Anda di halaman 1dari 8

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

INFEKSI SALURAN KEMIH

2.1 DEFINISI

Infeksi saluran kemih (ISK) adalah istilah umum yang menunjukkan


keberadaan mikroorganisme (MO) dalam urin. Bakteriuria bermakna (significant
bacteriuria): bakteriuria bermakna menunjukkan pertumbuhan mikroorganisme
5
murni lebih dari 10 colony forming unit (cfu/ml) pada biakan urin. Bakteriuria
bermakna mungkin tanpa disertai presentasi klinis ISK dinamakan bakteriuria
asimtomatik. Sebaliknya, bakteriuria bermakna disertai persentasi klinis ISK
dinamakan bakteriuria bermakna simtomatik. Pada beberapa keadaan, pasien
dengan persentasi klinis ISK tanpa bekteriuria bermakna. (Sukandar, E., 2006)

2.2 ETIOLOGI

Sumber patogen yang paling umum adalah bakteri gram negatif, terutama
Escherichia coli. Escherichia coli (E. Coli) bertanggung jawab 90% dari episode
ISK. Bakteri gram positif (terutama Enterococci dan Staphylococci) mewakili 5-
7% kasus. Hospital-acquired infection menunjukkan pola yang lebih luas dari
bakteri yang agresif, seperti Klebsiella, Serratia dan Pseudomonas sp.
Streptokokus grup A dan B relatif umum pada bayi baru lahir (European
Association of Urology, 2013).

2.3 EPIDEMIOLOGI

ISK merupakan penyakit yang relatif sering pada anak. Kejadian ISK
tergantung pada umur dan jenis kelamin. Prevalensi ISK pada neonatus berkisar
antara 0,1% hingga 1%, dan meningkat menjadi 14% pada neonatus dengan
demam, dan 5,3% pada bayi. Pada bayi asimtomatik, bakteriuria didapatkan pada

Universitas Sumatera Utara


0,3 hingga 0,4%.13 Risiko ISK pada anak sebelum pubertas 3-5% pada anak
perempuan dan 1-2% pada anak laki. Pada anak dengan demam berumur kurang
dari 2 tahun, prevalensi ISK 3-5%. Data studi kolaboratif pada 7 rumah sakit
institusi pendidikan dokter spesialis anak di Indonesia dalam kurun waktu 5 tahun
(1984-1989) memperlihatkan insidens kasus baru ISK pada anak berkisar antara
0,1%-1,9% dari seluruh kasus pediatri yang dirawat. Di RSCM Jakarta dalam
periode 3 tahun (1993-1995) didapatkan 212 kasus ISK, rata-rata 70 kasus baru
setiap tahunnya (UKK Nefrologi IDAI , 2011)

2.4 PATOGENESIS

Terjadinya ISK pada anak dapat melalui beberapa cara. Pada bayi, terutama
neonatus biasanya bersifat hematogen sebagai akibat terjadinya sepsis. Pada anak
besar infeksi biasanya berasal dari daerah perineum yang kemudian menjalar
secara ascendens sampai ke kandung kemih, ureter atau ke parenkim ginjal.
Adanya kelainan kongenital traktus urinarius terutama yang bersifat obstruktif dan
refluks merupakan faktor predisposisi timbulnya ISK. Faktor predisposisi lainnya
yaitu batu saluran kemih, pemasangan kateter kandung kemih, tumor, dan lain-
lain (Ilmu Kesehatan Anak FK UI, 1985)

Gambar 2-1. Masuknya kuman secara ascending ke dalam saluran kemih, (1)
Kolonisasi kuman di sekitar uretra, (2) masuknya kuman melalui uretra ke buli-
buli, (3) penempelan kuman pada dinding buli-buli, (4) masuknya kuman melalui
ureter ke ginjal ( Purnomo, 2003 )

Universitas Sumatera Utara


2.5 MANIFESTASI KLINIS

Gejala klinis ISK pada anak sangat bervariasi, ditentukan oleh intensitas
reaksi peradangan, letak infeksi (ISK atas dan ISK bawah), dan umur pasien.
Sebagian ISK pada anak merupakan ISK asimtomatik, umumnya ditemukan pada
anak umur sekolah, terutama pada anak perempuan . ISK asimtomatik umumnya
tidak berlanjut menjadi pielonefritis dan prognosis jangka panjang baik (UKK
Nefrologi IDAI, 2011).
Pada neonatus gejala klinis tidak spesifik, berupa demam, hipotermi,
ikterus, iritabel, muntah, gagal tumbuh dan lain sebagainya. Pada bayi dan balita
gejala klinis nya berupa demam, gejala saluran cerna (misalnya, muntah, diare,
sakit perut), atau urin yang berbau busuk (Hay et al., 2007)
Pada anak usia sekolah umumnya memiliki tanda klasik sistitis (frekuensi,
disuria, dan urgensi) atau pielonefritis (demam, muntah , dan nyeri pinggang).
Pada pemeriksaan fisik kelainan yang berhubungan dengan saluran kemih
meliputi massa abdomen, perbesaran ginjal, dan kelainan meatus urethra (lubang
uretra). Kekuatan aliran urin yang berkurang merupakan petunjuk untuk obstruksi
atau kandung kemih neurogenik (Weinberg, G. A, 2010)

2.6 DIAGNOSIS
Diagnosis ISK ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik,
pemeriksaan laboratorium yang dipastikan dengan kultur urin. Pemeriksaan
urinalisis dan kulur urin adalah prosedur yang terpenting. Oleh sebab itu kualitas
pemeriksaan urin memegang peran utama untuk menegakkan diagnosis.
a. Urinalisis
Urinalisis saja tidak cukup untuk mendiagnosa ISK. Anak-anak dengan
demam yang tidak jelas dan gejala berkemih mungkin memiliki kultur urin positif
bahkan ketika dijumpai hasil yang abnormal pada tes dipstik dan urin lengkap.

Universitas Sumatera Utara


b. Kultur Urin
Idealnya, teknik pengumpulan urin harus bebas dari kontaminasi, cepat,
mudah dilakukan untuk semua umur oleh orangtua, murah, dan menggunakan
peralatan sederhana. Sayangnya tidak ada teknik yang memenuhi persyaratan ini.
Pengambilan sampel urin untuk biakan urin dapat dilakukan dengan cara aspirasi
suprapubik, kateter urin, pancar tengah (midstream), dan menggunakan urine
collector. Cara terbaik untuk menghindari kemungkinan kontaminasi ialah dengan
aspirasi suprapubik, dan merupakan baku emas pengambilan sampel urin untuk
biakan urin. Kateterisasi urin merupakan metode yang dapat dipercaya terutama
pada anak perempuan, tetapi cara ini traumatis. Teknik pengambilan urin pancar
tengah merupakan metode non-invasif yang bernilai tinggi, dan urin bebas
terhadap kontaminasi dari uretra. Pada bayi dan anak kecil, urin dapat diambil
dengan memakai kantong penampung urin (urine bag atau urine collector).
Pengambilan sampel urin dengan metode urine collector, merupakan metode yang
mudah dilakukan, namun risiko kontaminasi yang tinggi dengan positif palsu
hingga 80%. Child Health Network (CHN) guideline (2002) hanya
merekomendasikan 3 teknik pengambilan sampel urin, yaitu pancar tengah,
kateterisasi urin, dan aspirasi supra pubik, sedangkan pengambilan dengan urine
bag tidak digunakan. (UKK Nefrologi IDAI, 2011)
Pengiriman bahan biakan ke laboratorium mikrobiologi perlu mendapat
perhatian karena bila sampel biakan urin dibiarkan pada suhu kamar lebih dari
jam, maka kuman dapat membiak dengan cepat sehingga memberikan hasil
biakan positif palsu. Jika urin tidak langsung dikultur dan memerlukan waktu
lama, sampel urin harus dikirim dalam termos es atau disimpan di dalam lemari
es. Urin dapat disimpan dalam lemari es pada suhu 4 0C selama 48-72 jam
sebelum dibiak. (Ilmu Kesehatan Anak FK UI, 1985)
Interpretasi hasil biakan urin bergantung pada teknik pengambilan sampel
urin, waktu, dan keadaan klinik. Untuk teknik pengambilan sampel urin dengan
cara aspirasi supra pubik, semua literatur sepakat bahwa bakteriuria bermakna
adalah jika ditemukan kuman dengan jumlah berapa pun. Namun untuk teknik

Universitas Sumatera Utara


pengambilan sampel dengan cara kateterisasi urin dan urin pancar tengah, terdapat
kriteria yang berbeda-beda.
Berdasarkan kriteria Kass, dengan kateter urin dan urin pancar tengah
dipakai jumlah kuman 105 cfu per mL urin sebagai bakteriuria bermakna.
Dengan kateter urin, arin dkk., (2007) menggunakan jumlah > 105 cfu/mL urin
sebagai kriteria bermakna dan pendapat lain menyebutkan bermakna jika jumlah
kuman 50x10 3 cfu/mL, dan ada yang menggunakan kriteria bermakna dengan
jumlah kuman > 104 cfu/mL. Paschke dkk. (2010) menggunakan batasan ISK
dengan jumlah kuman > 50x 10 3 cfu/mL untuk teknik pengambilan urin dengan
midstream/clean catch .Interpretasi hasil biakan urin bukanlah suatu patokan
mutlak dan kaku karena banyak faktor yang dapat menyebabkan hitung kuman
tidak bermakna meskipun secara klinis jelas ditemukan ISK. (UKK Nefrologi
IDAI, 2011)

c. CRP ( C-reactive protein )


Sintesis dan struktur CRP
C-Reactive Protein (CRP) adalah salah satu protein fase akut , termasuk
golongan protein yang kadarnya dalam darah meningkat pada infeksi akut sebagai
respons imunitas non-spesifik. Pengukuran CRP digunakan untuk menilai
aktivitas penyakit inflamasi. CRP dapat meningkat 100x atau lebih dan adanya
CRP yang tetap tinggi menunjukkan infeksi yang persisten (Baratawidjaja &
Rengganis, 2012).
CRP pertama kali didiskripsikan oleh William Tillet dan Thomas Francis
di Institut Rockefeller pada tahun 1930. Mereka mengekstraksi protein dari serum
pasien yang menderita Pneumonia pneumococcus yang akan bereaksi dengan C -
Polisakarida dari dinding sel Pneumococcus. Karena reaksi antara protein dan
polisakarida menyebabkan presipitasi maka protein ini diberi nama C-Reactive
Protein. (Faraj dan Salem, 2012)
CRP dalam plasma diproduksi oleh sel hepatosit hati terutama dipengaruhi
oleh Interleukin 6 (IL-6). CRP merupakan marker inflamasi yang diproduksi dan
dilepas oleh hati dibawah rangsangan sitokin-sitokin seperti IL-6,Interleukin 1

Universitas Sumatera Utara


(IL-1), dan Tumor Necroting Factor (TNF-). Sintesa CRP di hati berlangsung
sangat cepat setelah ada sedikit rangsangan, konsentrasi serum meningkat diatas
5mg/L selama 6-8 jam dan mencapai puncak sekitar 24-48 jam. (Ingle, Pravin V.
& Patel, Devang M., 2011)
Eisenhardt dkk (2009) dalam Triana Silalahi (2013) menemukan bahwa C-
Reactive Protein terdapat dalam 2 bentuk, yaitu bentuk pentamer (pCRP) dan
monomer (mCRP). Bentuk pentamer dihasilkan oleh sel hepatosit sebagai reaksi
fase akut dalam respon terhadap infeksi, inflamasi dan kerusakan jaringan. Bentuk
monomer berasal dari pentamer CRP yang mengalami dissosiasi dan mungkin
dihasilkan juga oleh sel-sel ekstrahepatik seperti otot polos dinding arteri, jaringan
adiposa dan makrofag.

Fungsi CRP
CRP (C-reactive protein) berperan dalam pertahanan tubuh manusia
melalui respon inflamasi alamiah yang merupakan pertahanan tubuh pertama.
CRP bekerja secara bersamaan dengan sistem imunitas didapat untuk melawan
patogen dan mikroba. CRP akan mengikat antigen melalui mekanisme yang
melibatkan kalsium yang berperan menambah aktivitas proses fagositosis.
Konsentrasi serum CRP mencapai kadar patologis jika diatas 6 mg/l. CRP dapat
digunakan untuk memonitor inflamasi akibat dari infeksi maupun tidak infeksi
dan untuk menilai kemajuan terapi. (Prestegard, E., 2006)

Keadaan CRP Meningkat


A. Inflamasi Akut
Infeksi Bakteri
Pneumococcal pneumonia
Demam Reumatik Akut
Bacterial endocarditis
Staphylococcal osteomyelitis

Universitas Sumatera Utara


B. Inflamasi Kronik
Lupus Erimatosus sistemik
Reumatik artritis
Polyarteritis nodosa, disseminated
Systemic vasculitis, cutaneous vasculitis
Polymyalgia rheumatica
Chrons disease
Osteoartritis
Perokok
Obesitas
Diabetes
C. Kerusakan Jaringan
Tissue Injury and surgery
Acute myocardial ischemia
Sumber : (Ingle, Pravin V & Patel, Devang M, 2011)

CRP dan Infeksi


CRP merupakan faktor penting dalam menentukan etiologi infeksi, karena
dapat membantu membedakan antara infeksi bakteri dan infeksi virus.Level CRP
dapat meningkat secara significan pada infeksi bakteri. Nilai yang lebih tinggi dari
100 mg/L menunjukkan infeksi bakteri sedangkan dibawah 10 mg/L
menunjukkan infeksi virus (Chandrashekara, 2014).

2.7 TATALAKSANA
Tatalaksana ISK didasarkan pada beberapa faktor seperti umur pasien,
lokasi infeksi, gejala klinis, dan ada tidaknya kelainan yang menyertai ISK.
Sistitis dan pielonefritis memerlukan pengobatan yang berbeda. Keterlambatan
pemberian antibiotik merupakan faktor resiko penting terhadap terjadinya jaringan
parut pada pielonefritis. Sebelum pemberian antibiotik, terlebih dahulu diambil
sampel urin untuk kultur urin dan resistensi antimikroba. Penanganan ISK yang

Universitas Sumatera Utara


lebih awal pada anak dan tepat dapat mencegah terjadinya kerusakan ginjal lebih
lanjut. (UKK Nefrologi IDAI, 2011)

2.8 KOMPLIKASI
ISK dapat menyebabkan gagal ginjal akut, bakterimia, sepsis, dan
meningitis. Komplikasi ISK jangka panjang adalah parut ginjal, gagal ginjal, dan
lain-lain. Faktor resiko terjadinya parut ginjal antara lain karena keterlambatan
pemberian antibiotik, infeksi berulang, VUR, dan obstruksi saluran kemih. (UKK
Nefrologi IDAI, 2011)

2.9 PROGNOSIS
Pada anak yang ditatalaksana dengan baik, jarang berlanjut ke gagal ginjal
kecuali mereka memiliki kelainan pada saluran kemihnya. Dan pada anak dengan
infeksi yang berulang, terutama dengan adanya VUR diperkirakan (tapi tidak
terbukti) menyebabkan jaringan parut ginjal, yang dapat menyebabkan hipertensi
dan stadium akhir penyakit ginjal. (Weinberg, G.A., 2010)

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai