Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Tuberculosis (TB) masih menjadi masalah kesehatan masyarakat dunia,
menurut laporan WHO (1999) diperkirakan 9 juta pasien TB baru dan 3 juta
kematian akibat TB diseluruh dunia. Diperkirakan 95% kasus TB dan 98%
kematian akibat TB di dunia, terjadi pada negara berkembang. Sekitar 75%
pasien TB adalah kelompok usia produktif secara ekonomis (15-50 tahun).
Demikian juga di Indonesia, yang menempati urutan ke 3 dalam jumlah
penderita TB atau 10% dari penderita TB sedunia. Diperkirakan pada tahun
2004, setiap tahun ada 539.000 kasus baru dan kematian 101 orang. Insidensi
kasus TB BTA positif sekitar 110 per 100.000 penduduk (Depkes RI Gerdunas
TB, 2008).
Ancaman TB Paru yang lain adalah adanya Multiple Drug Resistance
(MDR) yang terjadi karena penderita TB tidak patuh dalam mengkonsumsi
Obat Anti TBC (OAT) secara teratur, hal ini disebabkan karena beberapa hal
salah satunya adalah kurangnya pengetahuan tentang pengobatan TB Paru pada
Pengawas Menelan Obat (PMO) dan penderita itu sendiri. Hal tersebut bisa
terjadi tidak tuntasnya pengobatan TB Paru yang relatif lama dan kebosanan
pada penderita dalam mengkonsumsi OAT, karena pengobatan TB
memerlukan waktu yang relatif lama. Dengan demikian untuk mendukung
keberhasilan pemerintah dalam penyakit TB, prioritas utama ditujukan
terhadap peningkatan mutu pelayanan, penggunaan obat yang rasional dan
paduan obat yang sesuai dengan strategi Directly Observed Treatment
Shortcourse (DOTS) (Gerdunas TB, 2005).
Mengingat masih adanya ketidakpatuhan dari penderita yang
memungkinkan resiko pengobatan gagal dan default, maka penatalaksanaan
Penyakit TB harus benar- benar dilaksanakan sesuai dengan kebijakan Program
Pemberantasan Penyakit Tuberculosis (P2TB). Peran dan pengetahuan PMO

1
sangat penting dalam rangka mencapai kepatuhan berobat dan penyembuhan
penderita TB, sehingga pelaksanaan P2TB sangat diperlukan evaluasi untuk
mengetahui kepatuhan dan kesembuhan dalam Program P2TB. Hal tersebut
tentunya sesuai dengan program pemerintah yang tujuannya adalah memutus
rantai penularan penyakit TB, mencegah kekebalan kuman terhadap OAT
(MDR) (Gerdunas TB, 2005)

B. Rumusan Masalah
1. Apa saja syarat-syarat PMO?
2. Apa saja pengetahuan dasar PMO?
3. Apa saja tugas-tugas PMO?

C. Tujuan Penulisan
Selain untuk memenuhi tugas mata kuliah TB Paru dan Strategi DOTS,
makalah ini juga disusun bertujuan agar mahasiswa dan pembaca dapat:
1. Menjelaskan syarat-syarat PMO
2. Menerapkan pengetahuan dasar PMO
3. Melaksanakan tugas-tugas PMO

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Salah satu komponen DOTS (Directly Observed Treatment Short-Course)


dalam strategi penanggulangan tuberkulosis paru adalah pengobatan paduan OAT
jangka pendek dengan pengawasan langsung. Untuk menjamin keteraturan
pengobatan diperlukan seorang Pengawas Menelan Obat (PMO).
Strategi DOTS sesuai dengan rekomendasi WHO (1997) adalah: 1) komitmen
politis dari para pengambil keputusan termasuk dukungan dana, 2) diagnosis
tuberkulisis paru dengan pemeriksaan dahak secara mikroskopik, 3) pengobatan
dengan panduan OAT jangka pendek dengan pengawasan langsung oleh Pengawas
Menelan Obat (PMO), 4) kesinambungan persediaan OAT jangka pendek dengan
mutu terjamin, dan 5) pencatatan dan pelaporan secara baku untuk memudahkan
pemantauan dan evaluasi program penanggulangan tuberkulosis paru.

A. Pengertian Pengawas Menelan Obat (PMO)


Pengawas Menelan Obat (PMO) adalah orang yang mengawasi secara
langsung terhadap penderita tuberkulosis paru pada saat minum obat setiap
harinya dengan menggunakan panduan obat jangka pendek (Depkes, 2007)

B. Tujuan Penggunaan Pengawas Menelan Obat (PMO)


Menurut Ditjen PPM dan PLP (1997) bahwa tujuan penggunaan Pengawas
Menelan Obat (PMO) pada penderita tuberkulosis paru adalah: 1) untuk
menjamin ketekunan dan keteraturan pengobatan sesuai jadwal yang
ditentukan pada awal pengobatan, 2) untuk menghindari penderita dari putus
berobat sebelum waktunya, dan 3) untuk mengurangi kemungkinan
pengaobatan dan kekebalan terhadap OAT.
Dalam menyukseskan upaya pemberantasan tuberlukosis paru, maka
peran petugas kesehatan dalam surveillance dan pencatatan pelaporan yang
baik merupakan suatu keharusan. Tidak menutup kemungkinan peran kader

3
serta masyarakat lainnya dapat berperan aktif melalui kunjungan rumah
bersama petugas kesehatan, tokoh masyarakat untuk melakukan pendidikan di
masyarakat melalui penyuluhan, konseling atau pemantauan secara terpadu,
terintegrasi dengan upaya-upaya lain termasuk peningkatan ekonomi keluarga.
Penderita tuberkulosis perlu mendapatkan pengawasan langsung agar
meminum obat secara teratur sampai sembuh. Orang yang mengawasi
penderita tuberkulosis dikenal dengan istilah pengawas menelan obat (PMO).
pengawas menelan obat (PMO) sebaiknya orang yang disegani dan dekat
dengan pasien tuberlukosis paru, misalnya keluarga, tetangga, atau kader
kesehatan. PMO bertanggung jawab untuk memastikan pasien tuberlukosis
paru meminum obat sesuai anjuran petugas puskesmas atau UPK (Nova dalam
Hendrawati, 2008).
Kegagalan pengobatan dan kurang kedisiplinan bagi penderita
tuberkulosis paru sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor. Salah satunya
adalah peran pengawas menelan obat (PMO). Pengawas menelan obat (PMO)
sangat penting untuk mendampingi penderita agar dicapai hasil pengobatan
yang optimal (Depkes, 2000). Kolaborasi petugas kesehatan dengan keluarga
yang ditunjuk untuk mendampingi ketika penderita minum obat, juga faktor
yang perlu dievaluasi untuk menentukan tingkat keberhasilannya (Purwanta
dalam Hapsari, 2010).

C. Persyaratan Pengawas Menelan Obat (PMO)


Persyaratan yang harus dipenuhi oleh seorang PMO adalah: 1) seseorang
yang dikenal, dipercaya dan disetujui, baik oleh petugas kesehatan maupun
pasien, selain itu harus disegani dan dihormati oleh pasien, 2) seseorang yang
tinggal dekat dengan pasien, 3) Bersedia membantu pasien dengan sukarela,
dan 4) bersedia dilatih dan atau mendapat penyuluhan bersama-sama dengan
pasien. Sebaiknya PMO adalah petugas kesehatan, misalnya bidan desa,
perawat, pekarya kesehatan, sanitarian, juru imunisasi, dan lain-lain. Bila tidak
ada petugas kesehatan yang memungkinkan, PMO dapat berasal dari kader
kesehatan, guru, anggota PPTI, PKK atau tokoh masyarakat lainnya atau

4
anggota keluarga.

D. Peran dan Tugas Pengawas Menelan Obat (PMO)


Peran seorang PMO adalah mengawasi pasien tuberkulosis agar menelan
obat secara teratur sampai selesai pengobatan, memberi dorongan kepada
pasien agar mau berobat secara teratur, mengingatkan pasien untuk periksa
ulang dahak pada waktu yang telah ditentukan, dan memberi penyuluhan pada
anggota keluarga pasien tuberkulosis yang mempunyai gejala-gejala
mencurigakan tuberkulosis untuk segera memeriksakan diri ke rumah sakit
atau unit pelayanan kesehatan. Menurut Nuraini (2003) tugas PMO bagi
penderita tuberkulosis paru adalah:
1. Mengetahui tanda-tanda tersangka tuberkulosis paru.
2. Mengawasi penderita agar minum obat setiap hari.
3. Mengambil obat bagi penderita seminggu sekali.
4. Mengingatkan penderita untuk periksa ulang dahak:
a. Seminggu sebelum akhir bulan ke dua pengobatan, pemeriksa ulang
dahak dilakukan untuk menentukan obat tambahan.
b. Seminggu sebelum akhir bulan ke lima pengobatan, pemeriksaan
ulang dahak dilakukan untuk mengetahui kegagalan.
c. Seminggu sebelum akhir bulan ke enam pengobatan, pemeriksaan
ulang dahak dilakukan untuk mengetahui kesembuhan.
5. Memberikan penyuluhan.
6. Memberitahukan jika terjadi suspek pada keluarga penderita.
7. Menujuk kalau ada efek samping dari penggunaan obat.
Menurut Hapsari (2010) tugas PMO bagi penderita tuberkulosis paru
adalah :
1. Bersedia mendapat penjelasan di poliklinik.
2. Melakukan pengawasan terhadap pasien dalam hal minum obat.
3. Mengingatkan pasien untuk pemeriksaan ulang dahak sesuai jadwal yang
telah ditentukan.
4. Memberikan dorongan terhadap pasien untuk berobat secara teratur hingga

5
selesai.
5. Mengenali efek samping ringan obat, dan menasehati pasien agar tetap
mau menelan obat.
6. Merujuk pasien bila efek samping semakin berat.
7. Melakukan kunjungan rumah.
8. Memberikan penyuluhan pada anggota keluarga penderita tuberkulosis
yang mempunyai gejala-gejala tersangka tuberkulosis untuk segera
memeriksakan diri kepada petugas kesehatan.

E. Faktor Keberhasilan Pengawas Menelan Obat (PMO)


Dalam buku panduan PMO yang diterbitkan oleh Depkes RI (2007), untuk
kesuksesan menjalankan tugasnya PMO perlu memiliki ketentuan sebagai
berikut :
1. Umur
Umur adalah usia yang secara garis besar menjadi indikator dalam
kedewasaan dalam setiap pengambilan keputusan yang mengacu pada
setiap pengalamannya. Semakin cukup umur, tingkat kematangan dan
kekuatan seseorang akan lebih matang dalam berfikir dan logis
(Notoatmodjo, 2007). Seperti yang dikatakan Hurlock (1999) bahwa
semakin tinggi umur maka tingkat kematangan dan kekuatan seseorang
lebih dipercaya. Semakin tua umur seseorang, makin konstruktif dalam
menganalisis terhadap masalah yang dihadapi. Pengalaman dan
kematangan jiwa seseorang disebabkan semakin cukupnya umur dan
kedewasaan dalam berfikir dan bekerja. Sesuai dengan pendapat
Notoatmodjo (2007) bahwa seseorang yang umurnya lebih tua akan lebih
banyak pengalamannya sehingga mempengaruhi pengetahuan yang
dimiliki, artinya semakin tua umur seseorang maka semakin baik
pengetahuannya. Dalam menjalankan tugasnya seorang PMO diharapkan
memiliki umur yang cukup dewasa sehingga dalam melakukan
pendampingan terhadap penderita tuberkulosis, dapat menganalisis setiap
permasalahan yang timbul dan memberikan solusi secara cepat dan tepat.

6
2. Pendidikan
Tingkat pendidikan seseorang akan berpengaruh dalam memberi
respon terhadap sesuatu yang datang dari luar. Orang yang berpendidikan
tinggi akan memberikan respon yang lebih rasional terhadap informasi
yang datang dan akan berpikir sejauh mana keuntungan yang mungkin
akan mereka peroleh dari gagasan tersebut. Pendidikan dapat
mempengaruhi seseorang termasuk juga perilaku seseorang akan pola
hidup, terutama dalam memotivasi sikap dan berperan serta dalam
perkembangan kesehatan. Semakin tinggi tingkat kesehatan seseorang,
maka akan semakin makin mudah menerima informasi sehingga makin
banyak pola pengetahuan yang dimiliki. pengawas menelan obat (PMO)
yang memiliki tingkat pendidikan yang baik akan lebih mudah untuk
menyerap pengetahuan terutama tentang tugas pokok, fungsi dan peranya
dalam menjalankan tugas sehingga tujuan dari kegiatan mendampingi
penderita tuberkulosis dalam menjalani pengobatan dapat tercapai.

3. Pekerjaan
Pekerjaan adalah segala sesuatu yang dikerjakan oleh manusia dengan
berbagai tujuan. Pekerjaan dilakukan oleh seseorang biasanya untuk
memenuhi kebutuhan hidup. Orang yang memiliki pekerjaan yang lebih
layak guna pemenuhan semua kebutuhan hidupnya juga memiliki
kecenderungan untuk memiliki tingkat kesehatan dan perilaku kesehatan
yang lebih baik dari pada orang yang memiliki tingkat pekerjaan yang
lebih rendah dengan asumsi memiliki kebutuhan hidup yang sama, oleh
sebab itu seseorang yang memiliki pekerjaan yang layak akan lebih
memperhatikan perilaku kesehatan untuk diri sediri dan lingkungannya.
Pemilihan seorang PMO yang memiliki pekerjaan yang layak diharapkan
lebih memiliki perhatian yang serius bagi perkembangan kesehatan
penderita tuberkulosis paru dengan memahami perannya sebagai
pengawas menelan obat.

7
F. Pengetahuan Pengawas Menelan Obat (PMO)
Menurut Depkes (2008) bahwa informasi penting yang perlu dipahami
PMO untuk disampaikan kepada pasien dan keluarganya adalah: 1) tuberkuosis
disebabkan oleh kuman, bukan penyakit keturunan atau kutukan, 2)
tuberkulosis dapat disembuhkan dengan berobat secara teratur sampai selesai,
3) cara penularan tuberkulosis, gejala-gejala yang mencurigakan dan cara
pencegahannya, 4) cara pemberian pengobatan pasien (tahap awal dan
lanjutan), 5) pentingnya pengawasan supaya pasien berobat secara teratur, dan
6) kemungkinan terjadi efek samping obat dan perlunya segera meminta
pertolongan ke rumah sakit atau unit pelayanan kesehatan.
Menurut Depkes RI (2002) informasi tentang tuberkulosis yang harus
dipahami oleh PMO sehubungan dengan tugas pokok, peran dan dan fungsinya
sebagai pengawas menelan obat bagi penderita tuberkulosis antara lain:
1. Pengertian Tuberkulosis Paru
Tuberkulosis adalah penyakit menular yang disebabkan oleh kuman
tuberkulosis paru (Mycobacterium Tuberkulosis). Sebagian besar kuman
tuberkulosis paru menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh
lainya.

2. Sifat Kuman Tuberkulosis Paru


Kuman tuberkulosis paru berbentuk batang, mempunyai sifat khusus
yaitu tahap terhadap asam pada pewarnaan, oleh karena itu disebut pula
sebagai basil tahan asam (BTA). Kuman tuberkluosis paru cepat mati
dengan sinar langsung, tetapi dapat bertahan hidup beberapa jam ditempat
yang gelap dan lembab. Dalam jaringan tubuh kuman ini dapat dormant,
tidur lama selama beberapa tahun.

3. Cara Penularan Tuberkulosis Paru


Sumber penularan adalah pasien (basil tahan asam) BTA positif.
Pada waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara dalam
bentuk droplet (percikan dahak). Droplet yang mengandung kuman dapat

8
bertahan diudara pada suhu kamar beberapa jam. Orang dapat terinfeksi
kalau droplet dalam tubuh manusia melalui pernafasan, kuman dapat
menyebar dari paru kebagian tubuh lainnya, melalui sistem peredaran
darah, sistem saluran getah bening atau menyebar langsung ke bagian-
bagian tubuh lainnya.
Daya penularan dari seseorang pasien ditentukan oleh banyaknya
kuman yang dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat positif hasil
pemeriksaaan dahak, makin menular pasien tersebut. Kemungkinan
seseorang terinfeksi tuberkulosis paru ditentukan oleh konsentrasi droplet
dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut (Harrison, 2000).

4. Riwayat Terjadinya Tuberkulosis Paru


Infeksi primer terjadi saat seseorang terpapar pertama kuman
tuberkulosis paru. Droplet yang terhirup sangat kecil ukurannya, sehingga
dapat melewati sistem pertahanan mukosilier bronchus dan terus berjalan
sehingga sampai di alveolus dan menetap disana. Infeksi dimulai pada saat
kuman tuberkulosis paru ke kelenjar limfe di sekitar hilus paru, dan ini
disebut sebagai kompleks primer adalah 46 minggu. Adanya infeksi
dapat dibuktikan dengan terjadinya perubahan reaksi tuberkulin dari
negatif menjadi positif. Kelanjutan setelah infeksi primer tergantung dari
banyaknya kuman yang masuk dan besarnya respon daya tahan tubuh
(imunitas seluler). Pada umumnya reaksi daya tahan tubuh tersebut dapat
menghentikan perkembangan kuman tuberkulosis paru. Meskipun
demikian, ada (tidur). Kadang kadang daya tahan tubuh tidak mampu
menghentikan perkembangan kuman, akibatnya dalam beberapa bulan
yang bersangkutan akan menjadi penderita tuberkulosis paru (Depkes RI,
2008).

5. Gejala Klinik Tuberkulosis Paru


Dalam program pemberantasan penyakit tuberkulosis paru, ada 2
macam klasifikasi. tuberkulosis paru merupakan bentuk yang paling sering

9
dijumpai yaitu sekitar 80% dari semua penderita. tuberkulosis paru ini
menyerang jaringan paru dan merupakan satusatunya bentuk dari
tuberkulosis paru yang menyerang organ tubuh lain selain paru, pleura,
kelenjar limfe, persendian, tulang belakang, saluran kencing, susunan
syaraf dan perut. (Arief, 2000).

6. Diagnosa Tuberkulosis Paru


Dalam penanggulangan tuberkulosis paru, diangnosis ditegakkan
melalui pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung. Diagnosis pasti
tuberculosis paru melalui pemeriksaan kultur atau biakan dahak. Namun,
Pemeriksaan kultur memerlukan waktu lebih lama (paling cepat sekitar 6
minggu) dan mahal. Diagnosisi tuberkulosis paru dilakukan berdasarkan
gejala batuk berdahak lebih dari 3 minggu dan ditemukan 2 kali BTA
posititf pada pemeriksaan mikroskopis dahak selama 3 kali yaitu sewaktu,
pagi dan sewaktu, yakni pemeriksaan dahak sewaktu datang di unit
pelayanan kesehatan, selanjutnya pemeriksaan dahak pada waktu pagi hari
ketika bangun tidur dan pemeriksaan dahak pada sewaktu datang ke unit
pelayanan kesehatan pada hari kedua. Pemeriksaan secara mikroskopis
merupakan pemeriksaan yang paling efisien, mudah dan murah, hampir
semua unit laboraturium dapat melaksanakan pemeriksaan mikroskopis
bersifat spesifik dan cukup sensitif.

7. Pengobatan Tuberkulosis Paru


Obat tuberkulosis paru diberikan dalam bentuk kombinasi dari
beberapa jenis, dalam jumlah cukup dan dosis tepat selama 6-8 bulan,
supaya semua kuman (termasuk kuman persister) dapat dibunuh. Dosis
tahap intensif dan dosis tahap lanjutan ditelan sebagai dosis tunggal
sebaiknya pada saat perut kosong. Apabila panduan obat yang digunakan
tidak adekuat (jenis dosis dan jangka waktu pengobatan), kuman
tuberkulosis paru akan berkembang menjadi kuman kebal obat (resisten).
Untuk menjamin kepatuhan penderita menelan obat, pengobatan perlu

10
dilakukan dengan pengawasan langsung (DOTS = Directly Observed
Treatment) oleh seorang pengawas menelan obat (PMO) (Depkes RI,
2007).
Pengobatan tuberkulosis paru diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap
awal dan tahap lanjutan. Pada tahap awal pasien mendapatkan obat setiap
hari dan perlu diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya
kekebalan obat. Bila pengobatan tahap awal tersebut diberikan secara tepat
biasanya pasien menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2
minggu, sebagaian besar pasien tuberkulosis paru basil tahan asam (BTA)
positif menjadi basil tahan asam (BTA) negatif (konversi) dalam 2 bulan.
Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam
jangka waktu yang lebih lama. Tahap yang penting untuk membunuh
kuman persister sehingga mencegah terjadinya kekambuhan (Depkes,
2008).
Pada tahap intensif (awal). Penderita mendapatkan obat setiap hari
dan diawasi langsung untuk mencegah terjadinya kekebalan terhadap
semua OAT, terutama rifamisin. Bila pengobatan menjadi tidak menular
dalam kurun waktu 2 minggu. Sebagian besar penderita tuberkulosis paru
(basil tahan asam) BTA positif menjadi (basil tahan asam) BTA negatif
(konversi) pada akhir pengobatan intensif. Sedangkan pada tahap lanjutan
penderita mendapatkan jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka
waktu yang lama. Tahap lanjutan ini penting untuk membunuh kuman
persister (dormant) sehingga mencegah terjadinya kekambuhan.
Tahap sisipan dilakukan apabila pada akhir tahap awal pengobatan
penderita baru basil tahan asam (BTA) positif dengan kategori 1 atau
penderita baru basil tahan asam (BTA) positif pengobatan ulang dengan
kategori 2 hasil pemeriksaan dahak masih basil tahan asam (BTA) positif,
maka diberikan obat sisipan (HRZE ) setiap hari selama 1 bulan (Depkes
RI, 2002). Jenis obat yang digunakan dalam pemberantasan tuberkulosis
paru antara lain:
a. Isoniazid (H) dikenal dengan INH, bersifat bakteriasid dapat

11
membunuh 90% populasi kuman dalam beberapa hari pertama
pengobatan.
b. Rifamisin (R), bersifat bakteriasid dapat membunuh kuman semi
dormant (persisten) yang tidak dapat dibuluh oleh INH.
c. Pirasinamid (Z), bersifat bakteriasid dapat membunuh kuman yang
berada dalam sel suasana asam.
d. Streptomisin (S), bersifat bakteriasid.
e. Etambuthol (E), bersifat bakteriotatik.

G. Kemampuan Komunikasi Pengawas Menelan Obat (PMO)


Komunikasi yang baik dengan penderita tuberkulosis paru ikut
menentukan tingkat keberhasilan Pengawas Menelan Obat (PMO) dalam
menjalan tugas, fungsi dan perannya. Hal-hal yang perlu dikomunikasikan
PMO kepada penderita tuberkulosis paru adalah tentang: 1) adanya keluhan
selama penggunaan obat, 2) menanyakan adanya efek samping yang dialami
selama penggunaan obat, 3) mengingatkan untuk selalu minum obat sesuai
dengan aturan yang telah ditentukan, dan 4) komunikasi dengan keluarga
tentang cara pengobatan, perawatan dan resiko penularan yang kemungkinan
bisa terjadi pada anggota keluarga lainnya.
Parera (2008) menyatakan bahwa kemampuan komunikasi PMO dengan
penderita tuberkulosis adalah sejauh mana informasi-informasi penting yang
harus di terima oleh penderita dan keluarga bisa dilakukan dengan efektif.
Informasi tersebut meliputi:
1. Tuberkulosis disebabkan kuman, bukan penyakit keturunan dan kutukan.
2. Tuberkulosis dapat disembuhkan dengan berobat teratur.
3. Cara penularan tuberkulosis, gejala-gejala yang mencurigakan dan cara
pencegahannya.
4. Cara pemberian pengobatan pasien (tahap intensif dan lanjutan).
5. Pentingnya pengawasan supaya pasien berobat secara teratur.
6. Kemungkinan terjadinya efek samping obat dan perlunya segera meminta
pertolongan ke UPK.

12
H. Kerangka Teori

Pengawas Menelan Obat (PMO)


Jenis kelamin
Umur
Pendidikan Kepatuhan/
Keberhasilan
keteraturan
Pekerjaan pengobatan
Pengobatan
Peran
Pengetahuan
Kemampuan komunikasi

(Hapsari (2011), Hurlock (1999), Depkes RI (2007))

13
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Pengawas Menelan Obat (PMO) adalah orang yang mengawasi secara
langsung terhadap penderita tuberkulosis paru pada saat minum obat setiap
harinya dengan menggunakan panduan obat jangka pendek.
Persyaratan yang harus dipenuhi oleh seorang PMO adalah: 1) seseorang
yang dikenal, dipercaya dan disetujui, baik oleh petugas kesehatan maupun
pasien, selain itu harus disegani dan dihormati oleh pasien, 2) seseorang yang
tinggal dekat dengan pasien, 3) Bersedia membantu pasien dengan sukarela,
dan 4) bersedia dilatih dan atau mendapat penyuluhan bersama-sama dengan
pasien.
Peran seorang PMO adalah mengawasi pasien tuberkulosis agar menelan
obat secara teratur sampai selesai pengobatan, memberi dorongan kepada
pasien agar mau berobat secara teratur, mengingatkan pasien untuk periksa
ulang dahak pada waktu yang telah ditentukan, dan memberi penyuluhan pada
anggota keluarga pasien tuberkulosis yang mempunyai gejala-gejala
mencurigakan tuberkulosis untuk segera memeriksakan diri ke rumah sakit
atau unit pelayanan kesehatan.
Menurut Depkes RI (2002) informasi tentang tuberkulosis yang harus
dipahami oleh PMO sehubungan dengan tugas pokok, peran dan dan fungsinya
sebagai pengawas menelan obat bagi penderita tuberkulosis antara lain: 1)
pengertian Tb paru, 2) sifat kuman Tb paru, 3) cara penularan Tb paru, 4)
riwayat terjadinya Tb paru, 5) gejala klinik Tb paru, 6) diagnosa Tb paru, dan
7) pengobatan Tb paru.

B. Saran
1. Agar Pengawas menelan Obat (PMO) selalu memperbanyak informasi
tentang penyakit TB Paru terutama pengobatannya dan selalu aktif

14
bertanya kepada petugas kesehatan terutama pemegang program TB Paru
di Puskesmas setempat.
2. Agar perawat atau tenaga kesehatan terutama bidan pemegang wilayah di
Puskesmas selalu memberikan promosi kesehatan secara aktif tentang TB
Paru kepada PMO, pasien dan keluarganya.
3. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang faktor-faktor yang
mempengaruhi ketidakpatuhan pasien TB Paru dalam menelan obat.

15
DAFTAR PUSTAKA

Basuki. 2007. Peran PMO Pada Penderita TBC Dalam Mengkonsumsi Obat Anti
Tuberculosis di Wilayah Puskesmas Sempor I dan II. Kebumen: STIKES
Muhammadiyah Gombong.
Departemen Kesehatan RI. 2002. Pedoman Program Penanggulangan
Tuberculosis. Jakarta: Depkes RI.
Departemen Kesehatan RI. 2008. Pedoman Program Penanggulangan
Tuberculosis (Edisi 2, Cetakan kedua). Jakarta: Depkes RI.
Hendrawati, Pratiwi Ari. 2008. Hubungan antara Partisipasi PMO Keluarga
dengan Sikap Penderita TBC di Wilayah Kerja Puskesmas Banyuanyar
Surakarta (Skripsi). Surakarta: UMS.
Noor, Frida Ani. 2008. Hubungan PMO Keluarga dengan Kepatuhan Menelan
Obat Pada Penderita yang Mendapat Program DOTS di Puskesmas Mojo,
Surabaya. Surabaya: Universitas Airlangga Surabaya.
Notoatmodjo, S. 2007. Kesehatan Masyarakat Ilmu dan Seni. Jakarta: Rineka
Cipta.
Phapros. 2007. Pedoman Pengobatan OAT FDC Kategori I dan II. Jakarta:
Phapros.
Rahmat, Haikin, dr. 2000. Petunjuk Penggunaan Obat Anti Tuberculosis Fixed
Dose Combination (FDC) Untuk Pengobatan Tuberculosis di Unit Pelayanan
Kesehatan. Jakarta: Depkes RI.
Sumarwanto. 2008. Tingkat Pengetahuan Kader Tentang Penyakit TBC di
Puskesmas Klirong II. Kebumen: STIKES Muhammadiyah Gombong.
Sugiyono, Prof, DR. 2005. Metode Penelitian Administrasi, Bandung: Alfabeta
Bandung.

16

Anda mungkin juga menyukai