, gagasan CFs terus digulirkan, dan semenjak 1980-an
berkembang pesat dan hingga saat ini di seluruh dunia telah berdiri lebih dari 1000 CFs yang
beroperasi di lebih 40 negara.

1914, when the first community foundation was started in Cleveland, Ohio, a banker,
Frederick H. Goff, developed a cooperative model of philanthropy that gathered together a mix
of charitable funds under one umbrella

(James 1989: 63, in Magat 1989)


Community Foundation is an independent, philanthropic organization (part of the nonprofit,
nongovernmental sector) dedicated to addressing critical needs and improving the quality of
life in a specific geographic area

(C.S. Mott 1998)


Community Foundation is a tax-exempt, independent, publicly-supported philanthropic
organization established and operated as a permanent collection of endowed funds for the
longterm benefit of a defined geographic area. . . .

A community foundation actively seeks new, typically large contributions, and functions
primarily as a grant-making institution supporting a broad range of charitable activities

(Agard, Monroe, and Sullivan 1997: 15)


Lembaga donor berperan dalam mendukung pendirian CFs di wilayah lokal tertentu, berbasis
kepemilikan masyarakat lokal, menggali sumber daya lokal, mencoba mengatasi
permasalahan spesifik di tingkatan lokal tersebut dan pada akhirnya membangun kelestarian
program.

CFs mulai tumbuh di Indonesia paska krisis ekonomi tahun 1997, bahkan akhir-akhir ini
semakin berkembang sebagai respon atas tingginya bencana alam yang terjadi di seluruh
wilayah Indonesia. Sesungguhnya, konsep institusi kemandirian masyarakat ini bukanlah hal
yang sama sekali baru di Indonesia. Warga Kasepuhan di Jawa Barat misalnya, telah
mengembangkan leuit (lumbung padi) untuk memastikan warganya terhindar dari kelaparan
di musim paceklik. Masyarakat perantau dari Sumatera Barat juga sejak lama telah
mengembangkan filantropi kekerabatan (diaspora) dan dari iuran sukarela yang berhasil
dikumpulkan, saat ini telah berkembang lebih dari 40 Bank Perkreditan Rakyat yang melayani
permodalan masyarakat miskin di Sumatera Barat. Begitu juga di bidang keagamaan, dengan
berdirinya Dompet Duafa yang bekerja sama dengan koran Republika dalam penggalangan
dana publik dan penyaluran modal dan bantuan pendidikan dan kesehatan bagi masyarakat.

Lembaga-lembaga donor memiliki peranan penting dalam mendorong terbentuknya CFs,


sebagai bagian dari alur mekanisme penyaluran bantuan bagi masyarakat dan juga sebagai
strategi lembaga donor dalam memastikan tercapainya dampak lebih besar dan keberlanjutan,
khususnya bagi upaya pengentasan kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Lembaga donor berperan dalam mendukung pendirian CFs di wilayah lokal tertentu, berbasis
kepemilikan masyarakat lokal, menggali sumber daya lokal, mencoba mengatasi permasalahan
spesifik di tingkatan lokal tersebut dan pada akhirnya membangun kelestarian program.

Arah dan ukuran keberhasilan pembangunan kini akan sangat ditentukan seberapa besar irisan
sinergi dapat dilakukan oleh tiga pihak pelaku pembangunan. Peran sektor civil society
(masyarakat madani) sebagai salah satu pilar keseimbangan pembangunan berkelanjutan
menjadi sangat penting, karena kemitraan dengan sektor civil society akan mampu
menciptakan ruang kesetaraan dialog yang cukup luas bagi begitu kompleksnya permasalahan
dan kondisi yang sesungguhnya kini dihadapi masyarakat.

Ketika kesadaran atas peran civil society dalam pembangunan berkelanjutan mulai
berkembang menjadi sebuah kebutuhan mutlak, ternyata keberadaan civil society sendiri
menyisakan berbagai masalah mendasar, antara lain : adanya kesenjangan pendanaan kerja
pembangunan jangka panjang, tidak adanya kapasitas yang memadai untuk menjadi pelaku
pembangunan secara komprehensif, lemahnya struktur dan kelembagaan pendukung yang
mampu menempatkan civil society sebagai mitra yang setara, yang ditunjukkan dengan tidak
adanya institusi lokal yang cukup kuat dan mampu merepresentasikan kepemilikan dan
kepentingan antar civil society itu sendiri.

Di sisi lain, model pembangunan yang kini dikembangkan, tidak juga dapat memangkas
derasnya laju pertambahan tingkat kemiskinan masyarakat secara signifikan. Kenaikan harga
minyak global misalnya, secara otomatis mengurangi daya beli masyarakat, dan mengurangi
alokasi anggaran pemerintah bagi pelayanan langsung masyarakat di bidang ekonomi,
kesehatan dan pendidikan. Pada saat yang sama, kecenderungan konversi lahan bagi
pemenuhan bioenergi, menyebabkan langka dan mahalnya berbagai komoditas pangan.
Kenaikan harga bahan pangan, lagi-lagi membuat kondisi kehidupan masyarakat miskin
menjadi kian rentan. Terus bergulirnya program-program bantuan bagi masyarakat, baik dari
pemerintah maupun lembaga-lembaga donor, tampaknya tidak juga bisa mengatasi
kompleksnya permasalahan kemiskinan secara memuaskan.

Kebutuhan akan kuatnya peran sektor civil society merupakan sudut pandang baru dalam
konstalasi kemitraan bagi pembangunan berkelanjutan. Penguatan pilar civil society dalam
jangka panjang membutuhkan dukungan sepenuhnya dari sektor publik (pemerintah) dan
sektor swasta (bisnis).

Keseimbangan posisi, peran dan kekuatan masing-masing sektor tersebut yang akan dapat
memperbesar irisan sinergi antara ketiganya dan menentukan sejauh mana keberhasilan upaya
pembangunan berkelanjutan dapat tercapai.

Maka, dewasa ini, sangat dirasakan kebutuhan akan strategi pemberdayaan masyarakat yang
secara khusus diharapkan mampu memperkuat posisi civil society sebagai mitra pembangunan,
sekaligus mampu merespon kondisi dan permasalahan masyarakat yang sangat spesifik di
masing-masing daerah; strategi pemberdayaan masyarakat yang mampu mendorong
terwujudnya konsep desentralisasi pembangunan dan otonomi daerah dengan membangkitkan
dan mempertautkan segenap potensi kemampuan para pihak pada tingkatan lokal itu sendiri,
memiliki perspektif jangka panjang dan tetap memegang teguh prinsip-prinsip pembangunan
berkelanjutan.

Community Foundation, atau institusi kemandirian masyarakat (selanjutnya disingkat


menjadi CFs), merupakan salah satu jawaban bagi konsep pemberdayaan masyarakat yang
memiliki perspektif jangka panjang, didukung dengan pembentukan dana abadi dan penguatan
jalinan kemitraan dengan para pihak lainnya. Institusi ini tumbuh untuk mengisi kesenjangan
kapasitas dan mengupayakan diversifikasi sumber daya bagi sektor civil society. CFs
merupakan organisasi non profit yang merefleksikan keragaman masyarakat pada wilayah
geografis tertentu, berperan untuk menggalang sumber daya dan mendistribusikannya sesuai
kebutuhan lokal, memiliki fokus perhatian pada isu-isu kritis dan bertujuan meningkatkan
kualitas hidup masyarakat yang setinggi-tingginya.
Berikut beberapa peranan penting CFs dalam konteks pemberdayaan masyarakat :

Meningkatkan Kapasitas Civil Society


CFs mendukung penguatan kapasitas LSM dan KSM di wilayah terkait dengan memberikan
dukungan bagi organisasi-organisasi kecil, yang kadang bahkan tidak berbadan hukum, namun
memiliki potensi besar dalam upaya pemberdayaan masyarakat. CFs juga dapat menyokong
penguatan kapasitas di bidang pengelolaan keuangan maupun program, selain juga fasilitasi
bagi terbangunnya jaringan antar organisasi sejenis di wilayah tersebut. CFs akan
mengembangkan instrumen pengukuran dampak program dan menjamin akuntabilitas bagi
kepentingan pertanggungjawaban kepada publik. Sebagai grantmakers, pemberi dana hibah,
CFs akan membangun mediasi dua arah antara donor (penyandang dana) dan penerima manfaat
(masyarakat), serta menjembatani kesenjangan yang terdapat antara keduanya.

Menggali Potensi Sumber Daya Lokal


CFs menggalang dukungan pendanaan dari sumber-sumber domestik maupun internasional
bagi upaya pemberdayaan masyarakat, termasuk sumber yang berasal dari sektor publik,
swasta serta dan individu atau perseorangan. Inovasi dan kreatifitas sangat diperlukan dalam
upaya penggalangan dana, terutama dari sektor swasta dan perseorangan. Penggalangan atau
mobilisasi yang dilakukan akan mendekatkan sumber daya, langsung kepada masyarakat
penerima manfaat dan diharapkan mampu memberikan dampak terbesar bagi penyelesaian
masalah-masalah yang dihadapi oleh masyarakat. Tantangan pemberdayaan masyarakat
merupakan tanggung jawab CFs dalam jangka panjang, oleh karenanya upaya penggalangan
sumber daya harus diprioritaskan kepada pembentukan dana abadi, sebagai jaminan
keberlangsungan dalam melakukan pendekatan programatik. Dana abadi akan memberikan
ruang bagi CFs untuk merespon dinamika pembangunan yang terjadi, terutama dalam
menghadapi problematika kemiskinan yang begitu kompleks dan multi-dimensional.
Mendorong Kemitraan Multi Pihak
CFs didirikan oleh representasi berbagai sektor yang ada di tingkat lokal, termasuk NGOs,
swasta, pemerintah, dan masyarakat. Sebagian besar pendiriannya melewati proses diskusi dan
konsultasi panjang yang melibatkan seluruh pihak. CFs juga mempertautkan kelompok-
kelompok masyarakat, lembaga-lembaga lokal dan pihak donor. Inter-relasi ini dapat
terbangun dengan selalu menempatkan kesetaraan dalam kemitraan multi pihak bagi upaya-
upaya pemberdayaan masyarakat. Kemitraan multi pihak akan menjamin terjadinya
konsolidasi sumber daya, dan pada saat yang sama memberi kesempatan bagi terbangunnya
kekuatan dan kemandirian masyarakat lokal.

Mendorong Keterlibatan Sektor Swasta


Pengakuan pada konsep pembangunan berkelanjutan berimplikasi pada adanya tiga tujuan
dunia usaha, yaitu tujuan ekonomi, sosial dan lingkungan. Tujuan ekonomi pun tidak lagi
dibatasi menjadi tujuan ekonomi perusahaan semata, melainkan perekonomian masyarakat
secara luas.

Pelibatan sektor swasta dalam per-tumbuhan CFs merupakan salah satu inovasi penting dalam
pemberdayaan masyarakat. Keterlibatannya harus dapat dikembangkan secara signifikan dan
didasarkan pada strategi pelibatan yang jelas, tidak hanya pada kontribusi dana, namun juga
keterlibatan di bidang teknologi dan sumber daya manusia.

Membangun Ruang Dialog Kebijakan Publik


Salah satu kelemahan utama civil society selama ini adalah ketidakmampuan mereka dalam
menanggapi dan menyikapi isu-isu kebijakan publik yang sangat terkait dengan masalah-
masalah yang dihadapi oleh masyarakat. Banyak faktor yang menjadi penyebabnya, antara lain
lemahnya cakupan pengaruh sebuah institusi civil society dalam proses advokasi kebijakan dan
juga kenyataan bahwa kerja-kerja advokasi yang dilakukan selama ini masih sangat bersifat
sektoral dan tidak mampu menunjukkan diri sebagai bagian dari kesatuan gerak institusi-
institusi civil society yang lain. CFs dapat menciptakan ruang bagi beragam organisasi untuk
membangun diskusi dan dialog multi pihak bagi isu-isu kebijakan publik, dengan memberi
tempat khusus bagi partisipasi dan pertimbangan dari masyarakat sipil.

Sesuai dengan peran yang ingin dibangun di atas, maka karakteristik CFs yang harus dimiliki
antara lain adalah sebagai berikut :

Pendirian dan Pembentukan

Pada umumnya CFs didirikan oleh kelompok masyarakat lokal yang memahami dan memiliki
komitmen yang kuat untuk melakukan perubahan dalam konteks permasalahan pembangunan
di wilayah lokal tersebut. Oleh karenanya, CFs didirikan dengan cakupan area geografis
tertentu yang didefinisikan secara jelas. Masing-masing proses pendirian CFs memiliki
keunikan tersendiri dan biasanya akan didahului beberapa kali proses konsultasi yang
melibatkan seluruh pihak, baik NGOs, swasta maupun pemerintah. Misi organisasi harus
mampu mengartikulasikan peran dan komitmen seluruh pihak, dan dinyatakan secara luas,
mencakup segala macam aspek tujuan dalam pemberdayaan masyarakat, dengan target
penerima manfaat utama adalah kelompok masyarakat miskin yang rentan, terabaikan dan
terpinggirkan.

Bentuk organisasi CFs adalah penyedia atau penyalur dana hibah (grantmaking), bukan
lembaga implementasi langsung. Sistem organisasi juga harus dibangun untuk memastikan
transparansi dan akuntabilitas dalam seleksi dan penyaluran dana hibah kepada mitra.

Struktur Tata Kelola

Struktur Board dan Direktur CFs akan memegang peranan penting dalam mempertajam
konsepsi pemberdayaan masyarakat, penggalangan sumber daya dan penyaluran dukungan
dana hibah. Board (Pendiri, Penyantun, Pembina, atau Pengawas) akan merefleksikan
kepentingan multi pihak seluruh sektor, melegitimasi keberadaan lembaga dan menjadi corong
penghubung bagi lembaga-lembaga donor. Komposisi anggota Board bisa saja berbeda-beda,
namun pada dasarnya harus dapat merepresentasikan keterlibatan pemerintah dan swasta, tidak
hanya perwakilan civil society semata.

Keterlibatan aktivis atau para pemimpin NGOs dalam komposisi Board CFs, bahkan biasanya
harus diikuti dengan kehati-hatian dalam menimbang potensi konflik kepentingan terhadap
lembaga atau jaringan yang sehari-hari mereka pimpin. Dewasa ini, kebutuhan akan kombinasi
Board yang memiliki wawasan, kompetensi dan spesialisasi yang berbeda-beda (misalnya, di
bidang keuangan, program, tekonologi, kebijakan atau penggalangan sumber daya) dan juga
kombinasi antar pihak (NGOs, pemerintah dan swasta) memang pada akhirnya menghasilkan
potensi perbedaan persepsi dan frekuensi yang tidak dapat dihindari di antara para anggota
Board. Keragaman ini menjadi kekuatan pendekatan multi pihak dalam menghadapi
kompleksnya permasalahan pemberdayaan masyarakat, namun tetap perlu adanya strategi yang
sistematis dalam membangun ruang diskusi berkala di antara para Board.

Program dan Kegiatan

Program-program CFs harus bermanfaat dan berdampak langsung bagi masyarakat lokal
dengan tetap mengacu kepada tujuan pembangunan sosial dan ekonomi nasional. Bagi CFs
yang memiliki cakupan area cukup besar, dirasa perlu untuk menentukan tujuan dan program
prioritas, sesuai dengan sumber daya yang dimiliki organisasi. Kegiatan yang didukung antara
lain bagi kegiatan asistensi teknis, peningkatan kapasitas, diseminasi informasi, kerja-kerja
jaringan, advokasi kebijakan dan berbagai kegiatan yang spesifik sesuai dengan kebutuhan
masyarakat lokal.
Sistem organisasi juga harus dibangun untuk memastikan transparansi dan akuntabilitas dalam
seleksi dan penyaluran dana hibah kepada mitra, juga dalam proses pengawasan, pemantauan
serta evaluasi pelaksanaan kegiatan mitra.

Pembiayaan dan Pengelolaan Sumber Daya

CFs memiliki variasi sumber daya organisasi yang cukup beragam, baik dari dalam maupun
dari luar masyarakat lokal. Selain dari lembaga donor, sumber daya organisasi dapat berasal
dari sektor swasta, pemerintah maupun kontribusi perseorangan. CFs berupaya mendorong
terbangunnya dana abadi, bagi pendekatan programatik dalam perspektif jangka panjang
organisasi.

Sebagai lembaga grantmaking, CFs menjalankan perannya dengan prinsip-prinsip


kerja sebagai berikut :
Bekerja sebagai lembaga yang memfasilitasi dan menunjang tumbuhnya kondisi yang
diperlukan untuk tercapainya visi dan misi pemberdayaan masyarakat dalam jangka panjang,
Memberikan fasilitas dan dukungan dana bagi mitra dan pemangku kepentingan, bukan
melaksanakan kegiatan secara langsung,
Mengutamakan dukungan untuk mengatasi akar permasalahan yang strategis, kompleks,
multi dimensi dan berjangka panjang (philantropy), tidak hanya sekedar memberi bantuan
untuk memenuhi kebutuhan sesaat (charity) atau pemulihan jangka pendek saja,
Mengutamakan dukungan bagi kegiatan yang inovatif dan bersifat investasi sosial dan
investasi lingkungan untuk masa depan. Mendukung pelaksanaan ide-ide dan inisiatif baru
yang kreatif, bukan hanya membantu pelaksanaan kegiatan yang telah teruji selama ini di
lapangan,
Membantu pendanaan bagi kegiatan yang bersifat perintisan baru (start up), dan membantu
mengurangi risiko kegagalan program baru yang penting dan strategis,
Membantu pendanaan bagi kelompok masyarakat yang tidak memiliki akses pada modal dan
sumber daya lainnya, serta mendukung prakarsa dan upaya masyarakat yang tidak bisa
diakomodasi oleh program pemerintah atau lembaga formal lainnya,
Mengelola dana abadi secara bijak, mengutamakan penggunaan sumber daya tersebut
sebagai faktor pengungkit/pemancing (leveraging funds) untuk mendorong tumbuh
berkembangnya keswadayaan atau sumber daya lain secara berkelanjutan,
Mengupayakan agar tidak harus menjadi donor utama atau satu-satunya bagi keseluruhan
kegiatan yang didanai.

Pilar utama bangunan CFs adalah kemitraan multi pihak, mulai sejak pendirian dan
pembentukan institusi hingga proses fasilitasi implementasi pelaksanaan program dan
kegiatan. Selain kemitraan tiga sektor, kemitraan dengan lembaga donor juga memegang
peranan yang sangat penting.

Kemitraan dengan Sektor Swasta

Mengajak swasta terlibat aktif, merupakan terobosan baru dalam upaya pemberdayaan
masyarakat dewasa ini. CFs harus dapat menjawab tantangan atas kesempatan dan peluang
yang diberikan oleh program-program CSR, untuk bersama-sama dengan korporat membangun
kepercayaan, mekanisme pemecahan masalah bersama dan hubungan saling dukung yang
timbal balik. Para anggota Board dari sektor swasta diharapkan mampu menyumbangkan
kemampuannya, terutama spesialisasi mereka pada bidang manajemen keuangan dan investasi.
Selain kemungkinan pendanaan bagi pelaksanaan program-program CFs, sektor swasta dapat
juga berperan pada masa pendirian CFs dengan menyumbangkan dana bagi modal awal
operasional organisasi. Kontribusi korporat dapat diberikan tidak hanya dalam bentuk uang,
namun bisa berupa barang maupun jasa.

Karakteristik khusus masing-masing lembaga donor, tidak boleh mengaburkan kesepakatan


aturan-aturan pengelolaan yang sudah dibangun sebelumnya antara CFs dengan para
konstituen dan mitra pelaksananya.

Kemitraan dengan Sektor Publik (Pemerintah)

Terdapat tiga hal yang terkait dengan pola kemitraan dengan sektor publik adalah sebagai
berikut :

Membangun kerangka kebijakan. Kemitraan dengan sektor pemerintah memberikan ruang


keterlibatan bagi masyarakat sipil dalam dialog multi pihak bagi isu-isu kebijakan publik.
Partisipasi dalam Board. Keterlibatan personil pemerintah dalam Board, merepresentasikan
posisi mereka dalam struktur pemerintahan. Relasi ini seharusnya mampu membangun
keterkaitan antara misi dan tujuan CFs dengan program-program pemerintah yang ada.
Peningkatan Kapasitas bagi Pemerintah Daerah. Harus diakui terdapat kesenjangan
kapasitas pada pemerintah daerah. Agar terjadi keseimbangan tiga sektor yang memadai di
tingkat daerah, peran CFs sangat diharapkan dalam mendukung peningkatan kapasitas
aparatur pemerintah daerah.

Kemitraan dengan Sektor Civil Society dan Perseorangan

Kerjasama dengan sektor NGOs, CBOs dan masyarakat langsung merupakan alasan utama
keberadaan CFs. Tiga pola dalam kemitraan CFs dengan sektor civil society adalah sebagai
berikut :
Kemitraan dengan NGOs : Non-Governmental Organizations atau LSM : Lembaga
Swadaya Masyarakat. CFs mendukung upaya-upaya peningkatan kapasitas NGOs,
memfasilitasi terbentuk dan terpeliharanya jaringan antar NGOs dan bersamaan dengan itu
berusaha melibatkan NGOs secara partisipatif dalam penyusunan konsep, rencana
implementasi dan proses-proses pemantauan, pengawasan dan evaluasi.
Kemitraan dengan CBOs : Community Based-Organizations atau KSM : Kelompok
Swadaya Masyarakat atau Orak : Organisasi Rakyat. CFs menjadikan CBOs sebagai target
utama dan mendukung kegiatan-kegiatan CBOs secara langsung maupun tidak langsung
sesuai dengan kebutuhan, antara lain pendampingan penulisan proposal dan mendorong
keikutsertaan kelompok-kelompok masyarakat dalam ruang dialog kebijakan publik.
Kemitraan dengan Individu atau Perseorangan. Kemitraan langsung dengan individu
merupakan terobosan lain dalam pengelolaan CFs. Individu dapat berkontribusi sebagai
penyumbang (donasi atau memberships, misalnya) atau dalam bentuk sumbangan waktu dan
keahlian secara pro-bono (volunteerism).
Tantangannya adalah menentukan secara tepat kebutuhan organisasi terhadap jumlah waktu
dan keahlian yang dibutuhkan organisasi dan mempertemukan dengan kesediaan yang
ditawarkan oleh para individu tersebut. Tantangan lain bagi organisasi adalah bagaimana
melibatkan semua elemen masyarakat, baik itu laki-laki maupun perempuan, pemuda maupun
para profesional, atau kalangan kaya dan miskin; dalam semua kegiatan organisasi secara bijak.

Kemitraan dengan Lembaga Donor

Kerjasama dengan lembaga donor harus dimaknai dengan prinsip kesetaraan, saling tergantung
dan membutuhkan (interdependence). Lembaga donor biasanya memusatkan perhatian pada
isu-isu tertentu, dan tak jarang juga menetapkan prioritas wilayah kerjanya pada periode
tertentu. Kemitraan dengan lembaga donor harus dimulai dengan pemetaan isu dan prioritas
tersebut dan menyandingkannya dengan rencana strategis CFs, sebagai dasar dalam menyusun
proposal dan membangun kesepakatan bersama. Lembaga donor biasanya memiliki syarat-
syarat pengelolaan tertentu, yang mungkin saja dapat mempengaruhi sistem baku CFs dalam
penyaluran dana hibah. Karakteristik khusus masing-masing lembaga donor tersebut, tidak
boleh mengaburkan kesepakatan aturan-aturan pengelolaan yang sudah dibangun sebelumnya
antara CFs dengan para konstituen dan mitra pelaksananya.

Anda mungkin juga menyukai