Anda di halaman 1dari 18

APPENDISITIS AKUTA

A. Pendahuluan
Appendiks disebut juga umbai cacing atau biasa disebut usus buntu,
merupakan penonjolan kecil berbentuk sebesar jari kelingking yang berada di
usus besar tepatnya di daerah perbatasan dengan usus kecil dan usus besar yaitu
sekum. Sesuai namanya, usus buntu merupakan benar-benar saluran usus yang
ujungnya buntu. Usus buntu ini memiliki beberapa fungsi pertahanan tubuh. (1,2,3)
Appendisitis merupakan peradangan pada umbai cacing atau appendiks
vermiformis. Orang awam menyebutnya sebagai peradangan pada usus buntu.
Peradangan akut apendiks memerlukan tindakan bedah segera untuk mencegah
komplikasi yang umumnya berbahaya. (1,2,4,5)
Appendisitis merupakan salah satu penyebab dari akut abdomen.
Diagnosis appendisitis harus ditegakkan dini dan tindakan harus segera
dilakukan. Keterlambatan diagnosis dapat menyebabkan penyulit perforasi
dengan segala akibatnya. (1,2,3,4,6)

B. Anatomi dan Fisiologi Appendiks Vermiformis


1. Anatomi Appendiks Vermiformis
Appendiks adalah suatu struktur kecil, berbentuk seperti tabung yang
menempel pada bagian awal dari sekum, dimana lumennya sempit di bagian
proximal dan melebar di bagian distal. Pangkalnya terletak pada posteromedial
caecum. Panjang appendiks pada orang dewasa bervariasi dengan rata-rata
panjang 6-9 cm, dan diameter rata-rata 0,7 cm. Sedangkan pada bayi, apendiks
berbentuk kerucut, lebar pada pangkalnya dan menyempit kearah ujungnya.
Keadaan ini mungkin yang menjadi penyebab rendahnya insiden appendisitis
pada usia tersebut. (1,2,3,4,6,7,8)
Appendiks merupakan derivat bagian dari midgut yang terdapat di antara
ileum dan colon ascendens. Appendiks mulai terlihat pertama kali pada minggu

1
ke-8 kehamilan sebagai suatu tonjolan pada apeks caecum. Dalam proses
perkembangannya, usus mengalami rotasi dan caecum berakhir pada kuadran
kanan bawah perut. Biasanya appendiks yang berada pada apeks caecum akan
berotasi ke arah yang lebih medial, dekat dengan plica ileocaecalis. (1,2,6)
Appendiks terletak di kuadran kanan bawah abdomen. Tepatnya di
ileosecum dan merupakan pertemuan ketiga taenia coli (taenia libera, taenia
colica, dan taenia omentum). Dari topografi anatomi, letak pangkal appendiks
berada pada titik Mc Burney, yaitu titik pada garis antara umbilicus dan SIAS
(Spina Iliaca Anterior Superior) dekstra yang berjarak 1/3 lateral dari titik
tersebut (Monroe-Pichters line). Pangkal apendiks juga dapat ditentukan dengan
cara pengukuran garis Lanz. Garis diukur dari SIAS dekstra ke SIAS sinistra,
lalu garis dibagi 6. Ujung apendiks terletak pada 1/6 lateral garis tersebut dari
arah SIAS dekstra. Macam-macam letak appendiks : retrocaecal (74%), pelvik
(21%), paraileal (5%), paracaecal (2%), dan subcaecal (1,5%). Kebanyakan
kasus, appendiks terletak intraabdominal. Posisi ini memungkinkan appendiks
bergerak bebas dan ruang geraknya bergantung pada panjang mesoappendiks di
penggantungnya. (1,2,6,8)

Gambar 1. Appendix vermicularis Gambar 2. Variasi lokasi Appendiks


vermicularis

Appendiks vermiformis disangga oleh mesoapendiks (mesenteriolum)


yang bergabung dengan mesenterium usus halus pada daerah ileum terminale.

2
Mesenteriolum berisi a. apendikularis yang merupakan cabang a. ileocolica,
cabang dari a. mesenterica superior yang memperdarahi appendiks. A.
Appendikularis merupakan arteri tanpa kolateral. Jika arteri ini tersumbat,
misalnya karena trombosis pada infeksi, maka appendiks akan mengalami
gangren. (2,3,4,6,7,8)
Pada beberapa keadaan, appendisitis agak sulit didiagnosis sehingga tidak
ditangani pada waktunya dan dapat mengakibatkan terjadinya komplikasi.
Misalnya, pada orang yang berusia lanjut, gejalanya sering samar-samar saja
sehingga lebih dari separuh penderita baru dapat didiagnosis setelah perforasi
terjadi. (1,2,3,4,5)
Pada kondisi-kondisi tertentu, misalnya pada kehamilan, keluhan utama
appendisitis adalah nyeri perut, mual, dan muntah. Hal tersebut perlu dicermati
karena pada kehamilan trimester pertama sering juga terjadi gejala-gejala
tersebut baik mual atau muntah. Pada kehamilan lanjut, sekum dan appendiks
dapat terdorong ke arah kraniolateral sehingga keluhan dari appendisitis ini tidak
dirasakan di regio perut kanan bawah, tetapi lebih di regio lumbal kanan. (1,3)

Gambar 3. Variasi lokasi Appendix vermicularis pada kehamilan : (1) posisi


normal appendiks, (2) umbilikus, (3) posisi appendiks usia kehamilan tiga bulan,
(4) posisi appendiks usia kehamilan empat bulan, dan (5) kemungkinan posisi
appendiks usia kehamilan lima sampai delapan bulan.

3
Appendiks dipersarafi oleh saraf parasimpatis dan simpatis. Persarafan
parasimpatis berasal dari cabang nervus vagus (N. Craniales X) yang mengikuti
arteri mesenterika superior dan arteri appendikularis, sedangkan persarafan
simpatis berasal dari nervus thorakalis X. Oleh karena itu, nyeri viseral pada
appendisitis dapat bermula di sekitar umbilikus. (2,4,6)
Appendiks merupakan suatu organ limfoid seperti tonsil yang disebut
payer patch, membentuk produk immunoglobulin. Appendiks memiliki lebih
dari 6 saluran limfe melintangi mesoappendiks menuju nodus limfe ileocaecal.(2)

2. Fisiologi Appendiks Vermiformis


Appendiks merupakan komponen integral dari sistem Gut Associated
Lymphoid Tissue (GALT), dimana dinding appendiks terdiri dari jaringan
lymphe yang merupakan bagian dari sistem imun dalam pembuatan antibodi.
Immunoglobulin sekretoar yang dihasilkan oleh GALT yang terdapat di
sepanjang saluran cerna termasuk appendiks, ialah IgA. Imunoglobulin tersebut
sangat efektif sebagai pelindung terhadap infeksi. Namun demikian,
pengangkatan appendiks tidak mempengaruhi system imun tubuh karena jumlah
jaringan limfonodi di sini kecil sekali jika dibandingkan dengan jumlahnya di
saluran cerna dan di seluruh tubuh.(1,2,3,4,6)
Appendiks dapat menghasilkan suatu sekret sebanyak 1-2 ml perhari.
Sekret itu normalnya dicurahkan ke dalam lumen appendiks dan selanjutnya
akan mengalir ke sekum. Hambatan aliran tersebut yang terjadi di muara
appendiks tampaknya berperan pada patogenesis appendisitis. (2,3)
Sekitar 2 minggu setelah lahir, jaringan lymphoid mulai muncul pertama
kali pada appendiks. Jumlahnya meningkat selama pubertas, dan menetap saat
dewasa dan kemudian akan berkurang mengikuti umur. Setelah usia sekitar 60
tahun, tidak ada jaringan lymphoid lagi di appendiks dan mulai terjadi obliterasi
pada lumen appendiks. (2,3,7,8)

4
C. Defenisi
Appendisitis merupakan peradangan pada appendiks vermiformis.
Peradangan akut appendiks (appendisitis akuta) merupakan suatu
kegawatdaruratan bedah abdomen dan memerlukan tindakan bedah segera untuk
mencegah komplikasi yang umumnya berbahaya.(1,2,3,5,6,8.9.10)

D. Epidemilogi
Insiden appendisitis akut di negara maju lebih tinggi daripada di negara
berkembang, Kejadian ini diduga disebabkan oleh kesadaran mengkonsumsi
makanan berserat dalam menu sehari-hari. Pria lebih banyak daripada wanita,
sedang bayi dan anak sampai berumur 2 tahun terdapat 1% atau kurang. Anak
berumur 2 sampai 3 tahun terdapat 15%. Frekuensi mulai menanjak setelah usia
5 tahun dan mencapai puncaknya berkisar pada umur 9 hingga 11 tahun. (1,2,3,4,7)

E. Etilogi
Appendisitis umumnya terjadi karena adanya proses radang bakteri.
Berbagai hal berperan sebagai faktor pencetus. Diantaranya adalah hiperplasia
jaringan limfe, fekalith, tumor apendiks, dan cacing askaris yang menyumbat.
Ulserasi merupakan tahap awal dari kebanyakan penyakit ini. Ada beberapa
faktor yang mempermudah terjadinya radang appendiks, diantaranya: (2,5)
1. Faktor sumbatan (Obstruksi)
Obstruksi merupakan faktor terpenting terjadinya appendisitis (90%) yang
diikuti oleh infeksi. Obstruksi terjadi pada lumen appendiks. Obstruksi ini
biasanya disebabkan karena adanya timbunan tinja yang keras (fekalit),
hiperplasia jaringan limfoid (60%), 35% karena statis fekal, tumor apendiks,
benda asing dalam tubuh (4%) dan cacing askaris serta parasit dapat pula
menyebabkan terjadinya sumbatan. Namun, diantara penyebab obstruksi
lumen yang telah disebutkan di atas, fekalit dan hiperplasia jaringan limfoid
merupakan penyebab obstruksi yang paling sering terjadi. Fekalit ditemukan

5
40% pada kasus apendisitis kasus sederhana, 65% pada kasus apendisitis akut
gangrenosa tanpa ruptur dan 90% pada kasus apendisitis akut dengan ruptur.
2. Faktor bakteri
Penyebab lain yang diduga menimbulkan appendisitis adalah ulserasi mukosa
appendiks oleh parasit E. Histolytica. Adanya obstruksi mengakibatkan mucin
atau cairan mukosa yang diproduksi tidak dapat keluar dari appendiks, hal ini
akan semakin meningkatkan tekanan intraluminal sehingga menyebabkan
tekanan intra mukosa juga semakin tinggi. Tekanan yang tinggi akan
menyebabkan infiltrasi kuman ke dinding appendiks sehingga terjadi
peradangan supuratif yang menghasilkan pus atau nanah pada dinding
appendiks. Infeksi enterogen merupakan faktor primer pada appendisitis akut.
Adanya fekolith dalam lumen appendiks yang telah terinfeksi dapat
memperburuk dan memperberat infeksi karena terjadi peningkatan stagnasi
feses dalam lumen appendiks. Pada kultur dapat ditemukan kombinasi antara
Bacteriodes splanicus, Escheriscia coli, kemudian Lactobacilus, dan
Pseudomonas. Sedangkan kuman yang menyebabkan perforasi adalah kuman
anaerob sebesar 96% dan aerob <10%.
3. Kecenderungan familiar
Hal ini dihubungkan dengan terjadinya malformasi yang herediter dari organ
appendiks yang terlalu panjang, vaskularisasi yang tidak baik, dan letaknya
yang mudah terjadi appendisitis. Kejadian ini juga dihubungkan dengan
kebiasaan makan dalam keluarga terutama diet rendah serat yang dapat
mempermudah terjadinya fekolith dan mengakibatkan obstruksi lumen.
4. Faktor ras dan diet
Faktor ras berhubungan dengan kebiasaan dan pola makanan sehari-hari.
Bangsa kulit putih yang dulunya pola makan rendah serat mempunyai resiko
lebih tinggi dari negara yang pola makannya banyak serat. Namun, sekarang
terjadinya sebaliknya. Bangsa kulit putih justru merubah kebiasaan makannya
ke pola makan tinggi serat. Negara berkembang yang dulu mempunyai

6
kebiasaan makan tinggi serat, kini beralih ke pola makan rendah serat,
sehingga memiliki resiko appendisitis yang lebih tinggi.
Selain infeksi, appendisitis juga dapat disebabkan oleh penyebaran
infeksi dari organ lain yang kemudian menyebar secara hematogen atau
enterogen ke appendiks.(1,2,3,4)

F. Patofisiologi
Patofisiologi appendisitis berawal di jaringan mukosa dan kemudian
menyebar ke seluruh lapisan dinding apendiks. Jaringan mukosa pada appendiks
menghasilkan mukus (lendir) setiap harinya. Terjadinya obstruksi menyebabkan
pengaliran mukus dari lumen appendiks ke sekum menjadi terhambat. Makin
lama mukus makin bertambah banyak dan kemudian terbentuklah bendungan
mukus di dalam lumen. Karena keterbatasan elastisitas dinding appendiks, maka
hal tersebut menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan intralumen.(2,5)
Tekanan yang meningkat tersebut akan menyebabkan appendiks
mengalami hipoksia, terhambatnya aliran limfe, sehingga mengakibatkan
timbulnya edema, diapedesis bakteri, dan ulserasi mukosa. Pada saat inilah
terjadi appendisitis akut fokal yang ditandai oleh nyeri di daerah epigastrium di
sekitar umbilikus. (2,4,5)
Jika sekresi mukus terus berlanjut, tekanan intralumen akan terus
meningkat. Hal ini akan menyebabkan terjadinya obstruksi vena, edema
bertambah, dan bakteri akan menembus dinding appendiks. Peradangan yang
timbul pun semakin meluas dan mengenai peritoneum setempat, sehingga
menimbulkan nyeri di daerah perut kanan bawah. Keadaan ini disebut dengan
appendisitis supuratif akut. (2,3,4)
Jika kemudian aliran arteri terganggu, maka akan terjadi infark dinding
appendiks yang disusul dengan terjadinya gangren. Keadaan ini disebut dengan
appendisitis ganggrenosa. Jika dinding appendiks yang rapuh dan telah
mengalami ganggren ini pecah, maka kondisi ini disebut appendisitis perforasi.(2)

7
Bila semua proses diatas berjalan lambat, omentum dan usus yang
berdekatan akan bergerak kearah appendiks hingga timbul suatu massa lokal
yang disebut periappendikular infiltrat. (1,2,4,5)
Peradangan appendiks tersebut dapat menjadi abses atau menghilang.
Periappendikular infiltrat merupakan tahap patologi appendisitis yang dimulai di
mukosa dan melibatkan seluruh lapisan dinding appendiks dalam waktu 24-48
jam pertama, ini merupakan usaha pertahanan tubuh dengan membatasi proses
radang dengan menutup appendiks dengan omentum, usus halus, atau adneksa
sehingga terbentuk massa periappendikular. Di dalamnya dapat terjadi nekrosis
jaringan berupa abses yang dapat mengalami perforasi. Jika tidak terbentuk
abses, appendisitis akan sembuh dan massa periappendikular akan menjadi
tenang untuk selanjutnya akan mengurai diri secara lambat. (1,4)
Pada anak-anak, karena omentum lebih pendek dan appendiks lebih
panjang, dinding appendiks lebih tipis. Keadaan tersebut ditambah dengan daya
tahan tubuh yang masih kurang memudahkan terjadinya perforasi. Sedangkan
pada orang tua perforasi mudah terjadi karena telah ada gangguan pembuluh
darah. (1,4)
Kecepatan rentetan peristiwa tersebut tergantung pada virulensi
mikroorganisme, daya tahan tubuh, fibrosis pada dinding appendiks, omentum,
usus yang lain, peritoneum parietale dan juga organ lain seperti vesika urinaria,
uterus yang mencoba membatasi dan melokalisir proses peradangan ini. Bila
proses melokalisir ini belum selesai dan sudah terjadi perforasi maka akan timbul
peritonitis. Walaupun proses melokalisir sudah selesai tetapi masih belum cukup
kuat menahan tahanan atau tegangan dalam kavum abdominalis, oleh karena itu
penderita harus benar-benar istirahat (bedrest). (4,6,8)
Appendiks yang pernah meradang tidak akan sembuh dengan sempurna,
tetapi akan membentuk jaringan parut. Jaringan ini menyebabkan terjadinya
perlengketan dengan jaringan sekitarnya. Perlengketan tersebut dapat kembali

8
menimbulkan keluhan pada perut kanan bawah. Pada suatu saat organ ini dapat
mengalami peradangan kembali dan dinyatakan mengalami eksaserbasi. (1,4)

G. Manifestasi Klinis
1. Gejala Klinis
Gejala appendisitis akuta umumnya timbul kurang dari 36 jam,
dimulai dengan nyeri perut yang didahului anoreksia. Gejala utama
appendisitis akuta adalah nyeri perut. Awalnya, nyeri dirasakan difus terpusat
di epigastrium dan di daerah umbilikus atau periumbilikus. Dalam 2-12 jam,
nyeri akan beralih ke kuadran kanan bawah, yang akan menetap dan
diperberat bila berjalan atau batuk. (1,2,3,4,5,6)
Anoreksia hampir selalu menyertai appendisitis. Pada 75% pasien
dijumpai muntah yang umumnya hanya terjadi satu atau dua kali saja.
Muntah disebabkan oleh stimulasi saraf dan terjadinya ileus. Umumnya,
urutan munculnya gejala appendisitis adalah anoreksia, diikuti nyeri perut
dan muntah. Bila muntah mendahului nyeri perut, maka diagnosis
appendisitis diragukan. Muntah yang timbul sebelum nyeri abdomen
mengarah pada diagnosis gastroenteritis. (1,2,3,4)
Gejala appendisitis yang terjadi pada anak dapat bervariasi, mulai dari
yang menunjukkan kesan sakit ringan hingga anak yang tampak lesu,
dehidrasi, nyeri lokal pada perut kanan bawah, bayi yang tampak sepsis.
Pada awal perjalanan penyakit pada bayi, hanya dijumpai gejala letargi,
irritabilitas, dan anoreksia. Selanjutnya, muncul gejala muntah, demam, dan
nyeri. Pada beberapa kasus yang meragukan, pasien dapat diobservasi dulu
selama 6 jam. Pada penderita appendisitis biasanya menunjukkan
peningkatan nyeri dan tanda inflamasi yang khas. (1,2,4,6)
Penderita appendisitis akut juga mengeluh obstipasi dan beberapa
penderita mengalami diare, hal tersebut timbul biasanya pada letak appendiks
pelvikal yang merangsang daerah rectum dan terasa nyeri saat BAB sehingga

9
penderita takut mengejan. Diare dapat terjadi akibat adanya inflamasi pada
sekum sehingga merangsang peningkatan gerakan perislatik sehingga proses
penyerapan air dalam kolon tidak maksimal. Gejala disuria kadang timbul
apabila peradangan apendiks dekat dengan vesika urinaria. (1,2,6)
Pada kehamilan, keluhan utama appendisitis adalah nyeri perut, mual,
dan muntah. Yang perlu diperhatikan ialah, pada kehamilan trimester
pertama sering juga terjadi mual dan muntah. Pada kehamilan lanjut, sekum
dengan appendiks dapat terdorong ke kraniolateral sehingga keluhan tidak
dirasakan di perut kanan bawah tetapi lebih ke regio lumbal kanan. (2,4,5)
Diagnosis appendisitis sulit dilakukan pada pasien yang terlalu muda
atau terlalu tua. Pada kedua kelompok tersebut, diagnosis biasanya sering
terlambat sehingga appendisitisnya telah mengalami perforasi. (7)

2. Tanda Klinis
Umumnya, pasien mengalami demam saat terjadi inflamasi pada
appendiks, biasanya suhu naik hingga 38oC. Tetapi pada keadaan perforasi,
suhu tubuh dapat meningkat hingga > 39oC. (1,2,4,6)
Penderita appendisitis umumnya lebih menyukai sikap jongkok pada
paha kanan, atau berbaring ke sebelah kanan dengan menindih tubuh sebelah
kanan, karena pada sikap itu sekum dapat tertekan sehingga isi sekum
berkurang. Hal tersebut akan mengurangi tekanan ke arah appendiks
sehingga nyeri dapat perut berkurang. (1,2,4)
Nyeri tekan dapat ditemukan pada titik Mc Burney, dimana terdapat
pangkal appendiks yang meradang / Mc Burney Sign (+). Namun perlu
diingat bahwa letak anatomis appendiks dapat bervariasi pada tiap pasien,
maka terdapat beberapa manuver untuk mencari tanda-tanda appendisitis
diantaranya : (1,2,3,4,6)
Rovsings sign. Jika penekanan dilakukan di daerah kuadran kiri bawah
perut, maka akan terasa nyeri di kuadran kanan bawah perut. Hal ini

10
terjadi karena udara yang terdapat pada kolon terdesak kembali dan
memberikan penekanan pada daerah sekum sehingga akan meningkatkan
tekanan pada appendiks yang meradang sampai menimbulkan sensasi
nyeri.
Blumbergs sign (nyeri lepas kontralateral). Sama seperti Rovsings sign,
pemeriksa menekan di daerah kuadran kiri bawah perut lalu ditahan
beberapa saat kemudian melepaskannya. Manuver ini dikatakan positif
bila pada saat dilepaskan, pasien merasakan nyeri di kuadran kanan bawah
perut atau bahkan pada semua daerah perut pada kondisi appendisitis
perforasi. Hal ini menggambarkan adanya iritasi peritoneum.
Psoas sign. Pasien berbaring pada sisi kiri, tangan kanan pemeriksa
memegang lutut pasien dan tangan kiri menstabilkan panggulnya.
Kemudian tungkai kanan pasien digerakkan dalam arah anteroposterior.
Nyeri pada manuver ini akibat hiperekstensi atau fleksi aktif tungkai
kanan pasien, dimana bila appendiks yang meradang menempel pada m.
psoas akan memberikan rangsangan nyeri akibat iritasi langsung yang
berasal dari peradangan appendiks.
Obturator sign. Pasien diposisikan tidur terlentang, tangan kanan
pemeriksa berpegangan pada telapak kaki kanan pasien sedangkan tangan
kiri di sendi lututnya. Kemudian pemeriksa memposisikan sendi lutut
pasien dalam posisi fleksi dan articulatio coxae dalam posisi endorotasi
kemudian eksorotasi. Tes ini positif jika pasien merasa nyeri di
hipogastrium saat eksorotasi. Nyeri pada manuver ini menunjukkan
adanya iritasi m. obturatorius internus oleh appendisitis letak retrocaecal,
perforasi appendiks, abses lokal, atau adanya hernia obturatoria.
Wahls sign. Manuver ini dikatakan positif bila pasien merasakan nyeri
pada saat dilakukan perkusi di kuadran kanan bawah perut dan terdapat
penurunan peristaltik di segitiga Scherren pada auskultasi.

11
Dunphys sign. Pasien diminta untuk batuk untuk meningkatkan tekanan
intra abdominal, hasil positif jika nyeri pada kuadran kanan bawah perut
ketika batuk.
Pemeriksaan colok dubur (Rectal Tussae / Digital Rectal Examination).
Akan didapatkan nyeri pada perabaan di kuadran kanan bawah perut pada
jam 9-12. Pada appendisitis pelvika didapatkan nyeri sewaktu dilakukan
colok dubur.

H. Penegakan Diagnosis
Diagnosis appendisitis akuta ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan
fisik, dan pemeriksaan penunjang. (1,2,3,4,5,6)
1. Anamnesis
Sakit perut. Gejala utama appendisitis akut adalah nyeri abdomen. Terjadi
karena peristaltik untuk mengatasi obstruksi yang terjadi pada seluruh
saluran cerna, sehingga nyeri visceral dirasakan pada seluruh perut. Mula-
mula daerah epigastrium kemudian menjalar ke Mc Burney. Apabila telah
terjadi inflamasi (> 6 jam) penderita dapat menunjukkan letak nyeri,
karena bersifat somatik. Pada appendisitis akuta, nyeri perut adalah yang
pertama kali dirasakan pasien dan kejadiannya < 1 minggu. Jika nyeri
perut sudah sering dirasakan atau sudah pernah terdiagnosis sebagai
appendisitis sebelumnya, kemungkinan telah terjadi eksaserbasi akut.
Mual dan Muntah. Adalah suatu rangsangan viseral akibat aktivasi
n.vagus
Anoreksia, timbul beberapa jam sesudah nyeri dirasakan. Keadaan
anoreksia hampir selalu ada pada setiap penderita appendisitis akut.
Obstipasi atau diare, kadang ditemukan gejala disuria jika peradangan
appendiks dekat dengan vesika urinaria.

12
Riwayat panas / demam. Merupakan suatu proses infeksi akut, demam
dapat terjadi tapi tidak terlalu tinggi, yaitu suhu antara 37,50C 38,50C
tetapi bila suhu lebih tinggi, diduga telah terjadi perforasi.

2. Pemeriksaan Fisik
Inspeksi
Pada sebagian penderita dapat diamati saat berjalan, biasanya sambil
membungkuk dan memegang perut, pasien tampak kesakitan. Pada saat
berbaring kadang didapatkan pasien lebih nyaman berbaring ke arah kanan
dan menekuk badannya. Pada appendisitis akut sering ditemukan adanya
abdominal swelling, sehingga pada pemeriksaan jenis ini biasa ditemukan
distensi perut. Kembung sering terlihat pada penderita dengan komplikasi
perforasi. Penonjolan perut kanan bawah bisa dilihat pada massa akibat
adanya abses appendikuler.
Auskultasi
Peristaltik usus sering normal pada umumnya. Penurunan peristaltik
bahkan sampai hilang karena ileus paralitik pada peritonitis generalisata
akibat appendisitis perforata dapat didengarkan. Peristaltik dapat pula
meningkat akibat rangsangan dari sekum yang meradang.
Perkusi
Pada perkusi abdomen, sering ditemukan nyeri ketok saat perkusi pada
daerah kuadran kanan bawah perut (Wahls Sign positif).
Palpasi
Pada daerah perut kanan bawah apabila ditekan akan terasa nyeri. Dan bila
tekanan dilepas juga akan terasa nyeri. Nyeri tekan perut kanan bawah
merupakan kunci diagnosis dari appendisitis (Mc Burney Sign positif),
disertai tanda Rovsing positif, tanda Blumberg positif. Defans muskular
lokal dapat dirasakan yang menunjukkan adanya rangsangan nyeri yang

13
mengenai peritoneum parietal. Jika terdapat suatu abses appendikuler,
tidak jarang teraba adanya massa pada abdomen.
Pemeriksaan tambahan seperti Psoass Sign dan Obturators Sign kadang
positif tergantung letak anatomis appendiks. Begitu pula dengan
pemeriksaan colok dubur dapat positif bila letak appendiks pada pelvikal.
Pemeriksaan Dunphys sign memberikan hasil positif dimana terjadi nyeri
pada kuadran kanan bawah perut saat batuk atau mengedan.

3. Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium
Ditemukannya jumlah leukosit antara 10.000 20.000/ml ( leukositosis )
dan neutrofil diatas 75 %, pada pemeriksaan darah lengkap dan
peningkatan jumlah serum pada CRP yaitu 8 mcg/mL, menunjukkan
suatu infeksi akut. Pemeriksaan urine bermanfaat untuk menyingkirkan
diagnosis infeksi dari saluran kemih. Pemeriksaan -hCG untuk
menyingkirkan dugaan kehamilan ektopik. Baku emas untuk penegakan
diagnosis appendisitis akuta adalah dilakukan pemeriksaan
histopatologis.
Radiologi
Pada pemeriksaan ultrasonografi pada kasus appendisitis akut, nampak
adanya struktur yang aperistaltik, blind-ended, keluar dari dasar caecum.
Dinding apendiks nampak jelas, dapat dibedakan, diameter luar lebih dari
6mm, dan adanya appendicolith.

Skor Kalesaran
Kalesaran, dkk (1995), telah menemukan 7 item yang merupakan variable yang
bermakna untuk menentukan diagnosis appendisitis akut. Titik batas (Cut off
point) dari skor ini, yaitu jika nilainya diatas +20, maka segera membutuhkan
tindakan operatif. Jika nilainya -49 sampai +20, tidak memerlukan tindakan

14
operatif yang segera, hendaknya d observasi saja. Sedangkan jika nilai -49, maka
tidak membutuhkan tindakan operatif.
No. Item Ya Tidak
1. Mual 7 -10
2. Muntah 11 -5
3. Demam 7 -27
4. Nyeri Batuk 15 -20
5. Nyeri Ketok 5 -23
6. Defans Lokal 10 -13
7. Leukosit > 10.000 15 -11
Total

Skor Alvarado
Skor Alvarado, terutama dilakukan pada penderita anak. Diagnosis appendisitis
akut pada anak tidak mudah ditegakkan hanya berdasarkan gambaran klinis, hal
ini disebabkan sulitnya komunikasi antara anak, orang tua dan dokter. Anak
belum mampu untuk mendiskripsikan keluhan yang dialami. Alfredo Alvarado
tahun 1986 membuat sistem skor yang didasarkan pada tiga gejala, tiga tanda
dan dua temuan laboratorium. Klasifikasi ini menilai derajat appendisitis.

Item Nilai
Adanya migrasi nyeri 1
Gejala Anoreksia 1
Mual/muntah 1
Nyeri kuadran kanan bawah 2
Tanda Nyeri lepas 1
Peningkatan suhu > 37,50C 1
Lab Jumlah leukosit > 10x103/L 2
Jumlah neutrofil > 75% 1
Total 10

Penanganan berdasarkan skor Alvarado, jika nilai total yang diperoleh 1 4


maka hanya dilakukan observasi. Jika nilai 5 6 diberikan terapi antibiotik.
Sedangkan jika didapatkan nilai 7 10, maka segera dilakukan operasi. (2,6)

15
I. Diagnosis Banding
Beberapa diagnosis banding appendisitis akuta antara lain : (1,2,3,4)
1. Gastroenteritis
Pada gastroenteritis, mual-muntah dan diare mendahului rasa sakit. Sakit
perut lebih ringan dan tidak berbatas tegas. Hiperperistaltik sering ditemukan.
Panas dan leukositosis kurang menonjol dibandingkan dengan appendisitis.
2. Limfadenitis mesenterika
Biasanya didahului oleh enteritis atau gastroenteritis. Ditandai dengan nyeri
perut yang samar-samar terutama disebelah kanan, dan disertai dengan
perasaan mual-muntah.
3. Torsio ovarium
Peradangan disekitar ovarium yang iskemik akibat terpuntir akan dapat
dipalpasi pada pemeriksaan bimanual pada pelvis. Demam, leukositosis, dan
nyeri kuadran kanan bawah yang serupa dengan appendisitis dapat ditemukan
pada pasien ini. Torsio ovarium dapar dikonfirmasi dengan USG Doppler.
4. Dengue Haemmorhagic Fever (DHF)
Pada penyakit ini pemeriksaan darah terdapat trombositopeni, leukopeni,
rumple leed (+), hematokrit meningkat.
5. Peradangan pelvis / Pelvic Inflammatory Disesases (PID)
Tuba fallopi kanan dan ovarium terletak dekat appendiks. Radang kedua
organ ini sering bersamaan sehingga disebut salpingo-ooforitis atau adnecitis.
Untuk menegakkan diagnosis penyakit ini didapatkan riwayat kontak sexual.
Suhu biasanya lebih tinggi daripada appendisitis dan nyeri perut bagian bawah
lebih difus. Biasanya disertai dengan keputihan. Pada colok vaginal jika uterus
diayunkan maka akan terasa nyeri.
6. Kehamilan ektopik terganggu
Ada riwayat terhambat menstruasi dengan keluhan yang tidak menentu. Jika
terjadi ruptur tuba atau abortus di luar rahim dengan perdarahan akan timbul
nyeri yang mendadak difus di daerah pelvis dan mungkin akan terjadi syok

16
hipovolemik. Pada pemeriksaan colok vagina didapatkan nyeri dan
penonjolan di cavum Douglas, dan pada kuldosentesis akan didapatkan darah.
7. Divertikulitis
Meskipun diverkulitis biasanya terletak di perut bagian kiri, tetapi kadang-
kadang dapat juga terjadi di sebelah kanan. Jika terjadi peradangan dan ruptur
pada divertikulum gejala klinis akan sukar dibedakan dengan gejala-gejala
appendisitis.
8. Batu ureter atau batu ginjal
Adanya riwayat kolik dari pinggang ke perut menjalar ke inguinal kanan
merupakan gambaran yang khas. Hematuria sering ditemukan. Foto polos
abdomen atau urografi intravena dapat memastikan penyakit tersebut.
9. Infeksi saluran kencing
Pielonephritis akuta, terutama yang terletak di sisi kanan dapat menyerupai
appendisitis akuta letak retroileal. Rasa dingin, nyeri kostovertebra kanan, dan
terutama pemeriksaan urine biasanya cukup untuk membedakan keduanya.

J. Penatalaksanaan
Jika diagnosis appendisitis akut telah ditegakkan, maka penanganan yang
dilakukan yaitu : (1,2,4,6,11,12)
1. Persiapan pre-operatif. Yaitu memberikan rehidrasi cairan isotonis secara
intravena, pemasangan kateter urin untuk memonitor produksi urin, dan
pemasangan Nasogastric Tube (NGT) untuk tindakan dekompresi.
2. Terapi antibiotik. Pemberian antibiotik profilaksis secara umum efektif pada
pencegahan infeksi post-operatif (infeksi luka atau abses intra abdominal).
Pada pasien dengan appendisitis non-perforata, pemberian antibiotik dosis
tunggal sudah adekuat. Terapi antibiotik pada appendisitis perforata atau
gangrenosa harus dilanjutkan 3 sampai 5 hari.
3. Appendektomi. Appendisitis akut membutuhkan tindakan pembedahan
segera. Tindakan ini secara umum dapat dilakukan melalui 2 pendekatan,

17
yaitu cara terbuka dan secara laparoskopik. Secara terbuka dapat dilakukan
tindakan eksplorasi melalui insisi garis tengah (midline) pada pasien dengan
peritonitis. Pada sebagian besar pasien hanya dilakukan insisi transversal
dengan melakukan insisi pada titik Mc Burney, yang diharapkan dapat
memberikan efek kosmetik yang baik.

K. Komplikasi
Komplikasi yang paling sering ditemukan pada appendisitis akuta adalah
perforasi appendiks, baik berupa perforasi bebas maupun perforasi pada
appendiks yang telah mengalami pendindingan (infiltrat) berupa massa yang
terdiri atas kumpulan appendiks, sekum, dan usus halus. Jika telah terjadi
perforasi, maka kemungkinan terjadinya peritonitis semakin besar. Akibat lebih
jauh dari appendisitis akuta adalah : (1,2,3,4,5,6)
1. Perdarahan aktif (dari traktus digestivus maupun dari luka sayatan), dapat
terjadi 24-27 jam setelah appendektomi,
2. Infeksi luka post operasi,
3. Abses lokal pada intraperitoneal atau abses pada pelvis,
4. Ileus, dan
5. Syok septik.
Peritonitis merupakan komplikasi yang berbahaya karena dapat
menyebabkan masuknya bakteri ke rongga abdomen, dan dapat menyebabkan
kegagalan organ dan dapat berujung kematian.

L. Prognosis
Bila diagnosis yang akurat disertai dengan penanganan pembedahan yang tepat,
tingkat mortalitas dan morbiditas penyakit ini sangat kecil. Keterlambatan
diagnosis dan penanganan akan meningkatkan morbiditas dan mortalitas bila
timbul adanya suatu komplikasi. Serangan berulang dapat terjadi bila appendiks
tidak diangkat.(1,2,4,6)

18

Anda mungkin juga menyukai