Anda di halaman 1dari 19

Bimbingan

Hiperbilirubinemia Pada Neonatus

Marliani Hanifah Mahmud


102016382

Pembimbing :
Dr. Etty Christiati Siyudi, SpA

1
Pendahuluan
Hiperbilirubinemia adalah peningkatan kadar bilirubin dalam darah melebihi dari kadar
normal. Menurut American Family of Physicians, neonatus dikatakan hiperbilirubinemia bila
bilirubin total melebihi 5 mg/dl.1 Hiperbilirubinemia merupakan salah satu fenomena klinis
yang paling sering ditemukan pada bayi baru lahir. Lebih dari 85% bayi cukup bulan yang
kembali dirawat dalam minggu pertama kehidupan disebabkan keadaan ini.2,3 Neonatal
hiperbilirubinemia terjadi karena peningkatan produksi atau penurunan clearance bilirubin
dan sering terjadi pada bayi imatur. Hiperbilirubinemia menyebabkan bayi terlihat berwarna
kuning, keadaan ini timbul akibat akumulasi pigmen bilirubin yang berwarna ikterus pada
sklera dan kulit. Isomer bilirubin ini berasal dari degradasi heme yang merupakan komponen
hemoglobin mamalia.4
Pada kebanyakan bayi baru lahir, hiperbilirubinemia tak terkonjugasi merupakan
fenomena transisional yang normal, tetapi pada beberapa bayi terjadi peningkatan bilirubin
secara berlebihan sehingga bilirubin berpotensi menjadi toksik dan dapat menyebabkan
kematian dan bila bayi tersebut dapat bertahan hidup pada jangka panjang akan timbul
sekuele neurologis. Dengan demikian, setiap bayi yang mengalami kuning harus dibedakan
apakah ikterus ysng terjadi merupakan keadaan yang fisiologis atau patologis serta dimonitor
apakah mempunyai kecenderungan untuk berkembang menjadi hiperbilirubinemia yang
berat.4
Dengan melakukan skirining yang tepat, identifikasi faktor risiko bagi hiperbilirubinemia
berat dan kelebihan menggunakan fototerapi, transfuse tukar atau terapi lainnya, tim
kesehatan dapat melakukan sesuatu yang bermanfaat dan dapat menurunkan risiko enselopati
pada neonatus.5
Definisi
Hiperbilirubinemia dan Ikterus
Hiperbilirubinemia adalah keadaan dimana terjadi peningkatan kadar bilirubin total dalam
darah yang melebihi nilai normal yaitu 1,0 mg/dl, atau secara umum yang dapat
menyebabkan ikterus, jika melebihi 5 mg/dl pada neonatus.6,7 Hiperbilirubinemia juga
dikarakterisasi dari fraksi bilirubin yang meningkat, bilirubin direk atau indirek. Peningkatan
salah satu dari fraksi ini akan menyebabkan ikterus.8

2
Ikterus atau jaundice adalah warna kuning pada kulit, konjungtiva dan mukosa akibat
penumpukan bilirubin dalam serum.9

Penyebab Neonatal Hiperbilirubinemia


Penyebab hiperbilirubinemia pada neonatus terbagi kepada 2 yaitu berdasarkan tipenya dan
berdasarkan mekanismenya.2
Berdasarkan tipe:
1. Non patologis
2. Patologis
Berdasarkan mekanisme:
1. Peningkatan produksi bilirubin
2. Gangguan eksresi bilirubin

A. Non-patologik

Non-patologik pula terbagi kepada 2 yaitu ikterus fisiologis dan breastfeeding/breastmilk-


jaundice.
1. Ikterus fisiologis
Umumnya terjadi pada bayi baru lahir, kadar bilirubin tak terkonjugasi melebihi 2 mg/dl
yang terjadi setelah 24 jam post-natal dan dapat bertahan sehingga seminggu pertama.1,4
Konsentrasi total serum bilirubin (TSB) memuncak pada hari ke 3 dan 5 post-natal dan akan
menurun pada kadar TSB dewasa beberapa minggu pertama. Awalnya TSB pada bayi cukup
bulan mencecah 1, 5 mg/dl dan akan mencapai puncaknya pada hari ke 3 kelahiran dengan
kadar TSB 5,5 mg/ dl pada ras African American. Namun, kadar puncak TSB akan lebih
tinggi pada bayi dengan ras Asia, 10 mg/dl. Dalam tempoh 96 jam setelah kelahiran, 95 %
bayi akan mencapai kadar TSB kurang dari 17 mg/dl. Justeru, jika bilirubin berada di atas
nilai 17 mg/dl, ia bukan lagi ikterus fisiologik. 1-3

Ikterus fisiologik tidak disebabkan oleh faktor tunggal tetapi kombinasi dari berbagai faktor
yang berhubungan dengan maturitas fisiologik bayi baru lahir. Peningkatan kadar bilirubin
tidak terkonjugasi dalam sirkulasi bayi baru lahir disebabkan oleh kombinasi peningkatan

3
ketersediaan bilirubin dan penurunan klirens bilirubin.3 Peningkatan produksi dari bilirubin
disebabkan meningkatnya hematokrit dan volume sel darah merah banding berat badan dan
lifespan sel darah merah yang lebih pendek yaitu 70 hingga 90 hari berbanding dewasa, 120
hari.1,10 Gangguan dalam ekskresi bilirubin adalah disebabkan neonatus mempunyai enzim
glukuronosil transferase yang masih immature sehingga kadar bilirubin yang terkonjugasi
juga menurun.

2. Breastfeeding /breastmilk Jaundice

Breastfeeding Jaundice (BFJ) onset-dini adalah penyebab paling sering pada


hiperbilirubinemia indirek atau tak terkonjugasi. BF memperberat ikterus fisiologik karena
menyebabkan kekurangan kalori, dehidrasi dan memperlambat ekskresi meconium. Bayi
seharusnya diberikan ASI 8 hingga 12 kali dalam sehari untuk meningkatkan produksi ASI.
Untuk menilai apakah BF berhasil, harus dengan monitor urine output, stool ouput dan berat
badan bayi. Dalam sehari harus 4 hingga 6 kali ganti pampers basah dan 3 hingga 4 kali BAB
kuning, dalam 4 hari pertama kelahiran. Berat badan bayi pula tidak boleh berkurang
melebihi 10 % dari berat badan lahir dalam 4 hari pertama.2

Breastmilk Jaundice biasanya terjadi pada hari ke 6 hingga 14 post-natal dan bisa bertahan
sehingga 1 hingga 3 bulan post-natal. Walaupun banyak teori dan hipotesis tentang ASI yang
menyebabkan ikterus, namun masih belum ada mekanisme yang pasti. Dipercayai ASI
mempunyai beta-glukuronidase dan asam lemak yang teresterefikasi, menghambat enzim
Uridine Diphosphate Glucuronosyl Transferase (UDGT) yang mengkonjugasi bilirubin di
dalam hepar, sehingga meningkatkan kadar bilirubin yang tidak terkonjugasi di dalam darah.
Jika diagnosis menjadi pertanyaan, pemberian ASI boleh dihentikan dalam 48 jam dan dilihat
apakah kadar TSB menurun. Konsentrasi TSB biasanya memuncak pada 12 hingga 20 mg/dl
dan akan berkurang 3 mg/dl per hari.1,2

B. PATOLOGIS

Ikterus patologis mempunyai ciri seperti berikut : 9


Ikterus terjadi sebelum umur 24 jam

Peningkatan kadar bilirubin total serum > 0,5 mg/dl per jam atau kadar bilirubin
terkonjugasi > 2mg/dl (>20 % dari TSB)

4
Adanya tanda-tanda penyakit yang mendasari pada setiap bayi (muntah, letargi, malas,
menetek, penurunan berat badan yang cepat, apnea, takipnea, atau suhu yang tidak
stabil.)

Ikterus bertahan setelah 8 hari pada bayi cukup bulan atau setelah 14 hari pada bayi
kurang bulan.
Ikterus patologis dibagi pula berdasarkan hiperbilirubinemia tidak terkonjugasi dan
terkonjugasi.
Hiperbilirubinemia tidak terkonjugasi disebabkan meningkatnya produksi dari bilirubin
sebagai contoh pada defisiensi enzim eritrosit, inkompatibilitas golongan darah, atau defek
structural dari eritrosit. Inkompatibilitas ABO dapat menyebabkan anemia pada anak
pertama, tetapi jarang pada inkompatibilitas Rh. G6PD juga dapat menjadi penyebab
terutama pada African American. Hiperbilirubinemia karena gangguan konjugasi bilirubin
dapat ditemukan pada Sindrom Gilbert di mana aktivitas UDGT menurun di dalam hepatosit,
sehingga menyebabkan hiperbilirubinemia tidak terkonjugasi ringan. Risiko menjadi
hyperbilirubinemia berat jika disertai G6PD. Pada Sindrom Crigler-Najjar tipe 1, defisiensi
berat UDGT menyebabkan ensefalopati bilirubin dalam beberapa hari pertama hingga bulan
kelahiran. Pada sindrom Crigler-Najjar tipe 2, insiden ensefalopati bilirubin lebih rendah.
Hiperbilirubinemia Terkonjugasi adalah bila kadar bilirubin direk melebihi 1 mg/dl dan
TSB 5 mg/dl dan kurang. Jika kadar TSB besar dari 5 mg/dl, hiperbilirubinemia terkonjugasi
didefinisikan jika bilirubin direk 20 % dari TSB. Meningkatnya bilirubin direk dapat
mengindikasikan adanya sepsis atau infeksi saluran kemih. Pada bayi berusia lebih dari 3
minggu, bilirubin direk dan TSB harus diukur untuk menyingkirkan adanya kolestasis dan
atresia bilier. Abnormalitas pada tiroid dan galaktosemia juga dapat menyebabkan
hiperbilirubinemia terkonjugasi. 1,2
Bilirubin ensefalopati dan kernicterus. Istilah bilirubin ensefalopati lebih menunjukkan
kepada manifestasi klinis yang timbul akibat efek toksis bilirubin pada sistem saraf pusat
yaitu basal ganglia dan pada berbagai nuclei batang otak. Keadaan ini tampak pada minggu
pertama sesudah bayi lahir dan dipakai istilah akut bilirubin ensefalopati.
Manifestasi klinis akut bilirubin enselafalopati : Pada fase awal, bayi dengan ikterus berat
akan tampak letargis, hipotonik dan reflek hisap buruk, sedangkan pada fase intermediate
ditandai dengan moderate stupor, irritabilitas dan hipertoni. Untuk selanjutnya bayi akan

5
demam, high-pitched dry, kemudian akan menjadi drowsiness dan hipotoni. Manifestasi
hipertoni dapat berupa retrocollis dan opistotonus.1-3
Kernicterus adalah sindrom neurologik akibat dari akumulasi bilirubin indirek di ganglia
basalis dan nuclei batang otak. Faktor yang terkait dengan terjadinya sindrom ini adalah
kompleks yaitu termasuk adanya interaksi antara besaran kadar bilirubin indirek, pengikatan
oleh albumin, kadar bilirubin bebas, pasase melewati sawar darah otak dan suseptibilitas
neuron terhadap injuri. Batas kadar bilirubin indirek dalam serum dan jangka waktu ekspos
yang diperlukan tidak dapat dipastikan. Data menunjukkan bahwa bayi lahir cukup bulan,
sehat, tidak ada hemolisis, maka kernicterus jarang terjadi bila kadar bilirubin indirek dalam
serum < 25 mg/dl dan bayi yang sebelumnya sehat dan mendapat ASI ternyata kernicterus
terjadi pada kadar > 30 mg/dl. Injuri susunan saraf termasuk kernicterus dapat terjadi dengan
bilirubin indirek kadar tidak tinggi pada bayi kurang bulan dengan adanya asfikia,
perdarahan intraventrikle, hemolisis, atau obat yang melepaskan bilirubin dari albumin.
Kernicterus terjadi pada 1/3 kasus dengan penyakit hemolisis dan kadar bilirubin > 25-30
mg/dl yang tidak mendapat pengobatan. Onset biasanya pada bayi umur 1 minggu, dan dapat
juga pada umur 2-3 minggu. Bayi dengan masa gestasi yang makin kurang maka bayi makin
suseptibel untuk mengalami kernikterus.4
Manifestasi klinis kern ikterus menunjukkan bahwa terjadinya onset pada umur 2-7 hari
dimulai dengan gejala yang samar yang sulit dibedakan dengan sepsis, asfiksia atau
hipoglikemia.4 Pada tahap yang kronis bilirubin ensefalopati, bayi yang bertahan hidup akan
berkembang menjadi bentuk athetoid cerebral palsy yang berat, gangguan pendengaran,
dysplasia dental-enamel, paralisis upward gaze.1 Bayi dengan gejala saraf demikian banyak
yang meninggal dan yang hidup pada umumnya disertai dengan deficit neurologic yang
berat.
Hipotesis menyatakan bahwa bilirubin merusak dinding sel, kemudian menghalangi
pemakaian oksigen oleh jaringan otak sehingga memperberat hipoksia otak yang
berlangsung.1

6
Tabel 1. Ringkasan Penyebab Hiperbilirubinemia11

Faktor Resiko
Faktor risiko hiperbilirubinemia dapat diilustrasikan berdasarkan mnemonic berikut; 5
J Jaundice dalam 24 jam pertama kelahiran
A Infan yang asfiksia, asidosis atau albumin < 3.0 g/dl, atau saudara yang terkena jaundice
waktu neonatus dan membutuhkan terapi.
U Unrecognized haemolysis ( ABO, Rh or other blood incompatibility, red cell membrane
defects)
N Newborn born < 37 weeks of gestation
D Deficiency in glucose-6-phosphate dehydrogenase (G6PD)
I Infection or infant of a diabetic mother
C Cephalohematoma/bruising or central hematocrit > 65%
E East Asian, Mediterranean, Middle Eastern
D Due to sub-optimal feeding (breast or formula)

Metabolisme Bilirubin Dan Patofisiologi Hiperbilirubinemia

Gambar 1 : Metabolisme Bilirubin11

7
Sebagian besar produksi bilirubin merupakan akibat degradasi hemoglobin pada sistem
retikuloendotelial.1 Tingkat penghancuran hemoglobin pada neonatus lebih tinggi daripada bayi
yang lebih tua. Sekitar 1 g hemoglobin dapat menghasilkan 35 mg bilirubin indirek, yaitu
bilirubin yang larut dalam lemak tetapi tidak larut dalam air. Pada langkah pertama oksidasi,
biliverdin terbentuk dari heme melalui kerja heme oksigenase, dan terjadi pelepasan besi dan
karbon monoksida. Besi dapat digunakan kembali, sedangkan karbon monoksida diekskresikan
melalui paru-paru. Biliverdin yang larut dalam air direduksi menjadi bilirubin yang hampir tidak
larut dalam air dalam bentuk isomerik (oleh karena ikatan hidrogen intramolekul). Bilirubin tak
terkonjugasi yang hidrofobik diangkut dalam plasma, terikat erat pada albumin. Transportasi
bilirubin indirek melalui ikatan dengan albumin. Bilirubin ditransfer melalui membran sel ke
dalam hepatosit, sedangkan albumin tidak. Bayi baru lahir mempunyai kapasitas ikatan plasma
yang rendah terhadap bilirubin karena konsentrasi albumin yang rendah dan kapasitas ikatan
molar yang kurang.2,4 Sebagian besar bilirubin yang masuk hepatosit dikonjugasi dan diekskresi
ke dalam empedu. Di dalam hepatosit terjadi konjugasi lanjut dari bilirubin menjadi bilirubin
diglukoronid. Sebagian kecil bilirubin terdapat dalam bentuk monoglukoronid, yang akan diubah
oleh glukoronil-transferase menjadi diglukorinid. Enzim yang terlibat dalam sintesis bilirubin
diglukorinid, yaitu uridin difosfat-glukoronid transferase (UDPG-T), yang mengatalisis
pembentukan bilirubin monoglukoronid. Sintesis dan ekskresi diglukoronid terjadi di kanalikuli
empedu. Isomer bilirubin yang dapat membentuk ikatan hidrogen seperti bilirubin natural IX
dapat diekskresi langsung ke dalam empedu tanpa konjugasi, misalnya isomer yang terjadi
sesudah terapi sinar. Setelah konjugasi bilirubin menjadi bilirubin direk yang larut dalam air,
terjadi ekskresi segera ke sistem empedu kemudian ke usus. Di dalam usus, bilirubin direk ini
tidak di absorbsi; sebagian bilirubin direk dihidrolisis menjadi bilirubin indirek dan direabsorbsi,
siklus ini disebut siklus enterohepatik.2,7
Melihatkan kepada metabolism bilirubin di atas, patofisiologi hiperbilirubinemia terjadi
apabila adanya gangguan dalam proses penghasilan dan ekskresi bilirubin sehingga dapat
menyebabkan terjadinya peningkatan kadar bilirubin. Ia tergantung pada etiologi yang mendasari
dan terbagi kepada 3 yaitu pre-hepatik, hepatic dan post-hepatik. Contoh pre hepatic adalah
adanya hemolisis dari sel darah merah, sehingga kadar bilirubin meningkat dalam darah seperti
pada inkompatibilitas ABO/Rh. Seterusnya contoh hepatik seperti ada kelainan dari enzim hepar;
enzim glukoronil transferase sehingga akan terjadinya gangguan konjugasi dari bilirubin indirek.

8
Contoh post-hepatik adalah adanya obstruksi bilier atau kolestasis sehingga menyebabkan
ekskresi bilirubin direk terganggu dan dapat menyebabkan hiperbilirubinemia bilirubin
terkonjugasi atau direk.

Skrining
Universal TSB/TcB Screening

Gambar 2. Tabel Skor Risiko Hiperbilirubinemia12

American Academy of Pediatrics merekomendasikan skrining universal TSB (total serum


bilirubin) atau TcB (Transcutaneous bilirubin) atau skrining berdasarkan faktor risiko. Universal
TSB/TcB dapat mengidentifikasi secara akurat bayi yang akan melebihi persentil 95. Terdapat
studi yang menyebutkan penggunaan skor faktor risiko juga akurat sebagaimana universal
screening untuk prediksi hiperbilirubinemia. Kombinasi universal screening dan skor faktor
risiko dapat menjadi cara yang efektif untuk mengidentifikasi bayi yang resiko
hiperbilirubinemia.3

Gambar 2. Nomogram TSB12

9
Gambar 3. Normogram TcB12

Semua bayi dengan kuning harus dievaluasi menggunakan skor risiko atau pengukuran
TSB/TcB. Kadar bilirubin dinterpretasikan berdasarkan usia bayi dalam jam. Pemeriksaan
selanjutnya tergantung pada skor risiko bayi tersebut. AAP merekomendasikan uji laboratorium
pada semua bayi dengan ikterus yang memerlukan fototerapi; uji jenis darah, Coombs test, darah
lengkap dan kadar bilirubin direk.1

DIAGNOSIS
1. Anamnesis

Anamnesis dapat membantu dalam penegakan diagnosis. Harus ditanyakan riwayat keluarga
ikterus, kelainan metabolic, kelainan kongenital, penyakit hati, sakit selama kehamilan,
obat-obatan selama kehamilan, trauma lahir akibat persalian dan riwayat ASI eksklusif.9
2. Pemeriksaan Fisik

Metode visual memiliki angka kesalahan yang cukup tinggi, namun masih dapat digunakan
bila tidak tersedia alat yang memadai. Pemeriksaan ini sulit diterapkan pada neonatus kulit
berwarna, karena besarnya bias penilaian. Ikterus kulit pada neonatus tidak akan terlihat
pada bilirubin total di bawah 4 mg/dl. Peningkatan bilirubin serum seiring dengan ikterus
secara sefalokaudal, dari wajah turun ke dada dan punggung, ekstremitas dan akhirnya ke
telapak tangan dan kaki.1,9

10
Gambar 4. Kramers Score11

Secara evidence based, pemeriksaan metode visual tidak direkomendasikan, namun bila terdapat
keterbatasan alat masih boleh digunakan untuk tujuan skrining. Bayi dengan skrining positif
harus segera dirujuk untuk diagnosis dan tata laksana lebih lanjut. Panduan WHO
mengemukakan cara menentukan ikterus secara visual, sebagai berikut: 6
1. Pemeriksaan dilakukan pada pencahayaan yang cukup (di siang hari dengan cahaya
matahari) karena ikterus bisa terlihat lebih parah bila dilihat dengan pencahayaan
buatan dan bisa tidak terlihat pada pencahayaan yang kurang.
2. Kulit bayi ditekan dengan jari secara lembut untuk mengetahui warna di bawah kulit
dan jaringan subkutan.
3. Keparahan ikterus ditentukan berdasarkan usia bayi dan bagian tubuh yang tampak
kuning.

3. Pemeriksaan Penunjang

Bilirubin serum
Pemeriksaan bilirubin serum merupakan gold-standard penegakan diagnosis ikterus neonatorum
serta untuk menentukan perlunya intervensi lebih lanjut. Jika bilirubin terkonjugasi di atas 2
mg/dl, harus dipertimbangkan adanya penyakit hepatoselular atau obstruksi bilier.
Di setiap derajat hiperbilirubinemia, analisis gas darah arteri untuk asidosis dan
pengukuran albumin serum dapat membantu kita mengidentifikasi neonatus yang beresiko besar
mengalami cedera otak.

11
Differential Diagnosis dan Pemeriksaan Penunjang yang Terkait

Penatalaksanaan
Berbagai cara telah digunakan untuk mengelola bayi baru lahir dengan hiperbilirubinemia
indirek. Strategi tersebut termasuk ; pencegahan, penggunaan farmakologi, fototerapi dan
tranfusi tukar.
10 Kunci Pedoman AAP 14

1. Mendukung pemberian ASI


2. Tetapkan protocol dimana perawat juga bisa memesan bilirubin
3. Ukur TSB atau TcB jika kuning dalam 24 jam
4. Penilaian visual ikterus dapat menimbulkan bias, terutama pada bayi yang kulitnya gelap
5. Interpretasi kadar bilirubin berdasarkan umur bayi dalam jam
6. Infan berumur di bawah 38 minggu, jika ASI adalah risiko tinggi
7. Lakukan penilaian risiko sebelum pulang dari rumah sakit
8. Berikan ibu bapa informasi tertulis dan lisan
9. Berikan tindak lanjut yang sesuai berdasarkan waktu pulang dan penilaian risiko
10. Berikan terapi bayi baru lahir sesuai indikasi, dengan fototerapi atau transfusi tukar

12
Pencegahan
American Academy of Pediatrics (AAP) tahun 2004 mengeluarkan strategi praktis dalam
pencegahan dan penanganan hyperbilirubinemia bayi baru lahir (< 35 minggu atau lebih) dengan
tujuan untuk menurunkan insidens dari neonatal hiperbilirubinemia berat dan ensefalopati
bilirubini serta meminimalkan risiko yang tidak menguntungkan seperti kecemasan ibu,
berkurangnya breastfeeding atau terapi yang tidak diperlukan. Pencegahan dititikberatkan pada
pemberian minum sesegera mungkin, sering menyusui untuk menurunkan shunt enterohepatic,
menunjang kestabilan baktero flora normal, dan merangsang aktifitas usus halus.3
Pencegahan primer

Menganjurkan ibu untuk menyusui bayinya paling sedikit 8-12 kali perhari untuk beberapa hari
pertama. Tidak memberikan cairan tambahan rutin seperti dextrose atau air pada bayi yang
mendapat ASI dan tidak mengalami dehidrasi.2,4
Pencegahan sekunder

Harus melakukan penilaian sistematis terhadap risiko kemungkinan terjadinya hiperbilirubinemia


berat selama periode neonatal. Seterusnya, semua wanita hamil harus diperiksa golongan darah
ABO dan rhesus serta penyaringan serum untuk antibody isoimun yang tidak biasa. Bila
golongan darah ibu tidak diketahui atau Rh negative, dilakukan pemeriksaan antibody direk (tes
Coombs), golongan darah dan tipe Rh(D) darah tali pusat bayi. Bila golongan darah ibu 0, Rh
positif, terdapat pilihan untuk dilakukan tes golongan darah dan tes coombs pada darah tali pusat
bayi, tetapi hal itu tidak diperlukan jika dilakukan pengawasan, penilaian terhadap risiko
sebelum keluar rumah sakit dan tindak lanjut yang memadai. 4

Fototerapi

13
Fototerapi dapat digunakan tunggal atau dikombinasi dengan transfusi pengganti untuk
menurunkan bilirubin. Bila neonatus dipapar dengan cahaya berintensitas tinggi, tindakan ini
dapat menurunkan bilirubin dalam kulit. Secara umum, fototerapi harus diberikan pada kadar
bilirubin indirek 4-5 mg/dl. Neonatus yang sakit dengan berat badan kurang dari 1000 gram
harus difototerapi bila konsentrasi bilirubin 5 mg/dl. Beberapa pakar mengarahkan untuk
memberikan fototerapi profilaksis 24 jam pertama pada bayi berisiko tinggi dan berat badan lahir
rendah. Yang dimaksud dengan fototerapi intensif adalah radiasi dalam spektrum biru-hijau
(panjang gelombang antara 430-490 nm), setidaknya 30 W/cm2 per nm (diukur pada kulit bayi
secara langsung di bawah pertengahan unit fototerapi) dan diarahkan ke permukaan kulit bayi
seluas-luasnya. Pengukuran harus dilakukan dengan radiometer spesifik dari manufaktur unit
fototerapi tersebut.1,3,14

Gambar 5: Panduan fototerapi12

Pada bayi dengan usia kehamilan 35-37 6/7 minggu diperbolehkan untuk melakukan foto
terapi pada kadar bilirubin total sekitar medium risk line. Merupakan pilihan untuk intervensi
pada kadar bilirubin total serum yang lebih rendah untuk bayi yang mendekati usia 35 minggu
dan dengan kadar bilirubin total serum yang lebih tinggi untuk bayi yang berusia 37 6/7 minggu.
Diperbolehkan melakukan foto terapi baik di rumah sakit atau di rumah pada kadar bilirubin total
2-3 mg/dl di bawah garis yang ditunjukkan, namun pada bayi yang memiliki faktor risiko foto
terapi sebaiknya tidak dilakukan di rumah.1
Selanjutnya pertanyaan yang sering timbul adalah kapan terapi sinar harus dihentikan.
Sampai saat ini belum ada standar pasti untuk menghentikan terapi sinar, akan tetapi terapi sinar
dapat dihentikan bila kadar BST sudah berada di bawah nilai cut off point dari setiap kategori.
Untuk bayi yang dirawat di rumah sakit pertama kali setelah lahir (umumnya dengan kadar BST

14
> 18 mg/dL ,maka terapi sinar dapat dihentikan bila BST turun sampai di bawah 13 - 14 mg/dL.
Untuk bayi dengan penyakit hemolitik atau dengan keadaan lain yang diterapi sinar di usia dini
dan dipulangkan sebelum bayi berusia 3-4 hari, direkomendasikan untuk pemeriksaan ulang
bilirubin 24 jam setelah dipulangkan. Bayi yang dirawat di rumah sakit untuk kedua kali dengan
hiperbilirubinemia dan kemudian dipulangkan, jarang terjadi kekambuhan yang signifikan
sehingga pemeriksaan ulang bilirubin dilakukan berdasarkan indikasi klinis.14-16
Sebagian besar unit neonatal di Indonesia masih memberikan terapi sinar pada setiap bayi
baru lahir cukup bulan dengan BST >12 mg/dL atau bayi prematur dengan BST >10 mg/dL
tanpa melihat usia. Diharapkan agar penggunaan terapi sinar atau transfusi tukar disesuaikan
dengan anjuran AAP. Gartner dan Auerbach merekomendasikan jika kadar bilirubin > 20 mg/dL
pada bayi cukup bulan, maka penting untuk menurunkan kadar bilirubin secepatnya. Terapi sinar
harus segera dilakukan bersamaan dengan pemeriksaan laboratorium darah untuk penegakan
diagnosis BFJ dan BMJ. Pada beberapa kasus, pemberian cairan intra vena dapat
dipertimbangkan misalnya ada dehidrasi atau sepsis. Terapi sinar dapat dilakukan bila ada
riwayat pada saudara sebelumnya mengalami BMJ. Batas kadar bilirubin untuk melakukan terapi
sinar biasanya lebih rendah pada kasus tersebut (< 12 mg/dL). Pemantauan lanjut saat bayi sudah
di rumah juga penting dilakukan. Pemantauan dapat berlangsung selama kurang lebih 14 hari.
Pemantauan dilakukan terutama jika kadar bilirubin mencapai > 12 mg/dL. Bila konsentrasi
bilirubin tidak menurun atau cenderung naik pada bayi-bayi yang mendapat foto terapi intensif,
kemungkinan besar terjadi proses hemolisis.1,13,14
Intravena immunoglobulin (IVIG)
Pemberian IVIG digunakan pada kasus yang berhubungan dengan faktor imunologik. Pada
hiperbilirubinemia yang disebabkan oleh inkompatibilitas golongan darah ibu dan bayi,
pemberian IVIG dapat menurunkan kemungkinan dilakukannya transfusi tukar.6 Gamma
globulin intravena direkomendasikan untuk bayi yang memiliki penyakit hemolitik isoimun jika
TSB meningkat walaupun fototerapi atau TSB berada dalam 2 sampai 3 mg / dL (34,2 sampai
51,3 mol / L) pada tingkat transfusi tukar dengan harapan dapat menghindari transfusi tukar.
Dosis lain bisa diberikan dalam 12 jam, jika diperlukan.

15
Medika-mentosa
Phenobarbital dapat merangsang hati untuk menghasilkan enzim yang meningkatkan konjugasi
bilirubin dan mengekskresikannya. Obat ini efektif diberikan pada ibu hamil selama beberapa
hari sampai beberapa minggu sebelum melahirkan. Penggunaan phenobarbital post natal masih
menjadi pertentangan oleh karena efek sampingnya (letargi). Coloistrin dapat mengurangi
bilirubin dengan mengeluarkannya melalui urin sehingga dapat menurunkan kerja siklus
enterohepatika.
Pencegahan hiperbilirubinemia dengan menggunakan metalloprotopophyrin juga telah diteliti.
Zat ini dalah analog sintesis heme. Protoporphyrin telah terbukti efektif sebagai inhibitor
kompetetif dari heme-oksigenase, enzim ini diperlukan untuk katabolisme heme menjadi
biliverdin. Dengan zat-zat heme dicegah dari katabolisme dan diekresikan secara utuh di dalam
empedu.4
Pada penelitian terhadap bayi kurang bulan dan cukup bulan, bayi dengan atau tanpa hemolysis,
tin-protoporphirin dan tin-mesoporphyrin daapt menurunkan kadar bilirubin serum. Penggunaan
fototerapi setelah pemberian Sn-PP berhubungan dengan timbulnya eritema foto toksik. Sn-MP
kurang bersifat toksik, khususnya jika digunakan bersamaan dengan fototerapi. Pada penelitian
terbaru dengan penggunaan Sn-MP, maka fototerapi pada bayi cukup bulan tidak diperlukan lagi,
sedangkan bayi kurang bulan penggunaannya telah banyak berkurang. Pemakaian-pemakaian
obat ini sebaiknya hanya digunakan untuk bayi yang mempunyai risiko tinggi terhadap kejadian
hyperbilirubinemia yang berkembang menjadi disfungsi neurologi dan juga sebagai clinical
trial.4

Transfusi tukar
Transfusi pengganti digunakan untuk mengatasi anemia akibat eritrosit yang rentan terhadap
antibodi erirtosit maternal; menghilangkan eritrosit yang tersensitisasi; mengeluarkan bilirubin
serum; serta meningkatkan albumin yang masih bebas bilirubin dan meningkatkan
keterikatannya dangan bilirubin.2,9

16
Gambar 6. Indikasi pemberian tranfusi tukar12
Garis putus putus pada 24 jam pertama menunjukkan keadaan tanpa patokan pasti
karena terdapat pertimbangan klinis yang luas dan tergantung respon terhdapa foto
terapi.

Direkomendasikan tranfusi tukar segera bila bayi menunjukkan gejala ensefalopati


akut, atau bila kadar bilirubin total > 5 mg/dl di atas garis patokan.

Faktor risiko: penyakit hemolitik autoimun, defisiensi G6PD, asfiksia, letargis, suhu
tidak stabil, sepsis, asidosis.

Periksa kadar albumin dan hitung rasio bilirubin total/albumin

Sebagai patokan adalah bilirubin total

Pada bayi sehat dan usia kehamilan 35-37 minggu (risiko sedang) tranfusi tukar dapat
dilakukan bersifat individual berdasarkan kadar bilirubin total sesuai usianya.

Gambar 7. Indikasi terapi sinar dan tranfusi tukar berdasarkan kadar bilirubin serum12

17
Tranfusi tukar adalah terapi pertama untuk mengatasi hiperbilirubinemia berat. Mekanismenya
adalah dengan mengeluarkan bilirubin dan antibodi yang dapat menyebabkan hemolysis dari
dari sirkulasi darah. Prosedur ini melibatkan pengambilan aliquot kecil dari darah bayi dan
menggantinya dengan jumlah donor sel darah merah yang sama melalui satu sampai dua kateter
sentral sampai volume darah bayi diganti dua kali. Infus albumin 1 sampai 4 jam sebelum
prosedur dapat meningkatkan jumlah bilirubin yang dikeluarkan.2
Tranfusi tukar harus segera dilakukan jika neonatus dengan ikterus yang menunjukkan
ensefalopati bilirubin akut walaupun kadar TSB menurun. Faktor risiko hyperbilirubinemia berat
dan ratio albumin/bilirubin harus di titikberatkan bila untuk memulai tranfusi tukar.
Walaupun transfusi tukar berhasil pada bayi dengan hyperbilirubinemia berat, namun
terdapat komplikasi termasuk infeksi, thrombosis vena portal, trombositopenia, necrotizing
enterocolitis, elektrolit imbalans bahkan kematian. Kadar komplikasi dilaporkan mencapai 12 %.
Disebabkan risiko ini, fototerapi harus dimaksimalkan untuk mengurangai keperluan untuk
transfusi tukar.
Tabel 3. Anjuran follow up dari AAP
Usia saat dipulangkan Usia saat follow-up
<24 jam 72 jam
24-47,9 jam 96 jam
48-72 jam 120 jam

Evaluasi berkata atau follow-up harus dilakukan sesuai dengan usia bayi dan kadar
bilirubin saat dipulangkan.9 Ini adalah supaya kadar bilirubin dapat dipantau dan untuk
memastikan tidak mencapai kadar yang dapat menyebabkan defek neurologis atau sampai
kernicterus. Sebelum pulang juga dianjurkan oleh AAP untuk di lakukan penilaian factor risiko
untuk menentukan kapan harus di follow-up.
Kesimpulan
Pada masa kini, infan banyak dibenarkan pulang dari rumah sakit tidak lama setelah
kelahiran. Jadi sangat penting untuk melakukan skirining dengan TSB atau TcB dibenarkan
pulang karena penilaian dari visual semata tidak mencukupi. Seterusnya, harus diatur jadwal
follow up untuk evaluasi setelah dipulangkan, idealnya dalam tempoh 48 jam. Ibu harus
diedukasi tentang pemberian ASI dan pemberian kalori yang mencukupi dan juga monitor BAB
dan BAK infan. Nomogram dapat digunakan sebagai panduan untuk pemberian fototerapi dan
transfusi tukar. Justeru, infan harus diskrining dan di cegah lebih awal untuk mengelakkan
18
terjadinya komplikasi hyperbilirubinemia yang lebih berat seperti kernincterus yang dapat
menimbulkan sekuele neurologis.

DAFTAR PUSTAKA

1. Meredith LP, Beth ID. Hyperbilirubinemia in the Term Newborn. American of Family Physicians; 65(4):
2002. P 599-606
2. Bryon JL, Nancy DS. Hyperbilirubinemia in the newborn. American Association of Pediatrics ; 32(8) :
2011
3. Karen EM. Evaluation and Treatment of Neonatal Hyperbilirubinemia. In: Neonatal hyperbilirubinemia.
American of Family Physician; 89 (11): 2014. P 873-8.
4. M. Soleh, Ari Y, Rizalya D, Gatot I, Ali U. Hiperbilirubinemia. Dalam: Buku Ajar Neonatologi. Edisi
Pertama. IDAI. 2012. H. 147-168
5. CMNRP. Newborn hyperbilirubinemia. Champlain Maternal Newborn Regional Program. 2015. H 1-24.
6. Stevry M, Rocky W, Audrey W. Hiperbilirubinemia pada neonatus. Jurnal Biomedik. 5 (1). 2013. H. 4-10
7. Debra HP, Yolanda R. Jaundice. Dalam: American academy of pediatrics textbook of pediatrics care. 2 nd
Ed. 2016.
8. Daniel B, Steven S. Hiperbilirubinemia Pada Neonatus. Dalam: Ilmu kesehatan anak. 3rd ed. USA. Wolter
Kluwer Health Inc; 2012. P 205-6.
9. Sukman TP, Soedobjo SA, Erwin Silam, et al. Ikterus Noenatorum. Dalam: Kapita Selekta Kedokteran.
Jakarta: Media Aesculapius 2014. H: 155-6
10. Bhutta ZA. Hyperbilirubinemia. In: Kliegman R, Emerson W. Nelson textbook of paediatrics. 19 th ed.
USA: Elsevier; 2011. P 275-7.
11. Hyperbilirubinemia. [Cited at 13 August 2017]. Available from :
https://www.researchgate.net/publication/43297765_Incidence_of_neonatal_hyperbilirubinemia_A_popula
tion-based_prospective_study_in_Pakistan
12. Therapy of hyperbilirubinemia. [Cited at 13 August 2017]. Available from :
http://www.aafp.org/afp/2014/0601/p873.html
13. Indikasi tetapi sinar. [Cited at 13 August 2017]. Available from :
http://www.idai.or.id/artikel/klinik/asi/indikasi-terapi-sinar-pada-bayi-menyusui-yang-kuning
14. Subcommittee on Hyperbilirubinemia. Clinical practice guideline: management of hyperbilirubinemia in
the newborn infant >35 weeks of gestation. American Academy of Pediatrics : 114(297) : 2004
15. Widagdo. Hiperbilirubinemia. Dalam: tatalaksana masalah penyakit anak dengan ikterus. Sagong Seto.
2012. H 2-56.
16. Debbie p, Anuradha S, Martiin W. Treatment of Hyperbilirubinemia. In: Neonatal Jaundice. Commissioned
by the National Institute for Health and Cinical Excellence. 2010

19

Anda mungkin juga menyukai